DEKRIT TENTANG PEMBINAAN IMAM

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI

PENDAHULUAN

Konsili suci menyadari sepenuhnya, bahwa pembaharuan yang DIINGINKAN bagi SELURUH Gereja sebagian besar tergantung dari pelayanan para imam, yang dijiwai oleh Roh Kristus[1]. Maka Konsili secara resmi menyatakan, bahwa pembinaan imam memang penting sekali. Konsili menguraikan berbagai prinsip dasarnya, yang meneguhkan ketetapan-ketetapan yang telah diuji melalui praktek berabad-abad lamanya, dan mengintegrasikan ke dalam unsur-unsur baru, yang selaras dengan Konstitusi-Konstitusi maupun Dekrit-Dekrit Konsili ini serta dengan perubahan-perubahan zaman yang aktual. Demi kesatuan imamat katolik pembinaan imam itu sungguh perlu bagi semua imam dari kedua klerus dan dari semua ritus. Oleh karena itu peraturan-peraturan berikut, yang secara langsung menyangkut klerus diosesan, dengan mempertimbangkan perlunya penyesuain-penyesuaian, berlaku bagi semua golongan imam.

I. PENYUSUNAN METODE PEMBINAAN IMAM DI SETIAP NEGARA

1. Mengingat begitu bermacam-ragamnya bangsa maupun daerah, disini hanya dapat disusun ketetapan-ketetapan yang serba umum bagi semua. Maka disetiap negara dan untuk setiap ritus hendaknya disusun “Pedoman pembinaan Iman” yang khusus. Pedoman itu harus dikukuhkan oleh Konferensi-Konferensi Uskup[2], pada saat-saat tertentu ditinjau kembali, dan disetujui oleh Takhta suci. Hendaknya menurut pedoman itu ketetapan-ketetapan umum disesuaikan dengan situasi khas setempat dan semasa, supaya pembinaan imam selalu menanggapi kebutuhan-kebutuhan pastoral daerah-daerah yang dilayani.

II. PENGEMBANGAN PANGGILAN IMAM SECARA LEBIH INTENSIF

2. Pengembangan panggilan[3] termasuk kewajiban seluruh jemaat kristen, yang harus menumbuhkannya terutama dengan perihidup kristen yang sepenuhnya. Dalam hal itu sangat besarlah sumbangan keluarga-keluarga, yang dijiwai semangat iman dan cinta kasih serta ditandai sikap bakti, menjadi bagaikan seminari pertama; begitu pula paroki-paroki, yang memungkinkan kaum remaja ikut mengalami kehidupan jemaat yang subur. Para guru, dan semua saja yang dengan suatu cara lain ikut bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak dan kaum muda, terutama himpunan-himpunan katolik, hendaknya berusaha mendidik kaum remaja yang diserahkan kepada mereka sedemikian rupa, sehingga dapat menerima panggilan ilahi serta mengikutinya dengan sukarela. Hendaknya semua imam sedapat mungkin menunjukkan semangat kerasulan mereka dalam menumbuhkan panggilan. Hendaknya mereka menarik minat kaum remaja terhadap imamat, dengan cara hidup mereka yang memancarkan kerendahan hati, ketekunan bekerja, kegembiraan hati, dan sikap saling mengasihi serta kerja sama persaudaraan antara mereka sendiri.

Termasuk tugas para Uskup mendorong kawanan mereka untuk memajukan panggilan, dan mengusahakan perpaduan serta segala tenaga maupun daya-upaya. Hendaknya mereka, sebagai bapa sejati, tanpa menghemat pengorbanan, membantu para calon, yang menurut penilaian mereka dipanggil oleh Tuhan untuk ikut melaksanakan perutusan-Nya.

Kerja sama aktif segenap Umat Allah untuk mengembangkan panggilan itu menanggapi karya penyelenggaraan ilahi, yang kepada mereka yang oleh Allah dipilih untuk ikut mengemban imamat hirarkis Kristus, menganugerahkan bakat-bakat yang menunjang, serta dengan rahmat-Nya menolong mereka. Penyelenggaraan Allah itu jugalah, yang mempercayakan kepada para pelayan Gereja yang sah, supaya sesudah mengetahui kecakapan para calon, memanggil mereka yang sudah teruji, dan dengan maksud yang tulus serta kebebasan sepenuhnya memohon diperkenankan mengemban tugas seluhur itu, kemudian mentakdirkan mereka dengan meterai Roh Kudus bagi ibadat kepada Allah serta pengabdian kepada Gereja[4].

Konsili terutama menganjurkan upaya-upaya bantuan kerja sama umum yang tradisional, misalnya doa yang tekun, ulah pertobatan kristen, serta pembinaan umat beriman yang makin mendalam melalui pewartaan dan katekese, pun dengan memanfaatkan pelbagai upaya komunikasi sosial, semuanya untuk menjelaskan betapa perlu panggilan imam itu, dan hakekat maupun keluhurannya. Selain itu Konsili memerintahkan, supaya karya-karya untuk panggilan, yang menurut dokumen-dokumen kepausan yang bersangkutan telah atau masih harus didirikan disetiap keuskupan, daerah atau negara, mengatur secara metodis dan serasi seluruh kegiatan pastoral untuk menumbuhkan panggilan, dan selanjutnya dengan bijaksana dan penuh semangat memajukan kegiatan itu[5]. Sementara itu hendaklah jangan diabaikan upaya-upaya pendukung, yang penuh manfaat disediakan oleh ilmu-ilmu psikologi dan sosiologi zaman sekarang.

Begitu pula karya untuk mengembangkan panggilan, dijiwai hati yang lapang terbuka, harus melampaui batas-batas masing-masing keuskupan, negara, tarekat religius dan ritus, serta – sementara memperhatikan kebutuhan-kebutuhan Gereja semesta – pertama-tama membantu daerah-daerah, yang secara lebih mendesak membutuhkan pekerja-pekerja bagi kebun anggur Tuhan.

3. Di Seminari-seminari Menengah, yang didirikan untuk memupuk tunas-tunas panggilan, para seminaris hendaknya melalui pembinaan hidup rohani yang khas, terutama dengan bimbingan rohani yang cocok, disiapkan untuk mengikuti Kristus Penebus dengan semangat rela berkorban dan hati yang jernih. Hendaknya mereka, dibawah bimbingan para pemimpin yang penuh kebapaan, dengan kerja sama para orang tua yang sangat membantu, menjalani hidup yang cocok dengan usia, mentalitas dan perkembangan kaum muda, serta sesuai sepenuhnya dengan prinsip-prinsip psikologi yang sehat. Sementara itu hendaklah diperhatikan juga perlunya pengalaman-pengalaman manusiawi secukupnya serta hubungan biasa dengan keluarga mereka sendiri[6]. Kecuali itu semuanya, yang selanjutnya dalam dekrit ini ditetapkan tentang Seminari Tinggi, hendaknya, – sejauh cocok untuk tujuan maupun metode pendidikan di Seminari Menengah – disesuaikan dengannya pula. Studi yang harus ditempuh oleh para seminaris harus diatur sedemikian rupa, sehingga mereka tanpa dirugikan dapat melanjutkannya dilain tempat, sekiranya kemudian memilih status hidup yang lain.

Dengan tekun pula hendaknya dikembangkan tunas-tunas panggilan diantara para remaja dan kaum muda di lembaga-lembaga khusus, yang menanggapi situasi setempat melayani tujuan Seminari-seminari Menengah, begitu pula dikalangan mereka, yang menempuh studi di sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Selain itu hendaknya dikembangkan lembaga-lembaga maupun usaha-usaha lainnya bagi mereka, yang pada usia lebih lanjut mengikuti panggilan ilahi.

III. TATA-LAKSANA SEMINARI-SEMINARI TINGGI

4. (Seluruh pembinaan harus berhubungan erat dengan tujuan pastoral)

Seminari Tinggi sungguh perlu bagi pembinaan imam. Seluruh pendidikan seminaris disitu harus bertujuan: supaya seturut teladan Tuhan kita Yesus Kristus, Guru, Imam dan Gembala, mereka dibina untuk menjadi gembala jiwa-jiwa yang sejati[7]. Maka hendaknya mereka disiapkan untuk pelayanan sabda: supaya mereka makin menyelami makna sabda Allah yang telah diwahyukan, dengan merenungkannya kian diresapi olehnya, serta mengungkapkannya dengan kata-kata maupun perilaku mereka. Hendaknya mereka disiapkan bagi pelayanan ibadat dan pengudusan: supaya seraya berdoa dan melalui perayaan Liturgi suci mereka melaksanakan karya keselamatan melalui korban Ekaristi dan Sakramen-sakramen. Hendaknya mereka disiapkan pula untuk pelayanan kegembalaan: supaya mereka tahu menghadirkan Kristus bagi sesama, Dia yang tidak “datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45; bdk. Yoh 13:12-17), dan dengan mengabdikan diri kepada siapa saja, memperoleh banyak orang (bdk. 1Kor 9:19).

Oleh karena itu semua aspek pembinaan, rohani, intelektual dan disipliner, hendaknya secara terpadu diarahkan kepada tujuan pastoral itu. Untuk mencapai tujuan itu hendaklah semua pembimbing dan dosen bekerja sama dengan tekun, sambil dengan setia mematuhi kewibawaan Uskup.

5. (Para pembimbing Seminari hendaknya dipilih dengan seksama dan dibina secara efektif)

Pendidikan para seminaris tergantung dari peraturan-peraturan yang bijaksana, dan terutama dari para pembina yang cakap. Maka dari itu hendaknya para pembimbing dan dosen Seminari dipilih dari antara pribadi-pribadi yang sungguh baik[8]. Hendaklah mereka sungguh disiapkan melalui studi yang terjamin mutunya, pengalaman pastoral yang secukupnya, dan pembinaan yang khas dibidang rohani serta pendidikan. Maka perlulah dikembangkan lembaga-lembaga untuk mencapai tujuan itu, atau sekurang-kurangnya kursus-kursus yang diprogramkan dengan cermat, begitu pula pertemuan-pertemuan para pembina Seminari, yang diselenggarakan secara berkala.

Hendaknya para pembimbing dan dosen sungguh menyadari, betapa hasil pembinaan para seminaris tergantung dari cara mereka berpikir dan bertindak. Di bawah pimpinan Rektor hendaknya mereka memelihara persatuan semangat maupun perpaduan kegiatan yang erat sekali, begitu pula antara mereka sendiri dan para seminaris mewujudkan rukun kekeluargaan sesuai dengan doa Tuhan: “Hendaklah mereka bersatu” (bdk. Yoh 17:11). Hendaknya dalam hati para seminaris mereka makin menemukan kegembiraan panggilan mereka sendiri. Hendaknya Uskup tiada hentinya, dengan kasih yang istimewa, menyemangati mereka yang berkarya di Seminari, dan bagi para seminaris membawakan diri sebagai bapa yang sejati dalam kristus. Akhirnya hendaknya semua imam memandang Seminari sebagai jantung keuskupan, dan dengan sukarela menyumbangkan bantuan mereka[9].

6. (Penyaringan dan pengujian para seminaris)

Hendaknya – dengan mempertimbangkan umur maupun kemajuan masing-masing – diadakan penyelidikan yang cermat sekali tentang ketulusan maksud serta kehendak bebas para calon, tentang kesesuaian mereka untuk imamat dibidang rohani, moral dan intelektual, tentang cukupnya kesehatan badan maupun jiwa, sementara mempertimbangkan juga disposisi-disposisi yang barangkali mereka warisi dari keluarga. Begitu pula hendaknya dinilai dengan saksama kecakapan para calon untuk menaggung beban hidup sebagai imam serta menunaikan tugas-tugas pastoral[10].

Dalam seluruh penyaringan dan pengujian para seminaris hendaknya selalu dipertahankan ketegasan sikap, juga kendati adanya keluh-kesah tentang kekurangan imam[11]. Sebab Allah tidak akan membiarkan Gereja-Nya tanpa pelayan-pelayan, bila mereka yang memang pantas diangkat, sedangkan mereka yang tidak cocok sebelum terlambat mendapat pengarahan penuh kebapaan untuk berganti haluan, serta dibantu, untuk menyadari panggilan kristen mereka, dan dengan gembira mulai menjalankan kerasulan awam.

7. (Seminari hendaknya diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan para seminaris)

Bila berbagai keuskupan tidak mampu mengelola dengan baik sebuah Seminari untuk dirinya masing-masing, hendaknya didirikan dan dikembangkan Seminari bersama untuk pelbagai keuskupan atau untuk seluruh kawasan atau negeri, supaya secara lebih efektif diselenggarakan pembinaan para seminaris yang terjamin mutunya, dan yang dalam situasi itu pun harus dipandang sebagai norma yang tertinggi. Bila seminari itu bersifat bersifat regional atau nasional, hendaknya dikelola menurut peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh para Uskup yang berkepentingan[12] dan disetujui oleh Takhta Apostolik.

Diseminari yang jumlah seminarisnya cukup besar, hendaknya sambil tetap mempertahankan kesatuan kepemimpinan serta pengajaran mereka itu secara tepat dibagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil, supaya pembinaan pribadi masing-masing lebih terjamin.

IV. PEMBINAAN ROHANI YANG LEBIH INTENSIF

8. (Belajar hidup dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal)

Pembinaan rohani erat berhubungan dengan pendidikan intelektual dan pastoral. Terutama dengan bantuan pembimbing rohani[13] hendaknya pembinaan rohani diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga para seminaris belajar hidup dalam persekutan mesra dan terus menerus dengan Bapa, melalui Putera-Nya Yesus Kristus, dalam Roh Kudus. Karena dengan ditahbiskan mereka harus menjadi secitra dengan Kristus Sang Imam, maka hendaknya juga dengan hidup dalam persekutuan akrab yang meliputi seluruh hidup mereka membiasakan diri untuk sebagai sahabat berpaut pada-Nya[14]. Hendaklah mereka menghayati misteri Paska-Nya sedemikian rupa, sehingga tahu juga mengantar umat yang akan mereka bimbing memasuki misteri itu. Hendaknya mereka diajak mencari kristus dengan setia merenungkan sabda Allah, dalam keakraban yang aktif dengan Misteri-misteri suci Gereja, terutama dalam Ekaristi dan ibadat harian[15]. Hendaknya Kristus itu mereka cari dalam diri Uskup yang mengutus mereka, pun juga pada sesama yang mereka hadapi, terutama kaum miskin, anak-anak, mereka yang sakit, para pendosa dan mereka yang belum beriman. Hendaknya mereka penuh kasih mesra dan kepercayaan berbakti kepada Santa Perawan Maria, yang oleh Kristus Yesus menjelang Wafat-Nya di salib diserahkan kepada murid-Nya sebagai ibu.

Hendaknya latihan-latihan rohani, yang dianjurkan berdasarkan kebiasaan Gereja yang terhormat, dihayati dengan sungguh-sungguh. Tetapi hendaklah diusahakan juga, supaya pembinaan rohani jangan hanya ditaruh pada latihan-latihan itu atau melulu mengembangkan perasaan-perasaan religius. Lebih pentinglah, makin bertambah teguh dalam iman, harapan dan cinta kasih, supaya dalam mengamalkannya mereka memperoleh semangat doa[16], peneguhan serta perlindungan bagi panggilan mereka, kekuatan bagi keutamaan-keutamaan lain, dan supaya makin bertumbuhlah semangat mereka untuk memperoleh semua orang bagi Kristus.

9. (Belajar membaktikan diri dalam Gereja)

Hendaknya para seminaris diresapi oleh misteri Gereja seperti diuraikan terutama oleh Konsili suci ini sedemikian rupa, sehingga mereka merasa terikat oleh cinta kasih penuh kerendahan hati terhadap Wakil Kristus yang mereka anggap bapa, sekali ditahbiskan imam berpaut kepada Uskup mereka sebagai rekan-rekan kerja yang setia, bekerja sama dengan teman-teman seimamat, dan dengan demikian memberi kesaksian akan kesatuan, yang menarik semua orang kepada Kristus[17]. Hendaknya mereka dengan hati yang lapang belajar berperanserta dalam kehidupan Gereja semesta, menurut pesan S. Agustinus: “sejauh orang mencintai Gereja Kristus, sejauh itu pulalah roh Kudus diam dihatinya”[18]. Hendaklah para seminaris jelas-jelas menyadari bahwa mereka tidak dimaksudkan untuk dikemudian hari berkuasa dan dihormati, melainkan untuk membaktikan diri sepenuhnya dalam pengabdian kepada Allah dan dalam pelayanan pastoral. Secara istimewa hendaknya mereka dibina dalam ketaatan sebagai imam, dalam semangat hidup miskin, dan dalam semangat ingkar diri sedemikian rupa[19], sehingga mereka langsung bersedia melepaskan apa saja yang sebenarnya dibolehkan, tetapi tidak ada faedahnya, dan membiasakan diri menyerupai kristus yang disalibkan.

Hendaknya para seminaris diberitahu tentang beban tugas-tugas yang akan mereka terima, tanpa ada kesulitan hidup imamat yang didiamkan saja. Tetapi hendaklah mereka jangan mengkhawatirkan adanya bahaya melulu dalam jerih payah mereka dikemudian hari, melainkan lebih baik mereka dibina untuk sedapat mungkin meneguhkan hidup rohani mereka justru melalui kegiatan pastoral mereka.

10. (Belajar menghayati selibat imam)

para seminaris, yang menurut ketetapan-ketetapan ritus mereka yang suci dan sudah membaku menganut tradisi terhormat selibat imam, hendaknya dengan tekun dibimbing untuk menghayati status itu. Disitulah mereka merelakan persekutuan suami-isteri demi Kerajaan sorga (bdk. Mat 19:12), menyerahkan diri kepada Tuhan dengan kasih tak terbagi[20] yang sangat sesuai dengan Perjanjian Baru, memberi kesaksian akan kebangkitan di masa mendatang (bdk. Luk 20:36)[21], dan menerima bantuan yang sungguh mencukupi untuk terus menerus mengamalkan cinta kasih sempurna, yang memungkinkan mereka menjadi segalanya bagi semua orang dalam pelayanan imam[22]. Hendaknya para seminaris menyadari secara mendalam, betapa penuh syukur status itu harus diterima, bukan melulu karena diwajibkan oleh Hukum Gereja, melainkan sebagai Kurnia Allah yang amat berharga, yang perlu dimohon dengan rendah hati, dan berkat rahmat Roh Kudus yang membangkitkan serta menyertainya mereka tanggapi segera, dengan kerelaan dan kebesaran hati..

Hendaknya para seminaris memahami semestinya tugas-kewajiban serta martabat perkawinan kristen, yang menghadirkan cinta kasih antara Kristus dan Gereja (lih. Ef 5:32 dsl.). Hendaklah mereka menyadari keluhuran keperawanan yang dikuduskan kepada Kristus[23], sehingga atas pilihan sendiri yang dipertimbangkan masak-masak dan dengan hati yang penuh-penuh bersedia, mereka membaktikan diri kepada Tuhan dengan penyerahan jiwa-raga seutuhnya.

Hendaknya mereka diperingatkan terhadap bahaya-bahaya, yang terutama dimasyarakat zaman sekarang mengancam kemurnian mereka[24]. Dibantu oleh upaya-upaya pelindung yang cocok, baik ilahi maupun manusiawi, hendaknya mereka belajar mengintegrasikan pengorbanan hidup perkawinan sedemikian rupa, sehingga hidup maupun kegiatan mereka bukan saja tidak dirugikan oleh selibat, melainkan mereka justru mencapai pengendalian jiwa raga yang lebih mendalam serta kemajuan kedewasaan yang semakin penuh, dan lebih sempurna menikmati kebahagiaan Injil.

11. (Menuju kedewasaan pribadi)

Hendaknya asas-asas pendidikan kristen dipatuhi dengan saksama, serta dengan cermat dilengkapi dengan penemuan-penemuan mutakhir psikologi dan pedagogi yang sehat. Melalui sistem pendidikan yang disusun dengan bijaksana dalam diri para seminaris perlu ditumbuhkan juga kedewasaan kepribadian yang semestinya, yang terutama ternyata dalam sifat kejiwaan yang stabil, dalam kemampuan mengambil keputusan yang dipertimbangkan, dan dalam cara menilai peristiwa-peristiwa serta orang-orang dengan saksama. Hendaklah para seminaris membiasakan diri untuk mengatur sifat perangai mereka. Hendaknya mereka dibina untuk mencapai keteguhan jiwa, dan pada umumnya belajar menghargai keutamaan-keutamaan, yang dijunjung tinggi oleh orang-orang, serta menimbulkan penghargaan terhadap pelayan Kristus[25], misalnya: kejujuran, usaha tiada hentinya demi keadilan, kesetiaan terhadap janji-janji, sopan-santun dalam perilaku, kesederhanaan dalam berbicara yang disertai cinta kasih.

Tata-tertib kehidupan di Seminari hendaklah dipandang bukan hanya sebagai pelindung yang tangguh bagi hidup bersama dan cinta kasih, melainkan sebagai bagian yang perlu dalam seluruh pendidikan untuk mencapai penguasaan diri, mendukung pendewasaan pribadi yang mantap, dan membentuk disposisi-disposisi jiwa lainnya, yang sangat membantu keserasian dan kesuburan kegiatan Gereja. Tata-tertib itu hendaknya dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga terbentuklah disposisi batin para seminaris untuk menerima kewibawaan para pemimpin berdasarkan keyakinan pribadi atau suara hati (lih. Rom 13:5) serta alasan-alasan adikodrati. Peraturan-peraturan tata-tertib hendaknya diterapkan sesuai dengan umur para seminaris, sehingga mereka sendiri, membiasakan diri untuk menggunakan kebebasan dengan bijaksana, bertindak secara sukarela dan penuh semangat[26], pun juga bekerja sama dengan rekan-rekan sepanggilan dan kaum awam.

Seluruh corak hidup di Seminari, yang diliputi semangat kesalehan dan keheningan serta ditandai rasa terdorong untuk saling membantu, hendaklah diatur sedemikian rupa, sehingga sudah merupakan suatu permulaan kehidupan iman dikemudian hari.

12. (Waktu untuk pembinaan rohani yang lebih intensif; masa pembinaan pastoral)

Supaya dasar pembinaan rohani makin bertambah mantap, dan para seminaris menekuni panggilan mereka berdasarkan pilihan yang dipertimbangkan masak-masak, termasuk kewenangan para Uskuplah menetapkan waktu tertentu bagi pembinaan rohani yang lebih intensif. Termasuk wewenang mereka pula mempertimbangkan kegunaan waktu terluang dalam proses studi, atau masa pembinaan pastoral yang memadai, supaya para calon imam dapat diuji secara lebih saksama. Begitu pula, sesuai dengan situasi masing-masing daerah, termasuk wewenang para Uskup mengambil keputusan tentang pengunduran saat yang sekarang ini ditetapkan oleh Hukum Kanonik umum untuk pentahbisan; begitu pula mempertimbangkan adanya kesempatan, supaya para seminaris, seusai studi teologi, melaksanakan diakonat mereka untuk jangka waktu yang mencukupi, sebelum menerima Tahbisan imam.

V. PENINJAUAN KEMBALI STUDI GEREJAWI

13. (Studi persiapan untuk studi gerejawi)

Sebelum memulai studi gerejawi yang sesungguhnya, hendaknya para seminaris dibekali dengan pendidikan humaniora dan ilmiah, yang memungkinkan kaum muda menempuh studi tingkat tinggi dalam negeri. Selain itu hendaknya mereka mengetahui pengetahuan bahasa latin, yang memungkinkan mereka memahami dan memanfaatkan sekian banyak sumber ilmu dan dokumen-dokumen Gereja[27]. Hendaklah dipandang perlu studi bahasa liturgi yang khas bagi masing-masing ritus, pun hendaknya sangat dianjurkan pengetahuan bahasa-bahasa Kitab suci dan tradisi.

14. (Studi gerejawi hendaknya lebih diserasikan)

Dalam meninjau kembali studi gerejawi hendaknya yang terutama mau dicapai ialah: supaya vak-vak filsafat dan teologi disusun secara lebih serasi, dan semuanya berpadu secara laras untuk makin menyingkapkan kepada para seminaris Misteri Kristus. Misteri itu menyangkut seluruh sejarah umat manusia, tiada hentinya meresapi Gereja, dan terutama berkarya melalui pelayanan imam[28].

Supaya pandangan itu sejak awal pembinaan tersalurkan kepada para seminaris, hendaknya studi gerejawi dimulai dengan kursus pengantar dalam jangka waktu secukupnya. Pada awal studi itu Misteri Keselamatan hendaknya diuraikan sedemikian rupa, sehingga para seminaris memahami makna, tata-susunan maupun tujuan pastoral studi gerejawi, pun sekaligus dibantu untuk mendasari dan merasuki seluruh hidup mereka dengan iman, serta diteguhkan dalam menghayati panggilan mereka dengan penyerahan diri dan hati gembira.

15. (Peninjauan kembali studi filsafat)

Vak-vak filsafat hendaknya diajarkan sedemikian rupa, sehingga para seminaris pertama-tama diantar untuk mendapat pengertian yang mantap dan koheren tentang manusia, dunia dan Allah, bertumpu pada pusaka filsafat yang tetap berlaku[29]. Sementara itu perlu diindahkan pula penyelidikan-penyelidikan filsafat yang aktual, terutama yang berpengaruh cukup besar dikalangan bangsa mereka sendiri begitu juga kemajuan mutakhir ilmu-pengetahuan. Demikianlah para seminaris akan menangkap dengan cermat mentalitas zaman sekarang, dan menjalani persiapan yang bermanfaat untuk menjalin dialog dengan orang-orang semasa[30].

Sejarah filsafat hendaknya diajarkan sedemikian rupa, sehingga para seminaris menyelami asas-asas terdalam pelbagai sistem, mempertahankan apa yang disitu terbukti benar, mampu menyingkapkan akar-akar anggapan-anggapan yang sesat serta menyanggahnya.

Cara mengajar sendiri hendaklah membangkitkan pada diri murid cinta akan kebenaran, yang harus dicari, dikaji dan dibuktikan melulu menurut kenyataan, sementara batas-batas pengetahuan manusiawi diakui dengan jujur. Hendaknya diperhatikan dengan saksama kaitan yang erat antara filsafat dan masalah-masalah kehidupan yang nyata, begitu pula soal-soal yang sedang mengasyikkan pemikiran para seminaris. Mereka sendiri pun hendaknya ditolong untuk memahami hubungan-hubungan antara penalaran-penalaran filsafat dan misteri-misteri keselamatan, yang dalam teologi ditelaah dalam terang iman yang lebih luhur.

16. (peningkatan studi teologi)

Hendaknya vak-vak teologi diajarkan dalam cahaya iman, di bawah bimbingan Magisterium Gereja[31] sedemikian rupa, sehingga para seminaris dengan saksama menimba ajaran katolik dari perwahyuan ilahi, menyelaminya secara mendalam, menjadikannya bahan renungan untuk meningkatkan hidup mereka[32], serta mampu mewartakan, menguraikan dan mempertahankannya dalam pelayanan dikemudian hari sebagai imam.

Hendaklah para seminaris diajak dengan sungguh tekun mempelajari Kitab suci, yang bagaikan harus menjiwai seluruh teolog[33]. Sesudah mendapat pengantar secukupnya, hendaknya mereka dengan cermat diperkenalkan dengan metode menafsirkan Kitab suci. Hendaklah mereka mendalami tema-tema perwahyuan ilahi yang paling mendasar, dan dalam membaca serta merenungkan Kitab suci setiap hari mengalami, betapa hidup rohani mereka didorong dan diperkaya[34].

Hendaknya teologi dogmatik diuraikan secara terencana, dimulai dengan penyajian tema-tema kitabiah. Hendaklah dipaparkan kepada para seminaris apa saja yang disumbangkan oleh para Bapa Gereja Timur maupun Barat, untuk dengan setia menyalurkan dan mengulas kebenaran-kebenaran Wahyu secara rinci; begitu pula sejarah dogma selanjutnya, seraya diperhatikan hubungannya dengan sejarah umum Gereja[35]. Kemudian, untuk seutuhnya mungkin membahas misteri-misteri keselamatan, hendaklah para seminaris belajar menyelaminya secara makin mendalam melalui refleksi teologis berpaduan S. Tomas, serta memahami antar hubungannya[36]. Hendaknya mereka diajar menyadari, bahwa misteri-misteri itu senantiasa hadir dan berkarya dalam upacara-upacara Liturgi[37] dan dalam seluruh hidup Gereja. Begitu pula hendaklah mereka belajar memecahkan soal-soal manusiawi dalam terang Wahyu, menerapkan kebenaran-kebenarannya yang kekal pada situasi manusiawi yang silih-berganti, dan mewartakannya kepada sesama semasa dengan cara yang sesuai[38].

Demikian pula hendaklah vak-vak teologi lainnya diperbaharui melalui kontak yang lebih hidup dengan Misteri Kristus dan sejarah keselamatan. Secara khas hendaklah diusahakan penyempurnaan teologi moral. Hendaknya itu diuraikan secara ilmiah, lebih mengacu kepada ajaran Kitab suci, sehingga sungguh menjelaskan keluhuran panggilan umat beriman dalam Kristus serta kewajiban mereka untuk demi kehidupan dunia menghasilkan buah dalam cinta kasih. Begitu pula dalam penjelasan tentang Hukum Kanonik dan penyampaian sejarah gereja hendaknya diperhatikan hubungan dengan Misteri gereja, menurut Konstitusi dogmatis tentang Gereja, yang telah dimaklumkan oleh Konsili ini. Liturgi suci harus dipandang sebagai sumber utama yang sungguh perlu bagi semangat kristen yang sejati, dan diajarkan seturut maksud Konstitusi tentang Liturgi, artikel 15 dan 16[39].

Sementara dipertimbangkan situasi perlbagai daerah yang serba aneka, hendaknya para seminaris diajak makin mengenal Gereja-Gereja dan Jemaat-jemaat gerejawi yang terpisah dari Takhta Apostolik di Roma, supaya mereka mampu menyumbangkan jasa mereka demi semakin tercapainya pemulihan kesatuan antara semua orang kristen menurut ketetapan-ketetapan Konsili ini[40].

Begitu pula hendaknya para seminaris diajak makin memahami agama-agama lain, yang cukup tersebar dimasing-masing daerah, supaya mereka lebih mengenali kebaikan serta kebenaran, yang berkat penyelenggaraan Allah terdapat pada agama-agama itu, belajar menyanggah kesesatan-kesesatan, dan dapat menyalurkan kepenuhan cahaya kebenaran kepada mereka yang belum menikmatinya.

17. (Metode pendidikan yang cocok dalam pelbagai vak)

Pendidikan intelektual janganlah melulu bertujuan menyampaikan pengetahuan-pengetahuan saja, melainkan hendaknya diarahkan kepada pembinaan pada seminaris yang sejati dan mendalam. Oleh karena itu hendaknya metode-metode pendidikan ditinjau kembali, baik mengenai kuliah-kuliah, wawancara dan latihan-latihan, maupun mengenai cara menggairahkan studi para seminaris, baik pribadi maupun dalam kelompok-kelompok kecil. Hendaknya sungguh-sungguh diusahakan kesatuan dan mutu seluruh pendidikan, dengan menghindari jumlah terlampau besar vak-vak maupun kuliah-kuliah, dan mengesampingkan masalah-masalah, yang praktis tidak relevan lagi, atau yang termasuk studi akademis lebih tinggi.

18. (Studi khusus bagi mereka yang berbakat tinggi)

Termasuk tugas para Uskup mengusahakan, supaya orang-orang muda, yang menilik sifat-perangai, keutamaan serta tingkat kecerdasan mereka memang cocok, diutus ke lembaga-lembaga, fakultas-fakultas atau universitas-universitas, agar diberbagai bidang teologi dan dalam ilmu pengetahuan lainnya yang dipandang sungguh berguna, disiapkan imam-imam yang dengan menempuh pendidikan ilmiah yang lebih mendalam mampu memenuhi pelbagai kebutuhan kerasulan. Tetapi hendaklah pembinaan rohani dan pastoral mereka, terutama sebelum tahbisan imam, jangan diabaikan.

IV. PEMBINAAN PASTORAL

19. (pembinaan dalam pelbagai bentuk reksa pastoral)

Keprihatinan pastoral mendalam, yang harus merasuki seluruh pendidikan para seminaris[41], meminta juga supaya mereka dibina dengan tekun dalam segala sesuatu, yang secara khs menyangkut pelayanan imam, terutama katekese dan pewartaan, ibadat Liturgi dan pelayanan Sakramen-Sakramen, karya cinta kasih, tugas menghadapi mereka yang sesat dan tidak percaya, dan tugas-tugas pastoral lainnya. Hendaknya mereka dididik dengan saksama untuk memberi bimbingan rohani, supaya mereka mampu membina semua putera-puteri Gereja terutama untuk penuh kesadaran menghayati hidup kristen berjiwakan kerasulan, dan untuk menunaikan kewajiban-kewajiban status hidup mereka. Hendaknya para seminaris belajar dengan perhatian sebesar itu juga membantu para religius pria maupun wanita, supaya mereka tetap hidup dalam rahmat panggilan mereka, dan berkembang menurut spiritualitas pelbagai Tarekat mereka[42].

Pada umumnya hendaknya dalam diri seminaris dikembangkan kecakapan-kecakapan yang diperlukan untuk berdialog dengan sesama, misalnya: kemampuan untuk mendengarkan orang lain, dan untuk dalam semangat cinta kasih membuka hati bagi bermacam-macam segi kebutuhan manusia[43].

20. (Pembinaan untuk mengembangkan kerasulan)

Hendaknya para seminaris juga diajar memanfaatkan sumbangan yang dapat diberikan oleh ilmu-ilmu pedagogi, psikologi dan sosiologi[44], menganut metode-metode yang tepat dan norma-norma Pimpinan Gereja. Begitu pula hendaklah mereka disiapkan dengan cermat untuk membangkitkan dan menggairahkan kerasulan awam[45], begitu pula untuk mengembangkan aneka bentuk kerasulan yang lebih efektif. Hendaknya mereka diresapi semangat katolik yang sejati, sehingga mereka membiasakan diri untuk melampaui batas-batas keuskupan, bangsa maupun ritus, dan membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan seluruh Gereja, dengan hati yang siap-sedia untuk dimana-mana mewartakan Injil[46].

21. (Melatih diri melalui praktek pastoral)

Memang perlulah para seminaris tidak hanya secara teoritis mempelajari cara merasul, melainkan melatihnya juga secara praktis, dan mampu bertindak atas tanggung jawab sendiri serta bekerja sama. Oleh karena itu sejak mereka menempuh studi, juga pada waktu liburan, hendaknya mereka diajak menjalani praktek pastoral melalui latihan-latihan yang tepat guna. Latihan-latihan itu harus dijalankan dengan mengindahkan umur para seminaris dan situasi setempat, menurut kebijakan para Uskup, secara metodis, dan dibawah bimbingan mereka yang mahir dibidang pastoral. Sementara itu hendaknya tetap disadari, bahwa upaya-upaya adikodrati masih lebih diperlukan lagi[47].

VII. PEMBINAAN SEUSAI MASA STUDI

22. Terutama mengingat situasi masyarakat akhir-akhir ini, pembinaan imam juga seusai kurikulum studi di Seminari masih perlu dilanjutkan dan disempurnakan[48]. Maka termasuk wewenang Konferensi uskup, untuk disetiap negara mengerahkan upaya-upaya yang cukup berfaedah, misalnya lembaga-lembaga pastoral yang bekerja sama dengan paroki-paroki tertentu yang dipilih dengan saksama, pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan secara berkala, dan latihan-latihan yang sesuai. Hendaknya dengan upaya-upaya itu klerus angkatan muda lambat-laun diajak menghayati imamat serta kegiatan merasul dalam dimensinya rohani, intelektul serta pastoral, dan dengan demikian makin mampu membaharui dan mengembangkannya.

PENUTUP

Untuk meneruskan karya yang telah dimulai oleh Konsili Trento, para Bapa Konsili ini, – sambil penuh kepercayaan menyerahkan kepada para pembina dan para dosen di Seminari-seminari tugas untuk mendidik para calon imam Kristus dalam semangat pembaharuan yang didukung oleh Konsili ini, – dengan sangat mendorong mereka, yang menyiapkan diri untuk pelayanan imam, supaya mereka sungguh menyadari, bahwa merekalah yang menjadi tumpuan harapan gereja serta keselamatan sesama. Semoga mereka dengan rela hati menyambut pedoman-pedoman yang tercantum dalam Dekrit ini, dan memperbuahkan hasil yang lestari dan berlimpah-limpah.

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada Kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 28 bulan Oktober tahun 1965.

Saya PAULUS
Uskup Gereja katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


[1] Atas kehendak Kristus sendiri perkembangan segenap Umat Allah banyak sekali tergantung dari pelayanan para imam. Itu jelas dari sabda Tuhan, yang menjadikan Rasul-rasul serta para pengganti mereka beserta rekan-rekan kerja pewarta Injil, pemimpin umat baru yang terpilih, dan pelayan misteri-misteri Allah. Kenyataan itu masih dikukuhkan juga oleh ungkapan-ungkapan para Bapa Gereja dan para Kudus, begitu pula dari pelbagai ajaran para paus. Lih terutama : S. PIUS X, hlm. 236-264. – PIUS XI, Ensiklik Ad catholici Sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28(1936) terutama hlm. 37-52. – PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 657-702. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii Nostri primordia, tgl. 1 Agustus 1959: AAS 51 (1959) hlm. 545-579. – PAULUS VI, Surat apostolik, Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963) hlm. 979-995.

