DEKRIT TENTANG GEREJA-GEREJA TIMUR KATOLIK

PAUS PAULUS USKUP HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

PENDAHULUAN

1. Gereja Katolik sangat menghargai lembaga-lembaga, upacara-upacara liturgi, tradisi-tradisi gerejawi dan tata-laksana hidup kristen dalam GEREJA-GEREJA TIMUR. Sebab semuanya itu mempunyai keunggulan sebagai warisan zaman kuno yang terhormat, menampilkan tradisi yang melalui para Bapa Gereja berasal dari para Rasul[1], dan merupakan sebagian dalam pusaka perwahyuan ilahi, yang utuh-utuh diserahkan kepada Gereja semesta. Maka penuh perhatian terhadap Gereja-Gereja Timur, saksi-saksi hidup Tradisi itu, Konsili Ekumenis ini menyatakan keinginannya, supaya Gereja-gereja itu tetap subur, dan dengan kekuatan rasuli yang diperbaharui menunaikan tugas perutusan yang dipercayakan kepadanya. Selain apa yang berlaku bagi Gereja semesta, Konsili memutuskan untuk menetapkan beberapa pokok, sementara hal-hal lain diserahkan kepada penyelenggaraan Sinode-Sinode Timur dan Takhta Apostolik.

GEREJA-GEREJA KHUSUS ATAU RITUS-RITUS

2. (Kemacam-ragaman dalam persekutuan Gereja katolik) Gereja katolik yang kudus, Tubuh Mistik Kristus, ialah umat beriman yang dipersatukan secara laras-serasi karena iman yang sama, Sakramen-sakramen yang sama, dan kepemimpinan yang sama dalam Roh Kudus. Umat itu merupakan perpaduan pelbagai golongan yang tergabung di bawah bimbingan hirarki, yang terhimpun sebagai Gereja-Geraja khusus atau Ritus-Ritus. Antara Gereja-gereja itu ada persekutuan yang mengagumkan, sehingga kemacam-ragaman dalam Gereja bukannya merugikan kesatuannya, melainkan justru mengungkapkannya. Gereja katolik memang menghendaki, agar tradisi-tradisi masing-masing Gereja khusus atau Ritus tetap utuh dan lestari. Lagi pula Gereja hendak menyesuaikan perihidupnya dengan bermacam-macam kebutuhan setempat dan semasa[2]). 3. (Kesamaan martabat, hak-hak dan kewajiban-kewajiban) Gereja-gereja khusus seperti itu, baik di Timur maupun di Barat, sebagian saling berbeda perihal apa yang disebut ritus, Yakni Liturgi, tat-laksana gerejawi, dan pusaka warisan rohani. Tetapi sama-sama dipercayakan kepada kepemimpinan pastoral Imam Agung di Roma, yang berdasarkan ketetapannya atas Gereja semesta. Maka Gereja-Gereja itu mempunyai martabat yang sama, sehingga tiada satupun unggul terhadap yang lain-lain karena rirusnya; begitu pula mempunyai hak-hak yang sama dan terikat kewajiban-kewajiban yang sama, juga perihal pewartaan Injil ke seluruh dunia (lih. Mrk 16:15) , dibawah kepemimpinan paus di Roma. 4. (Kelestarian Ritus-Ritus dalam satu persekutuan) Maka diseluruh dunia hendaknya diusahakan kelestarian dan perkembangan semua Gereja khusus. Oleh karena itu hendaklah dibentuk paroki-paroki beserta hirarkinya sendiri, bila itu diperlukan bagi kesejahteraan rohani umat beriman. Tetapi hendaknya para Hirark berbagai Gereja khusus, yang mempunyai yurisdiksi di daerah yang sama, berusaha – dengan mengadakan musyawarah dalam sidang-sidang berkala ” memelihara kesatuan kegiatan, dan dengan berpadu tenaga mendukung karya-karya bersama, untuk mempermudah peningkatan kesejahteraan agama, dan secara lebih aktif menjaga tata-laksana di anatra klerus[3]. Segenap klerus dan mereka yang menyiapkan diri untuk menerima Tahbisan suci hendaknya mendapat penyuluhan yang memadai tentang Ritus-Ritus, dan terutama tentang norma-norma praktis mengenai perkara-perkara antar Ritus. Bahkan kaum awam pun hendaklah dalam pendidikan katekis mendapat penjelasan tentang Ritus-Ritus orang katolik, dan mereka yang menerima Babtis di Gereja atau jemaat bukan katolik mana pun juga, yang menggabungkan diri dalam kepenuhan persekutuan katolik, dimanapun juga tetap hidup menurut Ritus mereka sendiri, memeliharanya dan sedapat mungkin mematuhinya[4]. Sementara itu tetap dipertahankan hak untuk mengajukan persoalan kepada Takhta Apostolik, bila ada kasus kasus khas menyangkut pribadi-pribadi jemaat-jemaat, atau daerah-daerah. Takhta suci, sebagai instansi tertinggi yang berwenang atas hubungan-hubungan antar Gereja, akan menanggapi kebutuhan-kebutuhan dalam semangat ekumenis, secara langsung atau melalui instansi-instansi lainnya, melalui norma-norma, dekrit-dekrit dan jawaban-jawaban resmi.

MELESTARIKAN PUSAKA ROHANI GEREJA-GEREJA TIMUR

5. (Hak serta kewajiban Gereja-Gereja untuk melestarikan tata-laksana masing-masing) Sejarah, tradisi-tradisi, dan amat banyak lembaga-lembaga gerejawi memberi kesaksian gemilang, betapa besar jasa-sumbangan Gereja-Gereja Timur bagi Gereja semesta[5]. Maka itu konsili suci tidak hanya menyambut pusaka gerejawi dan rohani itu dengan penghargaan dan pujian semestinya, melainkan dengan tegas memandangnya juga sebagai pusaka seluruh gereja Kristus. Oleh sebab itu Konsili secara resmi menyatakan, bahwa Gereja-Gereja Timur seperti juga Gereja-Gereja Barat mempunyai hak maupun kewajiban, masing-masing untuk mengatur diri menurut tata-laksana yang khas. Sebab tata-laksana itu dianjurkan karena riwayatnya yang kuno dan terhormat, karena lebih sesuai dengan sifat dan perilaku umat beriman, dan nampak lebih sesuai untuk mengembangkan kesejahteraan umat. 6. (Melestarikan upacara-upacara Liturgi Ritus Timur) Hendaklah segenap umat Gereja-Gereja Timur menyadari dan merasa yakin, bahwa mereka selalu dapat dan wajib melestarikan upacara-upacara Liturgi mereka yang sah serta tata-laksana mereka, dan bahwa perubahan-perubahan hanya hanya boleh diadakan berdasarkan motivasi kemajuan mereka yang laras-serasi. Maka hendaklah itu semua oleh umat gereja-Gereja Timur dipatuhi dengan kesetiaan sepenuhnya. Mengenai semuanya itu mereka harus memperoleh pengertian yang makin mendalam dan mencapai tingkat pelaksanaan yang makin sempurna. Dan bila tanpa alasan yang wajar, karena situasi jaman atau pribadi-pribadi tertentu, mereka telah menyimpang dari padanya, hendaklah mereka berusaha kembali kepada tradisi-tradisi para leluhur. Adapun mereka, yang karena tugas atau pelayan kerasulan seringkali berhubungan dengan Gereja-Gereja Timur atau dengan umatnya, hendaknya ” sesuai dengan beratnya kewajiban mereka ” dibenahi dengan pengertian yang cermat tentang upacara-upacara, tata-laksana, ajaran, sejarah serta sifat-sifat umat, dengan penghargaan terhadapnya[6]. Kepada tarekat-tarekat religius serta perserikatan-perserikatan Ritus Latin, yang berkarya didaerah-daerah timur atau ditengah umat Gereja-Gereja Timur, dianjurkan dengan sangat, supaya demi efektifnya kerasulan mereka, mereka sedapat mungkin mendirikan rumah-rumah atau juga provinsi-provinsi Ritus Timur[7]

.