[2] Seluruh pembinaan imam, yakni tata-laksana Seminari, pembinaan rohani, peraturan studi, hidup bersama para seminaris dan tata-tertib, latihan-latihan pastoral, harus disesuaikan dengan pelbagai situasi setempat. Penyesuaian itu mengenai asas-asasnya yang utama harus dijalankan menurut norma-norma umum, bagi klerus diosesan oleh Konferensi-Konferensi Uskup, dan dengan cara yang serupa bagi para imam religius oleh para Pemimpin yang berwenang. Lih. Ketetapan-ketetapan umum yang dilampirkan pada Konstitusi apostolik Sedes Sapientae, art. 19.

[3] Diantara kesukaran-kesukaran pokok yang menimpa Gereja zaman sekarang, hampir di mana-mana yang paling penting ialah sedikitnya panggilan imam. – Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: “… jumlah imam baik di daerah-daerah katolik, maupun di daerah-daerah misi, kebanyakan tidak mencukupi untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan yang bertubi-tubi”: AAS 42 (1950) hlm. 682. – YOHANES XXIII: “Masalah panggilan gerejawi dan religius merupakan keprihatihatinan sehari-hari bagi Paus …; itulah jeritan doanya, itu pula aspirasi jiwanya yang membara” (dari Amanat kepada Kongres Internasional I tentang panggilan hidup religius, tgl. 16 Desember 1961: L’Osservatore Romano, tgl. 17 Desember 1961).

[4] PIUS XII, Konstitusi apostolik Sedes sapientiae, tgl. 31 mei 1956: AAS 48 (1956) hlm. 357. – PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963) hlm. 984 dan selanjutnya.

[5] Lih. Terutama : PIUS XII, Motu Proprio Cum nobis, tentang “didirikannya Karya Kepausan untuk Panggilan Imam pada kongregasi untuk Seminari dan Universitas”, tgl. 4 November 1941: AAS 33 (1941) hlm. 479; dilampiri Ketetapan-Ketetapan dan norma-norma yang diumumkan oleh Kongregasi itu pada tgl. 8 September 1943. – Motu proprio Cum supremae, tentang “Karya Kepausan untuk Panggilan Religius”, tgl. 11 februari 1955: AAS 47 (1955) hlm. 266; dilampiri Ketetapan-ketetapan dan norma-norma yang diumumkan oleh Kongregasi untuk para Religius (ibid., hlm. 298-301). – KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, art. 24. – Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam gereja, art. 15.

[6] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 685.

[7] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja art. 28.

[8] Lih. PIUS XI, Ensiklik Ad Catholici Sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 37: “Pertama-tama hendaklah para pembimbing serta dosen-dosen dipilih dengan saksama … Berilah kepada Seminari-Seminari anda imam-imam yang terbaik. Janganlah berkeberatan membebaskan mereka dari tugas-tugas, yang nampaknya saja memang lebih penting, tetapi sungguh tiada dapat dibandingkan dengan karya mahapenting, yang tak dapat digantikan itu”. Surat apostolik kepada Ordinaris di Brasilia, tgl. 23 April 1947, Discorsi e Radiomessagi IX, hlm. 579-580.

[9] Tentang kewajiban umum membantu Seminari-seminari lih. PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963)hlm. 984.

[10] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 684. – Bdk. Kongregasi untuk Sakramen-Sakramen, Surat edaran Magna equidem kepada para Ordinaris, tgl. 27 Desember 1935, no. 10. – Untuk para Religius: lih. Statula Generalia (ketetapan-ketetapan umum) yang dilampirkan pada Konstitusi apostolik Sedes Sapientiae, tgl. 31 Mei 1956, art. 33. – PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963) hlm. 987 dan selanjutnya.

[11] Lih. PIUS XI, Ensiklik Ad Catolici Sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 41.

[12] Ditetapkan, supaya dalam menentukan Anggaran Dasar Seminari-Seminari regional maupun nasional semua Uskup yang berkepentingan berperan serta; dengan demikian ketentuan Kitab Hukum Kanonik kanon 1357, butir 4, ditiadakan.

[13] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 674. – KONGREGASI UNTUK SEMINARI DAN UNIVERSITAS, LA Formazione spirituale del candidato al sacerdotio (Pembinaan rohani calon imam), Citta del Vaticano 1965.

[14] Lih. S. PIUS X, Amanat kepada klerus katolik Haerent animo, tgl. 4 Agustus 1908: S. Pii X Acta, IV, hlm. 242-244. – PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 659-661. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii nostri Primordia, tgl. 1 Agustus 1959: AAS 51 (1959) hlm. 550 dan selanjutnya.

[15] Lih. PIUS XII, Ensiklik Mediator Dei, tgl. 20 November 1947: AAS 39 (1947) hlm. 547 dan selanjutnya, dan 572 dan selanjutnya. – YOHANES XXIII, Anjuran apostolik Sacrae Laudis, tgl. 6 Januari 1962: AAS 54 (1962) hlm. 69. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 16 dan 17. – KONGREGASI IBADAT, Instructio ad axecutionem Constitutionis de Sacra Liturgia recte ordinandam (Instruksi untuk mengatur pelaksanaan Konstitusi tentang Liturgi), tgl. 26 September 1964, no. 14-17: AAS 56 (1964) hlm. 880 dan selanjutnya.

[16] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii Nostri primordia: AAS (1959) hlm. 550 dan selanjutnya.

[17] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 28.

[18] S. AGUSTINUS, Komentar pada Injil Yohanes 32,8: PL 35, 1646.

[19] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, AAS 42 (1950) hlm. 662 dan selanjutnya, 685, 690. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii Nostri primordia: AAS 51 (1959) hlm. 551-553; 556 dan selanjutnya. – PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, Tgl 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 634 dan selanjutnya. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, terutama art. 8.

[20] Lih. PIUS XII, Ensiklik Sacra Virginitas, tgl. 25 Maret 1954: AAS 46 (1954) hlm. 165 dan selanjutnya.

[21] Lih. S. SIPRIANUS, De habitu virginum (tentang sikap para perawan), 22: PL 4,475. – S. AMBROSIUS, De virginibus (tentang para perawan) I,8,52: PL 16,202 dan selanjutnya.

[22] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: AAS 42 (1950), hlm. 663.

[23] Lih. PIUS XII, Ensiklik Sacra Virginitas: AAS 46 (1954)hlm. 170-174.

[24] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: AAS 42 (1950) hlm. 663.

[25] Lih. PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963) hlm. 991.

[26] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: AAS 42 (1950) hlm. 686.

[27] Lih. PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum: AAS 55 (1963) hlm. 993.

[28] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 7 dan 28.

[29] Lih. PIUS XII, Ensiklik Humani generis, tgl. 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) hlm. 571-575.

[30] Lih. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 637 dan selanjutnya.

[31] Lih. PIUS XII, Ensiklik Humani generis, tgl. 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) hlm. 567-569. – Amanat Si diligis, tgl. 31 Mei 1954: AAS 46 (1954) hlm. 314 dan selanjutnya. – PAULUS VI, Amanat di Universitas Kepausan Gregoriana, tgl. 12 maret 1964: AAS 56 (1964) hlm. 364 dan selanjutnya. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 25.

[32] Lih. S. BONAVENTURA, Itinerarium mentis in Deum (perjalanan jiwa menuju Allah), pembukaan, no. 4: “Janganlah seorangpun percaya, seakan-akan baginya sudah cukuplah bacaan tanpa pengurapan, permenungan tanpa sikap bakti, penyelidikan tanpa rasa kagum, sikap hati-hati tanpa kegembiraan, ketekunan tanpa kesalehan, pengetahuan tanpa cinta kasih, pemahaman tanpa kerendahan hati, usaha tanpa rahmat ilahi, terang tanpa kebijaksanaan yang diilhami oleh Allah”, Opera Omnia, V, Quaracchi 1891, hlm. 296.

[33] Lih. LEO XIII, Ensiklik Providentissimus Deus, tgl. 18 November 1893: AAS 26 (1893-94) hlm. 283.

[34] Lih. KOMISI KITAB SUCI, Instructio de Sacra Scriptura recte docenda, tgl. 13 Mei 1950: AAS 42 (1950) hlm. 502.

[35] Lih. PIUS XII, Ensiklik Humani generis, tgl. 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) hlm. 568 dan selanjutnya: “… karena sumber-sumber kudus dipelajari, ilmu-ilmu selalu mengalami peremajaan. Sebaliknya penalaran, yang mengabaikan penyelidikan perbendaharaan iman yang lebih mendalam menurut pengalaman menjadi mandul”.

[36] Lih. PIUS XII, Amanat kepada para Seminaris, tgl. 24 Juni 1939: AAS 31 (1939) hlm. 247: “Dengan menganjurkan ajaran S. Tomas gairah … untuk mencari dan menyiarkan kebenaran tidak dikekang, melainkan justru dibangkitkan dan dituntun dengan aman”. – PAULUS VI, Amanat di Universitas Gregoriana, tgl. 12 Maret 1964: AAS 56 (1964) hlm. 365: “Hendaknya (para dosen) … penuh hormat mendengarkan suara para Pujangga Gereja, antara lain Tomas Akuino yang menduduki tempat utama. Sebab Pujangga bagaikan malaikat itu begitu unggul kecerdasannya, begitu tulus cintanya akan kebenaran, begitu menonjol kearifannya dalam menelusuri kebenaran-kebenaran yang terdalam, dalam menguraikannya dan memadukannya menjadi satu keutuhan yang serasi, sehingga ajarannya merupakan upaya yang efektif sekali, bukan hanya untuk melindungi dasar-dasar iman, melainkan juga untuk dengan banyak manfaat dan aman memetik buah-hasil kemajuan yang sehat”. – Lih. Juga Amanat pada Kongres Internasional tentang Tomisme ke VI, tgl. 10 September 1965.

[37] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 7 dan 16.

[38] Lih. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesian suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 640 dan selanjutnya.

[39] KONSILI VATIKAN II, konstitusi tentang Liturgi, art. 10, 14, 15, 16. – KONGREGASI IBADAT, Instructio ad excecutionem Constitutionis de Sacra Liturgi recte ordinandam, tgl. 26 September 1964, no. 11 dan 12: aas 56 (1964) hlm. 879 dan selanjutnya.

[40] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Ekumenisme, art. 1, 9, 10.

[41] Citra gembala yang sempurna dapat dijabarkan dalam dokumen-dokumen para paus terakhir, yang secara eksplisit membahas kehidupan, sifat-perangai, pembinaan imam; terutama : S. PIUS X, Anjuran kepada klerus Haerent animo: S. pii X Acta IV, hlm. 327 dan selanjutnya. – PIUS XI, Ensiklik Ad catholici Sacerdotii: AAS 28 (1936) hlm. 5 dan selanjutnya. – PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: AAS 42 (1950) hlm. 657 dan selanjutnya. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotti Nostri primordia: AAS 51 (1959) hlm. 545 dan selanjutnya. – PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum: AAS 55 (1963) hlm. 979 dan selanjutnya. – Tentang pembinaan pastoral banyak pula ditemukan dalam Ensiklik Mystici Corporis (1943), Mediator Dei (1947), Evangelii Praecones (1951), Sacra Virginitas (1954), Musicae Sacrae Disciplina (1955), Princeps Pastorum (1959), dan Konstitusi apostolik Sedes Sapientiae (1956) untuk para religius. – PIUS XII, YOHANES XXIII dan PAULUS VI dalam amanat-amanat mereka kepada para seminaris dan imam-imam sering pula melukiskan citra gembala yang baik.

[42] Tentang pentingnya status hidup, yang didasarkan pada pengikraran nasehat-nasehat Injil: Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, bab VI; Dekrit tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius.

[43] Lih. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam Suam, tagl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) seringkali, terutama hlm. 635 dan selanjutnya, dan 640 dan selanjutnya.

[44] Lih. terutama YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 401 dan selanjutnya.

[45] Lih. terutama KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 33.

[46] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 17.

[47] Banyak sekali dokumen para Paus, yang mengingatkan akan bahaya mengabaikan tujuan adikodrati dalam kegiatan pastoral, serta setidak-tidaknya secara praktis meremehkan bantuan-bantuan adikodrati. Lih. terutama dokumen-dokumen yang tercantum dalam catatan kaki 41.

[48] Dokumen-dokumen Takhta suci akhir-akhir ini mendesak, supaya para imam-imam baru diperhatikan secara istimewa. Terutama baiklah disebut: PIUS XII, Motu Proprio Quandoquidem, tgl. 2 April 1949: AAS 41 (1949) hlm. 165-167; Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950); Konstitusi apostolik (untuk para religius) Sedes Sapientiae, tgl 31 Mei 1956, dan Ketetapan-ketetapan umum yang dilampirkan; Amanat kepada para imam pada Pertemuan di Barcelona, tgl. 14 Juni 1957: Discorsi e Radiomesagi, XIX, hlm. 271-273. – PAULUS VI, Amanat kepada para imam tarekat Gian Matteo Giberti di keuskupan Verona, tgl. 13 Maret 1964.

DEKRIT TENTANG KERASULAN AWAM

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI

PENDAHULUAN

1. Dengan maksud memacu KEGIATAN MERASUL Umat Allah[1], Konsili suci penuh keprihatinan menyapa Umat beriman awam, yang perannya yang khas dan sungguh perlu dalam perutusan Gereja sudah diuraikan dilain tempat[2]. Sebab kerasulan awam, yang bersumber pada panggilan kristiani mereka sendiri, tak pernah dapat tidak ada dalam Gereja. Betapa sukarela sifat gerakan semacam itu pada awal mula Gereja, dan betapa suburnya, dipaparkan dengan jelas oleh Kitab suci sendiri (lih. Kis 11:19-21; 18:26; Rom 16:1-16; Fip 4:3).

Adapun zaman kita menuntut semangat merasul kaum awam yang tidak kalah besar. Bahkan situasi sekarang ini jelas memerlukan kerasulan mereka yang lebih intensif dan lebih luas. Sebab makin bertambahnya jumlah manusia, kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi, hubungan-hubungan antar manusia yang lebih erat, bukan saja memperluas tanpa batas gelanggang kerasulan awam, yang sebagian besar hanya terbuka bagi mereka, melainkan juga menimbulkan masalah-masalah baru, yang menuntut perhatian serta usaha mereka yang cekatan. Kerasulan itu semakin mendesak, karena otonomi banyak dibidang kehidupan manusiawi, sebagaimana wajarnya, amat banyak bertambah, ada kalanya disertai suatu penyimpangan dari tata kesusilaan dan keagamaan, serta bahaya besar bagi hidup kristiani. Selain itu dibanyak daerah, yang jumlah imamnya sangat sedikit, atau – seperti ada kalanya terjadi – direbut kebebasan mereka yang sewajarnya untuk menunaikan pelayanan mereka, tanpa karya-kegiatan kaum awam Gereja nyaris tidak dapat hadir dan aktif.

Suatu tanda mendesaknya kebutuhan yang bermacam-ragam yakni karya Roh Kudus, yang dewasa ini menjadikan kaum awam semakin sadar akan tanggung jawab mereka, dan di mana-mana mendorong mereka untuk membaktikan diri kepada Kristus dan Gereja[3].

Dalam Dekrit ini Konsili bermaksud menjelaskan hakekat, sifat-sifat serta keanekaan kerasulan awam, dan menguraikan asas-asas dasarnya, pun juga menyampaikan petunjuk-petunjuk pastoral untuk melaksanakannya secara lebih tepat guna. Hendaknya itu semua dipandang sebagai kaidah-kaidah dalam meninjau kembali hukum kanonik sejauh menyangkut kerasulan awam.

BAB SATU – PANGGILAN KAUM AWAM UNTUK MERASUL

2. (Keikut-sertaan awam dalam perutusan Gereja)

Gereja diciptakan untuk menyebarluaskan kerajaan kristus di mana-mana demi kemuliaan Allah Bapa, dan dengan demikian mengikut-sertakan semua orang dalam penebusan yang membawa keselamatan[4], dan supaya melalui mereka seluruh dunia sungguh-sungguh diarahkan kepada Kristus. Semua kegiatan Tubuh Mistik, yang mengarah kepada tujuan itu, disebut kerasulan. Kerasulan itu dilaksanakan oleh Gereja melalui semua anggotanya, dengan pelbagai cara.

Sebab panggilan kristiani menurut hakikatnya merupakan panggilan untuk merasul juga. Seperti dalam tata-susunan tubuh yang hidup tidak satu pun anggota berifat pasif melulu, melainkan juga beserta kehidupan tubuh juga ikut menjalankan kegiatannya, begitu pula dalam Tubuh Kristus, yakni Gereja, seluruh tubuh “menurut kadar pekerjaan masing-masing anggotanya mengembangkan tubuh” (Ef 4:16). Bahkan sedemikan rupalah dalam tubuh itu susunan serta penggabungan anggota-anggotanya (lih. Ef 4:16), sehingga anggota, yang tidak berperan menurut kadarnya demi pertumbuhan tubuh, juga harus dipandang tidak berguna bagi Gereja atau bagi dirinya sendiri.

Dalam Gereja terdapat keanekaan pelayanan, tetapi kesatuan perutusan. Para Rasul serta para pengganti mereka oleh Kristus diserahi tugas mengajar, menyucikan dan memimpin atas nama dan kuasa-Nya. Sedangkan kaum awam ikut serta mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, menunaikan bagian mereka dalam perutusan segenap Umat Allah dalam gereja dan di dunia [5]. Sesungguhnya mereka menjalankan kerasulan awam dengan kegiatan mereka untuk mewartakan Injil dan demi penyucian sesama, pun untuk meresapi dan menyempurnakan tata-dunia dengan semangat Injil, sehingga dalam tata-hidup itu kegiatan mereka merupakan kesaksian akan Kristus yang jelas, dan mengabdi kepada keselamatan umat manusia. Karena ciri khas status hidup awam yakni: hidup ditengah masyarakat dan urusan-urusan duniawi, maka mereka dipanggil oleh Allah, untuk dijiwai semangat kristiani, ibarat ragi, menunaikan kerasulan mereka di dunia.

3. (Azas-azas kerasulan awam)

Kaum awam menerima tugas serta haknya untuk merasul berdasarkan persatuan mereka dengan Kristus Kepala. Sebab melalui Baptis mereka disaturagakan dalam tubuh mistik Kristus, melalui Penguatan mereka diteguhkan oleh kekuatan Roh Kudus, dan demikian oleh Tuhan sendiri ditetapkan untuk merasul. Mereka ditakdiskan menjadi imamat rajawi dan bangsa yang kudus (lih. 1Ptr 2:4-10), untuk melalui segala kegiatan mereka mempersembahkan korban rohani, dan dimana pun juga memberi kesaksian akan Kristus. Melalui sakramen-sakramen, terutama Ekaristi suci, disalurkan dan dipupuklah cinta kasih, yakni bagaikan jiwa seluruh kerasulan[6].

Kerasulan dijalankan dalam iman, harapan dan cinta kasih, yang dicurahkan oleh Roh Kudus dalam hati semua anggota Gereja. Bahkan karena perintah cinta kasih, perintah Tuhan yang utama, segenap umat beriman kristiani didesak untuk mengusahakan kemuliaan Allah melalui kedatangan kerajaan-Nya dan mengikhtiarkan kehidupan kekal bagi semua orang, supaya mereka mengenal satu-satunya Allah yang sejati dan Yesus Kristus yang diutus-Nya (lih. Yoh 17:3).

Maka semua orang beriman kristiani mengemban beban mulia, yakni berjerih-payah, supaya Warta keselamatan ilahi dikenal dan diterima oleh semua orang di mana-mana.

Untuk melaksanakan kerasulan itu Roh Kudus, yang mengerjakan penyucian Umat Allah melalui pelayanan dan sakramen-sakramen, menganugerahkan kurnia-kurnia khusus juga kepada Umat beriman (lih. 1Kor 12:7), dan “membagikannya kepada masing-masing menurut kehendak-Nya” (1Kor 12:11), supaya “setiap orang menurut rahmat yang diterimanya, melayani sesama”, sehingga mereka pun menjadi “bagaikan pengurus yang baik bagi rahmat Allah yang beraneka” (1Ptr 4:10), demi pembangunan seluruh tubuh dalam cinta kasih (lih. Ef 4:16). Berdasarkan penerimaan karisma-karisma itu, juga yang bersifat lebih sederhana, setiap orang beriman mendapat hak dan tugas untuk mengamalkannya demi kesejahteraan sesama dan pembangunan Gereja, dalam gereja dan masyarakat, dalam kebebasan Roh Kudus, yang bertiup “seperti dikehendakinya” (Yoh 3:8), dan sekaligus dalam persekutuan dengan sesama saudara dalam Kristus, terutama dengan para gembala mereka, yang tugasnya yakni memberi penilaian tentang tulennya karisma-karisma itu dan tentang teraturnya pengamalannya, bukan untuk memadamkan Roh, melainkan untuk menguji segalanya dan mempertahankan apa yang baik (lih. 1Tes 5:12, 19, 21)[7].

4. (Spiritualitas awam dan tata-kerasulan)

Kristus yang diutus oleh Bapa menjadi sumber dan asal seluruh kerasulan Gereja. Maka jelaslah kesuburan kerasulan awam tergantung dari persatuan mereka dengan Kristus yang memang perlu untuk hidup, menurut sabda Tuhan: “Barang siapa tinggal dalam Aku dan Aku dalam dia, ia menghasilkan buah banyak, sebab tanpa Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Kehidupan dalam persatuan mesra dengan Kristus itu dalam Gereja dipupuk dengan bantuan-bantuan rohani, yang diperuntukkan bagi semua orang beriman, terutama dengan keikut-sertaan aktif dalam liturgi suci[8]. Upaya-upaya itu hendaknya digunakan oleh para awam sedemikian rupa, sehingga mereka sementara menunaikan dengan saksama tugas-tugas duniawi dalam keadaan hidup yang serba biasa, – tidak menceraikan persatuan dengan Kristus dari hidup mereka, melainkan sambil melaksanakan tugas menurut kehendak Allah, tetap berkembang dalam persatuan itu. Melalui jalan itu kaum awam harus maju dalam kesucian dengan hati riang gembira, sementara mereka berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan dengan bijaksana dan sabar[9]. Baik tugas-pekerjaan dalam keluarga maupun urusan-urusan keduniaan lainnya jangan sampai menjadi asing terhadap cara hidup rohani, menurut amanat Rasul: “Apa pun yang kamu lakukan dalam kata-kata maupun perbuatan, itu semua harus kamu jalankan atas nama Tuhan Yesus Kristus, sambil bersyukur kepada Allah dan Bapa kita melalui Dia” (Kol 3:17). Hidup seperti itu menuntut perwujudan iman, harapan dan cinta kasih, yang tiada hentinya.

Hanya dalam cahaya iman dan berkat renungan sabda Allah manusia dapat selalu dan di mana-mana mengenal Allah, – “kita hidup dan bergerak dan berada” dalam Dia (Kis 17:28), – dalam segala peristiwa mencari kehendak-Nya, memandang Kristus dalam semua orang, entah mereka termasuk kaum kerabat entah tidak, mempertimbangkan dengan cermat makna serta nilai hal-hal duniawi yang sesungguhnya, dalam dirinya maupun sehubungan dengan tujuan manusia.

Barang siapa mempunyai iman itu, hidup dalam harapan akan penampakan putera-putera Allah, sambil mengenangkan salib dan kebangkitan Tuhan.

Dalam perantauan hidup ini, tersembunyi bersama Kristus dalam Allah dan dibebaskan dari perbudakan kekayaan, sementara mencari harta yang kekal abadi, mereka dengan kebesaran jiwa membaktikan diri seutuhnya untuk meluaskan kerajaan Allah dan untuk merasuki dan menyempurnakan tata-dunia ini dengan semangat kristiani. Ditengah kemalangan hidup ini mereka menemukan kekuatan dalam harapan, sementara berpandangan bahwa “penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan di masa mendatang yang akan dinyatakan dalam diri kita” (Rom 8:18).

Di dorong oleh cinta kasih yang berasal dari Allah, mereka mengamalkan kebaikan terhadap semua orang, terutama terhadap rekan-rekan seiman (lih. Gal 6:10), sementara mereka menanggalkan “segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan, kedengkian dan fitnah” (1Ptr 2:1), dan dengan demikian menarik sesama kepada Kristus. Sebab cinta kasih Allah, yang “dicurahkan ke dalam hati kita melalui Roh Kudus yang dikurniakan kepada kita” (Rom 5:5), menjadikan kaum awam mampu untuk sungguh-sungguh mewujudkan semangat Sabda Bahagia dalam hidup mereka. Sementara mengikuti Yesus yang miskin, mereka tidak merasa hancur karena kekurangan harta duniawi, tetapi juga tidak menjadi sombong karena kelimpahan. Sambil mengikuti Kristus yang rendah hati, mereka tidak gila hormat (lih. Gal 5:26), melainkan berusaha berkenan kepada Allah lebih daripada kepada manusia, serta selalu siap sedia untuk meninggalkan segalanya demi Kristus (lih. Luk 14:26) dan menanggung penganiayaan demi keadilan (lih. Mat 5:10), sementara mengenangkan sabda Tuhan: “Barang siapa mau mengikuti Aku, hendaklah ia mengingkari dirinya dan memikul salibnya dan mengikuti Aku” (Mat 16:24). Mereka saling bersahabat secara kristiani dan saling membantu dalam kebutuhan manapun juga.

Corak hidup rohani kaum awam itu harus memperoleh ciri khusus berdasarkan status pernikahan dan hidup berkeluarga, selibat atau hidup menjanda, dari keadaan sakit, kegiatan profesi dan sosial. Oleh karena itu janganlah mereka berhenti memupuk dengan tekun sifat-sifat dan keutamaan-keutamaan sesuai dengan keadaan-keadaan itu yang telah mereka terima, dan mengamalkan kurnia-kurnia yang telah mereka terima dari Roh Kudus.

Selain itu para awam, yang mengikuti panggilan mereka telah masuk anggota salah satu perserikatan atau lembaga yang telah disahkan oleh Gereja, begitu pula berusaha mengenakan dengan setia corak hidup rohaninya yang istimewa.

Hendaknya mereka menjunjung tinggi juga kemahiran kejuruan, citarasa kekeluargaan dan kewarganegaraan, maupun keutamaan-keutamaan yang termasuk hidup kemasyarakatan sehari-hari, yakni: kejujuran, semangat keadilan, ketulusan hati, peri-kemanusiaan, keteguhan jiwa, yang memang amat perlu juga bagi hidup kristiani yang sejati.

Suri teladan yang sempurna bagi hidup rohani dan hidup merasul itu ialah Santa Perawan Maria, Ratu para Rasul. Selama di dunia ia menjalani hidup kebanyakan orang, penuh kesibukan keluarga, dan jerih payah, tetapi selalu mesra bersatu dengan Putera-Nya dan dengan cara yang sangat istimewa ia bekerja sama dengan karya Sang Penyelamat. Tetapi sekarang ia telah diangkat ke sorga, dan “dengan cinta kasih keibuannya ia memperhatikan saudara-saudara Puteranya, yang masih dalam peziarahan dan menghadapi bahaya-bahaya serta kesukaran-kesukaran, sampai mereka mencapai tanah air yang penuh kebahagiaan”[10]. Hendaknya semua saja penuh khidmat berbakti kepadanya, dan menyerahkan hidup serta kerasulan mereka kepada perhatiannya yang penuh rasa keibuan.

BAB DUA – TUJUAN-TUJUAN YANG HARUS DICAPAI

5. (Pendahuluan)

Karya penebusan Kristus pada hakikatnya menyangkut penyelamatan umat manusia, tetapi merangkum pembaharuan seluruh tata dunia juga. Maka dari itu Gereja bukan hanya diutus untuk menyampaikam warta tentang Kristus dan menyalurkan rahmat-Nya kepada umat manusia, melainkan juga untuk merasuki dan menyempurnakan tata dunia dengan semangat Injil. Jadi dalam melaksanakan perutusan Gereja itu kaum awam menunaikan kerasulan mereka baik dalam bidang rohani maupun di bidang duniawi. Meskipun bidang-bidang itu dibedakan, namun dalam satu-satunya rencana Allah keduanya begitu berhubungan, sehingga Allah sendiri bermaksud mengangkat seluruh dunia menjadi ciptaan baru dalam Kristus, pada tahap awal di dunia ini, sepenuhnya pada hari terakhir. Di kedua bidang itu awam, yang sekaligus orang beriman dan warga masyarakat, wajib terus-menerus menganut bimbingan satu suara hati kristiani.

6. (Kerasulan dimaksudkan untuk mewartakan Injil dan menyucikan umat manusia)

Perutusan Gereja menyangkut keselamatan umat manusia, yang harus diperoleh berkat iman akan Kristus dan rahmat-Nya. Maka kerasulan Gereja serta semua anggotanya pertama-tama ditujukan untuk memaparkan warta tentang Kristus kepada dunia dengan kata-kata maupun perbuatan, dan untuk menyalurkan rahmat-Nya. Itu terutama terjadi melalui pelayanan sabda dan sakramen-sakramen, yang secara khas diserahkan kepada para imam. Dalm pelayanan itu kaum awam pun herus memainkan perannya yang sangat penting, yakni sebagai “rekan pekerja demi kebenaran” (3Yoh 8). Terutama dibidang itu kerasulan awam dan pelayanan pastoral saling melengkapi.

Bagi kaum awam terbukalah amat banyak kesempatan untuk melaksanakan kerasulan pewartaan Injil dan pengudusan. Kesaksian hidup kristiani sendiri beserta amal baik yang dijalankan dengan semangat adikodrati, mempunyai daya-kekuatan untuk menarik orang-orang kepada iman dan kepada Allah. Sebab Tuhan bersabda: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu di sorga” (Mat 5:16).

Akan tetapi kerasulan semacam itu tidak hanya terdiri dari kesaksian hidup saja. Rasul yang sejati mencari kesempatan-kesempatan untuk mewartakan Kristus dengan kata-kata, baik kepada mereka yang tidak beriman untuk menghantar mereka kepada iman, baik kepada kaum beriman untuk mengajar serta meneguhkan mereka, dan mengajak mereka hidup dengan semangat lebih besar. “Sebab cinta kasih Kristus mendesak kita” (2Kor 5:14). Dan dihati setiap orang harus menggema kata-kata Rasul: “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1Kor 9:16)[11].

Tetapi pada zaman kita sekarang muncullah masalah-masalah baru, dan beredarlah kesesatan-kesesatan amat gawat, yang berusaha menghancurkan sama sekali agama, tata-kesusilaan dan masyarakat manusia sendiri. Maka Konsili suci ini dengan tulus hati mengajak kaum awam, masing-masing menurut bakat-pembawaan dan pendidikan pengetahuannya, supaya mereka – menurut maksud Gereja – lebih bersungguh-sungguh lagi menjalankan peran mereka dalam menggali dan membela azas-azas kristiani, serta dalam menerapkannya dengan cermat pada soal-soal zaman sekarang.

7. (Pembaharuan tata-dunia secara kristiani)

Adapun rencana Allah mengenai dunia yakni: supaya umat manusia seia-sekata membaharui dan terus-menerus menyempurnakan tata-dunia.

Segala sesuatu yang mewujudkan tata-dunia, yakni nilai-nilai hidup dan keluarga, kebudayaan, urusan ekonomi, kesenian dan profesi, lembaga-lembaga negara, hubungan-hubungan internasional dan lain sebagainya, beserta perkembangan dan kemajuannya, bukan hanya merupakan bantuan untuk mencapai tujuan akhir manusia, melainkan mempunyai nilainya sendiri juga, yang ditanam oleh Allah didalamnya, baik dipandang secara tersendiri, maupun sebagai unsur-unsur seluruh tata dunia: “Dan Allah melihat segala sesuatu yang diciptakan-Nya, dan itu semua sangat baik” (Kej 1:31). Kebaikan alamiah itu menerima martabat khusus karena hubungannya dengan pribadi manusia, sebab semuanya memang diciptakan untuk mengabdi kepadanya. Akhirnya Allah berkenan menghimpun segalanya, baik yang kodrati maupun yang adikodrati, menjadi satu dalam Kristus Yesus, “supaya dalam segala sesuatu Dialah yang terutama” (Kol 1:18). Tetapi arah-tujuan itu bukan hanya tidak menyebabkan tata dunia kehilangan otonominya, tujuan atau sasarannya, hukum-hukumnya, upaya-upayanya sendiri, makna dan nilainya bagi kesejahteraan manusia, justru malahan menyempurnakannya dalam daya kekuatan serta keunggulannya, sekaligus mengangkatnya sehingga setaraf dengan panggilan manusia seutuhnya di dunia ini.

Disepanjang sejarah penggunaan hal-hal duniawi dicemarkan oleh cacat cela yang berat, karena manusia tertimpa oleh dosa asal, dan sering jatuh ke dalam amat banyak kesesatan tentang Allah sejati, kodrat manusia dan azas-azas hukum moral. Maka tingkah laku dan lembaga-lembaga manusia mengalami kemerosotan, dan pribadi manusia sendiri tidak jarang diinjak-injak. Juga pada zaman sekarang ini tidak sedikitlah, yang secara berlebihan mengandalkan kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi, dan bagaikan cenderung ke arah pemujaan hal-hal duniawi, serta lebih menjadi budaknya dari pada menjadi tuannya.

Tugas seluruh Gerejalah mengusahakan, supaya manusia menjadi mampu menyusun seluruh tata dunia dengan saksama dan mengarahkannya kepada Allah melalui Kristus. Para gembala bertugas mencanangkan dengan jelas azas-azas tentang tujuan penciptaan dan penggunaan dunia, menyajikan bantuan-bantuan moral dan rohani, supaya tata dunia dibaharui dalam Kristus.

Adapun kaum awam wajib menerima pembaharuan tata dunia sebagai tugasnya yang khusus, dan dibimbing oleh cahaya Injil dan maksud-maksud Gereja serta didorong oleh cinta kasih kristiani bertindak secara langsung dan terarah dalam tugas itu. Sebagai warga masyarakat mereka wajib bekerja sama dengan sesama warga dengan kemahiran khusus dan tanggung jawab mereka sendiri. Dimana-mana dan dalam segalanya mereka harus mencari keadilan kerajaan Allah. Tata dunia harus diperbaharui sedemikian rupa, sehingga – dengan tetap menjaga keutuhan hukum-hukumnya sendiri – tata dunia diselaraskan dengan azas-azas hidup kristiani yang lebih luhur, dan disesuaikan dengan pelbagai kondisi kondisi tempat, masa dan bangsa. Diantara usaha-usaha kerasulan itu yang mendapat tempat istimewa ialah kegiatan sosial umat kristiani. Konsili suci menginginkan, supaya kegiatan itu sekarang meliputi segenap bidang duniawi, termasuk kebudayaan[12].

8. (Amal kasih, meterai kerasulan kristiani)

Semua pelaksanaan kerasulan harus bersumber pada cinta kasih dan menimba kekuatan dari padanya. Tetapi beberapa kegiatan menurut hakikatnya memang sesuai untuk diubah menjadi ungkapan cinta kasih sendiri yang mempesonakan. Kristus Tuhan menghendakinya sebagai tanda perutusan-Nya sebagai Al-Masih (lih. Mat 11:4-5).

Perintah utama menurut hukum ialah mengasihi Allah dengan segenap hati dan mencintai sesama seperti dirinya sendiri (lih. Mat 22:37-40). Kristus menjadikan perintah cinta kasih terhadap sesama itu menjadi hukumnya sendiri, dan memperkayanya dengan makna yang baru, ketika Ia menghendaki diri-Nya sendiri seperti juga saudara-saudara-Nya sebagai pribadi yang harus dicintai, dan bersabda: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang diantara saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku” (Mat 25:40). Sebab dengan mengenakan kodrat manusia Ia telah menghimpun segenap umat manusia dalam suatu kesetiakawanan adikodrati menjadi keluarga-Nya. Dan Ia menetapkan cinta kasih menjadi tanda para murid-Nya dengan sabda-Nya: “Semua orang akan tahu, bahwa kamu murid-muridKu, bila kamu saling mengasihi” (Yoh 13:35).

Adapun Gereja suci pada awal mula menggabungkan “agape”[13] pada Perjamuan Ekaristi, dan dengan demikian menampilkan, bahwa dirinya seluruhnya dipersatukan oleh ikatan cinta kasih di sekitar Kristus. Begitu pula disepanjang masa Gereja di kenal dengan tanda cinta kasih itu, dan – sambil bergembira tentang usaha pihak-pihak lain – Gereja memandang amal cinta kasih sebagai tugas serta haknya, yang tidak dapat direbut dari padanya. Oleh karena itu belas kasihan terhadap mereka yang miskin dan lemah, maupun apa yang disebut kegiatan karitatif dan kegiatan saling membantu untuk meringankan segala macam kebutuhan manusia, amat dijunjung tinggi oleh Gereja[14].

Karena – berkat lebih lancarnya upaya-upaya komunikasi – jarak antara orang-orang dalam arti tertentu sudah diatasi dan penduduk seluruh dunia seperti sudah menjadi anggota satu keluarga, maka kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha itu sekarang ini menjadi jauh lebih mendesak dan lebih universal. Dewasa ini amal cinta kasih dapat dan harus merangkum semua orang dan menanggapi semua kebutuhan. Orang-orang yang tidak mempunyai makanan dan minuman, pakaian, rumah, obat-obatan, pekerjaan, pendidikan, sarana-sarana yang sungguh perlu untuk hidup secara layak manusiawi, mereka yang tersiksa karena kemalangan dan kondisi badan yang lemah, mereka yang menderita dalam pembuangan atau penjara, di manapun mereka berada, cinta kasih kristiani harus mencari dan menemukan mereka, dengan mengerahkan usaha-usaha meringankan penderitaan mereka, dan dengan bantuan yang diberikan mengangkat mereka. Kewajiban itu pertama-tama dibebankan atas orang-orang perorangan dan bangsa-bangsa yang hidupnya sejahtera[15].