PARA PATRIARK TIMUR

7. (Siapa Patriark Timur itu?) Sejak jaman kuno terdapatlah dalam Gereja lembaga patriarkal, yang sudah diakui oleh Konsili-Konsili Ekumenis pertama[8]. Yang disebut Patriark Timur ialah Uskup, yang mempunyai yurisdiksi atas semua Uskup, tidak terkecuali uskup Metropolit, atas klerus dan umat wilayah atau Ritusnya sendiri, menurut norma hukum dan tanpa mengurangi primat Paus di Roma[9]. Dimanapun diangkat seorang Hirark dari suatu Ritus diluar batas-batas wilayah patriarkal, ia tetap termasuk hirarki patriarkat Ritus itu juga menurut norma hukum. 8. (Semua Patriark sederajat martabatnya) Meskipun patriarkat-patriarkat muncul pada waktu yang berlainan, semua Patraiark Gereja-Gereja Timur sederajat berdasarkan martabat patriarkal, tanpa mengurangi adanya urutan kehormatan antara mereka, yang telah ditetapkan secara sah[10]. 9. (Wewenang patriark dan Sinode) Menurut tradisi Gereja yang sangat kuno para Patriark Gereja-Gereja Timur layak mendapat kehormatan istimewa, karena mereka mengetuai patrairkat mereka masing-masing sebagai bapa dan kepala. Maka Konsili suci ini menetapkan, agar hak-hak serta privilegi-privilegi mereka dipulihkan, seturut tradisi-tradisi kuno masing-masing Gereja serta dekrit-dekrit Konsili-Konsili Ekumenis[11]. Hak-hak dan privilegi-privilegi itu ialah : yang berlaku pada waktu persatuan antara Timur dan Barat, sungguhpun semuanya perlu sekedar disesuaikan dengan situasi zaman sekarang. Patriark beserta sinode-sinodenya merupakan instansi yang lebih tinggi untuk urusan-urusan mana pun juga dalam patriarkat, tidak terkecuali hak-hak untuk menetapkan eparkia-eparkia baru dan mengangkat Uskup-Uskup Ritusnya dalam batas-batas wilayah patriarkal, tanpa mengurangi hak paus di Roma yang tidak dapat diganggu-gugat untuk bercampur tangan pada setiap kasus. 10. (Uskup Agung Utama) Apa yang dikatakan tentang para Patriark, menurut norma hukum berlaku juga bagi para Uskup Agung Utama, yang memimpin suatu Gereja khusus secara keseluruhan atau suatu Ritus[12]. 11. (Didirikan patriarkat-patriarkat baru sejauh perlu) Karena dalam gereja-Gereja Timur lembaga patriarkal merupakan bentuk kepemimpinan yang tradisional, Konsili Ekumenis ini menghimbau, supaya bilamana perlu didirikan patriarkat-patriarkat baru. Termasuk wewenang khusus Konsili Ekumenis atau Paus di Roma, untuk mendirikannya[13]. TATA-LAKSANA SAKRAMEN-SAKRAMEN 12. (Konsili mengukuhkan tata-laksana Sakramen-Sakramen) Konsili Ekumenis ini mengukuhkan serta memuji tata-laksana Sakramen-Sakramen, yang sejak dulu kala berlaku di Gereja-Gereja Timur, begitu pula praktek perayaan serta pelayanannya. Konsili menginginkan, supaya sejauh perlu tata-laksana itu dipulihkan. 13. (Pelayan Sakramen Krisma) Tata-laksana menyangkut pelayan Sakramen Krisma, yang sejak dahulu berlaku di Gereja-gereja Timur, hendaknya dipulihkan seutuhnya. Maka para Imam dapat menerimakan Sakramen itu, dengan menggunakan Krisma yang diberkati oleh Patriark atau Uskup[14]. 14. (Penerimaan Sakramen Krisma) Semua imam Gereja-Gereja Timur dapat secara sah menerimakan Sakramen Krisma, entah bersama dengan Babtis atau terpisah dari padanya, kepada sekalian umat beriman dari Ritus manapun juga, tak terkecualikan Ritus Latin, dengan mematuhi demi halalnya peraturan-peraturan hukum yang bersifat umum maupun khusus[15]. Juga para imam Ritus Latin, menurut kewenangan yang mereka terima untuk menerimakan Sakramen itu, dapat menerimakannya secara sah juga kepada umat beriman Gereja-Gereja timur, entah mereka termasuk Ritus mana, dengan mematuhi demi halalnya peraturan-peraturan hukum yang bersifat umum maupun khusus[16]. 