Supaya pengalaman cinta kasih itu selalu terluputkan dari segala kecaman dan menjadi nyata sebagai amal kasih, hendaklah pada diri sesama dilihat citra Allah yang menjadi pola penciptaannya, dan Kristus Tuhan – sungguh dipersembahkan kepada-Nya, apa pun yang diberikan kepada orang miskin. Hendaknya diindahkan dengan penuh perikemanusiaan kebebasan dan martabat pribadi yang menerima bantuan. Jangan sampai kejernihan maksud dicemarkan oleh nafsu mencari keuntungan pribadi atau keinginan untuk berkuasa[16]. Pertama-tama hendaknya tuntutan-tuntutan keadilan dipenuhi, supaya apa yang sudah harus diserahkan berdasarkan keadilan jangan diberikan sebagai hadiah cinta kasih. Hendaknya yang ditiadakan jangan hanya akibat-akibat kemalangan, melainkan juga sabab-musababnya. Hendaklah bantuan diatur sedemikian rupa, sehingga mereka yang menerimanya lambat-laun makin bebas dari ketergantungan lahiriah dan mampu mencukupi kebutuhan mereka sendiri.

Maka dari itu hendaknya kaum awam sungguh menghargai dan sekadar kemampuan menunjang amal cinta kasih serta usaha-usaha bantuan sosial yang bersifat swasta maupun umum, juga yang bersifat internasional. Sebab dengan kegiatan-kegiatan itu diberikan pertolongan yang tepat guna kepada orang-orang perorangan dan bangsa-bangsa yang menanggung penderitaan. Dalam hal itu hendaknya mereka bekerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik[17].

BAB TIGA – PELBAGAI BIDANG KERASULAN

9. (Pendahuluan)

Kaum awam menunaikan kerasulan mereka yang bermacam-ragam dalam Gereja maupun masyarakat. Dalam kedua tata hidup itu terbukalah pelbagai bidang kegiatan merasul. Yang lebih penting diantaranya akan kami uraikan di sini, yakni: jemaat-jemaat gerejawi, keluarga, kaum muda, lingkungan sosial, tata nasional dan internasional. Karena zaman sekarang ini kaum wanita semakin berperan aktif dalam seluruh hidup masyarakat, maka sangat pentinglah bahwa keikut-sertaan mereka diperluas, juga dipelbagai bidang kerasulan Gereja.

10. (Jemaat-jemaat gerejawi)

Karena berperan-serta dalam tugas Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja, kaum awam berperan aktif dalam kehidupan dan kegiatan Gereja. Di dalam jemaat-jemaat gerejawi kegiatan mereka sedemikian perlu, sehingga tanpa kegiatan itu kerasulan para gembala sendiri kebanyakan tidak dapat memperbuahkan hasil yang sepenuhnya. Sebab seperti kaum pria dan wanita, yang membantu Paulus dalam pewartaan Injil (lih. Kis 18:18-26; Rom 16:3), begitu pula para awam, yang berjiwa kerasulan sejati, melengkapi apa yang kurang pada saudara-saudara mereka, dan menyegarkan semangat para gembala maupun Umat beriman lainnya (lih. 1Kor 16:17-18). Sebab diteguhkan karena ikut serta secara aktif dalam kehidupan liturgis jemaat mereka, para awam itu penuh perhatian memainkan peran dalam kegiatan kerasulan jemaat. Orang-orang yang barang kali sedang menjauh mereka hantar kembali ke Gereja. Secara intensif mereka menyumbangkan tenaga dengan menyampaikan sabda Allah, terutama melalui katekese. Berkat sumbangan kemahiran mereka -mereka menjadi reksa jiwa-jiwa dan juga tata-usaha harta-milik Gereja lebih tepat guna.

Paroki memberi teladan kerasulan jemaat yang jelas, dengan menghimpun semua anggota menjadi satu , entah bagaimanapun mereka itu diwarnai perbedaan-perbedaan manusiawi, dan menyaturagakan mereka ke dalam Gereja semesta[18]. Hendaklah kaum awam membiasakan diri untuk erat bersatu dan bekerja sama dengan para imam di paroki[19]. Hendaknya mereka menyampaikan kepada jemaat gerejawi soal-soal mereka sendiri, problim-problim masyarakat dan masalah-masalah yang menyangkut keselamatan manusia, yang harus diselidiki dipecahkan melalui musyawarah. Hendaknya sekadar kemampuan mereka menyumbangkan jasa-bantuan kepada segala usaha kerasulan dan misioner keluarga gerejawi mereka.

Hendaklah mereka selalu penuh perhatian terhadap keuskupan, – paroki mereka bagaikan selnya – dan senantiasa bersedia untuk memenuhi undangan Gembala mereka, serta menyumbangkan tenaga mereka kepada usaha-usaha keuskupan. Bahkan untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan kota-kota dan daerah-daerah pedesaan[20], hendaknya mereka jangan membatasi sumbangan tenaga mereka dalam batas-batas paroki atau keuskupan, melainkan berusaha memperluas ke bidang-bidang antar-paroki, antar-keuskupan, nasional atau internasional, apa lagi karena semakin meningkatnya perpindahan bangsa-bangsa, bertambahnya hubungan-hubungan timbal-balik dan kemudahan komunikasi sudah tidak lagi membiarkan sebagian masyarakat pun tetap terkungkung dalam dirinya. Begitulah hendaknya mereka penuh perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan Umat Allah yang tersebar diseluruh dunia. Terutama hendaknya mereka sendiri ikut serta dalam kegiatan-kegiatan misioner dengan menyumbangkan bantuan-bantuan materiil ataupun tenaga. Sebab merupakan tugas dan kehormatan bagi Umat kristiani untuk mengembalikan kepada Allah bagian harta kekayaan, yang mereka terima dari pada-Nya.

11. (Keluarga)

Pencipta alam semesta telah menetapkan persekutuan suami-isteri menjadi asal-mula dan dasar masyarakat manusia, dan berkat rahmat-Nya menjadikannya sakramen agung dalam Kristus dan dalam Gereja (lih. Ef 5:32). Maka kerasulan antara para suami-isteri dan keluarga-keluarga mempunyai makna yang istimewa bagi Gereja maupun bagi masyarakat.

Para suami-isteri kristiani bekerja sama dengan rahmat dan menjadi saksi iman satu bagi yang lain. Bagi anak-anak mereka dan kaum kerabat lainnya. Bagi anak-anak mereka, mereka itulah pewarta iman dan pendidik yang pertama. Dengan kata-kata maupun teladan suami-isteri membina anak-anak untuk menghayati hidup kristiani dan kerasulan. Dengan bijaksanaan suami-isteri membantu mereka dalam memilih panggilan mereka, dan – sekiranya barangkali terdapat panggilan suci pada mereka, – memupuk itu dengan perhatian sepenuhnya.

Selalu merupakan tugas suami-isteri, tetapi sekarang ini merupakan segi amat penting kerasulan mereka: dengan peri-kehidupan mereka menunjukkan dan membuktikan bahwa ikatan pernikahan tidak terceraikan dan suci. Adalah tugas mereka dengan tegas menyatakan bahwa hak dan tugas mendidik anak secara kristiani diserahkan kepada orang tua dan para pendidik. Tugas mereka pula membela martabat dan otonomi keluarga yang sewajarnya. Maka dari itu hendaknya mereka dan Umat beriman kristiani lainnya bekerja sama dengan mereka yang berkehendak baik, supaya dalam perundangan sipil hak-hak itu dipertahankan utuh-utuh; supaya dalam pemerintahan masyarakat diindahkan kebutuhan-kebutuhan keluarga-keluarga mengenai perumahan, pendidikan anak-anak, persyaratan kerja, keamanan sosial dan perpajakan; supaya dalam mengatur perpindahan-perpindahan hidup bersama dalam keluarga sungguh-sungguh dijamin[21].

Keluarga sendiri menerima perutusan dari Allah, untuk menjadi sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat. Perutusan itu akan dilaksanakannya, bila melalui cinta kasih timbal balik para anggotanya dan doa mereka bersama kepada Allah, keluarga membawakan diri bagaikan ruang ibadat liturgis Gereja; akhirnya, bila keluarga secara nyata menunjukkan kerelaannya untuk menjamu, dan memajukan keadilan dan amal-perbuatan baik lainnya untuk melayani semua saudara yang sedang menderita kekurangan. Diantara pelbagai karya kerasulan keluarga baiklah disebutkan yang berikut ini: memungut kanak-kanak terlantar menjadi anaknya, dengan murah hati menerima para pendatang, membantu menyelenggarakan sekolah-sekolah, mendampingi kaum muda dengan nasehat dan bantuan lainnya, membantu para calon mempelai untuk menyiapkan diri lebih baik bagi pernikahan mereka, ikut berkatekese, membantu para suami-isteri dan keluarga-keluarga yang sedang mengalami kesukaran material maupun moral, bukan saja mencukupi kebutuhan orang-orang tua, melainkan juga secara wajar menyediakan buah-buah ekonomi bagi mereka.

Selalu dan di mana-mana, tetapi secara istimewa di daerah-daerah, yang baru saja menerima taburan benih Injil yang pertama, atau bila Gereja baru mengalami tahap-tahap awalnya, atau sedang mengalami suatu krisis yang gawat, keluarga-keluarga kristiani, yang hidupnya selaras semata-mata dengan Injil dan memberi teladan pernikahan kristiani yang baik, menyampaikan kesaksian yang sangat berharga tentang Kristus kepada masyarakat[22].

Supaya keluarga-keluarga dapat lebih mudah mencapai sasaran-sasaran kerasulan mereka, dapat berguna bila mereka berhimpun dalam kelompok-kelompok[23].

12. (Kaum muda)

Kaum muda merupakan kekuatan amat penting dalam masyarakat zaman sekarang[24]. Situasi hidup, sikap-sikap batin serta hubungan-hubungan mereka dengan keluarga mereka sendiri telah amat banyak berubah. Seringkali mereka terlalu cepat beralih kepada kondisi sosial ekonomis yang baru. Dari hari ke hari peran mereka di bidang sosial dan juga politik semakin penting. Padahal agaknya mereka kurang mampu menanggung beban-beban baru dengan baik.

Bertambah pentingnya peran mereka dalam masyarakat itu menuntut dari mereka kegiatan merasul yang sepadan. Sifat-sifat alamiah merekapun memang sesuai untuk menjalankan kegiatan itu. Sementara kesadaran akan kepribadian mereka bertambah masak, terdorong oleh gairah hidup dan semangat kerja yang meluap, mereka sanggup memikul tanggung jawab sendiri, dan ingin memainkan peran mereka dalam kehidupan sosial dan budaya. Bila gairah itu diresapi oleh semangat Kristus dan dijiwai sikap patuh dan cinta kasih terhadap para Gembala Gereja, maka boleh diharapkan akan memperbuahkan hasil yang melimpah. Mereka sendiri harus menjadi rasul-rasul pertama dan langsung bagi kaum muda, dengan menjalankan sendiri kerasulan dikalangan mereka, sambil mengindahkan lingkungan sosial kediaman mereka[25].

Hendaknya kaum dewasa dalam suasana persahabatan berusaha menjalin dialog dengan kaum muda, sehingga dengan mengatasi jarak umur mungkinlah kedua pihak saling mengenal, dan saling bertukar kekayaan masing-masing. Hendaknya kaum dewasa terutama dengan teladan, dan bila ada kesempatan dengan nasehat yang bijaksana serta bantuan yang tepat guna, mendorong kaum muda untuk merasul. Dipihak lain hendaknya kaum muda memupuk sikap hormat dan kepercayaan terhadap kaum dewasa. Dan meskipun secara alamiah mereka cenderung ke arah hal-hal baru, hendaknya mereka menghargai tradisi-tradisi yang terpuji sebagaimana harusnya.

Anak-anak pun mempunyai kegiatan merasul mereka sendiri. Menurut kemampuan mereka, mereka sungguh menjadi saksi-saksi Kristus yang hidup diantara teman-teman.

13. (Lingkungan sosial)

Kerasulan di lingkungan sosial merupakan usaha menjiwai mentalitas dan adat kebiasaan, hukum-hukum serta tata-susunan masyarakat disekitar, dengan semangat kristiani. Kerasulan itu merupakan tugas dan beban kaum awam sedemikian rupa, sehingga tak pernah dapat dijalankan oleh orang-orang lain sebagaimana mestinya. Disitulah mereka melengkapi kesaksian hidup dengan kesaksian lisan[26]. Dan disitulah mereka paling cakap untuk membantu sesama saudara, dibidang pekerjaan, kejuruan, studi, perumahan, rekreasi, atau paguyuban setempat. Kaum awam menunaikan perutusan Gereja di dunia itu terutama dengan kesesuaian hidup dengan iman, yang menjadikan mereka terang dunia; dengan ketangguhan mereka dalam urusan manapun juga, sehingga mereka menarik semua orang kepada cinta akan kebenaran dan kebaikan, dan akhirnya kepada Kristus dan Gereja; dengan kasih persaudaraan mereka, sehingga mereka ikut menanggung kondisi-kondisi kehidupan, jerih-payah, duka-derita serta aspirasi-aspirasi sesama saudara, dan dengan demikian lambat laun menyiapkan hati semua orang bagi karya rahmat yang menyelamatkan; dengan penuhnya kesadaran akan peran-serta mereka dalam membangun masyarakat, sehingga mereka berusaha menjalankan kewajiban-kewajiban mereka dalam hidup berkeluarga, dalam masyarakat dan dibidang kejuruan mereka dengan kebesaran jiwa kristiani. Demikianlah cara bertindak mereka lambat-laun merasuki lingkungan hidup dan kerja.

Kerasulan itu harus ditujukan kepada semua orang, siapa pun yang berada di lingkungan itu, dan tidak boleh mengecualikan jasa rohani maupun jasmani mana pun juga, yang dapat diberikan kepada mereka. Tetapi rasul-rasul yang sejati tidak puas dengan kegiatan itu saja. Mereka sungguh bermaksud juga untuk mewartakan kristus secara lisan kepada sesama. Sebab banyak orang hanya dapat mendengarkan Injil dan mengenal Kristus melalui para awam tetangga mereka.

14. (Bidang-bidang nasional dan internasional)

Terbukalah gelanggang kerasulan yang tak terduga luasnya ditingkat nasional maupun internasional, terutama bagi kaum awam, untuk mengabdikan diri kepada kebijaksanaan kristiani. Dalam berbakti kepada bangsa dan dalam menunaikan tugas-tugas kewarganegaraan dengan setia, Umat katolik hendaknya menyadari kewajibannya untuk memajukan kesejahteraan umum yang sejati. Hendaknya mereka berusaha berpengaruh dengan bobot pandangan mereka, sehingga pemerintahan dijalankan dengan adil, dan hukum-hukum selaras dengan tuntutan-tuntutan moral serta menunjang kesejahteraan umum. Hendaknya orang-orang katolik, yang mahir dibidang politik, dan sebagaimana wajarnya berdiri teguh dalam iman serta ajaran kristiani, jangan menolak untuk menjalankan urusan-urusan umum. Sebab dengan jasa-jasa mereka yang pantas dihargai itu mereka dapat mendukung kesejahteraan umum, dan sekaligus merintis jalan bagi Injil.

Hendaknya Umat katolik berusaha bekerja sama dengan semua orang yang beritikad baik, untuk memajukan apa pun yang benar, apa pun yang adil, apa pun yang suci, apa pun yang manis (Flp 4:8). Hendaklah Umat katolik berdialog dengan mereka, serta mendekati mereka dengan bijaksana dan penuh pengertian, lagi pula menyelidiki, bagaimana menyempurnakan lembaga-lembaga sosial dan umum menurut semangat Injil.

Di antara tanda-tanda zaman kita yang layak mendapat perhatian istimewa yakni: semangat setia kawan antara semua bangsa, yang makin meluas dan tak terelakkan. Tugas kerasulan awamlah penuh kesungguhan memajukan solidaritas itu, dan mengubahnya menjadi kasih persaudaraan yang tulus dan sejati. Selain itu kaum awam perlu menyadari kenyataan bidang internasional serta masalah-masalah dan pemecahan-pemecahannya yang bersifat ajaran maupun langkah-langkah praktis pada taraf itu, terutama yang menyangkut bangsa-bangsa yang sedang berkembang[27].

Hendaknya mereka semua, yang bekerja ditengah bangsa-bangsa lain atau menyelenggarakan bantuan kepada mereka, mengingat bahwa hubungan-hubungan antar bangsa harus merupakan pertukaran jasa yang sungguh bersifat persaudaraan, sehingga kedua pihak sekaligus memberi dan menerima. Adapun mereka yang menempuh perjalanan untuk karya-kegiatan internasional, untuk menyelesaikan urusan atau untuk berlibur, hendaklah mengingat, bahwa dimanapun juga mereka serta-merta menjadi pewarta-pewarta Kristus yang sedang berkeliling, dan sungguh bertingkah laku menurut kenyataan itu.

BAB EMPAT – BERBAGAI CARA MERASUL

15. (Pendahuluan)

Kaum awam dapat menjalankan kerasulan mereka secara perorangan atau tergabung dalam berbagai paguyuban atau perserikatan.

16. (Pentingnya aneka bentuk kerasulan perorangan)

Kerasulan, yang harus dijalankan oleh setiap orang secara pribadi dan secara melimpah mengalir dari sumber hidup kristiani yang sejati (lih. Yoh. 4:14), merupakan landasan dan syarat bagi semua kerasulan awam, juga yang bersifat kolektif, dan tidak dapat digantikan oleh apa pun juga.

Meskipun mereka tidak ada kesempatan atau kemungkinan untuk bekerja sama dalam perserikatan, namun semua awam dalam keadaan mana pun juga dipanggil dan wajib menjalankan kerasulan. Kerasulan itu selalu dan di mana-mana memang berharga, tetapi dalam situasi-situasi tertentu merupakan satu-satunya yang sesuai dan mungkin.

Terdapat banyak bentuk kerasulan, yang bagi kaum awam merupakan jalan untuk membangun Gereja, dan menguduskan mereka dunia serta menjiwainya dalam Kristus.

Bentuk khusus kerasulan perorangan lagi pula tanda paling sesuai bagi zaman kita, yang menampilkan bahwa Kristus hidup dalam Umatnya yang beriman, ialah kesaksian seluruh hidup sebagai awam, yang bersumber pada iman, harapan dan cinta kasih. Namun melalui kerasulan secara lisan, yang dalam situasi-situasi tertentu memang sungguh perlu, para awam mewartakan Kristus, menguraikan ajaran-Nya, menyebarluaskannya menurut kondisi serta kemampuan masing-masing, dan mengakuinya dengan setia.

Kecuali itu, dengan menyumbangkan tenaga sebagai warga dunia ini dalam upaya-upaya untuk membangun dan mengurus tata dunia sekarang, haruslah kaum awam dalam hidup berkeluarga, dibidang kejuruan, kebudayaan dan kemasyarakatan, dalam terang iman mencari motivasi-motivasi yang lebih luhur, dan bila ada kesempatan mengungkapkannya kepada sesama, karena menyadari bahwa dengan demikian mereka bekerja sama dengan Allah pencipta, Penebus dan Pengudus, serta memuliakan-Nya.

Akhirnya hendaklah para awam menjiwai hidup mereka dengan cinta kasih, dan sejauh mampu mengungkapkannya dengan tindakan nyata.

Hendaklah segenap umat mengingat, bahwa dengan ibadat resmi dan doa, dengan bertobat dan secara suka rela menerima jerih-payah serta kesukaran-kesukaran hidup, yang menjadikan mereka serupa dengan Kristus yang menderita sengsara (lih. 2Kor 4:10; Kol 1:24), mereka dapat menjangkau semua orang, dan membawa sumbangan bagi keselamatan seluruh dunia.

17. (Kerasulan awam dalam situasi-situasi tertentu)

Kerasulan perorangan itu sangat perlu dan mendesak di daerah-daerah, tempat kebebasan Gereja menghadapi rintangan-rintangan yang berat. Dalam situasi yang amat sulit itu kaum awam sejauh mereka mampu menggantikan para imam, dengan menanggung resiko bagi kebebasan mereka sendiri dan acap kali juga bagi hidup mereka. Kepada orang-orang disekitar mereka menyampaikan ajaran kristiani; mereka membina sesama dalam hidup keagamaan dan semangat katolik; mereka mengajak sesama untuk sering menerima sakramen-sakramen, dan terutama untuk berbakti kepada Ekaristi suci[28]. Konsili suci dengan setulus hati bersyukur kepada Allah, yang juga pada zaman kita sekarang tidak berhenti membangkitkan para awam yang berjiwa teguh bagaikan pahlawan ditengah penganiayaan, dan menyambut mereka penuh kasih kebapaan serta rasa syukur.

Kerasulan perorangan menemukan gelanggang yang istimewa di mana Umat katolik hanya sedikit jumlahnya dan hidup terpencar. Di situ para awam, yang hanya merasul secara perorangan entah karena sebab-sebab tersebut diatas, entah karena alasan-alasan khas yang muncul dari kegiatan profesional mereka sendiri, seyogyanya toh mengadakan pertemuan-pertemuan dalam kelompok-kelompok kecil, tanpa bentuk kelembagaan atau organisasi yang ketat, sehingga selalu nampaklah tanda persekutuan Gereja bagi orang-orang lain, sebagai kesaksian cinta kasih yang sejati. Demikianlah, melalui persahabatan dan pertukaran pengalaman, dengan saling memberi bantuan rohani, mereka diteguhkan untuk mengatasi kendala-kendala hidup serta kegiatan yang serba terpencil, dan untuk memperbuahkan hasil kerasulan yang lebih banyak.

18. (Pentingnya kerasulan yang terpadu)

Umat beriman kristiani sebagai perorangan dipanggil untuk merasul di pelbagai situasi hidup mereka. Tetapi hendaknya mereka mengingat, bahwa manusia menurut kodratnya bersifat sosial, dan bahwa Allah (lih. 1Ptr 2:5-10) dan menjadi satu tubuh (lih. 1Kor 12:12). Dan oleh karena itu kerasulan yang terpadu memang sungguh menanggapi tuntutan Umat kristiani baik sebagai manusia maupun sebagai orang kristiani, dan sekaligus menyajikan tanda persekutuan dan kesatuan Gereja dalam kristus yang bersabda: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, disitu Aku hadir di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20).

Maka dari itu hendaklah Umat beriman serentak mengarahkan kerasulan mereka kepada tujuan yang sama[29]. Hendaknya mereka menjadi rasul di lingkungan keluarga mereka sendiri, di paroki maupun di keuskupan, yang semuanya mengungkapkan sifat kebersamaan kerasulan, begitu pula dalam kelompok-kelompok sukarela yang mereka bentuk atas pilihan sendiri.

Kerasulan yang terpadu amat penting juga, karena dalam jemaat-jemaat Gereja maupun di pelbagai lingkungan kerasulan sering perlu dilaksanakan dalam kegiatan bersama. Sebab perserikatan-perserikatan, yang didirikan untuk kegiatan-kegiatan merasul secara bersama, mendukung para anggotanya dan membina mereka untuk merasul, lagi pula dengan cermat menyiapkan serta mengatur usaha-usaha kerasulan mereka, sehingga dari padanya boleh diharapkan hasil-hasil yang jauh lebih melimpah, daripada bila masing-masing menjalankan kegiatannya sendiri.

Adapun dalam situasi sekarang sangat perlulah, bahwa dalam lingkup kegiatan kaum awam bentuk kolektif kerasulan dalam suatu organisasi dimantapkan. Sebab hanya perpaduan erat usaha-usahalah yang mampu mencapai sepenuhnya semua tujuan kerasulan zaman sekarang, dan melindungi buah-hasilnya secara tepat guna[30]. Dalam perspektif itu sungguh sangat pentinglah, bahwa kerasulan juga menjangkau alam pandangan umum dan kondisi-kondisi sosial mereka, yang mau dilayani. Sebab kalau tidak, mereka itu sering tidak akan mampu menghadapi tekanan pandangan umum atau lembaga-lembaga.

19. (Aneka bentuk kerasulan terpadu)

Perserikatan kerasulan amat beraneka-ragam[31]: ada yang mempunyai tujuan umum kerasulan Gereja; ada yang secara khusus bertujuan pewartaan Injil dan pengudusan; ada yang tujuannya merasuki tata dunia ini dengan semangat kristiani; ada pula yang secara khas memberi kesaksian akan Kristus melalui amal belas kasihan dan cinta kasih.

Diantara persekutuan-persekutuan itu yang pertama-tama layak diperhatikan ialah: yang memupuk dan menjunjung tinggi perpaduan yang lebih erat antara hidup praktis dan iman para anggotanya. Himpunan-himpunan itu bukan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan harus mengabdi pelaksanaan perutusan Gereja terhadap dunia. Daya kerasulannya tergantung dari kesesuaiannya dengan tujuan-tujuan Gereja dan dari kesaksian kristiani serta semangat Injil masing-masing anggotanya maupun seluruh perserikatan.

Namun bila dipertimbangkan struktur-struktur dan gerak perkembangan masyarakat zaman sekarang, tugas perutusan universal Gereja menuntut, supaya usaha-usaha kerasulan Umat katolik semakin menyempurnakan bentuk-bentuk organisasi pada tingkat internasional. Organisasi-organisasi katolik internasional akan lebih penuh mencapai tujuannya, bila kelompok-kelompok yang tergabung di dalamnya serta para anggotanya semakin erat bersatu dengannya.

Dengan tetap memelihara hubungan dengan Pimpinan Gereja sebagaimana mestinya[32], kaum awam berhak mendirikan[33] dan memimpin perserikatan, dan masuk anggota perserikatan yang sudah ada. Tetapi hendaknya dihindari penghamburan tenaga; itu terjadi bila tanpa alasan yang cukup dipropagandakan himpunan-himpunan dan karya-karya yang baru, atau bila tetap dipertahankan perserikatan-perserikatan yang sudah tidak berguna lagi atau metode-metode yang sudah usang. Dan tidak selalu cocok, bahwa bentuk-bentuk kerasulan, yang dijalankan ditengah bangsa tertentu, begitu saja dialihkan kepada bangsa-bangsa lain[34].

20. (“Aksi Katolik”)

Sejak beberapa dasawarsa di pelbagai negeri kaum awam semakin banyak membaktikan diri dalam kerasulan. Mereka berhimpun dalam pelbagai bentuk kegiatan dan perserikatan, yang sambil memelihara hubungan cukup erat dengan Hirarki telah dan tetap masih mengejar tujuan-tujuan kerasulan yang sejati. Diantara yayasan-yayasan itu atau himpunan-himpunan serupa yang sudah lebih tua, terutama layak disebutkan perserikatan-perserikatan, yang memang menganut bermacam-macam cara berkarya, namun telah memperbuahkan hasil-hasil yang amat melimpah bagi kerajaan Kristus. Persekutuan-persekutuan itu oleh para Paus dan banyak Uskup sudah selayaknya dianjurkan dan didukung perkembangannya, mereka sebut “Aksi Katolik”, dan sering sekali dilukiskan sebagai kerja sama kaum awam dalam kerasulan Hirarki[35].

Bentuk-bentuk kerasulan itu, – entah disebut “Aksi Katolik” entah tidak, – zaman sekarang ini menjalankan kerasulan yang sungguh berharga, dan mencantum perpaduan serta keseluruhan ciri-ciri berikut:

a) Tujuan langsung organisasi-organisasi semacam itu ialah tujuan kerasulan Gereja, yakni: untuk mewartakan Injil kepada sesama dan menguduskan mereka, serta untuk membina suara hati mereka secara kristiani sedemikian rupa, sehingga mereka mampu merasuki pelbagai jemaat serta berbagai lingkungan dengan semangat Injil.

b) Para awam bekerja sama dengan Hirarki dengan cara mereka sendiri, dan menyumbangkan pengalaman mereka serta memikul tanggung jawab dalam memimpin organisasi-organisasi itu, dalam mempertimbangkan situasi-situasi kegiatan pastoral Gereja, dan dalam menjabarkanta melaksanakan program kegiatan-kegiatan.

c) Para awam bertindak secara terpadu bagaikan tubuh organis, sehingga persekutuan Gereja dilambangkan secara lebih mengena, dan kerasulan menjadi lebih subur.

d) Para awam, entah mereka menyediakan diri secara sukarela, atau diundang untuk menjalankan kegiatan dan menjalin kerjasama langsung dengan kerasulan Hirarki, bertindak dibawah kepemimpinan lebih tinggi Hirarki, yang dapat mengesahkan kerja sama itu juga dengan suatu ketetapan eksplisit.

Organisasi-organisasi, yang menurut penilaian Hirarki memang ditandai oleh keseluruhan ciri-ciri itu, harus dipandang sebagai “Aksi Katolik”, meskipun karena tuntutan berbagai tempat maupun suku bangsa bentuk-bentuk serta namanya berbeda-beda.

Konsili suci sangat menganjurkan lembaga-lembaga itu, yang dibanyak negeri sungguh menanggapi kebutuhan-kebutuhan kerasulan Gereja. Konsili mengajak para imam maupun awam, yang terlibat di dalamnya, untuk semakin mewujudkan ciri-ciri tersebut di atas, dan untuk selalu bekerja sama dengan semua bentuk kerasulan lainnya dalam Gereja dalam suasana persaudaraan.

21. (Penghargaan terhadap organisasi-organisasi)

Semua perserikatan kerasulan hendaknya dihargai sebagaimana layaknya. Tetapi persekutuan-persekutuan, yang oleh Hirarki, menurut kebutuhan-kebutuhan masa dan daerah-daerah, dipuji atau dianjurkan, atau ditetapkan untuk didirikan karena lebih mendesak, harus paling diutamakan oleh para imam, para religius dan kaum awam, serta dikembangkan menurut cara mereka masing-masing. Tetapi yang sekarang ini termasuk diantaranya terutama organisasi-organisasi atau himpunan-himpunan internasional Umat katolik.

22. (Kaum awam secara istimewa berbakti kepada Gereja)

Yang dalam Gereja layak mendapat pujian dan penghargaan istimewa yakni para awam, entah berkeluarga entah tidak, yang untuk selamanya atau untuk sementara membaktikan diri beserta kemahiran profesionalnya guna melayani lembaga-lembaga karya-karyanya. Bagi Gereja sangat menggembirakan, bahwa semakin bertambahlah jumlah para awam, yang menyumbangkan pelayanan mereka kepada perserikatan-perserikatan dan karya-karya kerasulan, entah di negeri sendiri entah pada tingkat internasional, entah terutama di jemaat-jemaat katolik di daerah misi dan dalam Gereja-Gereja muda.

Hendaknya para gembala Gereja dengan senang hati dan rasa syukur menyambut para awam itu, dan berusaha supaya kondisi-kondisi hidup mereka sedapat mungkin memenuhi tuntutan-tuntutan keadilan, kelayakan dan cinta kasih, terutama mengenai nafkah yang sepantasnya bagi mereka beserta keluarga mereka, pun juga supaya mereka menerima pembinaan, dukungan rohani serta dorongan.

BAB LIMA

TATA-TERTIB YANG HARUS DIINDAHKAN

23. (Pendahuluan)

Kerasulan awam, yang dijalankan oleh Umat beriman baik secara perorangan maupun secara kolektif, harus disaturagakan dengan tepat dalam kerasulan seluruh Gereja. Bahkan hubungan dengan mereka , yang oleh Roh Kudus ditetapkan untuk membimbing Gereja Allah (lih. Kis 20:28), merupakan unsur hakiki kerasulan kristiani. Tidak kurang perlulah kerja sama antara pelbagai usaha kerasulan, yang harus diatur oleh Hirarki secara selaras.

Sebab semangat persatuan perlu ditingkatkan, supaya diseluruh kerasulan Gereja bersinarlah cinta kasih persaudaraan, agar tujuan-tujuan umum tercapai, dan persaingan-persaingan yang berbahaya dihindarkan. Untuk maksud itu antara semua bentuk kerasulan dalam gereja diperlukan sikap saling menghargai, dan – tanpa mengurangi sifat khas masing-masing – perpaduan yang serasi[36].

Itu terutama diperlukan, bila suatu kegiatan istimewa dalam Gereja membutuhkan keselarasan dan kerja sama kerasulan antara kedua golongan klerus, para religius dan kaum awam.

24. (Hubungan-hubungan dengan Hirarki)

Hirarki wajib mendukung kerasulan awam, menggariskan prinsip-prinsipnya dan menyediakan bantuan-bantuan rohani, mengatur pelaksanaan kerasulan demi kesejahteraan Gereja, dan menjaga supaya ajaran serta tata-tertib Gereja tetap di patuhi.

Adapun kerasulan awam mengenal pelbagai cara berhubungan dengan Hirarki, sesuai dengan pelbagai bentuk serta sasaran kerasulan itu.

Sebab dalam gereja terdapat amat banyak usaha kerasulan, yang terwujudkan atas pilihan bebas kaum awam, dan yang kepemimpinannya berlangsung atas kebijaksanaan serta kearifan mereka. Berkat usaha-usaha itu perutusan Gereja di berbagai situasi dapat terlaksana dengan lebih baik; maka tidak jarang usaha-usaha itu di puji dan dianjurkan oleh Hirarki[37]. Tetapi suatu usaha hanya boleh menggunakan nama “katolik”, bila mendapat persetujuan pimpinan Gereja yang sah.

Berbagai bentuk kerasulan awam dengan berbagai cara pula diakui secara eksplisit oleh Hirarki.

Selain itu, untuk menanggapi tuntutan-tuntutan kesejahteraan Gereja, Pimpinan Gereja dapat memilih beberapa diantara persekutuan-persekutuan dan usaha-usaha kerasulan yang secara langsung bertujuan rohani, secara istimewa mengembangkannya, dan mengambil tanggung jawab khusus terhadapnya. Begitulah Hirarki dengan aneka cara mengatur kerasulan untuk menanggapi berbagai keadaan. Bentuk-bentuk kerasulan tertentu dihubungkannya secara lebih erat dengan tugas kerasulannya sendiri. Tetapi hakekat kerasulan masing-masing serta perbedaan antara keduanya dipertahankan, dan karena itu kesempatan yang diperlukan oleh kaum awam untuk bergerak secara suka rela tidak ditiadakan. Tindakan hirarki itu dalam berbagai dokumen gereja disebut “mandat”.

Kemudian Hirarki juga mempercayakan kepada kaum awam berbagai tugas, yang lebih erat berhubungan dengan tugas-tugas para gembala, misalnya dibidang pengajaran kristiani, dalam berbagai upacara liturgi, dalam reksa pastoral. Berdasarkan perutusan itu dalam pelaksanaan tugas mereka para awam wajib mematuhi sepenuhnya Pimpinan Gereja yang lebih tinggi.

Berkenaan dengan usaha-usaha dan lembaga-lembaga yang menyelenggarakan urusan-urusan duniawi, tugas Hirarki Gereja yakni mengajarkan dan menafsirkan secara otentik kaidah-kaidah moral mengenai pelaksanaan hal-hal keduniawian itu. Merupakan wewenang Hirarki juga: dengan mempertimbangkan segalanya masak-masak dan memanfaatkan bantuan para pakar, menilai seberapa jauh usaha-usaha dan lembaga-lembaga semacam itu sesuai dengan kaidah-kaidah moral, serta menetapkan mengenai semua apa yang diperlukan, untuk menjaga dan mengembangkan harta-kekayaan adikodrati.

25. (Bantuan para imam bagi kerasulan awam)

Hendaklah para Uskup, pastor-pastor paroki dan para imam lainnya, baik diosesan maupun religius, bahwa hak serta tugas merasul sama-sama ada pada semua orang beriman baik klerus maupun awam, dan bahwa dalam pembangunan Gereja para awam pun menjalankan peran mereka sendiri[38]. Maka dari itu hendaknya mereka dalam Gereja dan demi Gereja bekerja sama secara persaudaraan dengan kaum awam, dan secara istimewa menaruh perhatian terhadap para awam dalam karya-karya kerasulan mereka[39].

Hendaknya dipilih dengan cermat imam-imam, yang cakap dan telah disiapkan secukupnya untuk memberi bantuan dalam bentuk-bentuk khusus kerasulan awam[40]]. Adapun mereka, yang atas perutusan yang diterima dari Hirarki menunaikan pelayanan itu, mewakilinya dalam kegiatan pastoral mereka. Hendaklah mereka memupuk keserasian hubungan-hubungan para awam dengan Hirarki, sambil selalu dengan setia mematuhi semangat serta ajaran Gereja. Hendaknya mereka membaktikan diri dengan memupuk hidup rohani serta semangat merasul pada persekutuan-persekutuan katolik yang dipercayakan kepada mereka. Hendaknya mereka mendampingi kegiatan kerasulan himpunan-himpunan itu dengan nasehat mereka yang bijaksana, serta mendukung usaha-usahanya. Hendaklah mereka terus menerus bertemu wicara dengan kaum awam, dan penuh perhatian menyelidiki manakah cara-cara, yang dapat makin menyuburkan kegiatan merasul. Hendaknya mereka meningkatkan semangat persatuan di dalam perserikatan itu sendiri, begitu pula antara persekutuan itu dengan persekutuan-persekutuan lainnya.

Akhirnya hendaklah para religius, para bruder maupun suster, menghargai karya-karya kerasulan kaum awam. Hendaknya mereka dengan senang hati membaktikan diri untuk ikut mengembangkan kegiatan-kegiatan kaum awam menurut semangat dan kaidah-kaidah tarekat mereka[41]. Hendaknya mereka berusaha mendukung, membantu dan melengkapi tugas-tugas para imam.

26. (Upaya-upaya yang berguna bagi kerja sama)

Di keuskupan-keuskupan sedapat mungkin hendaklah terdapat panitia-panitia, untuk membantu karya kerasulan Gereja, baik dibidang pewartaan Injil dan pengudusan, maupun bidang amal kasih, sosial dan lain-lain; di situ para imam dan religius hendaknya dengan cara yang tepat bekerja sama dengan para awam. Panitia-panitia itu akan dapat memantapkan koordinasi antara pelbagai persekutuan-persekutuan serta usaha-usaha para awam, tanpa mengurangi sifat-sifat serta otonomi masing-masing[42].

Bila mungkin panitia-panitia semacam itu hendaknya diadakan juga dilingkup paroki atau antar-paroki, antar keuskupan, di tingkat nasional atau internasional[43].

Kecuali itu pada Takhta suci hendaknya didirikan suatu Sekretariat khusus guna melayani dan mendorong kerasulan awam, bagaikan suatu pusat, untuk dengan upaya-upaya yang sesuai menyajikan informasi-informasi tentang pelbagai usaha kerasulan awam, untuk mempelajari penelitian-penelitian tentang masalah-masalah aktual yang muncul dibidang itu, dan untuk dengan nasehat-nasehatnya mendampingi Hirarki serta kaum awam dalam karya-karya kerasulan. Dalam sekretariat itu hendaknya pelbagai gerakan serta usaha kerasulan awam diseluruh dunia berperan-serta, dan para imam serta religius pun bekerja sama dengan kaum awam.

27. (Kerja sama dengan Umat kristen dan umat beragama lain)

Pusaka-warisan Injil bersama, dan berdasarkan itu tugas bersama memberi kesaksian kristiani menganjurkan dan sering pula menuntut kerja sama Umat katolik dengan Umat kristen lainnya. Kerja sama itu harus dijalankan oleh orang-perorangan maupun oleh jemaat-jemaat, dalam kegiatan-kegiatan pun juga dalam persekutuan-persekutuan, ditingkat nasional maupun internasional[44].

Nilai-nilai manusiawi bersama pun tidak jarang menuntut kerja sama yang serupa antara Umat kristiani yang mengejar tujuan-tujuan kerasulan mereka, yang tidak menyandang nama kristiani, namun mengakui nilai-nilai itu juga.

Melalui kerja sama yang dinamis dan bijaksana itu[45], yang besar maknanya dalam kegiatan-kegiatan duniawi, kaum awam memberi kesaksian akan Kristus Penyelamat dunia, dan akan kesatuan keluarga manusia.

BAB ENAM

PEMBINAAN UNTUK MERASUL

28. (Perlunya pembinaan untuk merasul)

Kerasulan hanya dapat mencapai kesuburan yang sepenuhnya, bila ada pembinaan yang bersifat aneka dan lengkap. Pembinaan itu dituntut bukan saja supaya awam sendiri tetap harus berkembang dalam hidup rohani dan pengetahuan ajaran, melainkan juga karena usaha-usahanya harus disesuaikan dengan bermacam-macam situasi, orang-orang, dan tugas-tugas. Pembinaan untuk kerasulan itu harus dilandasi dasar-dasar, yang oleh Konsili suci ini telah dinyatakan dan diuraikan dalam dokumen-dokumen lain[46]. Selain itu pembinaan yang diperuntukkan bagi semua orang kristiani, karena keaneka-ragaman orang-orang dan keadaan-keadaan maka tidak sedikitlah bentuk-bentuk kerasulan, yang memerlukan pembinaan yang khusus juga.

29. (Dasar-dasar pembinaan awam untuk kerasulan)

Kaum awam ikut serta menunaikan perutusan Gereja dengan cara mereka sendiri. Maka pembinaan mereka untuk kerasulan juga mendapat cirinya yang istimewa dari sifat sekuler (keduniaan) serta corak hidup rohani yang khas bagi status awam.

Pembinaan itu kerasulan mengandaikan suatu pembinaan manusiawi yang utuh dan sesuai dengan watak-perangai serta situasi-situasi masing-masing. Sebab seorang awam, yang mengenal dunia zaman sekarang dengan baik, harus menjadi anggota yang sungguh berintegrasi dalam masyarakat serta kebudayaan sendiri.

Akan tetapi seorang awam hendaknya pertama-tama belajar menjalankan perutusan Kristus dan Gereja, dengan hidup dari iman akan misteri ilahi penciptaan dan penebusan, lagi pula digerakkan oleh Roh Kudus yang menghidupkan Umat Allah, dan yang mendorong semua orang untuk mencintai Allah Bapa dan dunia serta orang-orang dalam Dia. Pembinaan itu harus dipandang sebagai dasar dan syarat setiap kerasulan yang subur.

Kecuali pembinaan rohani diperlukan pendidikan pengetahuan yang tangguh, yakni dibidang teologi, etika dan filsafat, sesuai dengan usia, situasi hidup dan bakat-kemampuan yang bermacam-macam. Lagi pula janganlah diabaikan pentingnya tingkat hidup budaya yang umum beserta pendidikan praktis dan teknis.

Untuk memelihara hubungan-hubungan antar-manusia yang baik perlulah nilai-nilai sungguh manusiawi dikembangkan, terutama seni bergaul dan bekerja sama secara persaudaraan, dan mengadakan dialog.

Tetapi, karena pembinaan untuk kerasulan tidak dapat hanya terdiri dari pengajaran teoritis melulu, hendaknya awam setapak demi setapak dan dengan bijaksana, sejak awal pembinaannya, belajar memandang, menilai serta menjalankan segalanya dalam cahaya iman, melalui kegiatannya membina serta menyempurnakan diri bersama orang-orang lain, dan dengan demikian secara aktif memulai pengabdiannya kepada Gereja[47]. Pembinaan itu selalu disempurnakan, karena pribadi manusia semakin menjadi dewasa dan karena perkembangan masalah-persoalan, dan menuntut mutu pengetahuan yang semakin tinggi serta kegiatan yang menanggapi situasi. Dalam memenuhi semua persyaratan untuk pembinaan kesatuan dan keutuhan pribadi manusia harus selalu diperhatikan, sehingga keselarasan dan keseimbangannya tetap terjamin dan ditingkatkan.

Demikianlah awam secara mendalam dan penuh semangat mengintegrasikan diri ke dalam kenyataan dunia sekarang, dan dengan tepat guna menerima perannya dalam mengurusi perkara-perkaranya, pun sekaligus sebagai anggota yang hidup serta saksi Gereja menghadirkan serta mengaktifkannya di pangkuan kenyataan-kenyataan dunia ini[48].

30. (Mereka yang wajib membina sesama untuk kerasulan)

Pembinaan untuk kerasulan harus mulai sejak awal anak-anak. Tetapi secara istimewa hendaknya para remaja dan kaum muda diperkenalkan dengan kerasulan, dan diresapi semangatnya. Selama hidup pembinaan itu harus disempurnakan, sejauh tugas-tugas baru yang diterima menuntutnya. Maka jelaslah bahwa mereka yang bertugas dalam pendidikan kristiani juga terikat oleh kewajiban untuk memberi pembinaan bagi kerasulan.

Merupakan tugas orang tua dalam keluarga: menyiapkan hati anak-anak mereka sejak kecil untuk mengenali cinta kasih Allah terhadap semua orang, serta mengajar mereka demi sedikit, terutama dengan teladan, untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan jasmani maupun rohani sesama. Jadi seluruh keluarga dan kebersamaan hidupnya menjadi bagaikan masa persiapan untuk kerasulan.

Disamping itu anak-anak hendaknya dididik, supaya melampaui lingkup keluarga, dan membuka hati bagi jemaat-jemaat gerejawi maupun masyarakat duniawi. Hendaknya mereka ditampung dalam jemaat setempat paroki sedemikian rupa, sehingga disitu mereka memperoleh kesadaran, bahwa mereka merupakan anggota yang hidup dan aktif Umat Allah. Hendaklah para imam dalam katekese dan pelayanan sabda, dalam bimbingan rohani, dan dalam pelayanan-pelayanan pastoral lainnya memperhatikan pembinaan untuk kerasulan.

Begitu pula merupakan tugas mereka yang berkecimpung dalam bidang pendidikan di sekolah-sekolah, di kolese-kolese dan lembaga-lembaga katolik lainnya: memupuk semangat katolik dan kegiatan merasul di kalangan kaum muda. Bila pembinaan itu tidak ada, entah karena kaum muda tidak mengunjungi sekolah-sekolah itu, atau karena sebab-sebab lain, para orangtua dan gembala jiwa, begitu pula persekutuan-persekutuan kerasulan, hendaknya semakin mengusahakan pembinaan itu. Adapun para guru dan para pendidik, yang karena panggilan serta tugas mereka menjalankan bentuk kerasulan awam yang luhur, hendaknya berbekalkan pengetahuan yang diperlukan dan kecakapan untuk mendidik, sehingga mampu memberi pembinaan itu dengan tepat-guna.

Begitu juga kelompok-kelompok dan persekutuan-persekutuan awam, yang mengejar tujuan kerasulan atau tujuan-tujuan adikodrati lainnya, harus dengan sungguh-sungguh dan terus-menerus mengembangkan pembinaan untuk kerasulan sesuai dengan tujuan dan coraknya sendiri[49]. Himpunan-himpunan itu sering merupakan jalan yang biasa untuk pembinaan yang cocok bagi kerasulan. Sebab disitu diberi pembinaan pengetahuan, rohani dan praktis. Para anggotanya bersama dengan teman-teman dan sahabat-sahabat mereka dalam kelompok-kelompok kecil mempertimbangkan cara-cara dan buah hasil usaha-usaha kerasulan mereka, dan membandingkan cara hidup mereka sehari-hari dengan Injil.

Pembinaan semacam itu harus di atur sedemikian rupa, sehingga seluruh kerasulan awam ikut dipertimbangkan. Kerasulan itu harus dijalankan bukan saja diantara kelompok-kelompok dalam persekutuan-persekutuan sendiri, tetapi juga dalam segala situasi selama hidup, terutama dalam hidup profesional dan sosial. Bahkan setiap anggota harus dengan tekun menyiapkan diri untuk kerasulan, dan itu lebih mendesak pada usia dewasa. Sebab sementara umur bertambah, jiwa manusia menjadi lebih terbuka, dan dengan demikian setiap orang dapat lebih cermat mengenali bakat-bakat, yang oleh Allah dilimpahkan atas jiwanya; ia dapat dengan lebih subur mengamalkan karisma-karisma, yang oleh Roh Kudus dikurniakan kepadanya demi kesejahteraan saudara-saudaranya.

31. (Penyesuaian pembinaan dengan pelbagai bentuk kerasulan)

Pelbagai bentuk kerasulan secara khusus pula menuntut pembinaan yang sesuai.

a) Mengenai kerasulan untuk mewartakan Injil kepada sesama dan menguduskan mereka, para awam perlu menerima pembinaan khusus untuk mengadakan wawancara dengan orang-orang lain, entah beriman atau tidak, untuk mengungkapkan amanat kristus kepada semua orang[50].

Adapun zaman sekarang ini materialisme dalam aneka coraknya tersebar luas dimana-mana, juga dikalangan katolik, khususnya pokok-pokok yang sedang diperdebatkan . Selain itu, menghadapi bentuk materialisme mana pun juga hendaknya mereka menampilkan kesaksian hidup menurut Injil.

b) Mengenai pembaharuan tata-dunia sekarang ini secara kristiani, hendaknya kaum awam diberi penyuluhan tentang makna yang sesungguhnya dan nilai-nilai duniawi, baik dalam dirinya sendiri, maupun sehubungan dengan semua tujuan pribadi manusia. Hendaklah mereka dilatih dalam menggunakan hal-hal itu dengan tepat, dan dalam mengatur lembaga-lembaga, sambil selalu mengindahkan kesejahteraan umum menurut prinsip-prinsip ajaran moral dan sosial Gereja. Terutama azas-azas ajaran sosial serta kesimpulan-kesimpulannya hendaknya oleh awam dipelajari sedemikian rupa, sehingga mereka menjadi cakap, baik untuk memberikan sumbangan mereka sendiri demi pengembangan ajaran itu, maupun untuk dengan cermat menerapkannya pada masing-masing kejadian[51].

c) Karena amal cinta kasih dan belaskasihan menampilkan kesaksian hidup kristiani yang cemerlang, pembinaan kerasulan juga harus mendorong untuk menjalankan amal kasih itu. Dengan demikian Umat beriman kristiani sejak kecil belajar berbagi duka derita dengan sesama, dan dengan kebesaran jiwa meringankan beban mereka yang menderita kekurangan[52].

32. (Upaya-upaya yang digunakan)

Bagi para awam yang membaktikan diri dalam kerasulan sudah tersedia banyak upaya-upaya, yakni: sidang-sidang, kongres-kongres, rekoleksi, latihan rohani, pertemuan yang sering diadakan , konferensi-konferensi, buku-buku, komentar-komentar, untuk memperdalam pengetahuan Kitab suci dan ajaran katolik, untuk memupuk hidup rohani dan memahami situasi dunia, begitu pula untuk menemukan dan mengembangkan metode-metode yang sesuai[53].

Upaya-upaya pembinaan itu memperhitungkan pelbagai bentuk kerasulan di lingkungan-lingkungan, tempat kerasulan itu dijalankan.

Untuk tujuan itu telah didirikan pusat-pusat atau lembaga-lembaga pendidikan tinggi, yang telah memperbuahkan hasil-hasil yang amat baik.

Konsili suci ini bergembira atas usaha-usaha semacam itu, yang dibeberapa daerah telah berkembang dengan subur, dan menghimbau, supaya juga di tempat-tempat lain usaha-usaha dikembangkan menurut kebutuhan.

Kecuali itu segala bidang kerasulan hendaklah didirikan pusat-pusat dokumentasi dan studi bukan hanya di bidang teologi, melainkan juga di bidang antropologi, psikologi, sosiologi, dan metodologi, supaya lebih ditingkatkan lagi bakat-kemampuan kaum awam, pria maupun wanita, kaum muda maupun kaum dewasa.

AJAKAN

33. Maka kepada segenap kaum awam Konsili suci dalam Tuhan menyerukan dengan sangat, supaya mereka dengan suka rela, dengan jiwa besar, dengan hati yang siap-sedia menanggapi sapaan Kristus, yang justru sekarang ini dengan lebih mendesak mengundang mereka, dan supaya mereka mengikuti dorongan Roh Kudus. Hendaknya kaum muda menyadari, bahwa panggilan itu secara istimewa ditujukan kepada mereka, dan menyambutnya penuh kegembiraan dan dengan kebesaran jiwa. Sebab Tuhan sendiri melalui Konsili suci ini sekali lagi mengundang semua para awam, supaya mereka semakin erat bergabung dengan Diri-Nya, dan seraya mengenakan pada diri mereka sendiri cita rasa yang ada pada-Nya (lih. Flp 2:5), ikut serta menjalankan perutusan-Nya yang membawa keselamatan. Sekali lagi Tuhan mengutus mereka ke semua kota dan tempat yang akan dikunjungi-Nya sendiri (lih. Luk 10:1). Mereka diajak untuk – melalui bermacam-macam bentuk dan cara dalam satu kerasulan Gereja, yang tiada hentinya harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan zaman yang baru, – membawakan diri sebagai rekan-rekan sekerja-Nya, selalu giat dalam karya Tuhan (lih. 1Kor 15:58).

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan Kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagipula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 18 bulan November tahun 1965.

Saya PAULUS
Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


[1] Lih. YOHANES XXIII, Konstitusi apostolik Humanae Salutis, 25 Desember 1961: AAS 54 (1962) hlm. 7-10.

[2] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 33 dsl. – Lih. juga Konstitusi tentang Liturgi, art. 26-40. – Dekrit tentang sarana-sarana Komunikasi Sosial. – Dekrit tentang Ekumenisme. – Dekrit tentang Tugas Kegembalaan para Uskup dalam Gereja art 16, 17, 18. – Pernyataan tentang Pendidikan Kristiani, art. 3, 5, 7.

[3] Lih. PIUS XII, Amanat kepada para Kardinal, tgl. 18 Februari 1946: AAS 38 (1946) hlm. 101-102. – IDEM, Kotbah kepada Pekerja Katolik muda, tgl. 25 Agustus 1957: AAS 49 hlm. 843.

[4] Lih. PIUS XI, Ensiklik Rerum Ecclesiae: AAS 18 (1926) hlm. 65.

[5] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 31.

[6] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 33; lih. juga art. 10.

[7] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 12.

[8] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Liturgi , art. 11.

[9] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 32; lih juga art. 40-41.

[10] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 62; lihat juga art. 65.

[11] Lih. PIUS XI, Ensiklik Ubi arcano, tgl. 23 Desember 1922: AAS 14 (1922) hlm. 659. – PIUS XII, Ensiklik Summi Pontificatus, tgl. 20 Oktober 1939: AAS 31 (1939) hlm. 442-443.

[12] Lih. LEO XIII, Ensiklik Rerum Novarum: ASS 23 (1890-1891) hlm. 647. – PIUS XI, Ensiklik Quadragesimo Anno: AAS 2 (1931) hlm. 190. – PIUS XII, Amanat radio, tgl. 1 Juni 1941 : AAS 33 (1941) hlm. 207.

[13] “Agape” ialah perjamuan kasih.

[14] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 402.

[15] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 440-441.

[16] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 442-443.

[17] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 442-443.

[18] Lih. S. PIUS X, Surat apostolik Creationis duarum novarum paroeciarum, , tgl. 1 juni 1905: ASS 38 (1905) hlm. 65-67. – PIUS XII, Amanat kepada umat paroki S. Saba, tgl. 11 Januari 1953: Discorsie e Radiomessagi di S. S. Pio XII, 14 (1952-1953) hlm. 449-454. – YOHANES XXIII, Amanat kepada klerus dan umat pinggiran kota Albano, disampaikan di castel Gondolfo, tgl. 26 Agustus 1962: AAS 54 (1962) hlm. 656-660.

[19] Lih. LEO XII, Amanat tgl. 28 Januari 1894: Acta 14 (1894) hlm. 424-425.

[20] Lih. PIUS XII, Amanat kepada para pastor paroki, dan sebagainya, tgl. 6 Februari 1951: Discorsie e Radiomessagi di S. S. Pio XII, 12 (1950-1951), hlm. 437-443; tgl. 8 Maret 1952: ibid., 14 (1952-1953), hlm. 5-10; tgl. 27 Maret 1953: ibid., 15 (1953-1954) hlm. 27-35; tgl. 28 Februari 1954: ibid., hlm. 585-590.

[21] Lih. PIUS XI, Ensiklik Casti Connubii: AAS 22 (1930) hlm. 554. – PIUS XII, Amanat radio, tgl. 1 Januari 1941: AAS 33 (1941) hlm. 203. – IDEM, Amanat kepada para utusan pada Sidang Persatuan Internasional serikat-serikat untuk membela hak-hak keluarga, tgl. 20 September 1949: AAS 41 (1949) hlm. 552. – IDEM, Amanat kepada bapak-bapak keluarga di Perancis yang berziarah ke Roma, tgl. 18 September 1951: AAS 43 (1951)hlm. 731. – IDEM, Amanat radio pada hari Natal 1952: AAS 45 (1953) hlm. 41. – YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 429, 439.

[22] Lih. PIUS XII, Ensiklik Evangelii praecones, tgl. 2 Juni 1951: AAS 43 (1951) hlm. 514.

[23] Lih. PIUS XII, Amanat kepada para utusan dalam Sidang Persatuan Internasional serikat-serikat untuk membela hak-hak keluarga, tgl. 20 September 1949: AAS 41 (1949) hlm. 552.

[24] Lih. S. PIUS X, Amanat kepada Perserikatan Kaum Muda Katolik tentang semangat bakti, pengetahuan dan kegiatan, 25 September 1904: ASS 37 (1904-1905) hlm. 296-300.

[25] Lih. PIUS XII, Surat Dans quelques semaines kepada Uskup Agung Marianapolis, tentang pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh para pekerja kristiani muda di Kanada, tgl. 24 Mei 1947: AAS 39 (1947) hlm. 257; Amanat radio kepada J. O. C. di Brussel, tgl. 3 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 640-641.

[26] Lih. PIUS XI, , Ensiklik Quadragesimo Anno, 15 Mei 1931: AAS 23 (1931) hlm. 225-226).

[27] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 448-450.

[28] Lih. PIUS XII, Amanat kepada Kongres I untuk mengembangkan Kerasulan Awam di segala bangsa, tgl. 15 Oktober 1951: AAS 43 (1951) hlm. 788.

[29] Lih. PIUS XII, Pidato tersebut di atas, hlm. 787-788.

[30] Lih. PIUS XII, Ensiklik Le pelerinage de Lourdes (tentang peziarahan ke lourdes), tgl. 2 Juli 1957: AAS 49 (1957) hlm. 615.

[31] Lih. PIUS XII, Amanat kepada Dewan Federasi Internasional kaum pria katolik, tgl. 8 Desember 1956: AAS 49 (1957) hlm. 26-27.

[32] Lih. di bawah, bab V art. 24.

[33] Lih. KONGREGASI KONSILI, Keputusan Corrienten, tgl. 13 November 1920: AAS 13 (1921)hlm. 139.

[34] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Princeps Pastorum, tgl. 10 Desember 1959: AAS 51 (1959) hlm. 856.

[35] Lih. PIUS XI, Surat Quae nobis kepada Kardinal Bertram, tgl. 13 November 1928: AAS 20 (1928) hlm. 385. – Lih. juga PIUS XII, Amanat kepada Aksi Katolik Italia, tgl. 4 September 1940: AAS 32 (1940) hlm. 362.

[36] Lih. PIUS XI, Ensiklik Quamvis Nostra, tgl. 30 April 1936: AAS 28 (1936) hlm. 160-161.

[37] Lih. KONGREGASI KONSILI, Keputusan Corrienten, tgl. 13 November 1920: AAS 13 (1921) hlm. 137-140.

[38] Lih. PIUS XII, Amanat kepada Sidang II untuk memajukan Kerasulan Awam di antara Semua Bangsa, tgl. 5 Oktober 1957: AAS 49 (1957) hlm. 927.

[39] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 37.

[40] Lih. PIUS XII, Ajakan apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 660.

[41] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Pembaharuan Hidup Religius yang disesuaikan, art. 8.

[42] Lih. BENEDIKTUS XIV, De Synodo Dioecesana (tentang Sinode keuskupan), buku III, bab IX, n. VII-VIII: Opera Omnia in tomos XVII distributa, jilid XI (Prato 1844), hlm. 76-77.

[43] Lih. PIUS XI, Ensiklik Quamvis Nostra, tgl. 30 April 1936: AAS 28 (1939) hlm. 160-161.

[44] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 456-457. – Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Ekumenisme, art. 12.

[45] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Ekumenisme, art. 12. – Lih. juga Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 15.

[46] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, bab II, IV, V. – Lih. juga Dekrit tentang Ekumenisme, art. 4, 6, 7, 12. – Lih. juga di atas; art. 4.

[47] Lih. PIUS XII, Amanat kepada Konferensi Internasional I Kepanduan, tgl. 6 Juni 1952: AAS 44 (1952) hlm. 579-580. – YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 456.

[48] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 33.

[49] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 455.

[50] Lih. PIUS XII, Ensiklik Sertum laetitiae, tgl. 1 November 1939: AAS 31 (1939) hlm. 635-644. – IDEM, Amanat kepada “laureati” Aksi Katolik Italia, tgl. 24 Mei 1953: AAS 45 (1953) hlm. 413-414.

[51] Lih. PIUS XII, Amanat kepada Kongres Paripurna Federasi para pemudi Katolik Sedunia, tgl. 18 April 1952: AAS 44 (1952) hlm. 414-419. – IDEM, Amanat kepada perserikatan Kristiani para Pekerja di Italia (ACLI), tgl. 1 Mei 1955: AAS 47 (1955) hlm. 403-403.

[52] Lih. PIUS XII, Amanat kepada para Utusan Sidang Persekutuan-Persekutuan Cinta kasih, tgl. 27 April 1952, Hlm. 470-471.

[53] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 454.

DEKRIT TENTANG PELAYANAN DAN KEHIDUPAN PARA IMAM

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI

PENDAHULUAN

1. Keluhuran TINGKAT PARA IMAM dalam Gereja sudah seringkali oleh Konsili suci ini diingatkan kepada segenap umat beriman[1]. Akan tetapi karena dalam pembaharuan Gereja Kristus kepada Tingkat itu diserahkan peranan yang penting sekali dan semakin sulit, maka pada hemat kami berguna sekali untuk secara lebih luas dan lebih mendalam berbicara tentang para imam. Apa yang dikemukakan disini berlaku bagi semua imam, khususnya mereka yang melayani reksa pastoral, tetapi – dengan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan – juga bagi para imam religius. Sebab para imam, berkat tahbisan dan perutusan yang mereka terima dari para Uskup, diangkat untuk melayani Kristus Guru, Imam dan Raja. Mereka ikut menunaikan pelayanan-Nya, yang bagi Gereja merupakan upaya untuk tiada hentinya dibangun dunia ini menjadi umat Allah, Tubuh Kristus dan Kenisah Roh Kudus. Oleh karena itu, supaya dalam situasi pastoral dan manusiawi sering sekali mengalami perubahan begitu mendalam, pelayanan mereka tetap berlangsung secara lebih efektif, dan kehidupan mereka lebih terpelihara, Konsili suci menyatakan dan memutuskan hal-hal berikut.

BAB SATU- IMAMAT DALAM PERUTUSAN GEREJA

2. (Hakekat imamat)

Tuhan Yesus, “yang oleh Bapa dikuduskan dan diutus ke dunia” (Yoh 10:36), mengikut sertakan seluruh Tubuh mistik-Nya dalam pengurapan Roh yang telah diterimanya sendiri[2]. Sebab dalam Dia semua orang beriman menjadi Imamat kudus dan rajawi, mempersembahkan korban-korban rohani kepada Allah melalui Yesus Kristus, dan mewartakan kekuatan Dia, yang memanggil mereka dari kegelapan ke dalam cahaya-Nya yang mengagumkan[3]. Maka tidak ada anggota, yang tidak berperan serta dalam perutusan seluruh Tubuh. Melainkan setiap anggota wajib menguduskan Yesus dalam hatinya[4], dan dengan semangat kenabian memberi kesaksian tentang Yesus[5].

Tetapi, supaya umat beriman makin berpadu menjadi satu Tubuh, – “di dalamnya tidak semua anggota mempunyai tugas yang sama” (Rom 12:4), – Tuhan itu juga mengangkat ditengah mereka beberapa anggota menjadi pelayan, yang dalam persekutuan umat beriman mempunyai Kuasa Tahbisan suci untuk mempersembahkan Korban dan mengampuni dosa-dosa[6], dan demi nama Kristus secara resmi menunaikan tugas imamat bagi orang-orang. Maka dari itu, sesudah mengutus para Rasul seperti Ia sendiri telah diutus oleh Bapa[7], Kristus, melalui para Rasul itu, mengikutsertakan para pengganti mereka, yakni para Uskup, dalam pentakdisan serta perutusan-Nya[8]. Tugas pelayanan Uskup, pada tingkat yang terbawah kepadanya, diserahkan kepada para imam[9], supaya mereka, sesudah ditahbiskan imam, menjadi rekan-rekan kerja bagi Tingkat para Uskup, untuk sebagaimana mestinya melaksanakan misi kerasulan yang mereka terima dari Kristus[10].

Karena fungsi para imam tergabungkan pada Tingkat para Uskup, fungsi itu ikut menyandang kewibawaan Kristus sendiri, untuk membangun, menguduskan dan membimbing Tubuh-Nya. Oleh karena itu, imamat para imam biasa memang mengandaikan Sakramen-sakramen inisiasi kristiani, tetapi secara khas diterimakan melalui Sakramen, yang melambangkan, bahwa para imam, berkat pengurapan Roh Kudus, ditandai dengan meterai istimewa, dan dengan demikian dijadikan serupa dengan Kristus Sang Imam, sehingga mereka mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala[11].

Karena para imam dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas para Rasul, mereka dikurniai rahmat oleh Allah, untuk menjadi pelayan Kristus Yesus di tengah para bangsa, dengan menunaikan tugas Injil yang suci, supaya persembahan para bangsa, yang disucikan dalam Roh Kudus, berkenan kepada Allah[12]. Sebab melalui Warta Rasuli tentang Injil Umat Allah dipanggil dan dihimpun, sehingga semua orang yang termasuk umat itu karena dikuduskan dalam Roh, mempersembahkan diri sebagai “persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah” (Rom 12:1). Melalui pelayanan para imam korban rohani kaum beriman mencapai kepenuhannya dalam persatuan dengan korban Kristus Pengantara tunggal, yang melalui tangan para imam, atas nama seluruh Gereja, dipersembahkan secara tak berdarah dan sakramental dalam Ekaristi, sampai kedatangan Tuhan sendiri[13]. Itulah arah-tujuan pelayanan para imam; disitulah pelayanan itu mencapai kepenuhannya. Sebab pelayanan mereka, yang berawalmula dari Warta Injil, menerima daya-kekuatannya dari Korban Kristus, dan tujuannya ialah, supaya “seluruh kota yang telah ditebus, yakni persekutuan dan himpunan para kudus, dipersembahkan sebagai korban universal kepada Allah melalui Sang Imam Agung, yang dalam Kesengsaraan-Nya telah mempersembahkan Diri-Nya juga bagi kita, supaya kita menjadi Tubuh Kepala yang seagung itu”[14].

Maka tujuan yang mau dicapai oleh para imam melalui pelayanan maupun hidup mereka yakni kemuliaan Allah Bapa dalam Kristus. Kemuliaan itu tercapai, bila orang-orang secara sadar, bebas dan penuh syukur menerima karya Allah yang terlaksana dalam Kristus, dan menampakkan itu melalui seluruh hidup mereka. Maka bila para imam meluangkan waktu bagi doa dan sembah sujud, atau mewartakan sabda atau mempersembahkan Korban Ekaristi dan menerimakan Sakramen-sakramen lainnya, atau menjalankan pelayanan-pelayanan lain bagi sesama, mereka ikut menambah kemuliaan Allah dan membantu sesama berkembang dalam kehidupan ilahi. Itu semua bersumber pada Paska Kristus, dan akan mencapai kepenuhannya pada kedatangan Tuhan penuh kemuliaan-Nya, bila Ia menyerahkan Kerajaan kepada Allah dan Bapa[15].

3. (Situasi para imam di sunia)

Para imam, yang dipilih dari antara manusia dan ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah, untuk mempersembahkan persembahan dan korban bagi dosa-dosa[16], bergaul dengan orang-orang lain bagaikan dengan saudara-saudari mereka. Begitu pulalah Tuhan Yesus, Putera Allah, manusia yang oleh Bapa diutus kepada sesama manusia, tinggal di antara kita, dan dalam segalanya hendak menyerupai saudara-saudari-Nya, kecuali dalam hal dosa[17]. Para Rasul kudus sudah mengikuti teladan-Nya; dan bersaksilah Santo Paulus, Guru para bangsa, yang “disendirikan untuk Injil Allah” (Rom 1:1), bahwa ia telah menjadi segalanya bagi semua orang, untuk menyelamatkan semua orang[18]. Karena panggilan dan tahbisan mereka para imam Perjanjian Baru dalam arti tertentu disendirikan dalam pengakuan umat Allah, tetapi bukan untuk dipisahkan dari umat atau dari sesama manapun juga, melainkan supaya sepenuhnya ditakdiskan bagi karya, yakni tujuan, mengapa Tuhan memanggil mereka[19]. Mereka tidak akan mampu menjadi pelayan Kristus, seandainya mereka tidak menjadi saksi dan pembagi kehidupan lain dari pada hidup di dunia ini. Tetapi mereka juga tidak akan mampu melayani sesama, seandainya mereka tetap asing terhadap kehidupan serta situasi sesama[20]. Pelayanan mereka sendiri karena alasan khas meminta, supaya mereka jangan menyesuaikan diri dengan dunia ini[21]; tetapi sekaligus meminta juga, supaya di dunia ini mereka hidup di tengah masyarakat, dan sebagai gembala-gembala yang baik mengenal domba-domba mereka, dan berusaha mengajak domba-domba juga, yang tidak termasuk kawanan, supaya merekapun mendengarkan suara Kristus, dan terjadilah satu kawanan dan satu Gembala[22]. Untuk dapat mencapai tujuan itu pentinglah peranan keutamaan-keutamaan, yang dalam persekutuan antar manusia memang sudah selayaknya dihargai; misalnya kebaikan hati, kejujuran, keteguhan hati dan ketabahan, semangat mengusahakan keadilan, sopan santun dan lain-lain, yang dianjurkan oleh Rasul Paulus dengan pesannya : “… Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap di dengar, semua yang disebut kebajikan dan patut di puji, pikirkanlah semuanya itu” (Flp 4:8)[23].

BAB DUA – PELAYANAN PARA IMAM

I. FUNGSI PARA IMAM

4. (Para imam, pelayan Sabda Allah)

Umat Allah pertama-tama dihimpun oleh sabda Allah yang hidup[24], yang karena itu juga sudah selayaknya diharapkan dari mulut para imam[25]. Sebab karena tidak seorang pun dapat di selamatkan, kalau ia tidak beriman[26], para imam sebagai rekan-rekan kerja para Uskup, pertama-tama wajib mewartakan Injil Allah kepada semua orang[27]. Demikianlah, dengan melaksanakan perintah Tuhan: “Pergilah ke seluruh dunia, wartakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk 16:15)[28], mereka membentuk dan mengembangkan Umat Allah. Sebab oleh Sabda penyelamat iman dibangkitkan dalam hati mereka yang tidak percaya, dan dipupuk dalam hati mereka yang percaya. Dengan demikian mulai serta tumbuhlah persekutuan kaum beriman, menurut amanat rasul: “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh sabda Kristus” (Rom 10:17). Jadi para imam mempunyai kewajiban terhadap semua orang, untuk menyampaikan kebenaran Injil kepada mereka[29], sehingga mereka bergembira dalam Tuhan. Entah para imam mempunyai cara hidup yang baik di tengah bangsa-bangsa, dan mengajak mereka memuliakan Allah[30], atau dengan pewartaan yang terbuka menyiarkan misteri Kristus kepada kaum beriman, atau memberikan katekese kristiani atau menguraikan ajaran Gereja, atau mereka berusaha mengkaji masalah-masalah aktual dalam terang Kristus, selalu merupakan tugas mereka: mengajar bukan kebijaksanaan mereka sendiri, melainkan Sabda Allah, dan tiada jemunya mengundang semua orang untuk bertobat dan menuju kesucian[31]. Supaya pewartaan iman, yang dalam situasi dunia zaman sekarang tidak jarang memang sukar sekali, secara lebih mengena menggerakkan hati para pendengar, hendaknya jangan menguraikan sabda Allah secara umum dan abstrak saja, melainkan dengan menerapkan kebenaran Injil yang kekal pada situasi hidup yang konkrit.

Demikianlah pewartaan sabda dilaksanakan dengan aneka cara, menanggapi pelbagai kebutuhan para pendengar dan menurut karisma para pewarta. Di daerah-daerah atau dalam kelompok-kelompok bukan kristen hendaknya orang-orang dengan pewartaan Injil diantar kepada iman dan Sakramen-Sakramen keselamatan[32]. Sedangkan dalam jemaat kristen sendiri, terutama bagi mereka yang agaknya kurang mengimani apa yang sering mereka terima, diperlukan pewartaan sabda untuk pelayanan Sakramen-Sakramen, sebab itu merupakan Sakramen-Sakramen iman, yang timbul dari sabda dan dipupuk dengannya[33]. Terutama bila berlaku Liturgi Sabda dalam perayaan Ekaristi, sebab disitu berpadulah secara tak terpisah pewartaan wafat dan kebangkitan Tuhan, jawaban umat yang mendengarkannya, dan persembahan sendiri, saat Kristus mengukuhkan Perjanjian Baru dalam Darah-Nya, serta keikut-sertaan umat beriman dalam persembahan itu, melalui kerinduan mereka dan penerimaan Sakramen[34].

5. (Para imam, pelayan Sakramen-sakramen dan Ekaristi)

Allah, satu-satunya yang Kudus dan menguduskan, berkenan mengikut-sertakan manusia sebagai rekan serta pembantu-Nya, untuk dengan rendah hati melayani karya pengudusan. Maka para imam, dengan pelayanan Uskup, ditakdiskan oleh Allah, supaya mereka secara istimewa ikut menghayati Imamat Kristus, dan dalam merayakan Ekaristi bertindak sebagai pelayan Dia, yang dalam Liturgi tiada hentinya melaksanakan tugas Imamat-Nya melalui Roh-Nya demi keselamatan kita[35]. Dengan Baptis para imam mengantar orang-orang masuk menjadi anggota umat Allah. Dengan Sakramen Tobat mereka mendamaikan para pendosa dengan Allah dan dengan Gereja. Dengan Minyak orang sakit mereka meringankan para penderita penyakit. Terutama dengan merayakan Misa mereka mempersembahkan Korban Kristus secara sakramental. Dalam melaksanakan semua Sakramen, – seperti pada zaman Gereja purba telah dicanangkan oleh S. Ignatius Martir[36], – para imam dengan pelbagai cara tergabunglah secara hirarkis dengan Uskup, dan dengan demikian menghadirkannya secara tertentu dalam masing-masing jemaat umat beriman[37].

Sakramen-sakramen lainnya, begitu pula semua pelayanan gerejawi serta karya kerasulan, berhubungan erat dengan Ekaristi suci dan terarahkan kepadanya[38]. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja[39], yakni Kristus sendiri, Paska kita dan Roti hidup, yang karena Daging-Nya yang dihidupkan oleh Roh Kudus dan menjadi sumber kehidupan mengurniakan kehidupan kepada manusia. Begitulah manusia diundang dan diantar untuk mempersembahkan diri, jerih-payahnya dan segenap ciptaan bersama dengan-Nya. Oleh karena Injil, sementara pada katekumin langkah demi langkah diantar untuk menyambut Ekaristi, dan umat beriman, yang sudah ditandai dengan Baptis suci dan Penguatan, melalui penyambutan sepenuhnya disaturagakan dalam Tubuh Kristus.