15. (Ekaristi suci) Umat beriman wajib ikut merayakan Liturgi ilahi pada hari Minggu dan hari Raya, atau ” menurut peraturan-peraturan atau adat kebiasaan Ritusnya ” ikut mendoakan Pujian ilahi (ibadat harian)[17]. Untuk mempermudah umat beriman menunaikan kewajiban itu, ditetapkan, bahwa waktu yang cocok untuk menaati perintah itu berlangsung dari sore sebelumnya hingga akhir Minggu atau hari raya[18]. Dianjurkan dengan sangat, supaya umat beriman pada hari-hari itu, atau lebih sering, bahkan setiap hari, menerima Ekaristi suci[19]. 16. (Pelayan Sakramen Tobat) Karena umat beriman pelbagai Gereja khusus sehari-harian bercampur-baur di wilayah atau daerah Gereja Timur yang sama, kewenangan para imam dari Ritus mana pun juga untuk menerima pengakuan dosa, yang mereka peroleh secara sah dan tanpa syarat dari Hirarki mereka, diperluas hingga meliputi seluruh wilayah Hirarki yang memberinya, pun juga meliputi tempat-tempat serta umat beriman yang termasuk Ritus mana pun juga diwilayah itu, kecuali bila Hirark setempat jelas-jelas menolaknya untuk daerah Ritusnya[20]. 17. (Diakonat dan tahbisan-tahbisan tingkat rendah) Supaya tata-laksana Sakramen Tahbisan dari zaman dahulu berlaku lagi di Gereja-gereja Timur, Konsili suci ini menganjurkan, agar lembaga diakonat yang tetap, bila kebiasaan itu telah hilang, dipulihkan[21]. Mengenai sub diakonat dan tingkat-tingkat Tahbisan yang lebih rendah beserta hak-hak maupun kewajiban-kewajibannya, hendaklah itu diurus oleh wewenang legislatif setiap Gereja khusus[22]. 18. (Pernikahan campur) Untuk mencegah perkawinan-perkawinan yang tidak sah, bila anggota Gereja Timur katolik menikah dengan orang yang dibabtis dalam gereja Timur bukan katolik, dan untuk memeliharakelestarian serta kekudusan perkawinan dan kedamaian rumah tangga, Konsili menetapkan, bahwa bentuk kanonik perayaan untuk perkawinan itu hanya diwajibkan supaya perkawinan itu halal, dan bahwa untuk sahnya perkawinan cukuplah kehadiran pejabat gerejawi, dengan mengindahkan ketetapan-ketetapan hukum lainnya[23]. LITURGI 19. (Hari-hari raya) Selanjutnya hanya Konsili Ekumenis atau Takhta apostoliklah, yang berwenang menetapkan, memindahkan atau meniadakan hari-hari raya yang berlaku umum bagi semua Gereja Timur. Sedangkan yang berwenang menetapkan, memindahkan atau meniadakan hari-hari raya untuk masing-masing Gereja khusus, ialah: kecuali Takhta apostolik, Sinode-Sinode patriarkal atau arkiepiskopal; tetapi perlu dipertimbangkan kepentingan seluruh daerah serta Gereja-Gereja khusus lainnya[24]. 20. (Hari raya Paska) Sampai tercapainya persetujuan yang diinginkan oleh segenap umat kristen tentang hari tunggal bagi semua untuk merayakan hari raya Paska, dan untuk meningkatkan kesatuan umat kristen di satu daerah atau negara, untuk sementara diserahkan kepada para Patriark atau para penguasa gerejawi setempat yang tertinggi, untuk berdasarkan mufakat bulat dan musyawarah antara pihak-pihak yang berkepentingan, menetapkan satu hari Minggu guna merayakan hari raya Paska[25]. 21. (Penyesuaian diri dengan Ritus setempat) Setiap orang beriman, yang tinggal diluar wilayah atau daerah Ritusnya sendiri, berkenaan dengan hukum tentang masa-masa kudus, dapat menyesuaikan diri sepenuhnya dengan tata-laksana gerejawi yang berlaku ditempat kediamannya. Dalam keluarga-keluarga, yang para anggotanya menganut Ritus yang berbeda-beda, hukum itu boleh diakui menurut satu Ritus saja[26]. 22. (Pujian ilahi [ibadat harian]) Hendaknya para anggota klerus dan religius Gereja-Gereja Timur mematuhi peraturan-peraturan tata-laksana serta tradisi-tradisi mereka sendiri dalam merayakan Pujian ilahi (ibadat harian), yang sejak dulu kala dijunjung tinggi di semua Gereja-Gereja Timur[27]. 