Jadi perjamuan Ekaristi merupakan pusat jemaat beriman, yang dipimpin oleh imam. Maka para imam mengajar umat untuk dalam Korban Ekaristi mempersembahkan Korban ilahi kepada Allah Bapa, dan bersama dengan-Nya mengorbankan hidup mereka sendiri. Dengan semangat Sang Gembala para imam mengajar mereka untuk dengan hati remuk-redam, dalam Sakramen Tobat, menghadapkan dosa-dosa mereka kepada Gereja, sehingga dari hari ke hari mereka semakin berbalik kepada Tuhan, sambil mengingat amanat-Nya: “Bertobatlah, sebab sudah dekatlah Kerajaan Sorga” (Mat 4:17). Para imam mengajar umat untuk berperanserta dalam perayaan Liturgi suci sedemikian rupa, sehingga di situ pun umat mencapai doa yang tulus. Para imam menutun mereka, untuk seumur hidup menghayati semangat doa secara makin sempurna, sesuai dengan rahmat serta kebutuhan mereka masing-masing, lagi pula mengajak semua untuk melaksanakan tugas-kewajiban status hidup mereka, serta mengundang mereka yang sudah lebih maju, untuk menghayati nasehat-nasehat Injil, masing-masing menurut caranya sendiri. Selanjutnya para imam mengajar umat beriman, untuk sepenuh hati bernyanyi bagi Tuhan dengan kidung-kidung serta lagu-lagu rohani, sambil senantiasa mengucapkan syukur kepada Allah Bapa atas segala sesuatu demi nama Tuhan kita Yesus Kristus[40].

Para imam sendiri meluas-ratakan puji-pujian serta ucapan syukur yang mereka lambungkan dalam perayaan Ekaristi dengan mendoakan Ibadat Harian pada jam-jam tertentu. Dengan ibadat itu mereka memanjatkan doa-doa kepada Allah atas nama Gereja, bagi segenap jemaat yang dipercayakan kepada mereka, bahkan bagi seluruh dunia.

Rumah ibadat, tempat Ekaristi suci di rayakan dan di semayamkan, umat beriman berkumpul, serta kehadiran Putera Allah Penyelamat kita, yang dikorbankan di atas altar bagi kita, dihormati dengan sembah-sujud demi bantuan serta penghiburan umat beriman, harus rapi teratur dan sungguh cocok untuk upacara-upacara ibadat[41]. Disitu para Gembala dan umat beriman diundang, untuk dengan hati penuh syukur menanggapi anugerah Dia, yang melalui kemanusiaan-Nya tiada hentinya mencurahkan kehidupan ilahi ke dalam anggota-anggota Tubuh-Nya[42]. Hendaknya para imam berusaha mengembangkan dengan tepat pengetahuan dan kesenian Liturgi, supaya berkat pelayanan liturgis mereka, oleh jemaat-jemaat kristiani yang dipercayakan kepada mereka, dipersembahkan pujian yang semakin sempurna kepada Allah, Bapa dan Putera dan Roh Kudus.

6. (para imam, pemimpin umat Allah)

Sementara para imam, sesuai dengan tingkat partisipasi mereka dalam kewibawaan, menunaikan tugas Kristus sebagai Kepala dan Gembala, mereka atas nama uskup menghimpun keluarga Allah sebagai rukun persaudaraan yang sehati sejiwa, dan melalui Kristus mengantarnya dalam Roh menghadap Allah Bapa[43]. Untuk menjalankan pelayanan itu, seperti juga untuk tugas-tugas imam lainnya, dikurniakan kuasa rohani, yang diberikan untuk membangun umat[44]. Seturut teladan Tuhan, dalam membangun Gereja para imam harus bergaul dengan semua orang penuh perikemanusiaan. Janganlah mereka bertindak terhadap mereka mengikuti selera orang-orang[45], melainkan menurut tuntutan-tuntutan ajaran dan hidup kristen, dengan mengajar serta memperingatkan mereka juga sebagai putera-puteri yang terkasih[46], menurut pesan Rasul: Siap-sedialah, entah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegurlah dan nasehatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2Tim 4:2)[47].

Maka termasuk tugas para imam sebagai pembina imanlah, mengusahakan entah secara langsung atau melalui orang-orang lain, supaya mereka yang beriman masing-masing dibimbing dalam Roh Kudus untuk menghayati panggilannya sendiri menurut Injil, untuk secara aktif mengamalkan cinta kasih yang jujur, dan untuk hidup dalam kebebasan yang dikurniakan oleh Kristus kepada kita[48]. Hanya sedikit sajalah manfaat upacara-upacara betapa pun indahnya, atau himpunan-himpunan betapa pun suburnya bila itu semua tidak diarahkan untuk membina orang-orang menuju kedewasaan kristiani[49]. Untuk memupuk kedewasaan itu mereka dibantu oleh para imam, supaya dalam peristiwa-peristiwa besar maupun kecil mampu menangkap apakah yang dituntut oleh situasi, dimanakah letak kehendak Allah. Hendaknya umat kristen dibina juga, supaya jangan hanya hidup untuk diri sendiri, melainkan – menanggapi tuntutan perintah baru tentang cinta kasih – supaya mereka saling berbagi rahmat, sesuai dengan kasih kurnia yang diterima oleh masing-masing[50], dan dengan demikian semua melaksanakan tugas-tugas mereka secara kristiani dalam masyarakat.

Sungguh pun para imam mempunyai kewajiban terhadap semua orang, hendaknya mereka secara istimewa bertanggung jawab atas kaum miskin dan lemah. Sebab Tuhan sendiri menunjukkan, betapa Ia menyatu dengan mereka[51], dan pewartaan Injil kepada mereka merupakan tanda karya Almasih[52]. Hendaknya secara khas pula mereka perhatikan generasi muda, begitu juga para suami-isteri dan orangtua; dihimbau agar mereka berkumpul dalam rukun-rukun persaudaraan, untuk saling membantu, supaya dalam hidup yang sering penuh kesukaran mereka lebih mudah lebih penuh bertindak secara kristiani. Hendaknya para imam menyadari, bahwa semua religius pria maupun wanita merupakan bagian yang istimewa di rumah Tuhan, dan karena itu layak mendapat pelayanan yang khas demi kemajuan rohani mereka, demi kesejahteraan seluruh Gereja. Akhirnya hendaknya mereka penuh keprihatinan terhadap mereka yang sakit dan menjelang ajalnya, mengunjungi mereka, dan meneguhkan mereka dalam Tuhan[53].

Tugas Gembala tidak terbatas pada reksa pastoral terhadap kaum beriman secara perorangan, melainkan sudah sewajarnya diperluas pula untuk membina jemaat kristen yang sejati. Adapun untuk sebagaimana mestinya memupuk semangat menjemaat, semangat itu jangan hanya mencakup Gereja setempat, melainkan harus pula ,eliputi Gereja semesta. Jemaat setempat hanya mengembangkan reksa pastoral umat berimannya sendiri, melainkan digerakkan oleh semangat misioner wajib pula merintis jalan menuju Kristus bagi semua orang. Tetapi jemaat hendaknya secara khas merasa bertanggung jawab atas para katekumen dan baptisan baru, yang langkah demi langkah harus dibina untuk makin mengenal dan menghayati hidup kristen.

Tiada jemaat kristen dibangun tanpa berakar dan berporos pada perayaan Ekaristi suci. Maka disitulah harus dimulai segala pembinaan semangat menjemaat[54]. Supaya perayaan itu sungguh tulus dan mencapai kepenuhannya, harus mendorong umat ke arah pelbagai karya cinta kasih, usaha saling membantu, kebiatan misioner, dan aneka bentuk kesaksian kristiani. Selain itu, melalui cinta kasih, doa, teladan dan ulah pertobatan, jemaat gerejawi menunjukkan keibuannya yang sejati dengan mengantar jiwa-jiwa kepada Kristus. Sebab jemaat merupakan upaya yang efektif, untuk memperlihatkan kepada mereka yang belum beriman atau merintiskan bagi mereka jalan menuju Kristus serta Gereja-Nya, dan untuk membangkitan semangat kaum beriman, memelihara kehidupan mereka, dan meneguhkan mereka bagi perjuangan rohani.

Dalam membangun jemaat kristen para imam tidak pernah bekerja demi suatu ideologi atau bagi suatu partai; melainkan mereka berkarya sebagai pewarta Injil dan gembala Gereja, untuk mendukung pertumbuhan rohani Tubuh Kristus.

II. HUBUNGAN PARA IMAM DENGAN SESAMA

7. (Hubungan para Uskup dan para imam)

Semua imam bersama para Uskup berperanserta menghayati satu imamat dan satu pelayanan Kristus sedemikian rupa, sehingga kesatuan pentakdisan dan perutusan itu sendiri menuntut persekutuan hirarkis mereka dengan Dewan para Uskup[55]. Persekutuan itu kadang-kadang dengan jelas sekali mereka tampilkan dalam konselebrasi Liturgi; di situ sekaligus mereka ungkapkan, bahwa mereka merayakan Perjamuan Ekaristi dalam persatuan dengan para Uskup[56]. Maka para Uskup, berdasarkan kurnia Roh Kudus yang dalam Tahbisan suci dianugerahkan kepada para imam, memandang mereka sebagai pembantu dan penasehat yang sungguh dibutuhkan dalam pelayanan dan tugas mengajar, menguduskan dan menggembalakan umat Allah[57]. Sudah sejak zaman kuno itu di maklumkan oleh dokumen-dokumen liturgi Gereja, yakni bila secara resmi Allah dimohon untuk mencurahkan atas diri imam yang ditahbiskan “roh rahmat dan nasehat, supaya ia membantu dan membimbing umat dengan hati yang bersih”[58], seperti dulu di padang gurun roh Musa telah disalurkan ke dalam hati tujuh puluh pria yang bijaksana[59], “yang dipekerjakan oleh Musa sebagai pembantunya, sehingga ia dengan mudah memimpin umat yang tak terbilang jumlahnya”[60]. Maka karena persekutuan dalam satu imamat dan satu pelayanan itu, hendaknya para Uskup memandang para imam sebagai saudara dan sahabat mereka[61], serta sedapat mungkin memperhatikan kesejahteraan mereka baik jasmani maupun terutama rohani. Sebab terutama merekalah yang menanggung beban tanggung jawab yang cukup berat atas kesucian para imam mereka[62]. Maka hendaknya mereka usahakan sedapat mungkin pembinaan terus-menerus para imam[63]. Hendaknya para Uskup dengan senang hati mendengarkan para imam, bahkan meminta nasehat mereka, dan merundingkan dengan mereka hal-hal, yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan karya pastoral dan kesejahteraan keuskupan. Agar supaya itu sungguh dilaksanakan, hendaknya dengan cara yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang[64], menutut bentuk dan norma-norma yang ditetapkan oleh hukum, dibentuk dewan atau senat para imam[65], yang mewakili semua imam, untuk dengan nasehat-nasehatnya membantu Uskup secara efektif dalam memimpin keuskupannya.

Adapun para imam hendaknya memandang kepenuhan Sakramen Imamat yang ada pada para Uskup, dan dalam diri mereka menghormati kewibawaan Kristus Gembala Tertinggi. Hendaknya mereka berpaut pada Uskup mereka dengan cinta kasih yang tulus dan sikap patuh-taat[66]. Kepatuhan para imam itu, yang diresapi semangat kerja sama, berdasarkan partisipasi mereka dalam pelayanan Uskup, yang diberikan kepada para imam melalui Sakramen Tahbisan dan perutusan kanonik[67].

Zaman kita sekarang persatuan para imam dengan para Uskup semakin dibutuhkan. Sebab sekarang ini, karena pelbagai faktor, usaha-usaha kerasulan tidak hanya perlu mengenakan bermacam-macam bentuk, tetapi juga melampaui batas-batas satu paroki atau keuskupan. Maka tidak seorang imam pun mampu menunaikan tugas perutusannya secara memadai, bila ia bertindak secara tersendiri dan sebagai perorangan. Imam hanya mampu melaksanakan misinya, bila ia berpadu tenaga dengan para imam lainnya, di bawah bimbingan mereka, yang memimpin Gereja.

8. (Persatuan persaudaraan dan kerja sama antara para imam)

Berkat Tahbisan, yang menempatkan mereka pada Tingkat imamat biasa, semua imam bersatu dalam persaudaraan sakramental yang erat sekali. Khususnya dalam keuskupan, yang mereka layani di bawah uskupnya sendiri, mereka merupakan satu presbiterium. Sebab walaupun para imam menjalankan bermacam-macam tugas, mereka hanya mengemban satu imamat demi pengabdian kepada sesama. Sebab semua imam diutus untuk bekerja sama demi hanya satu karya, entah mereka melayani atau menjalankan pelayanan yang melampaui batas-batas paroki, atau mencurahkan tenaga untuk penelitian ilmiah atau untuk menyalurkan ilmu, atau juga menjalankan pekerjaan tangan sambil ikut mengalami nasib para pekerja, bila atas persetujuan Kuasa gerejawi yang berwenang itu dipandang berguna, atau akhirnya menjalankan karya-karya kerasulan lainnya atau kegiatan-kegiatan yang mendukung kerasulan. Semua imam bekerja sama hanya demi satu tujuan, yakni pembangunan Tubuh Kristus, yang khususnya pada zaman sekarang meliputi bermacam-macam tugas serta meminta penyesuaian-penyesuaian baru. Oleh karena itu pentinglah bahwa semua imam, baik diosesan maupun religius, saling membantu, supaya mereka selalu mengerjakan karya bersama demi kebenaran[68]. Jadi setiap imam berhubungan dengan para anggota presbiterium lainnya karena ikatan-ikatan khas cinta kasih rasuli, pelayanan dan persaudaraan. Sudah sejak kuno itu dilambangkan dalam Liturgi, bila imam-imam yang hadir diundang untuk bersama dengan Uskup pentahbis menumpangkan tangan atas calon tahbisan, dan bila mereka bersama, sehati sejiwa, mempersembahkan Ekaristi suci. Maka masing-masing imam dipersatukan dengan rekan-rekannya seimamat karena ikatan cinta kasih, doa dan aneka macam kerja sama; dan demikian tampillah kesatuan, yang seturut kehendak Kristus dengan sempurna menghimpun para murid-Nya, supaya dunia mengetahui Putera diutus oleh Bapa[69].

Maka dari itu hendaknya para imam yang sudah lebih lanjut usia sungguh menerima mereka yang lebih muda sebagai saudara, serta memberi bantuan dalam karya-kegiatan dan kesulitan-kesulitan di masa awal pelayanan mereka, begitu pula mencoba memahami cara berfikir mereka meskipun itu berlainan dengan visi mereka sendiri, serta penuh simpati mengikuti kegiatan-kegiatan yang mereka prakarsai. Begitu pula imam-imam muda hendaknya menghormati usia serta pengalaman para imam yang lebih tua, meminta nasehat mereka tentang hal-hal yang menyangkut reksa pastoral, dan dengan senang hati bekerja sama dengan mereka.

Hendaknya para imam, dijiwai semangat persaudaraan, jangan melalaikan keramahan menjamu[70], memupuk kemurahan hati dan berbagi harta-milik mereka[71], pun terutama menunjukkan sikap prihatin terhadap mereka yang sakit, tertimpa kesedihan, tertekan oleh beban kerja yang terlampau berat, merasa kesepian, merantau jauh dari tanah air, dan mengalami penganiayaan[72]. Hendaknya mereka dengan senang hati dan gembira berkumpul juga untuk menyegarkan jiwa, seraya mengenangkan sabda undangan Tuhan sendiri kepada Rasul yang sudah lelah: “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah sejenak!” (Mrk 6:31). Kecuali itu, supaya para imam dapat saling membantu mengembangkan hidup rohani dan intelektual, supaya mereka mampu bekerja sama semakin baik dalam pelayanan, serta terhindarkan dari bahaya-bahaya kesepian yang barangkali muncul, hendaknya dikembangkan kehidupan bersama atau rukun hidup antara mereka. Kebersamaan hidup itu dapat mempunyai berbagai bentuk, menurut beranekanya kebutuhan-kebutuhan pribadi maupun pastoral; misalnya: bersama-sama tinggal serumah bila itu mungkin, atau makan bersama, atau setidak-tidaknya seringkali atau secara berkala mengadakan pertemuan. Hendaknya sungguh dihargai dan dikembangkan dengan tekun pula perserikatan-perserikatan, dikukuhkan dengan anggaran dasar atas persetujuan Kuasa gerejawi yang berwenang, dengan maksud mendorong para imam menuju kesucian melalui praktek pelayanan mereka, dan dengan demikian melayani seluruh jajaran para imam, melalui tata hidup yang sesuai dan disetujui bersama maupun bantuan timbal balik secara persaudaraan.

Akhirnya, berdasarkan persekutuan dalam imamat, hendaknya para imam menyadari, bahwa mereka mempunyai kewajiban-kewajiban istimewa terhadap mereka yang sedang mengalami kesukaran-kesukaran. Hendaknya mereka itu di tolong pada waktunya, bila perlu juga melalui peringatan yang bijaksana. Mereka yang jatuh dalam kesalahan-kesalahan tertentu hendaknya selalu ditampung dengan cinta kasih persaudaraan dan kebesaran jiwa. Para imam hendaknya secara intensif memanjatkan doa kepada Allah bagi mereka itu, serta selalu menghadapi mereka sebagai saudara dan sahabat.

9. (Hubungan para imam dengan kaum awam)

Karena Sakramen Tahbisan para imam Perjanjian Baru menunaikan tugas sebagai bapa dan guru, yang amat luhur dan penting sekali dalam dan bagi umat Allah. Akan tetapi bersama sekalian orang beriman mereka sekaligus menjadi murid-murid Tuhan, yang berkat rahmat panggilan Allah diikutsertakan dalam kerajaan-Nya[73]. Sebab bersama siapa saja yang telah lahir kembali karena Baptis, para imam menjadi sesama saudara[74], sebagai anggota satu Tubuh Kristus yang sama, yang pembangunannya diserahkan kepada semua anggota[75].

Oleh karena itu para imam harus memimpin umat sedemikian rupa, sehingga mereka tidak mencari kepentingan sendiri, melainkan kepentingan Yesus Kristus[76], bekerja sama dengan umat beriman awam, dan ditengah mereka membawakan diri menurut teladan Sang Guru, yang diantara sesama “tidak datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani, dan menyerahkan nyawa-Nya demi penebusan banyak orang” (Mat 20:28). Hendaknya para imam dengan tulus mengakui dan mendukung martabat kaum awam beserta bagian perutusan Gereja yang diperuntukkan bagi mereka. Hendaknya para imam sungguh-sungguh menghormati pula kebebasan sewajarnya, yang menjadi hak semua orang di dunia ini. Hendaknya mereka dengan senang hati mendengarkan kaum awam, secara persaudaraan mempertimbangkan keinginan-keinginan mereka, dan mengakui nilai pengalaman maupun kecakapan mereka di pelbagai bidang kegiatan manusia, supaya mereka mampu mengenali tanda-tanda zaman. Sementara menguji roh-roh apakah memang berasal dari Allah[77], hendaknya imam-imam dalam cita-rasa iman menemukan sekian banyak karisma kaum awam, yang bersifat lebih sederhana maupun yang lebih tinggi, mengakuinya dengan gembira, serta dengan seksama mendukung pengembangannya. Diantara anugerah-anugerah Allah alinnya, yang terdapat melimpah dikalangan umat beriman, layak dipelihara secara khas kurnia-kurnia, yang menyebabkan tidak sedikit diantara mereka merasa tertarik ke arah hidup rohani yang lebih mendalam. Begitu pula hendaknya para imam penuh kepercayaan menyerahkan kepada kaum awam tugas-tugas pengabdian kepada Gereja, sambil memberi mereka kebebasan serta ruang gerak, bahkan mengundang mereka juga, untuk atas kerelaan sendiri memanfaatkan peluang yang baik dengan memulai kegiatan-kegiatan[78].

Selanjutnya para imam ditempatkan di tengah kaum awam, untuk mengantarkan semua kepada kesatuan cinta kasih, “sambil saling mengasihi sebagai saudara, dan saling mendahului dalam memberi hormat” (Rom 12:10). Jadi termasuk tugas merekalah memperpadukan berbagai mentalitas sedemikian rupa, sehingga dalam jemaat beriman tidak seorang pun merasa diri terasing. Para imam menjadi pembela kesejahteraan umum, yang atas nama Uskup harus mereka usahakan, pun serta merta pendukung kebenaran yang gigih, supaya umat beriman jangan diombang-ambingkan oleh bermacam-macam angin pengajar[79]. Kepada keprihatinan mereka yang istimewa dipercayakan pula mereka, yang telah meninggalkan penerimaan Sakramen-sakramen, bahkan barangkali iman mereka juga. Hendaknya selaku gembala yang baik para imam jangan lupa mengunjungi mereka. Seraya mengindahkan peraturan-peraturan tentang ekumenisme[80], hendaknya para imam jangan melupakan saudara-saudari, yang belum berada dalam persekutuan gerejawi sepenuhnya dengan kita.

Akhirnya, hendaknya para imam menyadari tanggung jawab mereka pula atas mereka semua, yang tidak mengenal Kristus sebagai Penyelamat mereka.

Adapun umat beriman hendaknya menyadari, bahwa mereka mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap para imam mereka, dan karena itu penuh kasih menghadapi mereka sebagai gembala-gembala serta bapa-bapanya. Begitu pula, sementara ikut merasakan keprihatinan para imam, hendaknya umat sedapat mungkin membantu mereka dengan doa maupun kegiatan, supaya mereka mampu mengatasi kesukaran-kesukaran mereka dengan lebih lancar, dan lebih berhasil juga dalam menjalankan tugas-tugas mereka[81].

III. PENYEBARAN PARA IMAM DAN PANGGILAN-PANGGILAN IMAM

10. (Penyebaran para imam)

Kurnia rohani, yang oleh para imam telah diterima pada pentahbisan mereka, tidak menyiapkan mereka untuk suatu perutusan yang terbatas dan dipersempit, melainkan untuk misi keselamatan yang luas sekali dan universal “sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8). Sebab pelayanan imam manapun juga ikut memiliki jangkauan luas dan universal perutusan, yang oleh Kristus dipercayakan kepada para Rasul. Sebab Imamat Kristus, yang sungguh-sungguh ikut dihayati oleh para imam, tidak dapat lain kecuali ditujukan kepada semua bangsa di segala zaman, dan tak mungkin dipersempit oleh batas-batas suku, bangsa atau kurun waktu, seperti secara gaib dipralambangkan dalam pribadi Melkisedekh[82]. Maka hendaknya para imam menyadari, bahwa mereka wajib mengindahkan keprihatinan semua jemaat. Oleh karena itu para imam keuskupan-keuskupan, yang lebih kaya panggilan, hendaknya dengan sukarela menyediakan diri, seijin atau atas anjuran Ordinaris mereka, untuk melaksanakan pelayanan mereka di kawasan-kawasan, daerah-daerah misi, atau dalam karya-karya, yang serba kekurangan imam.

Selain itu hendaknya norma-norma tentang inkardinasi dan ekskardinasi ditinjau kembali sedemikan rupa, sehingga unsur kelembagaan yang sudah kuno itu, kendati tetap lestari, toh lebih kena menanggapi kebutuhan-kebutuhan pastoral zaman sekarang. Tetapi di mana pun kondisi kerasulan membutuhkannya, hendaknya dipermudah saja bukan hanya penyebaran para imam untuk sungguh menanggapi situasi, melainkan juga karya-karya pastoral yang khas untuk bermacam-macam kelompok sosial, yang perlu dilaksanakan di kawasan atau negara tertentu, atau di daerah manapun juga. Dapat berguna pula mendirikan beberapa seminari internasional, diosis-diosis atau prelatura-prelatura personal yang khusus, atau lembaga-lembaga semacam itu. Dengan cara-cara yang perlu ditetapkan bagi masing-masing usaha, dan tanpa pernah mengurangi hak-hak para ordinaris setempat, imam-imam dapat bergabung atau diinkardinasi pada lembaga-lembaga itu demi kesejahteraan Gereja semesta.

Akan tetapi, ke daerah baru, terutama bila bahasa maupun adat istiadatnya belum dikenal dengan baik, hendaknya para imam sedapat mungkin dapat di utus seorang demi seorang, melainkan seturut teladan para murid Kristus[83], sekurang-kurangnya berdua atau bertiga, supaya dengan demikian mereka saling membantu. Begitu pula cukup pentinglah bahwa hidup rohani mereka sungguh-sungguh dipelihara, pun juga kesehatan jiwa raga mereka. Selain itu, sejauh mungkin hendaknya bagi mereka masing-masing. Penting sekali jugalah, bahwa mereka yang melawat ke bangsa yang baru, berusaha mengenal dengan baik bukan saja bahasa daerah itu, melainkan juga sifat perangai psikologis maupun sosial yang khas bagi bangsa itu. Kalau memang mereka bermaksud melayaninya dengan kerendahan hati, mereka harus dapat berkomunikasi sesempurna mungkin dengannya, menganut teladan rasul Paulus yang menyatakan tentang dirinya: “Sungguh pun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba bagi semua orang, supaya aku boleh memperoleh mereka sebanyak mungkin. Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memperoleh orang-orang Yahudi …” (1Kor 9:19-20).

11. (Usaha para imam untuk mendapat penggilan-panggilan imam)

Sang Gembala dan Pemelihara jiwa-jiwa[84] sedemikian rupa mendirikan Gereja-Nya, sehingga umat yang telah di pilih dan diperoleh-Nya dengan Darah-Nya[85] senantiasa dan hingga akhir zaman harus memiliki imam-imamnya, supaya jangan pernahlah umat kristen bagaikan domba tanpa gembala[86]. Memahami kehendak Kristus itu, para Rasul, atas dorongan Roh Kudus, memandang sebagai kewajiban mereka memilih pelayan-pelayan, “yang akan cakap juga untuk mengajar orang-orang lain” (2Tim 2:2). Kewajiban itu pasti termasuk perutusan imamat juga. Karena misi itu lah pula imam ikut serta merasakan keprihatinan Gereja semesta, supaya jangan pernah umat Allah di dunia kekurangan pekerja-pekerja. Akan tetapi, karena “pengemudi kapal dan para penumpangnya … mempunyai kepentingan bersama”[87], maka hendaknya segenap umat kristen diajak memahami kewajibannya untuk dengan aneka cara menyumbangkan usahanya, dengan berdoa terus-menerus, begitu pula melalui upaya-upaya lain yang tersedia bagi mereka[88], supaya Gereja selalu mempunyai imam-imam, yang sungguh diperlukan untuk menjalankan misinya yang ilahi. Pertama-tama hendaknya para imam memperhatikan sepenuhnya, supaya melalui pelayanan sabda maupun kesaksian hidup mereka sendiri, yang jelas menampilkan semangat pengabdian dan kegembiraan Paska yang sejati, mereka mengajak umat beriman menyadari keluhuran serta mutlak perlunya imamat. Dan bila ada pemuda-pemuda atau mereka yang sudah lebih dewasa, yang – menurut penilaian para imam yang cermat-bijaksana – memang cakap untuk pelayanan seagung itu, hendaknya mereka, – tanpa menghemat usaha atau memperhitungkan jerih-payah – membantu para pemuda itu, supaya menyiapkan diri dengan baik, dan kemudian suatu ketika , tanpa mengurangi kebebasan mereka sepenuhnya lahir maupun batin, dapat dipanggil oleh para Uskup. Guna mencapai tujuan itu bermanfaat sekalilah bimbingan rohani yang tekun dan bijaksana. Para orangtua dan guru-guru, serta siapa saja yang dengan suatu cara atai lain berkecimpung dalam pendidikan anak-anak dan kaum muda, hendaknya mendidik mereka sedemikian rupa, sehingga mereka memahami keprihatinan Tuhan terhadap kawanan-Nya, memikirkan kebutuhan-kebutuhan Gereja, dan siap sedia untuk dengan kebesaran jiwa menjawab Tuhan yang memanggil mereka, bersama nabi: “Lihatlah aku, utuslah aku” (Yes 6:8). Akan tetapi jangan sekali-kali diharapkan, seolah-olah sabda panggilan Tuhan itu menyapa hati si calon imam dengan cara yang luar biasa. Sebab sabda itu harus ditangkap serta dipertimbangkan berdasarkan isyarat-isyarat, yang setiap hari memperkenalkan kehendak Allah kepada orang-orang kristen bijaksana. Dan tanda-tanda itu hendaknya dipertimbangkan dengan saksama oleh para imam[89].

Oleh karena itu kepada mereka sangat dianjurkan Karya-karya panggilan, pada tingkat keuskupan maupun pada tingkat nasional[90]. Dalam kotbah-kotbah, dalam katekese, melalui majalah-majalah, perlu diuraikan dengan jelas kebutuhan-kebutuhan Gereja setempat maupun Gereja semesta. Arti maupun keluhuran pelayanan imam hendaknya dipaparkan sejelas-jelasnya. Sebab dalam pelayanan itulah beban-beban yang amat berat berpadu dengan kegembiraan yang meluap; dan dalam pelayanan itu – menurut ajaran Bapa Gereja – terutama dapat diberikan kepada Kristus kesaksian cinta kasih yang sungguh agung[91].

BAB TIGA – KEHIDUPAN PARA IMAM

I. PANGGILAN PARA IMAM UNTUK KESEMPURNAAN

12. (Panggilan para imam untuk kesucian)

Karena Sakramen Tahbisan para imam dijadikan secitra dengan Kristus Sang Imam, sebagai pelayan Sang Kepala, untuk membentuk dan membangun seluruh Tubuh-Nya, yakni Gereja, sebagai rekan-rekan kerja Tingkat para Uskup. Sudah pada pentakdisan Babtis mereka, seperti semua orang beriman, menerima tanda serta kurnia panggilan dan rahmat seagung itu, sehingga ditengah kelemahan manusiawi pun[92], mereka mampu dan harus menuju kesempurnaan, menurut amanat Tuhan: “Hendaknya kalian menjadi sempurna, seperti Bapamu di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48). Para imam wajib mencapai kesempurnaan itu berdasarkan alasan yang khas, yakni: karena dengan menerima Tahbisan mereka secara baru ditakdiskan kepada Allah. Mereka menjadi sarana yang hidup bagi kristus Sang Imam Abadi, untuk dapat melangsungkan di sepanjang masa karya-Nya yang mengagumkan, yang dengan kekuatan adikodrati telah mengembalikan keutuhan segenap umat manusia[93]. Maka karena setiap imam dengan caranya sendiri membawakan pribadi Kristus sendiri, maka ia diperkaya juga dengan rahmat istimewa, agar supaya dengan melayani jemaat yang diserahkan kepadanya serta segenap umat Allah, ia lebih mampu menuju kesempurnaan Dia, yang peranan-Nya dihadirkan olehnya, dan supaya kelemahan manusia daging disembuhkan oleh kesucian Dia, yang bagi kita telah menjadi Imam Agung, “kudus, tidak mengenal dosa, tanpa noda, terpisahkan dari kaum pendosa” (Ibr 7:26).

Kristus, yang oleh Bapa telah disucikan atau ditakdiskan dan diutus ke dunia[94], “telah menyerahkan Diri bagi kita, untuk menebus kita dari segala kejahatan, dan untuk menguduskan bagi Dirinya suatu umat milik-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik” Itit 2:14); demikianlah melalui kesengsaraan-Nya Kristus telah memasuki kemuliaan-Nya[95]. Begitu pula para imam, yang ditakdiskan dengan pengurapan Roh Kudus dan diutus oleh Kristus, mematikan dalam diri mereka perbuatan daging, dan membaktikan diri seutuhnya dalam pengabdian kepada sesama, dan dengan demikian mampu melangkah maju dalam kesucian, yang telah mereka terima dalam Kristus, menuju kedewasaan penuh[96].

Oleh karena itu, sambil menunaikan pelayanan Roh dan keadilan, para imam, asal membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kristus yang menghidupkan dan menuntun mereka, makin diteguhkan dalam kehidupan roh. Sebab melalui kegiatan Liturgi setiap hari, begitu pula melalui seluruh pelayanan mereka, yang mereka jalankan dalam persekutuan dengan Uskup maupun rekan-rekan imam, mereka sendiri menuju kesempurnaan hidup. Kekudusan para imam besar sekali artinya untuk dengan subur menjalankan pelayanan mereka. Sebab, sungguh pun rahmat Allah juga melalui pelayan-pelayan yang tak pantas mampu melaksanakan karya keselamatan, tetapi lazimnya Allah memilih menampilkan karya-karya agung-Nya melalui mereka, yang lebih terbuka bagi dorongan dan bimbingan Roh Kudus, dan karena persatuan mereka yang mesra dengan kristus serta kekudusan perihidup, bersama Rasul dapat menyatakan: “Aku hidup, bukan lagi aku, melainkan Kristuslah yang hidup dalam diriku” (Gal 2:20).

Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan-tujuan pastoralnya, yakni pembaharuan Gereja ke dalam, penyebaran Injil ke seluruh dunia, lagi pula dialog dengan dunia zaman sekarang, Konsili ini sungguh-sungguh mengajak semua imam: hendaknya mereka dengan memanfaatkan upaya-upaya yang cocok seperti telah dianjurkan oleh gereja[97], selalu berusaha menuju kekudusan yang semakin luhur, sehingga dari hari ke hari mereka menjadi sarana yang makin sesuai dalam pengabdian kepada segenap umat Allah.

13. (Pelaksanaan ketiga fungsi imamat menuntut dan sekaligus mendukung kesucian)

Pada hakekatnya para imam akan mencapai kesucian dan menunaikan tugas-tugas mereka dalam Roh Kristus, secara tulus dan tanpa mengenal lelah.

Sebab karena mereka itu pelayan sabda Allah, maka setiap hari mereka membaca dan mendengarkan sabda Allah, yang wajib mereka sampaikan pada sesama. Bila mereka sekaligus berusaha meresapkannya dalam hati, mereka akan menjadi murid-murid Tuhan yang kian sempurna, seturut pesan Rasul Paulus kepada Timoteus: “Renungkanlah semuanya itu, hiduplah di dalamnya, supaya kemajuanmu nyata bagi semua orang. Awasilah dirimu sendiri dan ajaranmu; bertekunlah dalam semuanya itu. Sebab dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan mereka yang mendengar engkau” (1Tim 4:15-16). Karena seraya mencari bagaimana dapat menyalurkan lebih baik kepada sesama apa yang telah mereka renungkan[98], maka akan secara lebih mendalam menikmati “kekayaan kristus yang tidak terselami” (Ef 3:8) dan pelbagai ragam hikmat Allah[99]. Sementara tetap menyadari, bahwa Tuhanlah yang membuka hati orang-orang[100], dan keluhuran sabda tidak berasal dari mereka sendiri, melainkan dari kekuatan Allah[101], dalam kegiatan menyalurkan sabda sendiri mereka akan lebih erat bersatu dengan Kristus Sang Guru dan dibimbing oleh Roh-Nya. Bila demikian mereka bergaul dengan Kristus, mereka ikut serta mengalami cinta kasih Allah, yang misteri-Nya yang tersembunyi sejak kekal[102] telah diwahyukan dalam Kristus.

Sebagai pelayan Liturgi, terutama dalam korban Ekaristi, para imam secara khas membawakan Pribadi Kristus, yang telah menyerahkan diri sebagai korban demi pengudusan manusia. Itulah sebabnya, mengapa mereka di undang, untuk ikut ikut menghayati apa yang mereka laksanakan: sementara merayakan misteri wafat Tuhan, hendaknya mereka berusaha mematikan anggota-anggota tubuh mereka dari cacat-cela dan nafsu-nafsu[103]. Dalam misteri korban Ekaristi, saat para imam melaksanakan tugas utama mereka, karya penebusan kita terus-menerus diwujudkan[104]. Maka dari itu sangat dianjurkan, supaya Ekaristi dirayakan setiap hari, yang meskipun tidak dihadiri oleh umat beriman, tetapi tetap merupakan tindakan Kristus dan Gereja[105]. Begitulah, sementara para imam menggabungkan diri dengan tindakan Kristus Sang Imam, mereka setiap hari mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah, dan seraya menyambut Tubuh Kristus, mereka dengan ketulusan hati ikut mengalami cinta kasih Dia, yang mengurniakan Diri sebagai santapan kepada umat beriman. Begitu pula dalam melayani Sakramen-sakramen mereka menyatukan diri dengan maksud dan cinta kasih Kristus. Secara khusus itu mereka jalankan, bila mereka nampak bersedia sepenuhnya dan selalu untuk melayani Sakramen Tobat, setiap kali itu secara wajar diminta oleh umat beriman. Dalam mendoakan ibadat harian mereka menyuarakan maksud Gereja, yang atas nama seluruh umat manusia bertabah dalam doa, dalam persatuan dengan Kristus, yang “senantiasa hidup untuk menjadi pengantara kita” (Ibr 7:25).

Sambil membimbing dan menggembalakan umat Allah, para imam didororng oleh Sang Gembala Baik, untuk menyerahkan nyawa mereka demi domba-domba mereka[106], pun siap sedia juga untuk pengorbanan yang paling luhur, mengikuti teladan para imam, yang pada zaman sekarang pun tidak menolak untuk mengorbankan hidupnya. Sebagai pembina imam mereka sendiri “penuh keberanian untuk memasuki tempat yang kudus dalam Darah Kristus” (Ibr 10:19), dan menghadap Allah “dengan hati yang tulus ikhlas dalam kepenuhan iman” (Ibr 10:22). Mereka mempunyai harapan yang teguh bagi jemaat beriman mereka[107]], untuk dapat menghibur siapa saja yang mengalami bermacam-macam tekanan, dengan hiburan-hiburan, seperti mereka sendiri juga dihibur oleh Allah[108]. Selaku pemimpin jemaat mereka menjalankan askese yang khas bagi gembala jiwa-jiwa, dengan mengesampingkan keuntungan-keuntungan pribadi, tanpa mencari apa yang berfaedah bagi diri mereka, melainkan dengan mengusahakan apa yang bermanfaat untuk banyak orang, supaya mereka diselamatkan[109]. Mereka tetap melangkah maju untuk menunaikan reksa pastoral secara lebih sempurna, dan bila diperlukan, bersedia menempuh cara-cara berpastoral yang baru, dibawah bimbingan Roh cinta kasih, yang “bertiup ke mana Ia berkenan”[110].