23. (Penggunaan bahasa daerah) Patriark beserta sinode, atau Pemimpin Tertinggi setiap Gereja beserta Dewan para Hiark, mempunyai hak untuk mengatur penggunaan bahasa-bahasa dalam upacara-upacara Liturgi, pun juga ” sesudah melaporkannya kepada Takhta Apostolik ” menyetujui terjemahan-terjemahan teks-teks dalam bahasa daerah[28]. PERGAULAN DENGAN PARA ANGGOTA GEREJA-GEREJA YANG TERPISAH 24. (Memelihara persekutuan menurut Dekrit tentang Ekumenisme) Termasuk tuga khusus Gereja-Gereja Timur yang berada dalam persekutuan dengan Takhta Apostolik di Roma, memelihara kesatuan segenap umat kristen, terutama umat Gereja-Gereja Timur, menurut prinsip-prinsip dekrit Konsili ini tentang Ekumenisme, pertama-tama melalui doa-doa, teladan hidup, kesetiaan keagamaan terhadap tradisi-tradisi Timur yang kuno, saling pengertian yang makin mendalam, kerja sama dan penghargaan persaudaraan terhadap orang-orang maupun berbagai hal[29]. 25. (Syarat untuk kesatuan; kewenangan menjalankan kuasa Tahbisan) Dari umat Gereja-Gereja Timur terpisah, yang berkat dorongan rahmat Roh Kudus memasuki kesatuan katolik, hendaklah jangan dituntut lebih dari ikrar iman katolik yang sederhana. Dan bila diantara mereka masih tetap dipertahankan imamat yang sah, para anggota klerus Gereja-Gereja Timur, yang bergabung dengan kesatuan katolik, mempunyai kewenangan menjalankan kuasa Tahbisannya, menurut norma-norma yang ditetapkan oleh Pimpinan yang berwenang[30]. 26. (“Communicatio in sacris”) Perayaan bersama Sakramen-Sakramen (“communicatio in sacris”), yang melanggar kesatuan Gereja, atau mencakup persetujuan formal terhadap kesesatan atau bahaya menyimpang dari iman, batu sandungan, atau indeferentisme, dilarang berdasarkan hukum ilahi[31]. Akan tetapi berkenaan dengan para anggota Gereja-Gereja Timur praktek pastoral menunjukkan, bahwa dapat dan harus dipertimbangkan pelbagai situasi masing-masing pribadi, yang tidak menimbulkan pelanggaran terhadap kesatuan Gereja atau bahaya-bahaya yang perlu dielakkan, melainkan mengisyaratkan mendesaknya kebutuhan akan keselamatan dan kesejahteraan rohani umat. Oleh karena itu Gereja katolik sesuai dengan situasi waktu, tempat serta pribadi-pribadi, seringkali telah dan masih tetap menempuh cara bertindak yang lebih lunak, dengan menyajikan kepada semua upaya-upaya keselamatan serta kesaksian cinta kasih antar umat kristen, melalui keikut-sertaan dalam perayaan Sakramen-Sakramen, partisipasi dalam perayaan-perayaan serta kegiatan-kegiatan lain. Memperhatikan itu semua, dan “untuk tidak menjadi halangan bagi mereka yang diselamatkan karena kerasnya penilaian”[32], pun juga untuk mempererat persatuan dengan Gereja-Gereja Timur yang tercerai dari kita, menetapkan cara bertindak berikut. 27. Berdasrkan prinsip-prinsip yang telah disebutkan, kepada para anggota Gereja-Gereja Timur, yang tanpa kesalahan apapun terpisah dari Gereja katolik, dapat diterimakan Sakramen Tobat, Ekaristi dan Pengurapan Orang Sakit, bila mereka sendiri memintanya dan berada dalam disposisi baik. Bahkan orang-orang katolik pun boleh meminta Sakramen-Sakramen itu kepada pelayan-pelayan yang tidak katolik, bila Gereja-Gereja mereka mempunyai Sakramen-Sakramen yang sah, setiap kali iti dibutuhkan, atau sungguh ada manfaat rohaninya, dan bila secara fisik atau moril tidak dapat ditemui seorang imam katolik[33]. 28. Begitu pula, berdasarkan prinsip-prinsip yang sama, serta dengan alasan yang wajar, umat katolik dan para anggota Gereja-gereja Timur yang terpisah diperbolehkan bersama-sama merayakan ibadat dan menggunakan hal-hal serta tempat-tempat kudus[34]. 29. (Bimbingan para Hirark setempat) Pelaksanaan peraturan yang diperlunak tentang perayaan bersama Sakramen-Sakramen dengan saudara-saudari Gereja-Gereja Timur yang terpisah itu dipercayakan kepada pengawasan dan bimbingan para Hiraki setempat, supaya mereka ” berdasarkan musyawarah antara mereka, dan bila perlu juga dengan menampung pendapat Hirark Gereja-Gereja yang terpisah ” dengan peraturan-peraturan serta norma-norma yang menunjang dan efektif, mengatur hubungan antar umat kristen.