14. (Keutuhan dan keselarasan kehidupan para imam)

Di dunia zaman sekarang banyak sekali tugas yang harus dijalankan, dan sangat beranekalah masalah-persoalan yang mencemaskan orang-orang serta sering kali perlu segera mereka pecahkan, sehingga tidak jarang mereka terancam bahaya terombang-ambingkan kian-kemari. Para imam sendiri, yang terlibat dalam tugas-kewajiban yang bertubi-tubi dan terbagi-bagi perhatiannya, dengan cemas dapat bertanya-tanya, bagaimana mereka mampu memperpadukan kehidupan batin dengan kegiatan lahiriah mereka. Keutuhan hidup itu tidak tercapai melulu dengan mengatur secara lahiriah karya-karya pelayanan, pun tidak melalui praktek latihan-latihan rohani semata-mata, betapa pun itu semua ikut mendukung keselarasan hidup. Tetapi para imam mampu mewujudkan keutuhan itu, bila dalam menjalankan pelayanan mereka mengikuti teladan Kristus Tuhan, yang makanan-Nya ialah: menjalankan kehendak Bapa, yang mengutus-Nya untuk menyelesaikan karya-Nya[111].

Memang benarlah, untuk tiada hentinya menjalankan kehendak Bapa itu di dunia melalui Gereja, Kristus berkarya dengan pengantara para pelayan-Nya. Oleh karena itu Ia tetep menjadi dasar dan sumber keutuhan hidup mereka, bila mereka menyatukan diri dengan kristus dalam mengenal kehendak Bapa, maupun dalam penyerahan diri mereka bagi kawanan yang menjadi tanggung jawab mereka[112]. Demikianlah, dengan menjalankan peranan Sang Gembala Baik, mereka akan menemukan dalam pengalaman cinta kasih kegembalaan itu sendiri ikatan kesempurnaan imamat, yang akan menyatukan kehidupan serta kegiatan mereka. Cinta kasih kegembalaan itu[113] terutama bersumber pada korban Ekaristi, yang karena itu menjadi pusat dan dasar akar seluruh kehidupan imam, sehingga semangat imamat berusaha meresapkan dalam dirinya apa yang berlangsung di atas altar pengorbanan. Dan itu hanyalah tercapai, bila para imam sendiri melalui doa kian mendalam menyelami misteri kristus.

Untuk dapat mewujudkan keutuhan hidup mereka secara konkrit juga, hendaknya para imam mempertimbangkan segala usaha mereka dengan menilai, di manakah letak kehendak Allah[114], artinya: manakah kesesuaian antara kegiatan-kegiatan itu dengan kaidah-kaidah perutusan Gereja menurut Injil. Sebab kesetiaan terhadap Kristus tidak terceraikan dari kesetiaan terhadap Gereja-Nya. Maka cinta kasih kegembalaan meminta, supaya para imam selalu berkarya dalam ikatan persekutuan dengan para Uskup serta saudara-saudara seimamat lainnya, supaya mereka jangan percuma saja menjalankan kegiatan mereka[115]. Dengan bertindak begitu para imam akan menemukan keutuhan hidup mereka sendiri justru dalam kesatuan perutusan Gereja. Begitulah mereka akan dipersatukan dengan Tuhan mereka, dan melalui Dia dengan Bapa, dalam Roh Kudus, sehingga dapat menikmati hiburan rohani serta kegembiraan yang meluap[116].

II. TUNTUTAN-TUNTUTAN ROHANI YANG KHAS DALAM KEHIDUPAN IMAM

15. (Kerendahan hati dan ketaatan)

Diantara keutamaan-keutamaan yang perlu sekali bagi pelayanan para imam layaklah disebutkan sikap hati yang selalu bersedia bukan untuk mencari kehendak sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus mereka[117]. Sebab karya ilahi – untuk melaksanakan itu mereka telah dikhususkan oleh Roh Kudus[118] – melampaui semua kekuatan manusiawi. “Apa yang lemah bagi dunia, dipilih oleh Allah, untuk memalukan yang kuat” (1Kor 1:27). Maka menyadari kelemahannya sendiri, pelayan Kristus yang sejati bekerja dengan rendah hati, mempertimbangkan apa yang berkenan kepada Allah[119], dan, bagaikan tawanan Roh[120]] dalam segalanya dibimbing oleh kehendak Dia, yang menghendaki keselamatan semua orang. Kehendak itu dapat ditemukan dan dilaksanakannya dalam situasi sehari-hari, dengan melayani dalam kerendahan hati mereka semua, yang oleh Allah dipercayakan kepadanya, dalam tugas yang menjadi tanggungannya dan dalam bermacam-macam peristiwa hidupnya.

Karena pelayanan imamat itu pelayanan Gereja sendiri, maka hanya dapat dilaksanakan dalam persekutuan hirarkis seluruh Tubuh. Maka cinta kasih kegembalaan mendesak para imam, untuk dalam rangka persekutuan itu melalui ketaatan membaktikan kehendak mereka sendiri dalam pengabdian kepada Allah dan sesama, sambil menerima dan menjalankan dalam semangat iman apa yang diperintahkan atau dianjurkan oleh Paus dan oleh Uskup mereka sendiri serta oleh para pemimpin lainnya; sambil dengan sukarela mengorbankan kemampuan dan bahkan diri mereka sendiri[121], dalam tugas manapun yang dipercayakan kepada mereka, juga dalam tugas yang agak rendah dan tidak terpandang. Sebab dengan demikian mereka melestarikan dan memantapkan kesatuan yang diperlukan dengan rekan-rekan mereka sepelayanan, terutama dengan mereka, yang oleh Tuhan ditetapkan sebagai pemimpin-pemimpin Gereja-Nya yang kelihatan; dan mereka berkarya demi pembangunan Tubuh Kristus, yang bertumbuh “melalui segala sendi-sendi pelayanan”[122]. Ketaatan itu, yang mengantar kepada kebebasan yang lebih dewasa putera-putera Allah, pada hakekatnya supaya para imam – sementara dalam menunaikan tugas mereka, terdorong oleh cinta kasih, mereka dengan bijaksana merintis jalan-jalan baru untuk meningkatkan kesejahteraan Gereja, – penuh kepercayaan mengemukakan prakarsa-prakarsa mereka, serta menekankan kebutuhan-kebutuhan jemaat yang diserahkan kepada mereka, tetapi selalu bersedia pula mematuhi keputusan mereka, yang menjalankan fungsi utama dalam kepemimpinan Gereja Allah.

Melalui kerendahan hati serta ketaatan yang sukarela dan penuh tanggung jawab itu para imam menjadi secitra dengan kristus, penuh citarasa seperti terdapat pada Kristus Yesus, yang “mengosongkan Diri dengan mengenakan penampilan seorang hamba … menjadi taat sampai mati” (Flp 2:7-9); Dia, yang dengan ketaatan-Nya itu telah mengalahkan dan menebus ketidaktaatan Adam, menurut sabda Paulus: “Karena ketidak-taatan satu orang banyak orang telah menjadi pendosa; begitu pula karena ketaatan satu orang banyak orang menjadi benar” (Rom 5:19).

16. (Selibat: diterima dan dihargai sebagai kurnia)

Pantang sempurna dan seumur hidup demi Kerajaan Sorga telah dianjurkan oleh kristus Tuhan[123], dan di sepanjang masa, juga zaman sekarang ini, oleh banyak orang kriten telah diterimakan dengan sukarela dan dihayati secara terpuji. Pantang itu oleh Gereja selalu sangat dijunjung tinggi bagi kehidupan imam. Sebab merupakan lambang dan sekaligus dorongan cinta kasih kegembalaan, serta sumber istimewa kesuburan rohani di dunia[124]. Memang pantang itu tidak dituntut oleh imamat berdasarkan hakekatnya, seperti ternyata juga dari praktek Gereja Purba[125] dan dari tradisi Gereja-Gereja Timur. Di situ, kecuali mereka, yang bersama semua Uskup berkat kurnia rahmat memilih menghayati selibat, terdapat juga imam-imam beristeri yang besar sekali jasanya. Sementara menganjurkan selibat gerejawi, Konsili ini sama sekali tidak bermaksud merubah tata tertib yang berbeda, yang berlaku secara sah di Gereja-Gereja Timur. Konsili penuh kasih mendorong mereka semua, yang telah menerima imamat dalam perkawinan, supaya mereka tabah dalam panggilan suci, dan tetap harus membaktikan hidup mereka sepenuhnya serta dengan tulus ikhlas kepada kawanan yang diserahkan kepada mereka[126].

Tetapi ditinjau dari pelbagai sudut selibat mempunyai kesesuaian dengan imamat. Sebab perutusan imam seutuhnya dibaktikan dalam pengabdian kepada kemanusiaan baru, yang oleh Kristus yang jaya atas maut melalui Roh-Nya dibangkitkan di dunia, dan berasal “bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah” (Yoh 1:13). Dengan menghayati keperawanan atau selibat demi Kerajaan Sorga[127], para imam secara baru dan luhur dikuduskan bagi kristus. Mereka lebih mudah berpaut pada-Nya dengan hati tak terbagi[128], lebih bebas dalam kristus dan melalui Dia membaktikan diri dalam pengabdian kepada Allah dan sesama, lebih lancar melayani kerajaan-Nya serta karya kelahiran kembali adikodrtai, dan dengan demikian menjadi lebih cakap untuk menerima secara lebih luas kebapaan dalam kristus. Jadi dengan demikian mereka menyatakan dihadapan umum, bahwa mereka bermaksud seutuhnya membaktikan diri kepada tugas yang dipercayakan kepada mereka, yakni mempertunangkan umat beriman dengan satu Pria, dan menghadapkan mereka sebagai perawan murni kepada Kristus[129]. Demikianlah mereka membangkitkan kesadaran akan perkawinan penuh rahasia, yang telah diciptakan oleh Allah dan di masa depan akan ditampilkan sepenuhnya, yakni bahwa Gereja hanya mempunyai Kristus sebagai Mempelai satu-satunya[130]. Kecuali itu mereka menjadi lambang hidup dunia yang akan datang, tetapi sekarang sudah hadir melalui iman dan cinta kasih: di situ puteri-puteri kebangkitan tidak akan menikah dan dinikahkan[131].

Karena alasan-alasan yang di dasarkan pada misteri Kristus serta perutusannya itulah, maka selibat, yang semula dianjurkan kepada para imam, kemudian dalam Gereja Latin di wajibkan berdasarkan hukum bagi siapa saja, yang akan menerima Tahbisan suci. Mengenai mereka yang diperuntukkan bagi imamat, ketetapan hukum itu oleh Konsili suci ini sekali lagi disetujui dan dikukuhkan. Konsili percaya, bahwa kurnia selibat, yang begitu cocok bagi imamat Perjanjian Baru, dalam Roh akan dikurniakan penuh kemurahan oleh Bapa, dan yang begitu jelas dipuji oleh Tuhan[132], serta tetap menyadari misteri-misteri agung, yang dilambangkan dan diwujudkan olehnya. Semakin pantang di dunia masa kini oleh banyak orang dianggap mustahil, semakin para imam dengan tabah dan rendah hati akan memohon bersama dengan Gereja rahmat kesetiaan, yang selalu akan dikurniakan kepada mereka yang memohonnya. Sementara itu hendaknya mereka memanfaatkan segala bantuan adikodrati maupun kodrati, yang tersedia bagi semua orang. Terutama pedoman-pedoman askese, yang sudah teruji berkat pengalaman Gereja, dan yang di dunia sekarang tetap dibutuhkan, hendaknya tetap mereka laksanakan. Oleh karena itu Konsili suci ini meminta bukan saja kepada para imam, melainkan kepada segenap umat beriman, supaya mereka tetap menjunjung tinggi anugerah selibat imam yang begitu berharga, dan supaya mereka semua memohon kepada Allah, supaya Ia selalu menganugerahkan kurnia itu secara melimpah kepada gereja-Nya.

17. (Sikap terhadap dunia dan harta duniawi – Kemiskinan sukarela)

Melalui pergaulan persahabatan dan persaudaraan antar mereka sendiri dan dengan orang-orang lain, para imam dapat belajar mengembangkan nilai-nilai manusiawi dan menghargai ciptaan-ciptaan sebagai kurnia Allah. Tetapi selama hidup di dunia hendaknya mereka selalu menyadari bahwa seturut sabda Tuhan Guru kita mereka bukanlah dari dunia[133]. Maka sambil menggunakan hal-hal duniawi seolah-olah tidak menggunakannya[134], mereka akan mencapai kebebasan dari segala kesibukan yang tak teratur, dan akan lebih terbuka untuk mendengarkan sabda ilahi dalam hidup sehari-hari. Dari kebebasan dan sikap terbuka itu tumbuhlah sikap penegasan rohani, yang membantu mereka menemukan sikap yang tepat terhadap dunia dan harta duniawi. Bagi para imam sikap itu penting sekali, sebab perutusan Gereja memang berlangsung di tengah dunia, lagi pula hal-hal tercipta memang sungguh dibutuhkan bagi perkembangan pribadi manusia. Maka hendaknya mereka penuh rasa syukur atas segala sesuatu, yang mereka terima dari Bapa di Sorga untuk hidup secara layak. Akan tetapi mereka perlu mempertimbangkan dalam cahaya iman segala sesuatu yang mereka alami, supaya mereka menemukan cara yang tepat untuk menggunakan hal-hal duniawi sesuai dengan kehendak Allah, dan menolak segala sesuatu yang merugikan perutusan mereka.

Sebab para imam Tuhan sendirilah “bagian dan milik pusaka” (Bil 18:20). Maka mereka harus menggunakan hal-hal duniawi hanya demi tujuan-tujuan yang sungguh halal menurut ajaran Kristus Tuhan dan peraturan Gereja.

Mengenai harta milik yang sungguh bersifat gerejawi: hendaklah para imam sebagamana mestinya mengurusi harta itu menurut katentuan hukum kanonik, sedapat mungkin dengan bantuan para awam yang ahli. Hendaknya milik itu selalu mereka peruntukkan bagi tujuan-tujuan, yang memang boleh diusahakan oleh Gereja, dan menghalalkan harta-milik itu baginya, yakni: untuk mengatur pelaksanaan ibadat kepada Allah, untuk menyediakan rezeki hidup secukupnya bagi klerus, begitu pula untuk melaksanakan karya-karya kerasulan dan cinta kasih, terutama terhadap kaum miskin[135]. Sedangkan harta, yang mereka peroleh selama menunaikan suatu jabatan gerejawi, hendaknya – dengan tetap mengindahkan hukum khusus[136] – digunakan oleh para imam maupun para Uskup pertama-tama untuk dapat hidup secara layak, dan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban status hidup mereka. Apa yang masih tersisakan, hendaknya mereka peruntukkan bagi kesejahteraan Gereja atau karya-karya cinta kasih. Maka dari itu hendaknya jabatan gerejawi jangan dijadikan kesempatan untuk memperkaya diri; jangan pula penghasilan yang di peroleh daripadanya digunakan untuk memperluas milik kaum kerabat sendiri[137]]. Oleh karena itu janganlah para imam menaruh hati pada harta-kekayaan[138]. Hendaknya mereka selalu menghindari segala keserakahan, dan sungguh-sungguh menghindari segala kesan mau berdagang.

Bahkan para imam di undang untuk hidup dalam kemiskinan sukarela. Dengan begitu mereka secara lebih nyata menyerupai Kristus, dan lebih siap-sedia untuk pelayanan suci. Sebab demi kita Kristus telah menjadi miskin, padahal Ia kaya, supaya karena kemiskinan-Nya kitalah yang menjadi kaya[139]. Melalui teladan para Rasul telah memberi kesaksian, bahwa kurnia Allah yang Cuma-Cuma harus disalurkan dengan Cuma-Cuma pula[140], dan bahwa mereka tahu menderita kekurangan dan mengalami kelimpahan[141]. Tetapi juga semacam penggunaan bersama barang-barang, seperti persekutuan harta-milik yang sangat dihargai dalam sejarah Gereja Purba[142], dapat membuka jalan lapang sekali bagi cinta kasih kegembalaan. Dengan corak hidup itu para imam secara terpuji dapat mempraktekkan semangat kemiskinan, yang dianjurkan oleh Kristus.

Maka dibimbing oleh Roh Tuhan, yang mengurapi Sang penyelamat dan mengutus-Nya mewartakan Injil kepada kaum miskin[143], hendaknya para imam maupun para Uskup menghindari segala sesuatu, yang entah bagaimana dapat menjauhkan kaum miskin. Hendaknya mereka, lebih lagi dari para murid Kristus lainnya, menyingkirkan segala kesan kesia-kesiaan pada milik kepunyaan mereka. Rumah kediaman hendaknya mereka atur sedemikian rupa, sehingga nampak terbuka bagi siapa saja, dan tidak seorang pun, juga yang paling hina, merasa takut mengunjunginya.

III. UPAYA-UPAYA – YANG MENDUKUNG KEHIDUPAN PARA IMAM

18. (Upaya-upaya untuk mengembangkan hidup rohani)

Supaya dapat menghayati persatuan dengan Kristus dalam segala situsi hidup mereka, selain melalui pelaksanaan pelayanan mereka penuh kesadaran, bagi para imam tersedia juga berbagai upaya bersama maupun khusus, baru maupun lama, yang tiada hentinya disiapkan oleh Roh Kudus dan umat Allah, dan yang dianjurkan, bahkan ada kalanya juga diwajibkan oleh Gereja demi pengudusan para anggotanya[144]. Yang lebih luhur dari segala bantuan rohani ialah tindakan-tindakan, yang bagi umat beriman menyediakan santapan Sabda Allah pada kedua meja, yakni Kitab suci dan Ekaristi[145]. Bagi siapa pun jelaslah, betapa penting bagi pengudusan para imam untuk terus menerus memanfaatkannya.

Para pelayan rahmat sakramental dipersatukan mesra dengan Kristus Sang Penyelamat dan gembala melalui penerimaan Sakramen-Sakramen yang memperbuahkan rahmat, khususnya dengan sering menerima Sakramen Tobat, yang bila disiapkan melalui pemeriksaan batin harian, sungguh merupakan dukungan kuat bagi pertobatan hati yang memang perlu kepada cinta kasih Bapa yang penuh belas kasihan. Dalam terang iman yang dikembangkan melalui bacaan Kitab suci, para imam dapat dengan tekun menyelidiki isyarat-isyarat kehendak Allah maupun dorongan-dorongan rahmat-Nya dalam pelbagai peristiwa hidup. Demikianlah mereka dapat makin bertambah peka terhadap perutusan yang mereka terima dalam Roh Kudus. Bagi sikap peka-terbuka itu para imam senantiasa menemukan contoh yang mengagumkan pada diri Santa Perawan Maria, yang dibimbing oleg Roh Kudus membaktikan diri sepenuhnya kepada misteri penebusan umat manusia[146]. Hendaknya para imam dengan sikap bakti dan ibadat penuh kasih menghormati serta mencintai Maria sebagai Bunda Sang Imam Agung yang kekal dan Ratu para Rasul, serta sebagai pelindung pelayanan mereka.

Untuk menjalankan pelayanan mereka dengan setia, hendaknya mereka memperhatikan wawancara harian dengan Kristus Tuhan, dalam kunjungan serta ibadat pribadi terhadap Ekaristi suci. Hendaknya mereka dengan senang hati meluangkan waktu bagi retret rohani, yang sungguh menghargai bimbingan rohani. Dengan pelbagai cara, khususnya melalui doa batin yang teruji serta berbagai bentuk doa lainnya, yang secara bebas dapat mereka pilih sendiri, para imam mencari dan bersungguh-sungguh memohon kepada Allah semangat sembah-sujud yang sejati, upaya mereka untuk bersama dengan jemaat yang mereka bimbing bersatu mesra dengan Kristus Pengantara Perjanjian Baru, dan dengan demikian sebagai putera-puteri angkat dapat berseru: “Abba, Pater” (Rom 8:15).

19. (Studi dan ilmu pastoral)

Dalam upacara Tahbisan para imam diperingatkan oleh Uskup: “hendaknya mereka masak dalam pengetahuan”, dan ajaran mereka menjadi “usada rohani bagi umat Allah”[147]. Ilmu pengetahuan pelayan kudus harus kudus juga, karena digali dari sumber yang kudus dan mengarahkan kepada tujuan yang kudus pula. Oleh karena itu pertama-tama ditimba dari pembacaan dan renungan Kitab suci[148], tetapi dikembangkan juga dengan mempelajari para Bapa dan Pujangga Gereja serta pusaka-pusaka Tradisi lainnya. Selain itu, untuk dengan tepat mengena menjawab masalah-persoalan, yang ramai dibicarakan oleh orang-orang zaman sekarang, para imam harus mengenal dengan baik dokumen-dokumen Magisterium dan terutama Konsili-Konsili serta para Paus; begitu pula hendaknya mereka menimba ilmu dari karya tulis para pengarang ilmu teologi yang terbaik dan dapat diandalkan.

Tetapi karena sekarang ini kebudayaan dan ilmu-ilmu kudus menempuh langkah-langkah perkembangan yang baru, para imam diundang, untuk secara tepat dan terus menerus menyempurnakan ilmu-pengetahuan mereka tentang hal-hal ilahi maupun manusiawi, dan dengan demikian menyiapkan diri untuk menjalin dialog yang lebih aktual dengan sesama yang semasa.

Supaya para imam lebih mudah belajar dengan tekun, dan lebih efektif mempelajari berbagai cara mewartakan Injil dan merasul, hendaknya dikerahkan segala usaha untuk menyediakan bagi mereka upaya-upaya yang sungguh membantu, misalnya – menurut situasi masing-masing wilayah – diselenggarakan kursus-kursus atau pertemuan-pertemuan, didirikan pusat-pusat untuk studi pastoral, disediakan perpustakaan, dan dimungkinkan bimbingan studi oleh pribadi-pribadi yang cakap. Kecuali itu hendaknya para Uskup masing-masing atau bersama-sama mempertimbangkan cara yang lebih baik untuk mengusahakan, supaya semua para imam mereka, pada masa-masa tertentu, tetapi terutama selang beberapa tahun sesudah pentahbisan mereka[149], dapat mengikuti kursus, yang membuka kesempatan bagi mereka memperoleh pengetahuan lebih luas tentang metode-metode pastoral dan ilmu teologi, untuk memantapkan hidup rohani, dan untuk bertukar pengalaman kerasulan dengan rekan-rekan imam[150]. Dengan upaya-upaya itu dan bantuan-bantuan lainnya yang sesuai hendaknya secara khas ditolong juga para pastor kepala paroki yang baru dan mereka yang diserahi karya pastoral yang baru, pun juga mereka yang di utus ke keuskupan atau bangsa lain.

Akhirnya hendaknya para Uskup sungguh berusaha, supaya ada beberapa yang menekuni studi ilmiah lebih mendalam dibidang teologi, supaya selalu tersedia dosen-dosen yang cakap untuk pendidikan imam, supaya para imam lainnya dan umat beriman dibantu untuk dapat pengajaran yang mereka butuhkan, dan supaya perkembangan sehat dibidang-bidang teologi, yang memang sungguh perlu bagi gereja, mendapatkan dukungan.

20. (balas jasa yang wajar bagi para imam)

Sedah selayaknyalah para imam, yang menghambakan diri kepada Allah dengan menunaikan fungsi yang diserahkan kepada mereka, menerima balas jasa yang sewajarnya, sebab “pantaslah pekerja mendapat upahnya” (Luk 10:7)[151]. Lagi pula “Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus hidup dari pemberitaan Injil itu” (1Kor 9:14). Maka dari itu, sejauh dari pihak lain tidak disediakan balas jasa yang wajar bagi para imam, umat beriman sendiri, yang kesejahteraannya dilayani oleh para imam, terikat kewajiban yang sesungguhnya untuk mengusahakan, supaya bagi mereka disediakan sumbang-bantuan seperlunya untuk hidup secara layak dan sebagaimana mestinya. Para Uskup harus mengingatkan umat beriman akan kewajiban mereka itu serta mengusahakan, – entah masing-masing untuk keuskupannya sendiri, atau lebih baik beberapa Uskup sekaligus untuk wilayah mereka bersama, – supaya ditetapkan peraturan-peraturan, yang seperti harusnya menjamin rezeki hidup yang sepatutnya bagi mereka, yang menjalankan atau pernah menjalankan suatu tugas pengabdian kepada umat Allah. Adapun balas jasa, yang harus diterima masing-masing, dengan memperhitungkan sifat tugasnya dan mempertimbangkan kondisi-kondisi setempat maupun semasa, pada dasarnya hendaklah sama bagi semua imam yang berada dalam situasi yang sama. Hendaknya balas jasa itu sesuai dengan kondisi mereka, pun sekaligus memungkinkan mereka, untuk tidak hanya memberi upah selayaknya kepada mereka yang melayani para imam, melainkan juga memberi sekedar bantuan kepada kaum miskin. Kecuali itu balas jasa hendaklah sedemikian rupa, sehingga memungkinkan para imam untuk setiap tahun menikmati liburan yang sewajarnya dan mencukupi. Para Uskup harus mengusahakan, supaya imam-imam sempat berlibur.

Akan tetapi fungsi yang dijalankan oleh para imamlah, yang harus harus diutamakan. Maka dari itu apa yang disebut sistim “beneficium” hendaknya ditinggalkan, atau setidak-tidaknya dirombak sedemikian rupa, sehingga unsur “beneficium”, atau hak atas penghasilan berdasarkan harta bawaan yang terkait dengan jabatan, dipandang sekunder. Sedangkan yang menurut hukum diutamakan hendaknya jabatan gerejawi sendiri, yang selanjutnya harus diartikan: tugas mana pun juga yang diberikan secara tetap, dan dilaksanakan untuk tujuan rohani.

21. (Pembentukan kas umum, dan pengadaan jaminan sosial bagi para imam)

Hendaknya selalu dikenangkan teladan umat beriman dalam Gereja purba di Yerusalem: disitu “segala sesuatu merupakan milik mereka bersama” (Kis 4:32); “dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya” (Kis 4:35). Maka sangat pada tempatnyalah, bahwa sekurang-kurangnya di wilayah-wilayah, tempat rezeki hidup klerus sepenuhnya atau sebagian besar tergantung dari persembahan-persembahan umat beriman, – harta milik yang dipersembahkan untuk maksud itu dengan Uskup, didampingi oleh imam-imam utusan dan – bila dianggap berguna – oleh saudara-saudara awam juga yang mempunyai keahlian di bidang ekonomi. Dianjurkan pula, supaya selain itu sedapat mungkin disetiap keuskupan atau daerah dibentuk suatu kas umum, yang memungkinkan para Uskup untuk memenuhi kewajiban-kewajiban lainnya terhadap pribadi-pribadi yang berjasa bagi Gereja, dan mencukupi pelbagai hal kebutuhan keuskupan; pun juga yang memungkinkan keuskupan-keuskupan yang lebih kaya membantu yang lebih miskin, supaya kelimpahan pihak pertama melengkapi kekurangan pihak kedua[152]. Kas umum itu terutama harus dibentuk dari harta hasil persembahan umat beriman, tetapi juga dari sumber-sumber lain, yang perlu ditetapkan menurut hukum.

Selain itu di negeri-negeri, tempat jaminan sosial bagi klerus belum diatur dengan baik, hendaknya Konferensi-Konferensi Uskup mengusahakan, supaya – selalu sambil mengindahkan hukum-hukum gerejawi maupun sipil – didirikan yayasan-yayasan keuskupan, juga yang bergabung menjadi federasi, atau yayasan-yayasan bersama untuk berbagai keuskupan, atau suatu perserikatan untuk seluruh kawasan, yang dibawah pengawasan hirarki dilengkapi secukupnya baik dengan apa yang disebut upaya-upaya pemeliharaan kesehatan dan bantuan medis yang memadai, maupun dengan upaya-upaya yang memadai untuk mencukupi kebutuhan hidup para imam yang menderita sakit, sudah invalid atau lanjut usia. Para imam hendaknya membantu yayasan yang telah didirikan itu, terdorong oleh semangat solidaritas terhadap rekan-rekan imam, ikut merasakan penderitaan mereka[153]. Sementara itu hendaknya mereka renungkan, bahwa dengan demikian mereka sendiri, tanpa rasa cemas menghadapi masa depan, dapat menghayati kemiskinan menurut Injil dengan gembira, serta membaktikan diri sepenuhnya bagi keselamatan jiwa-jiwa. Hendaknya mereka yang bertanggung jawab mengusahakan, supaya yayasan-yayasan pada tingkat nasional saling berhubungan, sehingga bersama-sama menjadi lebih kuat dan berkembang meluas.

KATA PENUTUP DAN AJAKAN

22. Sambil menyadari kegembiraan hidup imamat, Konsili suci ini juga tidak dapat menanggapi sepi kesukaran-kesukaran, yang dalam kenyataan hidup zaman sekarang dihadapi oleh para imam. Konsili memahami juga, betapa situasi sosial ekonomi, bahkan adat kebiasaan orang, telah berubah, dan betapa tata nilai-nilai dalam pandangan mereka telah berbeda dari semula. Maka para pelayan Gereja, bahkan sejumlah umat beriman juga, didunia ini merasa bagaikan sudah terasing dari padanya. Dengan cemas mereka bertanya-tanya: upaya-upaya dan bahasa manakah yang cocok untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Sebab halangan-halangan baru yang menghambat iman, jerih-payah mereka yang nampak sia-sia, begitu pula rasa kesepian yang mencekam mereka, dapat menjerumuskan mereka ke dalam bahaya kemurungan.

Akan tetapi dunia, seperti sekarang ini dipercayakan kepada cinta kasih dan pelayanan para Gembala Gereja, begitu dikasihi oleh Allah, sehingga Ia menyerahkan Putra Tunggal-Nya demi keselamatannya[154]. Dan memang benarlah dunia itu terbelenggu karena banyaknya dosa; tetapi juga dilimpahi banyak kemungkinan-kemungkinan. Dunia itulah yang menyediakan bagi Gereja batu-batu hidup[155], untuk dibangun menjadi kediaman Allah dalam Roh[156]. Roh Kudus itu jugalah, yang mendorong Gereja untuk membuka jalan-jalan baru memasuki dunia zaman sekarang, dan menyerahkan serta mendukung penyesuaian-penyesuaian pelayanan imam yang relevan baginya.

Hendaknya para imam menyadari, bahwa dalam berkarya mereka tidak pernah seorang diri, melainkan bertumpu pada kekuatan Allah yang mahakuasa. Hendaklah mereka penuh iman akan Kristus, yang telah memanggil mereka untuk ikut menghayati Imamat-Nya, dengan segala kepercayaan membaktikan diri melalui pelayanan mereka, dalam keyakinan bahwa Allah berkuasa untuk makin menumbuhkan cinta kasih mereka[157]. Hendaknya mereka sadari pula, bahwa saudara-saudara seimamat, bahkan umat beriman di seluruh dunia, menjadi rekan-rekan mereka. Sebab semua imam bekerja sama dalam melaksanakan rencana keselamatan Allah, yakni misteri Kristus atau rahasia yang sejak kekal tersembunyi dalam Allah[158], yang hanya lambat-laun diwujudkan secara nyata, berkat berpadunya pelbagai pelayanan demi pembangunan Tubuh Kristus, hingga terpenuhilah kurun waktunya. Karena itu semua bersama Kristus tersembunyi dalam Allah[159], maka hanya dapat diterima dalam iman. Sebab dalam imanlah para pemimpin umat Allah harus menempuh perjalanan, mengikuti teladan Abraham yang setia, yang penuh iman “taat untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat tanpa mengetahui tempat yang ditujunya” (Ibr 11:8). Memanglah pengurus misteri-misteri Allah dapat diibaratkan orang yang menabur benih di ladang. Tentang dia Tuhan bersabda: “Pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia bangun, dan benih itu mengeluarkan tunas, dan tunas itu makin tinggi. Bagaimana itu terjadi? Tidak diketahui oleh orang itu” (Mrk 4:27). Selanjutnya Tuhan Yesus, yang bersabda: “Percayalah, Aku telah mengalahkan dunia” (Yoh 16:33), dengan kata-kata itu tidak menjanjikan kepada Gereja kejayaan sempurna di dunia ini. Tetapi Konsili suci bergembira, bahwa tanah, yang ditaburi benih Injil, sekarang di banyak tempat menghasilkan buah dibawah bimbingan Roh Tuhan, yang memenuhi dunia, dan yang dalam hati banyak imam serta umat beriman telah membangkitkan semangat misioner yang sejati. Atas semuanya itu Konsili suci penuh cinta menyampaikan terima kasih kepada para imam di seluruh dunia: “Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari apa yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja dalam diri kita, bagi Dialah kemuliaan dalam jemaat dan dalam Kristus Yesus turun temurun sampai selama-lamanya. Amin” (Ef 3:20-21).

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan Kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagipula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 7 bulan Desember tahun 1965.

Saya PAULUS
Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


[1] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi. – Konstitusi dogmatis tentang Gereja. – Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam gereja. – Dekrit tentang Pendidikan Imam.

[2] Lih. Mat 3:16; Luk 4:18; Kis 4:27; 10:38.

[3] Lih. 1ptr 2:5 dan 9.

[4] Lih. 1Ptr 3:15.

[5] Lih. Why 19:10. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 35.

[6] KONSILI TRENTO, Sidang 23, bab 1 dan kanon 1: DENZ. 957 dan 961 (1764 dan 1771).

[7] Lih. Yoh 20:21. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 18.

[8] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 28.

[9] Lih. Dalam artikel yang sama.

[10] Lih. Pontificale Romanum, De Ordinatione Presbytery (tentang tahbisan Imam), Prefasi. Kata-kata itu sudah terdapat dalam Sacramentarium Veronense (MOHLBERG, Roma 1956, hlm. 122); begitu juga dalam Missale Francorum (MOHLBERG, Roma 1957, hlm. 9); juga dalam Liber Sacramentorum Romanae Ecclesiae (MOHLBERG, Roma 1960, hlm. 25); begitu pula dalam Pontificale Romanum-Germanicum (VOGEL-ELZE, Citta del vaticano 1963, jilid I hlm. 34).

[11] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 10.

[12] Bdk. Rom 15:16 Yunani.

[13] Lih. 1Kor 11:26.

[14] S. AGUSTINUS, Tentang Kota Allah, 10, 6: PL 41, 284.

[15] Lih. 1Kor 15:24.

[16] Lih. Ibr 5:1

[17] Lih. Ibr 2:17; 4:15.

[18] Lih. 1Kor 9:19-23 Vulgat.

[19] Lih. Kis 13:2.

[20] “Usaha menuju kesempurnaan religius dan moril itu semakin di rangsang juga karena situasi lahiriah kehidupan Gereja. Sebab Gereja tidak dapat tetap tak berubah dan tidak acuh terhadap pergolakan masyarakat disekitarnya, yang mempunyai bermacam-macam situasi. Pasti sudah jelas pula, bahwa Gereja tidak terceraikan dari masyarakat manusia, melainkan hidup ditengahnya; maka dari itu putera-puteri Gereja digerakkan dan diarahkan oleh masyarakat itu, diresapi oleh kebudayaannya, mematuhi hukum-hukumnya, mengenakan adat-istiadatnya. Tetapi kontak Gereja dengan masyarakat manusia itu tiada hentinya menimbulkan masalah-persoalan yang rumit juga, yang terutama sekarang ini memang berat sekali … (…). Beginilah Rasul para bangsa mengingatkan umat kristen pada zamannya: ‘Janganlah kalian merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan mereka yang tidak beriman. Sebab persamaan manakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? … Apakah bagian bersama mereka yang beriman dengan mereka yang tidak beriman?’ (2Kor 6:14-15). Oleh karena itu sungguh perlulah mereka, yang sekarang ini menjadi pembina dan guru dalam Gereja, mengingatkan angkatan muda katolik akan situasinya yang istimewa, serta akan kewajiban yang timbul dari padanya, yakni: hidup di dunia ini, tetapi bukan menurut semangat dunia ini, sesuai dengan doa permohonan yang oleh Kristus Yesus dipanjatkan bagi para murid-Nya: ‘Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka terhadap yang jahat. Mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia’ (Yoh 17:15-16). Dan Gereja menjadikan doa itu permohonannya sendiri. Akan tetapi pembedaan dari dunia itu tidak berarti perceraian; bukan pula sikap tak acuh, rasa takut, atau sikap menghina. Sebab bila Gereja membedakan diri dari umat manusia, Gereja tidak mempertentangkan diri terhadapnya, sebaliknya malahan menyatukan diri dengannya” (PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 627 dan 638).

[21] Lih. Rom 12:2.

[22] Lih. Yoh. 10:14-16.

[23] Lih. S. POLIKARPUS, Surat kepada umat di Filipi, VI, 1: “Hendaknya para imam cenderung untuk ikut merasakan penderitaan, berbelaskasihan terhadap semua orang, mengembalikan siapa saja yang sesat , mengunjungi semua orang sakit, jangan mengabaikan janda, atau yatim-piatu atau si miskin; hendaknya mereka senantiasa memikirkan bagaimana berbuat baik dihadapan Allah dan sesama; jangan pernah marah-marah, melulu mau menjaga gengsi, menjatuhkan penilaian yang tidak adil; hendaklah mereka menjauhkan diri dari segala keserakahan; jangan dengan gegabah mempercayai sesuatu melawan orang lain; jangan terlalu keras dalam menilai; dan selalu menyadari, bahwa kita ini semua ikut tersangkut dalam dosa”, FUNK I, hlm 303.

[24] Lih. 1Ptr 1:23; Kiss 6:7; 12:24. “(Para Rasul) mewartakan Sabda kebenaran dan melahirkan Gereja-Gereja” (S. AGUSTINUS, tentang Mzm 44:23: PL 36, 508.