PENUTUP

30. Konsili suci sangat bergembira atas kerja sama aktif yang berhasil antara Gereja-Gereja katolik Timur dan Barat, pun sekaligus menyatakan : bahwa semua peraturan hukum itu ditetapkan untuk situasi sekarang ini, sampai Gereja katolik dan Gereja-Gereja Timur yang terpisah menyatu dalam persekutuan sepenuhnya. Sementara itu seluruh umat kristen yang termasuk Gereja-Gereja Timur maupun barat diminta dengan sangat, supaya penuh semangat dan dengan tekun, bahkan setiap hari memanjatkan doa-doa kepada Allah, supaya berkat bantuan Santa Bunda Allah, mereka semua menjadi satu. Hendaklah mereka berdoa pula, supaya sekian banyak orang kristen dalam Gereja mana pun juga, yang dengan berani menyerukan nama Kristus dan karena itu menanggung penderitaan dan penindasan, dilimpahi peneguhan dan penghiburan sepenuhnya oleh Roh Kudus Sang Penghibur. Marilah kita semua saling mengasihi sebagai saudara, dan saling mendahului dalam memberi hormat (Rom 12:10). Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah. Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 21 bulan November tahun 1964. Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik (Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


[1] LEO XIII, Surat apostolik Orientalium dignitas, tgl. 30 November 1984: Acta Leonis XIII”, jilid XIV (1894) hlm. 201-202. [2] S. LEO IX, Surat In terra pax, tahun 1053 : “Ut enim”. ” INOSENSUS III, Konsili Lateran IV, Tahun 1215, bab IV : Licet Graecos; Surat Inter Quattuor, tagl 2 Agustus 1206 : Postulasi Postmodum. ” INOSENSUS IV, Surat Cum de cetero, tgl. 27 Agustus 1247; Surat Sub catholicae, tgl. 6 Maret 1254, pendahuluan . ” NIKOLAUS III, Instruksi Istut est memoriale, tgl. 9 Oktober 1278. ” LEO X, Surat apostolik Accepimus nuper, tgl. 18 Mei 1521. ” PAULUS III, Surat apostolik Dudum, tgl. 23 Desember 1534. ” PIUS IV, Konstitusi Romanus Pontifex, tgl. 16 Februari 1564, 5. ” KLEMENS VIII, Konstitusi Magnus Dominus, tgl. 23 Desember 1595, 10. ” PAULUS V, Konstitusi Solet circumspecta, tgl. 10 Dsember 1615, 3. ” BENEDICTUS XIV, Ensiklik Demandatam, tgl. 24 Desember 1743, 3; Ensiklik “Allatae sunt”, tgl. 26 Juni 1755, 3, 6-19, 32. ” PIUS VI, Ensiklik Catholicae communionis, tgl. 24 Mei 1787. ” PIUS IX, Surat In Suprema, tgl. 6 Januari 1848, 3; Surat apostolik Ecclesiam Christi, tgl. 26 November 1853; Konstitusi Romani Pontificis, tgl. 6 Januari 1862. ” LEO XIII, Surat apostolik Praeclara, tgl. 20 Juni 1894, no. 7; Surat apostolik Orientalium dignitas, tgl. 30 November 1894, pendahuluan; dan lain-lain. [3] PIUS XII, Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 4. [4] PIUS XII, Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 8: “Sine Licentia Sedis Apostolicae” (tanpa izin Takhta Apostolik), dengan menganut praksis abad-abad sebelumnya; begitu pula tentang mereka yang di Babtis di luar Gereja Katolik, dalam kanon 11 tercantum : “ritum quem maluerint amplecti possunt” (mereka boleh berpegang teguh pada Ritus, yang mereka pilih sendiri); dalam teks yang diajukan diambil keputusan positif tentang “tetap mempertahankan Ritusnya” bagi semua kaum beriman di seluruh dunia. [5] Lih. LEO XIII, Surat apostolik Orientalium dignitas, tgl. 30 November 1894; Surat apostolik praeclara gratulationis, tgl. 0 Juni 1894, dan dokumen-dokumen yang disebutkan pada catatan kaki 2. [6] Lih. BENEDIKTUS XV, Motu Proprio Orientis cattholici, tgl. 15 Oktober 1917. ” PIUS XI, Ensiklik Rerum orientalium, tgl. 8 September 1928, dan lain-lain. [7] Praktek Gereja katolik pada zaman Pius XI, Pius XII, dan Yohanes XXIII secara melimpah menunjukkan adanya gerakan itu. [8] Lih. KONSILI NIKAIA I, kanon 6. ” KONSILI KONSTANTINOPEL I, kanon 2 dan 3. ” KONSILI CHALKEDON, kanon 28; kanon 9. ” KONSILI KONSTANTINOPEL IV, kanon 17; kanon 21. ” KONSILI LATERAN IV, kanon 5; kanon 30. ” KONSILI FIRENZE, Dekrit untuk umat Yunani, dan lain-lain. [9] Lih. KONSILI NIKAIA, kanon 6. ” KONSILI KONSTANTINOPEL IV, kanon 17. ” PIUS XII, , Motu proprio Cleri sanctitati, kanon 216, 2, 1. [10] Dalam Konsili-Konsili Ekumenis: NIKAIA I, kanon 6. ” KONSTANTINOPEL I, kanon 21. ” LATERAN IV, kanon 5. ” FIRENZE, Dekrit untuk umat Yunani, tgl. 6 Juli 1439, 9. ” Lih. PIUS XII, , Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 219, dan lain-lain. [11] Lih. Catatan kakai 8. [12] Lih. KONSILI EFESUS, kanon 8. ” KLEMENS VII, Decet Romanum Pontificem, tgl. 23 Februari 1596. ” PIUS VII, Surat Apostolik In universalis Ecclesiae, tgl. 22 februari 1807. ” PIUS XII, , Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 324-339. KONSILI KARTAGO, tahun 419, kanon 17. [13] KONSILI KARTAGO, tahun 419, kanon 17 dan 57. ” KONSILI CHALKEDON, tahun 451, kanon 12. ” S. INOSENSIUS I, Surat Ad consulta vestra, tgl. 13 November 866: A quo autem. INOSENSIUS III, Surat Rex regum, tgl. 25 Februari 1204. ” LEO XII, Surat apostolik Petrus Apostolorum Princeps, tgl. 15 Agustus 1824. ” LEO XIII, Surat apostolik Christi Domini, tahun 1895. ” PIUS XII, , Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 159. [14] Lih. INOSENSIUS IV, Surat Sub catholicae, tgl. Maret 1254, 3, n.4. ” KONSILI LYON II, tahun 1274 (Ikrar iman Mikael Paleologos yang dipersembahkan kepada Gregorius X). ” EUGENIUS IV, dalam Konsili Firenze, Konstitusi Exsultate Deo, tgl. 22 November 1439, 11. ” KLEMENS VIII, Instruksi Sanctissimus, tgl. 31 Agustus 1595. ” BENEDIKTUS XIV, Konstitusi Etsi pastoralis, tgl. 26 Mei 1742, II, n.1, dan lain-lain. ” SINODE LAODIKAIA, tahun 347/381, kanon 48. ” SINODE SIS GEREJA ARMENIA, tahun 1342. ” SINODE LIBANON GEREJA MARONIT, tahun 1736, Bag. II, Bab III, n.2, dan Sinode-Sinode khusus lainnya. [15] Lih. KONGREGASI OFISI SUCI, Instruksi (kepada Uskup di Zips), tahun 1783. ” KONGEGRASI PENYIARAN IMAN (untuk umat Koptis), tgl. 15 Maret 1790, n.XIII; Dekrit tgl. 6 Oktober 1863, C, a; KONGREGASI UNTUK GEREJA-GEREJA TIMUR, tgl. 1 Mei 1948. ” KONGREGASI OFISI SUCI, Jawaban tgl. 22 April 1896 dengan surat tgl. 19 Mei 1896. [16] Kitab Hukum Kanonik, kanon 782, 4. ” KONGREGASI UNTUK GEREJA-GEREJA TIMUR, Dekrit “tentang pelayanan Sakramen Krisma juga kepada umat Gereja-Gereja Timur, oleh imam-imam Ritus Latin, yang mempunyai wewenang itu terhadap umat dari Ritusnya:, tgl. 1 Mei 1948. [17] Lih. SINODE LAODIKAIA, tahun 347/381, kanon 29. ” S. NIKEFOROS dari Konstantinopel, bab 14. ” SINODE GEREJA ARMENIA di DWIN, tahun 719, kanon 31. ” S. TEODOROS STUDITA, kotbah 21. ” S. NIKOLAUS I, Surat Ad consulta vestra, tgl. 13 November 866: In quorum Aposlotorum; Nos cupitis; quod interrogatis; Praterea consulitis; Si die Dominico; dan sinode-sinode khusus. [18] Itu sesuatu yang baru, sekurang-kurangnya dimana berlaku kewajiban untuk ikut merayakan Liturgi suci; tetapi itu cocok dengan “hari liturgi” menurut Gereja-Gereja Timur. [19] Lih. Canones Apostolorum, 8 dan 9. ” SINODE ANTIOKIA, tahun 341, kanon 2. ” TIMOTEOS dari Iskandaria, Interrogatio (pertanyaan) 3. ” INOSENSIUS III, Konstitusi Quia divinae, tgl. 4 Januari 1215; dan amat banyak Sinode khusus Gereja-Gereja Timur yang lebih resen. [20] Tanpa mengurangi sifat teritorial yurisdiksi, kanon itu demi kesejahteraan umat beriman bermaksud