[25] Lih. Mal 2:7; 1Tim 4:11-13; 2Tim 4:5; Tit 1:9.

[26] Lih. Mrk 16:16.

[27] Lih. 2Kor 11:7. Tentang para Imam sebagai rekan-rekan kerja para Uskup berl aku pula apa yang dikatakan tentang para Uskup. – Lih. Statuta Ecclessia Antiqua (Peraturan-peraturan Gereja kuno), bab 3 (CH. MUNIER, Paris 1960, hlm. 79). – Decretum Gratiani (Dekrit Gratianum), C.6, D.88 (FRIEDBERG, I,307). – KONSILI TRENTO, Dekrit tentang Pembaharuan, Sidang 5, bab 2, no. 9 (Conciliorum Oecumenicorum Decreta, ed. Herder, Roma 1963, hlm. 645); Sidang 24, bab 4 (hlm. 739). – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja art. 25.

[28] Lih. Constitutiones Apostolorum (Ketetapan-ketetapan para Rasul), II, 26,7: “Hendaknya (para Imam) menjadi guru pengetahuan ilahi, karena Tuhan sendiri pun memerintahkan kepada kami: pergilah, ajarlah, dan seterusnya” (FUNK, Didascalia et Constitutiones Apostolorum, I, Paderborn 1905). – Sacramentarium Leonianum dan buku-buku Upacara Sakramen lainnya hingga Pontificale Romanum, Prefasi pada Tahbisan Imam: “Karena penyelenggaraan-Mu, ya Tuhan, Engkau telah menggabungkan pada para Rasul Putera-Mu pengajar-pengajar iman sebagai rekan; dengan para pewarta tingkat kedua itu mereka telah memenuhi seluruh dunia”. – Liber Ordinum Liturgiae Mozarabicae (Kitab Tahbisan menurut Mozarabia), Prefasi pada tahbisan Imam: “sebagai pengajar rakyat dan pemimpin para bawahan, hendaknya ia dengan tertib berpegang teguh pada iman katolik, serta mewartakan keselamatan sejati kepada semua orang”: (M. FEROTIN, Paris 1904, kolom 55).

[29] Lih. Gal 2:5.

[30] Lih. 1Ptr 2:12.

[31] Bdk. Upacara Tahbisan Imam di Gereja Iskandaria umat Yakobit: “… Kumpulkanlah umatmu untuk sabda pengajaran, seperti inang yang mengasuh anak-anaknya” (H. DENZINGER, Ritus Orientalium II, Wurzburg 1863 hlm. 14).

[32] Lih. Mat 28:19; Mrk 16:16. – TERTULIANUS, De babtismo (tentang baptis), 14,2 (Corpus Christianorum, seri latin I, hlm. 289, 11-13). – S. ATANASIUS, Adv. Arianos (melawan kaum Arian), 2, 42 (PG 26,237). – S. HIERONIMUS, Komentar pada Mat 28:19 (PL 26,218 BC): “Pertama-tama mereka mengajar semua bangsa, kemudia membaptis mereka yang menerima ajaran itu. Sebab tidak mungkin badan menerima Sakramen Baptis, kalau jiwa tidak sebelumnya menerima kebenaran iman”. – S. TOMAS, Expositio primae Decretalis, par. 1: “Ketika Penyelamat kita mengutus para murid untuk mewartakan Injil, Ia memerintahkan tiga hal kepada mereka. Pertama supaya mereka mengajarkan iman; kedua supaya mereka terimakan Sakramen-Sakramen kepada barang siapa beriman” (ed. Marietti, Opuscula Theologica, Taurani, Roma 1954, 1138).

[33] Lih. KONSIL VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 35,2.

[34] Lih. KONSIL VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 33, 35, 48, 52.

[35] Lih. KONSIL VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 7. – PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis, tgl. 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 230.

[36] S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Smirna, 8,1-2 (FUNK, hlm. 282, 6-15). – Constitutiones Apostolorum (Ketetapan-ketetapan para Rasul), VIII,12,3 (FUNK, hlm. 496); VIII,29,2 (hlm. 532).

[37] Lih. KONSIL VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 28.

[38] “Ekaristi bagaikan pemenuhan hidup rohani, dan tujuan semua Sakramen” (S. TOMAS, Summa Theol. III, soal 73, art. 3 c); bdk. III, soal 6 art. 3.

[39] Lih. S. TOMAS, Summa Theol. III, soal 65 art. 3, ad 1; soal 79, art.1, c, dan ad 1.

[40] Lih. Ef 5:19-20.

[41] Lih. S. HIERONIMUS, Surat, 114,2: “… piala-piala suci, dan kain-kain suci, dan semua lainnya yang digunakan untuk mengenangkan sengsara Tuhan … karena bersentuhan dengan Tubuh dan Darah Tuhan, harus dihormati dengan penghormatan yang sama seperti Tubuh dan Darah-Nya” (PL 22,934). – Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 122-127.

[42] “Selain itu hendaknya umat beriman jangan lupa pada waktu siang hari mengunjungi Sakramen Mahakudus, yang menurut peraturan-peraturan Liturgi harus di semayamkan di gereja-gereja, di tempat yang paling layak dan sehormat mungkin. Sebab kunjungan itu merupakan bukti hati yang penuh syukur, tanda cinta kasih, dan kewajiban sembah-sujud yang seharusnya terhadap Kristus Tuhan, yang hadir di situ” (PAULUS VI, Ensiklik Mysterium Fidei, tgl. 3 September 1965: AAS 57 (1965) hlm. 771.

[43] Lih. KONSIL VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 28.

[44] Lih. 2Kor 10:8; 13:10.

[45] Lih. Gal 1:10.

[46] Lih. 1Kor 4:14.

[47] Lih. Didascalia, II,34,3; II,46,6; II,47,1; Constitutiones Apostolorum, II,47,1: FUNK, Didascalia et Constitutiones, I, 116, 142 dan 143.

[48] Lih. Gal 4:3; 5:1 dan 13.

[49] Lih. S. HIERONIMUS, Surat 58,7: “Apakah gunanya dinding gemerlapan dengan butir-butir mutiara, kalau Kritus mati dalam diri orang miskin?” (PL 22,584).

[50] Lih. 1Ptr 4:10 dan selanjutnya.

[51] Lih. Mat 25:34-45.

[52] Lih. Luk 4:18.

[53] Dapat pula di sebutkan kelompok-kelompok lain, misalnya para emigran, kaum nomad, dan sebagainya. Tentang mereka itu lihat Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja, art. 18.

[54] Lih. Didascalia II,59, 1-3: “Bila mengajar, perintahkan dan anjurkanlah, supaya umat sering kali menghadiri pertemuan, dan jangan pernah membolos; tetapi umat harus setiap kali berkumpul dan tidak boleh membatasi pertemuan, dengan meloloskan diri, dan mengurangi anggota Tubuh Kristus … Jadi, karena kalian itu anggota-anggota Kristus, janganlah menceraikan diri dari pertemuan, dengan tidak ikut berkumpul. Sebab kalian mempunyai Kristus sebagai Kepala, dan menepati janji-Nya, Ia hadir dan bergaul dengan kalian. Maka janganlah kalian melalaikan diri atau menjauhkan Sang Penyelamat dari anggota-anggota-Nya, atau memecah-belah atau mencerai-beraikan Tubuh-Nya …”: FUNK I, 170. – PAULUS VI, Amanat kepada para Klerus Italia, yang menghadiri Sidang Sepekan XIII di Orvieto tentang “pembaharuan pastoral”. Tgl. 6 September 1963 AAS 55 (1963) hlm. 750 dan selanjutnya.

[55] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 28.

[56] Lihat apa yang disebut Constitutio Ecclesiastica Apostolorum (Ketetapan gerejawi para Rasul), XVIII: para imam itu sama-sama dilibatkan dalam misteri (symmystai) dan dalam perjuangan (synepimachoi) dengan para Uskup (TH. SCHERMANN, Die allgemeine kirchenordnung, I, Paderborn 1914, hlm. 26; A. HARNACK, T. u. U., II,4, hlm. 13, no. 18 dan 19). – PSEUDO-HIERONIMUS, De septem Ordinibus Ecclesiae tentang tujuh tingkat tahbisan Gereja): “… dalam pemberkatan (para imam) bersama para Uskup itu menghayati misteri-misteri” (A. W. KALFF, Wurzburg 1937, hlm. 45). – S. ISIDORUS dari Sevilla, De Ecclesiasticis Officiis (tentang jabatan-jabatan gerejawi), bab VII: “Sebab (para imam) memimpin Gereja Kristus dan dalam konsekrasi Tubuh dan Darah bertindak bersama para Uskup, begitu pula dalam mengajar para bangsa dan dalam tugas pewartaan” (PL 83,787).

[57] Lih. Didascalia, II, 28,4: FUNK, 108. – Constitutiones Apostolorum, II,28,4; II,34,3: ibidem, hlm. 109 dan 117.

[58] Const.Apost., VIII,16,4 (FUNK I, 522, 13). – Bdk. Epitome Const. Apost. (ikhtisar Ketetapan-ketetapan para Rasul), VI, (FUNK II, hlm. 80,3-4). – Testamentum Domini (Pusaka Tuhan): “… berilah ia Roh rahmat, nasehat dan kebesaran jiwa, semangat imam … untuk ikut membantu dan membimbing umat-Mu dalam karya, dalam rasa takut kepada Allah, dalam hati yang bersih” (terj. I. E. RAHMANI, Mainz 1899, hlm. 69). – Begitu pula dalam Trad. Apost. (B. BOTTE, La Tradition Apostolique, Munster i.W. 1963, hlm. 20).

[59] Lih. Bil 11:16-25.

[60] “Pontificale Romanum” De Ordinatione Presbyteri (tentang tahbisan imam), prefasi. Rumus itu sudah Sacramentarium Leonianum, Sacramentarium Gelasianum dan Sacramentarium Gregorianum. Rumus yang serupa terdapat dalam Liturgi-Liturgi Timur; bdk. Trad. Apost.: “… pandanglah hamba-Mu ini, dan kurniailah ia roh rahmat dan nasehat, untuk membantu para imam, dan memimpin umat-Mu dengan hati yang bersih, seperti dulu Engkau telah memandang umat pilhan-Mu, dan memerintahkan Musa untuk memilih para penatua, yang Kau penuhi dari Roh-Mu, yang Kau anugerahkan kepada hamba-Mu” (dari terjemahan latin kuno di Verona, edisi B. BOTTE, La Tradition apostolique de S. Hippolyte. Essai de reconstruction, Munster i.W. 1963, hlm. 20. – Const.Apost., VIII,16,4: FUNK I,522,16-17. – Epitome Const.Apost. 6: FUNK II,20,5-7. – Testamentum Domini: terj. I. E. RAHMANI, Mainz 1899, hlm. 69. – Euchologion Serapionis, XXVII: FUNK, Didascalia et Constitutiones, II, hlm. 190, baris 1-7. – Ritus Ordiationis in ritu Maronitarum (upacara tahbisan dalam rite Maronit): trj. H. DENZINGER, Ritus Orientalium, II, Wurzburg 1863, hkm. 161. Diantara para Bapa Gereja dapat di kutip: TEODORETUS MOPS., komentar pada 1Tim 3:8: SWETE, II, 119-121. – TEODOROTUS, Quaest. In Numeros (soal-soal tentang kitab Bilangan), XVIII: PG 80,372b.

[61] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 28.

[62] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii Nostri primordia, tgl. 1 Agustus 1959: AAS 51 (1959) hlm. 576. – S. PIUS X, Anjuran kepada klerus Haerent animo, tgl. 4 Agustus 1908: S.PII X Acta, jilid iv (1908) hlm. 237 dan selanjutnya.

[63] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Tugas Penggembalaan para Uskup dalam Gereja, art. 15 dan 16.

[64] Dalam Kitab Hukum Kanonik (lama) sudah ada Kapitel Katedral (Capitulum Cathedrale), sebagai “senat dan dewan penasehat” (senatus et consilium) Uskup (CIC, kanon 391), atau, kalau tidak ada, Dewan para konsultor keuskupan (bdk. CIC, kanon 423-428). Tetapi dihimbau, supaya lembaga-lembaga semacam itu ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga lebih menanggapi situasi dan kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang. Jelas pula, bahwa Dewan para Imam seperti itu berbeda dengan Dewan Pastoral menurut Dekrit tentang Tugas Patoral para Uskup dalam gereja, art. 27. Sebab dalam Dewan pastoral itu juga ada saudara-saudara awam, dan tugas Dewan hanyalah menyelidiki hal-ikhwal yang menyangkut reksa pastoral. Tentang para imam sebagai penasehat para Uskup dapat dibaca juga: “Didascalia”, II,28,4: FUNK I, 108. – Const. Apost, II, 28,4: FUNK I,109. – S. IGNASIUS Martir, Surat kepada jemaat di Magnesia, 6,1: FUNK 234,10-16; kepada jemaat di Tralles, 3,1: FUNK 244,10-12. – ORIGENES, “Melawan Celsus”, 3:30: para imam merupakan penasehat-penasehat atau “bouleutai”: PG 11,957 d – 960 a.

[65] S. IGNASIUS Martir, Surat kepada jemaat di Magnesia 6,1: “Kuanjurkan, supaya kalian berusaha menjalankan segalanya dalam kerukunan Allah, dibawah Uskup yang memimpin sebagai wakil Allah serta para imam sebagai ganti dewan rasuli, dan para diakon yang amat ku kasihi dan dipercayai pelayanan Yesus Kristus, yang sebelum segala abad berada di hadirat Bapa, dan pada zaman akhir telah menampakkan Diri” (FUNK 234, 10-13). – S. IGNASIUS Martir, Surat kepada jemaat di tralles 3,1: “Begitu pula hendaknya semua menghormati para diakon sebagai Yesus kristus, seperti juga Uskup yang menjadi citra Bapa, serta para imam sebagai senat Allah dan dewan para Rasul. Tanpa mereka orang tak dapat berbicara tentang Gereja” (FUNK, hlm. 244, 10-12). – S. HIERONIMUS, komentar pada Yesaya, II,3 (PL 24,61A): “Kita pun mempunyai dalam gereja dewan kita, yakni kelompok para imam”.

[66] Lih. PAULUS VI, Amanat kepada para imam dan para pengkotbah untuk masa Prapaska di Roma, di kapel “Sixtina”, tgl. 1Maret 1965: AAS 57 (1965) hlm. 326.

[67] Lih. Const.Apost., VIII,47,39: “Para imam … hendaknya jangan berbuat sesuatu tanpa persetujuan Uskup. Sebab Uskuplah yang diserahi umat Tuhan, dan daripadanya akan diminta pertanggungjawaban atas jiwa-jiwa umat” (FUNK, 577).

[68] Lih. 3Yoh 8.

[69] Lih. Yoh 17:23.

[70] Lih. Ibr 13:1-2.

[71] Lih. Ibr 13:16.

[72] Lih. Mat 5:10.

[73] Lih. 1Tes 2:12; Kol 1:13.

[74] Lih. Mat 23:8. – “Perlulah, supaya karena kami ingin menjadi gembala, bapa dan guru bagi semua orang, kami justru bertindak selaku saudara mereka” (PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 58 (1964) hlm. 657).

[75] Lih. Ef 4:7 dan 16. – Const.Apost. VIII,1,20: “Bahkan Uskup pun janganlah meninggikan diri terhadap para diakon atau imam-imam, atau para imam terhadap umat; sebab tata susunan jemaat mencakup keduanya” (FUNK I, 467).

[76] Lih. Flp 2:21.

[77] Lih. 1Yoh 4:1.

[78] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 37.

[79] Lih. Ef 4:14.

[80] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Ekumenisme.

[81] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 37.

[82] Lih. Ibr 7:3.

[83] Lih. Luk 10:1.

[84] Lih. 1Ptr 2:25.

[85] Lih. Kis 20:28.

[86] Lih. Mat 9:36.

[87] Pontificale Romanum, De Ordinatione Presbyteri(tentang pentahbisan imam).

[88] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tanteng Pendidikan Imam, art. 2.

[89] “Suara Allah yang memanggil mengungkapkan diri dengan dua cara yang berbeda, mengagumkan dan sehaluan; cara pertama bersifat batiniah melampaui kata-kata, yang berasal dari “suara” Tuhan “tanpa kata-kata” tetapi penuh kekuatan, dan menyapa lubuk hati manusia yang tak terduga; dan kedua: cara lahiriah, manusiawi, indrawi, sosial, yuridis, konkrit, cara pelayan yang ditandai oleh Sabda Allah, cara Rasul, cara hirarki, sarana yang mutlak perlu, diadakan dan dikehendaki oleh kristus, ibarat kendaraan, yang ditugaskan untuk menterjemahkan dalam bahasa pengalaman amanat Sabda dan perintah ilahi. Demikianlah ajaran katolik mengajar bersama S. Paulus: ‘bagaimanakah mereka mendengarkan tanpa ada pewarta … Iman berasal dari pendengaran’ (Rom 10:14 dan 17) (PAULUS VI, Amanat tgl. 5 Mei 1965, diterjemahkan dari L’Osservatore Romano, 6-V-65, hlm. 1).

[90] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Pendidikan Imam, art. 2.

[91] Itulah yang diajarkan oleh para Bapa Gereja, bila mereka menjelaskan sabda kristus kepada Petrus: “Benarkah engkau mencintai Aku? … Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh21:17). Misalnya: S. YOHANES KRISOSTOMUS, Tentang Imamat, II,1-2: PG 47-48, 644. – S. GREGORIUS AGUNG, Reg. Past. Liber (Kitab Pedoman Pastoral), Bagian I bb 5: PL 77,19a.

[92] Lih. 2Kor 12:9.

[93] Lih. PIUS XI, Ensiklik Ad catholoci sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935 1935: AAS 28 (1936) hlm. 10.

[94] Lih. Yoh 10:36.

[95] Lih. Luk 24:26.

[96] Lih. Ef 4:13.

[97] Lih. Antara lain: S. PIUS X, Pesan kepada klerus Haerent animo, tgl. 4 Agustus 1908: S. Pii X Acta, jilid IV (1908) hlm. 237 dan selanjutnya. – PIUS XI, Ensiklik Ad catholici sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 5 dan selanjutnya. – PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 657 dan selanjutnya. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii nostri primordia, tgl. 1 Agustus 1959: AAS 51 (1959) hlm. 545 dan selanjutnya.

[98] Lih. S. TOMAS, Summa Theol, II-II, soal 188, art. 7.

[99] Lih. Ef 3:9-10.

[100] Lih. Kis 16:14.

[101] Lih. 2Kor 4:7.

[102] Lih. Ef 3:9.

[103] Lih. Pontificale Romanum, De Ordinatione Presbyteri (tentang Pentahbisan imam).

[104] Lih. Missale Romanum, Doa atas persembahan pada hari minggu IX sesudah Pentekosta.

[105] “Sebab setiap Misa, meskipun dirayakan oleh imam seorang diri, tidak bersifat privat, melainkan merupakan tindakan Kristus dan Gereja. Dalam korban yang dipersembahkan Gereja belajar mempersembahkan diri sebagai korban untuk semua orang, dan mengenakan kekuatan korban Salib yang menyelamatkan, bersifat tunggal dan bernilai tiada harganya, pada duni semesta demi keselamatannya. Sebab setiap Misa yang dirayakan tidak hanya dipersembahkan untuk keselamatan beberapa orang saja, melainkan demi keselamatan seluruh dunia juga (…) Maka secara kebapaan kami sangat menganjurkan kepada para imam, yang dalam Tuhan merupakan kegembiraan yang terbesar dan mahkota bagi kami, agar … setiap hari merayakan Misa secara pantas dan penuh khidmat” (PAULUS VI, Ensiklik Mysterium Fidei, tgl. 13 September 1965: AAS 57 (1965) hlm. 761-762). – Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 26 dan 27.

[106] Lih. Yoh 10:11.

[107] Lih. 2Kor 1:7.

[108] Lih. 2Kor 1:4.

[109] Lih. 1Kor 10:33.

[110] Lih. Yoh 3:8.

[111] Lih. Yoh 4:34.

[112] Lih. 1Yoh 3:16.

[113] “Hendaklah menjadi tugas cinta kasih menggembalakan kawanan Tuhan” (S. AGUSTINUS, Tract. In Lo. (ulasan tentang Injil Yohanes), 123,5: PL 35,1967).

[114] Lih. Rom 12:2.

[115] Lih. Gal 2:2.

[116] Lih. 2Kor 7:4.

[117] Lih. Yoh 4:34; 5:30; 6:38.

[118] Lih. Kis 13:2.

[119] Lih. Ef 5:10.

[120] Lih. Kis 20:22.

[121] Lih. 2Kor 12:15.

[122] Lih. Ef 4:11-16.

[123] Lih. Mat 19:12.

[124] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitus Dogmatis tentang Gereja, art. 42.

[125] Lih. 1Tim 3:2-5; Tit 1:6.

[126] Lih. PIUS XI, Ensiklik Ad catholici sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 28.

[127] Lih. Mat 19:12.

[128] Lih. 1Kor 7:32-34.

[129] Lih. 2Kor 11:2.

[130] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 42 dan 44. – Dekrit tentang Pembaharuan Hidup Religius yang Disesuaikan, art. 12.

[131] Lih. Luk 20:35-36. – PIUS XI, Ensiklik Ad catholici sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 24-28. – PIUS XII, Ensiklik Sacra Virginitas, tgl. 25 Maret 1954: AAS 46 (1954) hlm. 169-172.

[132] Lih. Mat 19:11.

[133] Lih. Yoh 17:14-16.

[134] Lih. 1Kor 7:31.

[135] Lih. KONSILI ANTIOKIA, kanon 25: MANSI 2,1328. – Decretum Gratiani, bab 23, C. 12, soal 1: FRIEDBERG, I, 684-685.

[136] Ketentuan ini terutama dimaksudkan bagi hukum-hukum serta adat-kebiasaan yang berlaku di Gereja-Gereja Timur.

[137] KONSILI di PARIS, tahun 829, kanon 15: MGH, Sectio III, Concilia, jilid 2, bag. 6,622. – KONSILI TRENTO, Sidang 25 tentang Pembaharuan, bab 1.

[138] Lih. Mzm 62:11 (Vulg. 61).

[139] Lih. 2Kor 8:9.

[140] Lih. Kis 8:18-25.

[141] Lih. Flp 4:12.

[142] Lih. Kis 2:42-47.

[143] Lih. luk 4:18.

[144] Lih. Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 125 dan selanjutnya.

[145] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Pembaharuan Hidup Religius yang Disesuaikan, art. 6. – Konstitusi dogmatis tentang Wahyu Ilahi, art. 21.

[146] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 65.

[147] “Pontificale Romanum”, De Ordinatione Presbyteri.

[148] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Wahyu Ilahi, art. 25.

[149] Usaha pembinaan itu berlainan dengan pendidikan pastoral langsung sesudah pentahbisan, yang disebutkan oleh Dekrit tentang Pendidikan Imam, art. 22.

[150] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja, art. 16.

[151] Lih. Mat 10:10; 1Kor 9:7; 1 Tim 5:18.

[152] Lih. 2Kor 8:14.

[153] Lih. Flp 4:14.

[154] Lih. Yoh 3:16.

[155] Lih. 1Ptr 2:5.

[156] Lih. Ef 2:22.

[157] Lih. Pontificale Romanum, De Ordinatione Presbyteri.

[158] Lih. Ef 3:9.

[159] Lih. Kol 3:3.

DEKRIT TENTANG KEGIATAN MISIONER GEREJA

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI

1. (Pendahuluan)

KEPADA PARA BANGSA Gereja diutus oleh Allah untuk menjadi “sakramen universal keselamatan”[1]. Untuk memenuhi tuntutan-tuntutan hakiki sifat katoliknya, menaati perintah Pendirinya (lih. Mrk 16:16), Gereja sungguh-sungguh berusaha mewartakan Injil kepada semua orang. Sebab para Rasul sendiri, yang menjadi dasar bagi Gereja, mengikuti jejak Kristus, “mewartakan sabda kebenaran dan melahirkan Gereja-gereja”[2]. Adalah tugas para pengganti mereka melestarikan karya itu, supaya “sabda Allah terus maju dan dimuliakan” (2Tes 3:1), dan Kerajaan Allah diwartakan dan dibangun di mana-mana.

Tetapi dalam situasi zaman sekarang, yang menimbulkan keadaan umat manusia yang serba baru, Gereja, garam dunia dan terang dunia (lih. Mat 5:13-14), dipanggil secara lebih mendesak untuk menyelamatkan dan membaharui semua ciptaan, supaya segala sesuatu dibaharui dalam Kristus, dan supaya dalam Dia orang-orang merupakan satu keluarga dan satu Umat Allah.

Maka Konsili suci bersyukur kepada Allah atas karya-karya gemilang, buah hasil kegiatan serta kebesaran hati seluruh Gereja, dan ingin menggariskan azas-azas kegiatan misioner serta menghimpun daya segenap kaum beriman. Maksudnya supaya Allah yang menempuh jalan salib yang sempit, di mana-mana menyebarluaskan kerajaan Kristus Tuhan, yang dengan pandangan-Nya merangkum segala abad (lih. Sir 36:19), dan menyiapkan jalan bagi kedatangan-Nya.

BAB SATU – AZAS-AZAS AJARAN

2. (Rencana Bapa)

Pada hakikatnya Gereja penziarah bersifat misioner, sebab berasal dari perutusan Putera dan perutusan Roh Kudus menurut rencana Allah Bapa[3].

Adapun rencana itu bersumber pada “cinta” atau “kasih asal” Allah Bapa. Dialah Asal tanpa Asal; dari pada-Nyalah Putera lahir dan Roh Kudus berasal melalui Putera. Karena kemurahan-Nya yang melimpah dan belaskasihan Bapa yang bebas menciptakan kita serta penuh kasih memanggil kita, untuk bersama dengan-Nya ikut menikmati kehidupan dan kemuliaan-Nya. Dengan murah hati Ia melimpahkan dan tiada hentinya mencurahkan kebaikan ilahi-Nya, sehingga Dia yang menciptakan segalanya, akhirnya menjadi “semuanya dalam segalanya” (1Kor 15:28), dengan sekaligus mewujudkan kemulian-Nya dan kebahagiaan kita. Tetapi Allah berkenan memanggil orang-orang bukan hanya satu per satu, tanpa hubungan manapun satu dengan yang lain, untuk ikut serta dalam kehidupan-Nya. Melainkan Ia berkenan menghimpun mereka menjadi Umat, supaya di situ para Putera-Nya, yang semula tercerai-berai, dikumpulkan menjadi satu (lih. Yoh 11:52).

3. (Perutusan Putera)

Rencana Allah untuk menyelamatkan seluruh umat manusia itu terlaksana bukan saja seolah-olah secara tersembunyi dalam jiwa manusia, ataupun melalui usaha-usaha mereka, juga yang bersifat keagamaan, untuk mencari Allah dengan pelbagai cara, kalau-kalau mereka dapat menjamah atau menemukan-Nya, meskipun Ia tidak jauh dari kita masing-masing (lih. Kis 12:27). Sebab usaha-usaha itu perlu diterangi dan disembuhkan, sungguh pun, atas rencana atas semua rencana penyelenggaraan Allah yang murah hati, itu semua akhirnya dapat dipandang sebagai pendidikan menuju Allah yang benar atau sebagai persiapan Injili[4]. Namun untuk membangun perdamaian atau persekutuan dengan diri-Nya dan untuk menghimpun masyarakat persaudaraan antar manusia pendosa, Allah telah memutuskan untuk secara baru dan definitif memasuki sejarah bangsa manusia dengan mengutus Putera-Nya dalam daging kita. Allah bermaksud merebut manusia dari kuasa kegelapan dan setan (lih. Kol 1:13; Kis 10:38) melalui Dia, dan dalam Dia mendamaikan dunia dengan diri-Nya (lih. 2Kor 5:19). Maka Allah menetapkan Putera-Nya, yakni Perantara-Nya dalam menciptakan alam semesta[5], menjadi ahli waris segala-sesuatu, untuk membaharui semuanya dalam Dia (lih. Ef 1:10).

Sebab Kristus Yesus diutus ke dunia sebagai Perantara sejati antara Allah dan manusia. Karena Ia Allah, maka dalam Dia berdiamlah seluruh kepenuhan keallahan secara jasmani (Kol 2:9). Tetapi menurut kodrat manusiawinya Ia Adam baru, dan ditetapkan menjadi gembala umat manusia yang diperbaharui, penuh rahmat dan kebenaran (Yoh 1:14). Maka Putera Allah menempuh jalan penjelamaan yang sejati, supaya manusia ikut serta memiliki hakekat ilahi. Demi kita Ia telah menjadi miskin sedangkan Ia kaya, supaya karena kemiskinan-Nya kita menjadi kaya (2Kor 8:9). Putera manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan menyerahkan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang, yakni bagi semua orang (lih. Mrk 10:45). Para Bapa suci selalu mewartakan, bahwa apa yang tidak dikenakan oleh Kristus, juga tidak disembuhkan[6]. Akan tetapi Ia mengenakan pada diri-Nya kodrat manusiawi seutuhnya, seperti terdapat pada kita manusia yang malang dan miskin, namun tanpa dosa (lih. Ibr 4:15; 9:28). Sebab tentang diri-nya bersabdalah Kristus, yang dikuduskan oleh Bapa dan diutus-Nya ke dunia (lih. Yoh 10:36): “Roh Tuhan ada diatas-Ku, karena Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan Warta gembira kepada kaum miskin Ia telah mengutus-Ku, untuk menyembuhkan mereka yang remuk-redam hatinya, untuk mewartakan pembebasan bagi para tahanan dan penglihatan bagi orang-orang buta’ (Luk 4:18). Lagi pula: “Putera Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan apa yang telah hilang” (Luk 19:10).

Adapun apa yang sesekali telah diwartakan oleh Tuhan, atau terlaksana dalam Dia demi keselamatan bangsa manusia, itu harus diwartakan dan disebarluaskan sampai ke ujung bumi (Kis 1:8), mulai dari Yerusalem (lih. Luk 24:47) sedemikian rupa, sehingga apa yang sekali telah dilaksanakan demi keselamatan semua orang, di sepanjang waktu memperbuahkan hasil pada mereka semua.

4. (Perutusan Roh Kudus)

Untuk melaksanakan itu Kristus mengutus Roh Kudus dari Bapa, supaya Ia mengerjakan karya penyelamatan-Nya dalam jiwa manusia, dan menggerakkan Gereja untuk memperluas diri. Pantang diragukan, bahwa Roh Kudus dulu pun sudah berkarya di dunia, sebelum Kristus dimuliakan[7]. Tetapi pada hari Pentekosta Roh turun atas para murid, untuk tinggal bersama mereka selama-lamanya (lih. 14:16); tampillah Gereja secara resmi dihadapan banyak orang; mulailah penyebaran Injil melalui pewartaan diantara para bangsa; dan akhirnya dipralambangkan persatuan bangsa-bangsa dalam sifat katolik iman, melalui Gereja perjanjian Baru, yang bersabda dengan semua bahasa, memahami dan merangkul semua bahasa dalam cinta kasih, dan dengan demikian mengatasi percerai-beraian Babel[8]. Sebab dari Pentekosta mulailah “Kisah para Rasul”, seperti berkat turunnya Roh Kudus atas Perawan Maria dikandunglah Kristus, dan berkat turunnya Roh Kudus atas Kristus ketika sedang berdoa Ia didorong untuk memulai karya pelayanan-Nya[9]. Adapun Tuhan Yesus sendiri, sebelum dengan suka rela menyerahkan hidup-Nya, sedemikian rupa merekayasa pelayanan rasuli dan menjanjikan akan mengutus Roh Kudus, sehingga keduanya terpadukan dalam menyuburkan karya penyelamatan dimana-mana dan senantiasa[10]. Disepanjang waktu Roh Kuduslah yang “menyatukan” segenap Gereja “dalam persekutuan dan pelayanan, melengkapinya dengan pelbagai kurnia hirarkis dan karismatis”[11], dengan menghidupkan lembaga-lembaga gerejawi bagaikan jiwanya[12], dan dengan meresapkan semangat misioner, yang juga mendorong Kristus sendiri, ke dalam hati Umat beriman. Ada kalanya pula Roh Kudus secara kelihatan mendahului kegiatan merasul[13], seperti Ia tiada hentinya juga menyertai serta memimpinnya dengan pelbagai cara[14]

5. (Gereja diutus oleh Kristus)

Sejak semula Tuhan Yesus “memanggil mereka yang dikehendaki-Nya serta untuk diutus-Nya mewartakan Injil” (Mrk 3:13; lih. Mat 10:1-42). Begitulah para Rasul merupakan benih-benih Israel baru, pun sekaligus awal mula Hirarki suci. Kemudian, sesudah sekali, dengan wafat serta kebangkitan-Nya, Tuhan menyelesaikan dalam diri-Nya rahasia-rahasia keselamatan kita serta pembaharuan segala sesuatu, menerima segala kuasa di sorga dan di bumi (lih. Mat 28:18), sebelum Ia diangkat ke sorga (lih. Kis 1:11), Ia mendirikan Gereja-Nya sebagai sakramen keselamatan. Ia mengutus para Rasul ke seluruh dunia, seperti Ia sendiri telah diutus oleh Bapa (lih. Yoh 20:21), perintah-Nya kepada mereka: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan babtislah mereka dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus: ajarlah mereka melakukan segala-sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19 dsl.). “pergilah ke seluruh dunia, dan wartakanlah Injil kepada semua makhluk. Barang siapa percaya dan di babtis, akan selamat; tetapi siapa tidak percaya, akan dihukum” (Mrk 16:15 dsl.). Maka dari itu Gereja mengemban tugas menyiarkan iman serta keselamatan Kristus, baik atas perintah jelas, yang oleh para Rasul telah diwariskan kepada Dewan para Uskup yang dibantu oleh para imam, bersama dengan Pengganti Petrus serta Gembala Tertinggi Gereja, maupun atas daya-kekuatan kehidupan, yang oleh Kristus disalurkan kepada para anggota-Nya; “dari pada-Nyalah seluruh tubuh, – yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan setiap anggota, – menerima pertumbuhan dan membangun dirinya dalam kasih” (Ef 4:16). Oleh karena itu perutusan Gereja terlaksana dengan karya-kegiatannya. Demikianlah Gereja, mematuhi perintah Kristus dan digerakkan oleh rahmat serta cinta kasih Roh Kudus, hadir bagi semua orang dan bangsa dengan kenyataannya sepenuhnya, untuk – dengan teladan hidup maupun pewartaannya, dengan sakramen-sakramen serta upaya-upaya rahmat lainnya – menghantarkan mereka kepada iman, kebebasan dan damai Kristus, sehingga bagi mereka terbukalah jalan yang bebas dan teguh, untuk ikut serta sepenuhnya dalam misteri Kristus.

Perutusan itu terus berlangsung, dan disepanjang sejarah menjabarkan perutusan Kristus sendiri, yang diutus untuk mewartakan Kabar Gembira kepada kaum miskin. Atas dorongan Roh Kristus Gereja harus menempuh jalan yang sama seperti yang dilalui oleh Kristus sendiri, yakni jalan kemiskinan, ketaatan, pengabdian dan pengorbanan diri sampai mati, dan dari kematian itu muncullah Ia melalui kebangkitan-Nya sebagai Pemenang. Sebab demikianlah semua Rasul berjalan dalam harapan. Dengan mengalami banyak kemalangan dan dukaderita mereka menggenapi apa yang masih kurang pada penderitaan Kristus bagi Tubuh-Nya yakni Gereja (lih. Kol 1:24). Sering pula darah orang-orang kristiani menjadi benih[15].

6. (Kegiatan misioner)

Tugas itu harus dijalankan oleh Dewan para Uskup yang diketuai Pengganti petrus, sementara seluruh Gereja berdoa dan bekerja sama. Tugas itu satu dan tetap sama, dimanapun juga dalam segala situasi, meskipun menurut kenyataan tidak dilaksanakan dengan cara yang sama. Maka dari itu perbedaan-perbedaan, yang harus diakui adanya dalam kegiatan gereja itu, bukannya muncul dari hakekat paling dalam perutusan itu sendiri, melainkan dari pelbagai situasi tempat perutusan itu berlangsung.

Adapun keadaan-keadaan itu tergantung atau dari Gereja, atau juga dari berbagai masyarakat, golongan-golongan atau orang-orang, yang dilayani dalam perutusan itu. Sebab meskipun Gereja pada hakekatnya merangkum keseluruhan atau kepenuhan upaya-upaya keselamatan, namun tidak selalu atau segera bertindak atau dapat bertindak memakai semua upaya itu, melainkan dalam kegiatannya mencoba melaksanakan rencana Allah mengalami tahap-tahap awal dan langkah-langkah. Bahkan ada kalanya, sesudah kemajuan awal yang menggembirakan, Gereja terpaksa menyesalkan adanya kemunduran lagi, atau setidak-tidaknya tinggal dalam suatu keadaan tanggung dan tidak mencukupi. Adapun mengenai orang-orang, golongan-golongan dan bangsa-bangsa, Gereja hanya menyentuh serta merasuki mereka secara berangsur-angsur, dan begitulah Gereja menampung mereka dalam kepenuhan katolik. Tindakan-tindakan yang khas atau sarana-sarana yang baik harus sesuai dengan setiap situasi atau keadaan.