menanggapi situasi yang timbul dari kemajemukan yurisdiksi di satu tempat yang sama. [21] Lih. KONSILI NIKAIA I, kanon 18. ” SINODE NEOKAISAREA, tahun 314/325, kanon 12. ” SINODE SARDIKA, tahun 343, kanon 8. ” S. LEO AGUNG, Surat Omnium quidem, tgl 13 Januari 444. ” KONSILI CHALKEDON, kanon 6. ” KONSILI KONSTANTINOPEL IV, kanon 23, 26, dan lain-lain. [22] Di berbagai Gereja Timur subdiakonat dipandang sebagai Tahbisan tingkat rendah. Tetapi Motu Proprio PIUS XII Cleri sanctitati mengenakan padanya kewajiban-kewajiban yang berlaku bagi tingkat-tingkat Tahbisan yang lebih tinggi. Kanon menganjurkan, supaya diikuti lagi tata-laksana tata-laksana zaman dahulu, yang ada pada masing-masing Gereja, mengenai kewajiban-kewajiban para subdiakon, menyimpang dari hukum umum menurut Cleri sanctitati. [23] Lih. PIUS XII, Motu Proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 267 (kewenangan para Patriark untuk memberi penyembuhan pada akarnya). ” KONGREGASI OFISI SUCI dan KONGREGASI UNTUK GEREJA-GEREJA TIMUR pada tahun 1957 memberi kewenangan mendispensasikan dari bentuk kanonik dan menyembuhkan, bila perkawinan dilangsungkan tanpa bentuk kanonik (untuk lima tahun): “diluar patriarkat, kepada para Metropolit dan para Ordinaris wilayah lainnya … yang tidak mempunyai Atasan di bawah Takhta suci”. [24] Lih. S. LEO AGUNG, Surat Quod sapissime, tgl 15 April 454: Petitionem autem. ” S. NIKEFOROS dari Konstantinopel, bab 13. ” SINODE PATRIARK SERGIUS, tgl 18 September 1956, kanon 17. ” PIUS VI, Surat apostolik Assueto paterne, tgl. 8 April 1775, dan lain-lain. [25] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi [26] Lih. KLEMENS VIII, Instruksi Sanctissimus, tgl. 31 Agustus 1595, 6: Si ipsi graeci. ” KONGREGASI OFISI SUCI, tgl. 7 Juni 1673, ad 1 dan 3; tgl. 13 Maret 1916, art. 14.- KONGREGASI UNTUK PENYIARAN IMAN, Dekrit tgl. 18 Agustus 1913, art. 33; Dekrit tgl. 14 Agustus 1914, art. 27; Dekrit tgl. 27 Maret 1916, art. 14. ” KONGREGASI UNTUK GEREJA-GEREJA TIMUR, Dekrit tgl. 1 Maret 1929, art. 36; Dekrit tgl. 4 Mei 1930, art. 41. [27] Lih. SINODE LAODIKAIA, tahun 347/381, kanon 18. ” SINODE MARISSAC, GEREJA CHALDEA, tahun 410, kanon 15. ” SINODE NERSESHROMKLAY, GEREJA ARMENIA, tahun 1166. ” INOSESNSIUS IV, Surat Sub catholicae, tgl. 6 Maret 1254, 8. ” BENEDIKTUS XIV, Konstitusi Etsi pastoralis, tgl. 26 Mei 1742, 7, n.5; Instruksi Eo quamvis tempore, tgl. 4 Mei1745, 42 dan selanjutnya. ” Sinode-sinode khusus: Gereja Armenia (1911), Koptik (1898), Maronit (1736), Rumania (1872), Ruthenia (1891), Syria (1888). [28] Menurut tradisi Timur. [29] Menurut isi Piagam-Piagam persatuan masing-masing Gereja Timur katolik. [30] Kewajiban berdasarkan ketetapan Konsili, menyangkut para anggota Gereja-Gereja Timur yang terpisah, serta mengenai semua Tahbisan mana pun, atas ketetapan ilahi maupun gerejawi. [31] Ajaran itu berlaku juga di Gereja-Gereja yang terpisah. [32] S. BASILIUS AGUNG, “Surat kanonik kepada Amfilokios”: PG 32, 669 B. [33] Sebagai motivasi untuk sikap yang lebih lunak itu dikemukakan pokok-pokok berikut : 1 sahnya Sakramen-Sakramen; 2 tiada kesalahan, dan disposisi baik; 3 kebutuhan akan keselamatan kekal; 4 tidak adanya imam dari Gereja sendiri; 5 tidak adanya bahaya yang perlu dielakkan, pun tidak adanya persetujuan formal terhadap kesesatan. [34] Yang dimaksudkan ialah apa yang disebut communicatio extrasacramentalis in sacris (kegiatan suci bersama diluar perayaan Sakramen). Konsililah yang di sini memperlunak peraturan, dengan syarat, bahwa tetap diindahkan apa yang harus ditaati.

Sharing is caring!