Prakarsa-prakarsa khusus, yang ditempuh oleh para pewarta Injil utusan Gereja dengan pergi keseluruh dunia untuk menunaikan tugas menyiarkan Injil dan menanamkan Gereja diantara para bangsa atau golongan-golongan yang belum beriman akan Kristus, lazimnya disebut “misi”. Misi itu dilaksanakan melalui kegiatan misioner, dan kebanyakan diselenggarakan di kawasan-kawasan tertentu yang diakui oleh Takhta suci. Tujuan khas kegiatan misioner itu mewartakan Injil dan menanamkan Gereja ditengah bangsa-bangsa atau golongan-golongan, tempat Gereja belum berakar[16]. Demikianlah dari benih sabda Allah tumbuhlah di mana-mana Gereja-gereja khusus pribumi yang cukup mantap, mempunyai daya-kekuatan mereka sendiri serta dewasa, dilengkapi secukupnya dengan Hirarki mereka sendiri dalam persatuan dengan Umat beriman, pun dengan upaya-upaya yang sesuai dengan watak-perangai mereka, untuk sepenuhnya menghayati hidup kristiani, dan untuk menyumbangkan bagian mereka demi manfaat seluruh Gereja. Upaya utama penanaman Gereja itu pewartaan Injil Yesus Kristus; untuk menyiarkannya itulah Tuhan mengutus para murid-Nya ke seluruh dunia, supaya orang-orang lahir kembali berkat sabda Allah (lih. 1Ptr 1:23), dan melalui babtis digabungkan pada Gereja, yang sebagai Tubuh Sabda yang menjelma dikembangkan dan hidup dari sabda Allah dan roti Ekaristi (lih Kis 2:42).

Dalam kegiatan misioner Gereja itu ada kalanya berbagai situasi bercampur-baur: pertama situasi permulaan atau penanaman, kemudian situasi kebaharuan atau keremajaan. Tetapi sesudah itu kegiatan misioner Gereja tidak berhenti, melainkan Gereja-Gereja khusus yang sudah terbentuk bertugas melanjutkannya, dan mewartakan Injil kepada semua dan setiap orang, yang masih berada di luar.

Selain itu tidak jarang golongan-golongan masyarakat, yang dihadapi Gereja, karena pelbagai sebab mengalami perubahan yang mendalam, sehingga dapat muncullah keadaan-keadaan yang sama sekali baru. Lalu Gereja wajib mempertimbangkan, benarkah situasi-situasi itu memerlukan kegiatan misioner lagi. Kecuali itu kadang-kadang keadaannya sedemikian rupa, sehingga untuk sementara tidak ada kemungkinan untuk secara langsung dan segera menyiarkan Injil: dalam situasi itu para misionaris dapat dan harus dengan sabar dan bijaksana, sekaligus dengan kepercayaan besar, sekurang-kurangnya memberi kesaksian akan cinta kasih dan kemurahan hati Kristus, dan dengan demikian menyiapkan jalan bagi Tuhan serta dengan cara tertentu menghadirkan-Nya.

Begitu menjadi jelaslah, bahwa kegiatan misioner bersumber pada hakekat Gereja sendiri. Kegiatan itu menyiarkan iman Gereja yang membawa keselamatan, menyempurnakan kesatuan katoliknya dengan memperluasnya, serta didukung oleh sifat kerasulannya. Kegiatan misioner memberi wujud nyata kepada semangat kolegial Hirarki, memberi kesaksian akan kekudusan Gereja, menyebarkan dan memajukan. Demikianlah kegiatan misioner di antara bangsa-bangsa berlainan dengan kegiatan pastoral terhadap Umat beriman, maupun dengan usaha-usaha yang ditempuh untuk meningkatkan kesatuan umat kristen. Tetapi dua hal terakhir itu berhubungan erat sekali dengan kegiatan misioner Gereja[17]: sebab perpecahan Umat kristen merugikan kepentingan amat suci, yakni pewartaan Injil kepada segala makhluk[18], dan bagi banyak orang menutup pintu untuk memasuki iman. Demikianlah karena misi itu sangat perlu, maka semua orang yang telah di babtis dipanggil, untuk berhimpun dalam satu kawanan, dan dengan demikian mampu serentak memberi kesaksian akan Kristus Tuhan mereka dihadapan para bangsa. Bila mereka belum mampu memberi kesaksian sepenuhnya tentang satu iman, sekurang-kurangnya mereka harus dijiwai oleh sikap saling menghargai dan saling mencintai.

7. (Alasan dan perlunya kegiatan misioner)

Alasan bagi kegiatan misioner itu terletak pada kehendak Allah, yang “menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan tentang kebenaran. Sebab Allah itu esa, dan esa pula Pengantara antara Allah dan manusia, yakni manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua orang” (1Tim 2:4-5); “dan keselamatan tidak ada dalam siapa pun juga selain dalam Dia” (Kis 4:12). Maka perlulah semua orang bertobat kepada Kristus, yang dikenal melalui pewartaan gereja, dan melalui Babtis disaturagakan ke dalam Dia dan Gereja, yakni Tubuh-Nya. Sebab Kristus sendiri “dengan jelas-jelas menegaskan perlunya iman dan babtis (lih. Mrk 16:16; Yoh 3:5), sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang-orang melalui Babtis bagaikan pintunya. Maka dari itu andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan”[19]. Oleh karena itu, meskipun Allah melalui jalan yang diketahui-Nya dapat menghantar manusia, yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil, kepada iman yang merupakan syarat mutlak untuk berkenan kepada-Nya (Ibr 11:6), namun Gereja mempunyai keharusan (lih. 1Kor 9:16) sekaligus juga hak yang suci, untuk mewartakan Injil. Maka dari itu kegiatan misioner sekarang ini seperti selalu tetap sepenuhnya mempunyai daya-kekuatan dan sifat keharusannya.

Melalui kegiatan itu Tubuh mistik Kristus tiada hentinya menghimpun dan menyusun tenaga-tenaganya demi pertumbuhannya sendiri (lih. Ef 4:11-16). Untuk melaksanakan kegiatan itulah para anggota Gereja didorong oleh cinta kasih. Dengan cinta itu mereka mengasihinya Allah, dan ingin berbagi kekayaan rohani hidup sekarang maupun di masa mendatang dengan semua orang.

Akhirnya melalui kegiatan misioner itu Allah dimuliakan sepenuhnya, sementara orang-orang dengan sadar dan seutuhnya menerima karya penyelamatan-Nya, yang disempurnakan-Nya dalam kristus. Demikian melalui kegiatan misioner terpenuhilah renacana Allah, yang dilayani oleh Kristus dengan taat-patuh dan penuh kasih demi kemuliaan bapa yang mengutus-Nya[20], supaya segenap umat manusia mewujudkan satu Umat Allah, bersatu-padu menjadi satu Tubuh Kristus, serta dibangun menjadi satu kenisah Roh Kudus. Pastilah itu menjawab kerinduan yang terdalam pada semua orang, karena mencerminkan kerukunan antar saudara. Begitulah akhirnya rencana Sang Pencipta, yang menciptakan manusia menurut cita-kesamaan-Nya, sungguh-sungguh terlaksana, bila semua saja yang mempunyai kodrat manusiawi dilahirkan kembali dalam kristus melalui Roh Kudus, dan sementara serentak memandang kemuliaan Allah, akan dapat berseru: “Bapa kami”[21].

8. (Kegiatan misioner dalam hidup dan sejarah umat manusia)

Kegiatan misioner berhubungan erat juga dengan kodrat manusia sendiri serta aspirasi-aspirasinya. Sebab dengan memperlihatkan Kristus, gereja sekaligus mengungkapkan kepada manusia kebenaran yang sesungguhnya tentang keadaannya serta kepenuhan panggilannya. Karena Kristus itu merupakan merupakan prinsip dan pola kodrat manusiawi yang diperbaharui, serta dijiwai kasih persaudaraan, kejujuran dan semangat suka damai, yang diinginkan oleh semua orang. Kristus, begitu pula Gereja yang memberi kesaksian tentang-Nya melalui pewartaan Injil, mengatasi segala keistimewaan suku maupun bangsa. Maka Kristus serta Gereja-Nya tidak dapat dianggap asing bagi siapa pun dan di mana pun[22]. Kristus sendirilah kebenaran dan jalan, yang oleh penyiaran Injil dibuka bagi semua orang, sementara pewartaan itu menyampaikan kepada mereka semua amanat Kristus sendiri: “Bertobatlah dan berimanlah akan Injil” (Mrk 1:15). Karena siapa tidak beriman sudah diadili (lih. Yoh 3:18), maka sabda Kristus itu sekaligus amanat pengadilan dan rahmat, maut dan kehidupan. Sebab hanya dengan mematikan apa yang sudah usang kita dapat mencapai kehidupan yang baru. Dan itu pertama-tama berlaku bagi pribadi-pribadi, tetapi juga bagi pelbagai harta-nilai dunia ini, yang ditandai sekaligus oleh dosa manusia dan berkat Allah: “Sebab semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah” (Rom 3:23). Tidak seorangpun mampu membebaskan diri dari dosa dan melampaui dirinya atas kekuatannya sendiri. Tak seorangpun dibebaskan sama sekali dari kelemahannya, atau keadaannya terlantar, atau perbudakannya[23]. Tetapi semua orang membutuhkan Kristus sebagai pola-teladan, guru, pembebas, juru selamat, Dia yang menghidupkan. Sesungguhnya dalam sejarah manusia, juga dalam kurun waktu ini, Injil merupakan ragi kebebasan dan kemajuan, dan selalu menyajikan diri sebagai ragi persaudaraan, kesatuan dan damai. Maka bukannya tanpa alasan Kristus oleh kaum beriman dirayakan sebagai “harapan dan Penyelamat para bangsa”[24].

9. (Sifat eskatologis kegiatan misioner)

Maka dari itu masa kegiatan misioner berlangsung antara kedatangan Tuhan yang pertama dan yang kedua, saatnya Gereja bagaikan panenan akan dihimpun dari keempat penjuru angin ke dalam kerajaan Allah[25]. Sebab sebelum Tuhan akan datang , Injil harus diwartakan kepada semua bangsa (lih. Mrk 13:10).

Kegiatan misioner tidak lain dan tidak kurang dari pada penampakan rencana Allah atau “Epiphania”, serta pelaksanaannya didunia dan dalam sejarahnya, saatnya Allah, melalui perutusan, secara terbuka menyempurnakan sejarah keselamatan. Melalui sabda pewartaan dan perayaan sakramen-sakramen, yang pusat dan puncaknya Ekaristi suci, kegiatan itu menghadirkan Kristus Sang Penyelamat. Kebenaran atau rahmat mana pun, yang sudah terdapat pada para bangsa sebagai kehadiran Allah yang serba rahasia, dibebaskannya dari penularan jahat dan dikembalikannya kepada Kristus Penyebabnya, yang menumbangkan pemerintahan setan serta menangkal pelbagai kejahatan perbuatan-perbuatan durhaka. Oleh karena itu apa pun baik, yang terdapat tertaburkan dalam hati dan budi orang-orang, atau dalam adat-kebiasaan serta kebudayaan-kebudayaan yang khas para bangsa, bukan hanya tidak hilang, melainkan disembuhkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah, untuk mempermalukan setan dan demi kebahagiaan manusia[26]. Begitulah kegiatan misioner menuju kepada kepenuhan pada akhir zaman[27]: sebab karenanya, sampai masa dan waktu yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya (lih. Kis 1:7), diperluaslah Umat Allah, yang disapa oleh nabi: “lapangkanlah tempat kemahmu, dan bentangkanlah tenda tempat kediamanmu! Janganlah menghematnya!” (Yes 54:2)[28], berkembanglah Tubuh mistik sampai tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (lih. Ef 4:13); dan kenisah rohani, tempat Allah disembah dalam roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23), berkembang dan dibangun di atas landasan para Rasul dan nabi-nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru (Ef 2:20).

BAB DUA – KARYA MISIONER SENDIRI

10. (Pendahuluan)

Gereja, yang diutus oleh Kristus untuk memperlihatkan dan menyalurkan cinta kasih Allah kepada semua orang dan segala bangsa, menyadari bahwa karya misioner yang harus dilaksanakannya memang masih amat berat. Sebab masih ada dua miliar manusia, yang jumlahnya makin bertambah, dan yang berdasarkan hubungan-hubungan hidup budaya yang tetap, berdasarkan tradisi-tradisi keagamaan yang kuno, berdasarkan pelbagai ikatan kepentingan-kepentingan sosial yang kuat, terhimpun menjadi golongan-golongan tertentu yang besar, yang belum atau hampir tidak mendengar Warta Injil. Di kalangan mereka ada yang tetap asing terhadap pengertian akan Allah sendiri, ada pula yang jelas-jelas mengingkari adanya Allah, bahkan ada kalanya menentangnya. Untuk dapat menyajikan kepada semua orang misteri keselamatan serta kehidupan yang disediakan oleh Allah, Gereja harus memasuki golongan-golongan itu dengan gerak yang sama seperti Kristus sendiri, ketika Ia dalam penjelmaan-Nya mengikatkan diri pada keadaan-keadaan sosial dan budaya tertentu, pada situasi orang-orang yang sehari-hari dijumpai-Nya.

ARTIKEL SATU – KESAKSIAN KRISTIANI

11. (Kesaksian hidup dan dialog)

Gereja harus hadir di tengah golongan-golongan manusia itu melalui putera-puteranya, yang diam di antara mereka atau diutus kepada mereka. Sebab segenap umat beriman kristiani, dimana pun mereka hidup, melalui teladan hidup serta kesaksian lisan mereka wajib menampilkan manusia baru, yang telah mereka kenakan ketika dibaptis, maupun kekuatan Roh Kudus, yang telah meneguhkan mereka melalui sakramen Krisma. Dengan demikian sesama akan memandang perbuatan-perbuatan mereka dan memuliakan Bapa (lih. Mat 5:16), dan akan lebih penuh menangkap makna sejati hidup manusia serta ikatan persekutuan semesta umat manusia.

Supaya kesaksian mereka akan Kristus itu dapat memperbuahkan hasil, hendaklah mereka dengan penghargaan dan cinta kasih menggabungkan diri dengan sesama, menyadari diri sebagai anggota masyarakat di lingkungan mereka, dan ikut serta dalam kehidupan budaya dan sosial melalui aneka cara pergaulan hidup manusiawi dan pelbagai kegiatan. Hendaknya mereka sungguh mengerti tradisi-tradisi kebangsaan dan keagamaan mereka, dan dengan gembira serta penuh hormat menggali benih-benih Sabda yang terpendam di situ. Tetapi sekaligus hendaknya mereka memperhatikan proses perubahan mendalam, yang sedang berlangsung pada bangsa-bangsa itu, dan ikut mengusahakan, supaya orang-orang zaman sekarang jangan terlampau memperhatikan ilmu-pengetahuan serta teknologi dunia modern, sehingga terasingkan dari nilai-nilai ilahi, bahkan supaya mereka dibangkitkan untuk semakin intensif merindukan kebenaran dan cinta kasih yang diwahyukan oleh Allah. Kristus sendiri menyelami hati sesama-Nya dan melalui percakapan yang sungguh manusiawi menghantar mereka kepada terang ilahi. Begitu pula hendaklah para murid-Nya, yang secara mendalam diresapi oleh Roh Kristus, memahami sesama dilingkungan mereka dan bergaul dengan mereka, sehingga berkat dialog yang jujur dan sabar itu mereka makin mengetahui, harta-kekayaan manakah yang oleh Allah dalam kemurahan-Nya telah dibagikan kepada para bangsa. Serta merta hendaklah mereka berusaha menilai kekayaan itu dalam cahaya Injil, membebaskannya, dan mengembalikannya kepada kekuasaan Allah Penyelamat.

12. (Kehadiran cinta kasih)

Kehadiran Umat beriman kristiani di tengah golongan-golongan manusia hendaknya dijiwai oleh cinta kasih Allah terhadap kita, sebab Allah menghendaki supaya kita saling mengasihi dengan cinta kasih yang sama (lih. 1Yoh 4:11). Sesungguhnya cinta kasih kristiani di tujukan kepada semua orang tanpa membeda-bedakan suku-bangsa, keadaan sosial atau agama; cinta kasih tidak mengharapkan keuntungan atau ungkapan terima kasih. Sebab seperti Allah telah mengasihi kita dengan cinta yang suka rela, begitu pula hendaknya kaum beriman dengan kasih mereka memperhatikan sepenuhnya manusia sendiri, dalam gerak yang sama seperti Allah mencari manusia. Maka seperti Kristus berkeliling ke semua kota dan desa sambil melenyapkan segala penyakit dan kelemahan sebagai tanda kedatangan kerajaan Allah (lih. Mat 9:35 dsl; Kis 10:38), begitu juga Gereja melalui para puteranya berhubungan dengan orang-orang dalam keadaan mana pun juga, tetapi terutama dengan mereka yang miskin dan tertimpa kemalangan, dan dengan sukarela mengorbankan diri untuk mereka (lih. 2Kor 12:15). Sebab Gereja ikut mengalami kegembiraan serta kesedihan mereka, mengerti cita-cita serta teka-teki hidup mereka, menderita bersama mereka dalam kegelisahan maut. Gereja ingin menanggapi mereka yang mencari damai dengan wawancara persaudaraan, dan membawa damai serta terang Injil kepada mereka.

Hendaklah kaum beriman kristiani berusaha dan bekerja sama dengan semua orang lainnya untuk mengatur bidang-bidang ekonomi dan sosial secara tepat hendaknya mereka secara istimewa membaktikan diri bagi pendidikan anak-anak dan kaum muda melalui pelbagai macam sekolah-sekolah, yang harus dipandang tidak hanya sebagai upaya yang unggul untuk membina dan memajukan angkatan muda kristiani, melainkan juga sebagai pengabdian yang bernilai amat tinggi kepada umat manusia, terutama kepada bangsa-bangsa yang sedang berkembang, untuk mengangkat martabat manusia dan menyiapkan kondisi-kondisi yang lebih manusiawi. Selain itu hendaknya umat kristiani ikut serta dalam usaha-usaha para bangsa, yang sedang memerangi kelaparan, kebodohan serta penyakit-penyakit, dan dengan demikian berusaha menciptakan kondisi-kondisi hidup yang lebih baik dan meneguhkan perdamaian di dunia. Dalam kegiatan itu hendaknya kaum beriman memilih untuk dengan bijaksana menggabungkan usaha mereka dengan usaha-usaha, yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga perorangan maupun umum, oleh pemerintah-pemerintah, oleh lembaga-lembaga internasional, oleh pelbagai jemaat kristiani maupun para penganut agama-agama bukan kristiani.

Akan tetapi gereja sama sekali tidak bermaksud mencampuri pemerintahan masyarakat duniawi. Gereja tidak menghendaki kewibawaan lain bagi dirinya kecuali untuk dengan bantuan Allah, dengan cinta kasih dan dalam pengabdian yang setia, melayani umat manusia (lih. Mat 20:26; 23:11)[29]

Dalam kehidupan dan kegiatan mereka para murid Kristus erat bersatu dengan sesama manusia. Mereka berharap akan memberi kesaksian yang benar tentang Kristus, dan berkarya demi keselamatan sesama, juga bila mereka tidak dapat sepenuhnya mewartakan Kristus. Sebab mereka tidak mencari kemajuan dan kesejahteraan manusia yang bersifat jasmani melulu, melainkan memajukan martabat serta persatuan persaudaraan sesama. Itu mereka usahakan sambil mengajarkan kebenaran-kebenaran keagamaan dan kesusilaan, yang oleh Kristus disinari dengan cahaya-Nya. Dengan demikian mereka lambat laun semakin lebar membuka pintu menuju Allah. Begitulah orang-orang dibantu untuk memperoleh keselamatan melalui cinta kasih terhadap Allah dan terhadap sesama. Mulai bercahayalah misteri kristus. Dalam Dia telah mulai tampillah manusia baru, yang diciptakan menurut Allah (lih. Ef 4:24), dan yang mengungkapkan cinta kasih Allah.

ARTIKEL DUA – PEWARTAAN INJIL DAN PENGHIMPUNAN UMAT ALLAH

13. (Pewartaan Injil dan pertobatan)

Dimanapun Allah membuka pintu pewartaan tentang misteri Kristus (lih. Kol 4:3), kepada semua orang (lih. Mrk 16:15) perlulah diwartakan (lih. 1Kor 9:16; Rom 10:14) penuh kepercayaan dan tiada hentinya (lih. Kis 4:13, 29, 31; 9:27-28; 13:46; 14:3; 19:8; 26:26; 28:31; 1Tes 2:2; 2Kor 3:12; 7:4; Plp 1:20; Ef 3:12; 6:19-20) Allah yang hidup, beserta Yesus kristus yang diutus-Nya demi keselamatan semua orang (lih. 1Tes 1:9-10; 1Kor 1:18-21; Gal 1:31; Kis 14:15-17; 17:22-31). Maksudnya supaya mereka yang bukan kristiani, berkat Roh Kudus yang membuka hati mereka (lih. Kis 16:14), menjadi beriman dan dengan sukarela bertobat kepada Tuhan, serta dengan jujur berpegang teguh pada Dia, yang merupakan “jalan, kebenaran dan kehidupan” (Yoh 14:6), dan memenuhi – bahkan tiada hingganya melampaui – semua harapan-harapan rohani mereka.

Itu memang harus dimengerti sebagai pertobatan awal, tetapi bagi manusia sudah mencakup untuk menangkap, bahkan ia telah dibebaskan dari dosa dan di antar masuk ke dalam misteri cinta kasih Allah, yang memanggilnya untuk menjalin hubungan pribadi dengan diri-Nya dalam kristus. Sebab berkat rahmat Allah orang yang baru saja bertobat menempuh perjalanan rohani; di situ ia, yang karena iman sudah ikut menghayati misteri wafat dan kebangkitan, beralih dari manusia lama kepada manusia baru yang sempurna dalam Kristus (lih. Kol 3:5-10; Ef 4:20-24). Peralihan itu membawa serta perubahan mentalitas serta adat kebiasaan secara berangsur-angsur, harus nampak beserta dampak-dampak sosialnya, dan selama katekumenat berkembang sedikit demi sedikit. Tuhan yang diimani itu tanda yang menimbulkan perbantahan (lih. Luk 2:34; mat 10:34-39). Maka manusia yang bertobat tidak jarang mengalami perpecahan-perpecahan dan pemisahan-pemisahan, tetapi juga kegembiraan yang dikurniakan oleh Allah tanpa ukuran (lih. 1Tes 1:6).

Gereja melarang keras, jangan sampai ada orang yang dipaksa atau dengan siasat yang tidak pada tempatnya dibujuk atau dipikat untuk memeluk iman. Begitu pula Gereja dengan teguh membela hak manusia untuk tidak dijauhkan dari iman melalui ganguan-gangguan yang melanggar keadilan[30].

Menurut kebiasaan Gereja yang amat kuno, hendaknya alasan-alasan untuk bertobat diselidiki, dan bila perlu dijernihkan.

14. (Katekumenat dan inisiasi kristiani)

Hendaknya mereka, yang telah menerima iman akan Kristus dari Allah melalui gereja[31], diterima ke dalam katekumenat dengan upacara liturgis. Katekumenat itu bukan melulu penjelasan ajaran-ajaran Gereja dan pemerintah-pemerintah, melainkan pembinaan dalam seluruh hidup kristiani dan masa percobaan yang lamanya memadai, yang membantu para murid untuk bersatu dengan Kristus Guru mereka. Maka hendaknya para katekumen diantar sebagamana harusnya untuk memasuki rahasia keselamatan, menghayati cara hidup menurut Injil, dan ikut serta dalam upacara-upacara suci, yang harus dirayakan dari masa ke masa[32]. Hendaknya mereka diajak memulai hidup dalam iman, merayakan liturgi dan mengamalkan cinta kasih Umat Allah.

Kemudian melalui sakramen-sakramen inisiasi kristiani mereka dibebaskan dari kuasa kegelapan (lih. Kol 1:13)[33]; mereka mati, dikuburkan dan dibangkitkan bersama Kristus (lih. Rom 6:4-11; Kol 2:12-13; 1ptr 3:21-22; Mrk 16:16), menerima Roh (lih. 1tes 3:5-7; Kis 8:14-17) pengangkatan menjadi putera, dan merayakan kenangan dan wafat kebangkitan Tuhan bersama segenap Umat Allah.

Hendaknya liturgi masa Pra Paska dan Paska ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga menyiapkan hati para katekumen merayakan misteri Paska; dalam perayaan itu mereka dilahirkan bagi Kristus melalui baptis-baptis.

Tetapi inisiasi kristisni dalam katekumenat itu jangan hanya diselenggarakan oleh para katekis atau para imam, melainkan hendaknya di laksanakan oleh segenap jemaat beriman, khususnya oleh bapak ibu baptis, sehingga para katekumen sejak semula merasa termasuk anggota Umat Allah. Karena hidup Gereja itu bersifat kerasulan, maka hendaknya para katekumen belajar juga dengan kesaksian hidup serta pengikraran imam mereka secara aktif memberi sumbangan mereka bagi pewartaan Injil dan pembangunan Gereja.

Akhirnya status yuridis para katekumen hendaknya dalam Kitab Hukum Kanonik yang baru ditetapkan dengan jelas. Sebab mereka sudah bersatu dengan Gereja[34], sudah termasuk rumah (keluarga) Kristus[35], dan tidak jarang sudah mengghayati kehidupan iman, harapan dan cinta kasih.

ARTIKEL TIGA – PEMBINAAN JEMAAT KRISTIANI

15. (Pembinaan jemaat kristiani)

Roh Kudus memanggil semua orang kepada Kristus melalui benih-benih Sabda serta pewartaan Injil, dan membangkitakan iman dalam hati mereka. Bila ia dalam bejana Baptis melahirkan mereka yang beriman akan Kristus bagi kehidupan baru, Ia menghimpun mereka jadi satu Umat Allah, yakni “bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, umat milik Allah sendiri” (1Ptr 2:9)[36].

Maka hendaknya para misionaris, yang bekerja sama dengan Allah (lih 1Kor 3:9), membangun jemaat-jemaat beriman sedemikian rupa, sehingga hidup mereka sebagai umat yang terpanggil berpadanan dengan panggilan itu (lih. Ef 4:1), dan mereka dengan pantas menunaikan tugas-tugas imamat, kenabian dan rajawi, yang oleh Allah dipercayakan pada mereka. Begitulah jemaat kristiani menjadi tanda kehadiran Allah di dunia. Sebab jemaat itu berkat korban Ekaristi tiada hentinya beralih kepada Bapa bersama Kristus[37], dengan tekun menerima santapan sabda Allah[38], memberi kesaksian tentang Kristus[39], akhirnya berjalan dalam cinta kasih, dan berkobar semangat kerasulannya[40].

Jemaat kristiani sejak semula harus dibina sedemikian rupa, sehingga sedapat mungkin mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri.

Himpunan umat beriman itu, yang mengemban kekayaan-kebudayaan bangsanya sendiri, hendaknya dalam-dalam berakar di tengah rakyat: hendaknya keluarga-keluarga berkembang, diresapi oleh semangat Injil[41] dan dibantu oleh sekolah-sekolah yang bermutu; hendaknya didirikan pelbagai persekutuan dan kelompok untuk mendukung kerasulan awam, supaya mampu merasuki seluruh masyarakat dengan semangat Injil. Akhirnya hendaknya antara Umat katolik dari berbagai ritus cinta kasih bersinar cemerlang[42].

Hendaknya semangat ekumenis pun dikembangkan di antara mereka yang baru di baptis, supaya mereka betul-betul menyadari, bahwa para saudara yang beriman akan Kristus itu memang murid-murid Kristus, yang dilahirkan kembali dengan Baptis, dan ikut memiliki kekayaan Umat Allah yang melimpah. Sejauh situasi keagamaan mengizinkan, hendaknya kegiatan ekumenis dikembangkan sedemikian rupa, sehingga enyahlah setiap kesan masa bodoh dan mencampur-adukkan maupun persaingan yang tidak sehat, dan – sejauh mungkin – Umat katolik, menurut kaidah-kaidah Dekrit tentang Ekumenisme, secara persaudaraan bekerja sama dengan saudara-saudara yang terpisah, dalam pengikraran iman bersama akan Allah dan akan Yesus Kristus dihadapan para bangsa, pun juga dalam kerja sama dibidang sosial dan tehnis maupun dibidang kebudayaan dan keagamaan. Terutama hendaknya mereka menjalin kerja sama demi Kristus, Tuhan mereka bersama: Nama-Nya mengikat mereka menjadi satu! Kerja sama itu hendaknya diadakan bukan hanya diantara orang-orang perorangan, melainkan juga – menurut kebijakan Uskup setempat – antara Gereja-Gereja atau jemaat-jemaat gerejawi beserta karya-kegiatan mereka.

Umat beriman kristiani, yang dihimpun dari segala bangsa dalam Gereja, “tidak terbedakan dari orang-orang lain entah karena bentuk pemerintahan, entah karena bahasa mereka, entah karena tatanan politik kehidupan”[43]. Maka hendaklah mereka dalam adat kebiasaan hidup bangsa mereka yang pantas bagi Allah dan Kristus. Sebagai warganegara yang baik hendaknya mereka dengan sungguh-sungguh dan secara nyata memupuk cinta akan tanah air; tetapi hendaklah mereka sama sekali menghindari sikap menghina terhadap suku-bangsa lain maupun nasionalisme yang berlebihan, dan memajukan cinta kasih terhadap sesama, semua dan siapa saja. Untuk mencapai itu semua kaum awam sangat penting dan selayaknya mendapat perhatian istimewa, yakni: Umat beriman kristiani, yang melalui Baptis disaturagakan dalam Kristus, dan tetap hidup ditengah masyarakat. Sebab merupakan tugas merekalah, untuk dijiwai oleh Roh Kristus, ibarat ragi menjiwai hal-hal yang fana dari dalam, dan mengaturnya supaya selalu terlaksana menurut kehendak Kristus[44].

Tetapi tidak cukuplah, bahwa Umat kristiani hadir dan mendapat tempatnya ditengah suatu bangsa; tidak cukup pula bahwa mereka mengamalkan kerasulan teladan. Umat ditempatkan di situ, hadir disitu, untuk mewartakan Kristus kepada sesama warga masyarakat yang bukan kristiani dengan sabda maupun kegiatan, dan untuk membantu mereka menerima Kristus sepenuhnya.

Adapun untuk menanamkan Gereja dan demi perkembangan jemaat kristiani diperlukan pelbagai pelayanan, yang berkat panggilan ilahi tumbuh dari jemaat beriman sendiri, dan oleh semua anggota harus dipupuk dan dipelihara dengan tekun. Di antaranya terdapat tugas para imam, para diakon dan para katekis, lagi pula Aksi Katolik. Begitu pula para religius pria maupun wanita menunaikan tugas yang sangat perlu untuk mengakarkan dan meneguhkan Kerajaan Kristus di hati orang-orang, dan untuk terus menyebarluaskannya entah melalui doa, entah dengan karya-kegiatan yang aktif.

16. (Pengadaan klerus setempat)

Dengan sangat gembira Gereja bersyukur atas kurnia tidak ternilai panggilan imamat, yang oleh Allah dianugerahkan kepada sekian banyak pemuda di tengah bangsa-bangsa yang akhir-akhir ini bertobat kepada kristus. Sebab Gereja berakar lebih kuat disetiap golongan manusia, bila pelbagai jemaat beriman dari kalangan anggotanya mempunyai pelayanan-pelayan keselamatannya sendiri pada tingkat Uskup, Imam dan Diakon, yang melayani para saudara mereka, sehingga Gereja-Gereja muda lambat-laun memperoleh tata-susunan keuskupan beserta klerusnya sendiri.

Apa pun yang oleh Konsili ini telah ditetapkan tentang panggilan dan pembinaan imam, hendaknya dipatuhi dengan khidmat sejak Gereja mulai ditanam maupun dalam Gereja-Gereja muda. Hendaklah dianggap sangat penting apa yang dikatakan tentang perpaduan erat antara pembinaan rohani dan pendidikan ilmiah serta pastoral, tentang penghayatan hidup menurut pola Injil tanpa mempertimbangkan keuntungan sendiri atau keluarga, tentang usaha memupuk cita-rasa misteri Gereja yang mendalam. Di situ para calon imam secara mengagumkan akan belajar membaktikan diri seutuhnya untuk mengabdi kepada Tubuh Kristus dan melaksanakan karya Injil, mematuhi Uskup mereka sebagai rekan-rekan sekerja andal, dan membantu rekan-rekan seimamat[45].

Untuk mencapai tujuan umum itu, seluruh pembinaan para siswa hendaknya disusun dalam terang rahasia keselamatan seperti terungkap dalam Kitab suci. Hendaknya mereka menemukan dan menghayati misteri Kristus serta keselamatan umat manusia dalam Liturgi[46].

Tuntutan-tuntutan umum pembinaan imam itu, juga dibidang pastoral dan praktis, menurut kaidah Konsili[47], hendaknya diserasikan dengan usaha menanggapi pola berpikir dan bertindak yang serba khas pada bangsa yang bersangkutan. Maka hati dan budi para siswa hendaknya dibuka dan diperhalus, sehingga mereka menyelami dan mampu menilai kebudayaan bangsa mereka; dalam ilmu-ilmu filsafat dan teologi hendaknya mereka memahami hubungan-hubungan antara tradisi-tradisi serta hidup keagamaan bangsa mereka dan agama kristiani[48]. Begitu pula hendaknya pembinaan imam mengindahkan kebutuhan-kebutuhan pastoral daerah itu: para siswa hendaknya mempelajari sejarah, tujuan dan metode kegiatan misioner Gereja, begitu pula kondisi-kondisi sosial, ekonomi, budaya, yang khas bagi rakyat di situ. Hendaklah mereka dididik dalam semangat ekumenisme, dan disiapkan semestinya untuk menjalin dialog persaudaraan dengan umat bukan-kristiani[49]. Itu semua menuntut, supaya studi imamat sedapat mungkin diselenggarakan dalam hubungan dan hidup bersama yang terus-menerus dengan bangsa yang bersangkutan[50]. Akhirnya hendaknya diperhatikan juga dalam pendidikan administrasi kegerejaan yang teratur, bahkan juga dalam administrasi ekonomi.

Selain itu hendaknya di pilih imam-imam yang cakap, yang – sesudah sekedar praktik pastoral – dapat menyelesaikan studi tingkat perguruan tinggi dengan baik, juga diuniversitas-universitas di luar negeri, terutama di Roma, dan di lembaga-lembaga ilmiah lainnya. Dengan demikian bagi Gereja-Gereja muda tersedialah dari klerus setempat imam-imam, yang berbekalkan ilmu serta kemahiran yang sesuai untuk menunaikan tugas-tugas gerejawi yang lebih berat.

Bila konferensi-konferensi Uskup memandangnya baik, hendaknya diadakan lagi tingkat diakonat sebagai status hidup yang tetap, menurut kaidah Konstitusi “tentang Gereja”[51]. Sebab memang berguna bahwa ada orang-orang, yang sungguh-sungguh menjalankan pelayanan diakon, entah dengan mewartakan sabda Allah sebagai katekis, entah dengan memimpin jemaat-jemaat kristiani yang terpencil atas nama pastor paroki dan Uskup, atau dengan mengamalkan cinta kasih dalam karya-kegiatan sosial atau amal-kasih. Hendaklah mereka itu diteguhkan dengan penumpangan tangan yang diwaris dari para Rasul, dan dihubungkan lebih erat dengan altar, sehingga mereka secara lebih tepat-guna menunaikan pelayanan mereka berkat rahmat sakramental diakonat.

17. (Pendidikan para katekis)

Demikian pula pantas dipujilah barisan, yang berjasa begitu besar dalam karya misioner diantara para bangsa, yakni barisan para katekis baik pria maupun wanita, yang dijiwai semangat merasul, dengan banyak jerih payah memberi bantuan yang istimewa dan sungguh-sungguh perlu demi penyebarluasan iman dan Gereja.

Pada zaman kita ini hanya sedikitlah jumlah klerus untuk mewartakan Injil kepada masa yang begitu besar, dan untuk menjalankan pelayanan pastoral. Maka tugas para katekis sangat penting. Oleh karena itu pendidikan mereka harus dilaksanakan dan disesuaikan dengan kemajuan kebudayaan sedemikian rupa, sehingga mereka menjadi rekan sekerja yang tangguh bagi para imam, dan mampu menunaikan sebaik mungkin tugas mereka, yang makin bertambah sulit karena beban-beban baru yang lebih berat.

Maka dari itu hendaknya jumlah sekolah-sekolah tingkat keuskupan maupun regio diperbanyak, untuk menampung para calon katekis, yang mendalami ajaran katolik, terutama perihal Kitab Suci dan liturgi, maupun mengembangkan metode katekese dan praktik pastoral; selain itu membina diri menurut adat-perilaku kristiani[52], dan tiada hentinya berusaha mengembangkan keutamaan serta kesucian hidup. Kecuali itu hendaklah diselenggarakan pertemuan-pertemuan atau kursus-kursus, untuk pada masa-masa tertentu membantu para katekis menyegarkan diri dalam ilmu-ilmu dan ketrampilan-ketrampilan yang berguna bagi pelayanan mereka, serta memupuk dan meneguhkan hidup rohani mereka. Selain itu, hendaknya mereka, yang membaktikan diri sepenuhnya dalam kegiatan itu, diberi status hidup yang sepantasnya dan jaminan sosial dalam bentuk balas jasa yang adil[53].

Diharapkan, agar bagi pendidikan dan rezeki hidup para katekis disediakan dana bantuan khusus yang selayaknya oleh Kongregasi Penyebaran Iman. Bila akan nampak perlu dan seyogyanya, hendaknya didirikan “Karya untuk para Katekis”[54].

Kecuali itu Gereja-Gereja dengan rasa syukur akan menghargai jerih-payah para katekis bantu, yang berkarya dengan murah hati, dan yang pertolongannya akan tetap dibutuhkan. Mereka dalam jemaat-jemaat mereka memimpin doa-doa dan memberi pelajaran. Pendidikan mereka perihal ajaran dan hidup rohani hendaknya diusahakan semestinya. Selain itu dihimbau , agar – bila dipandang cocok – kepada para katekis, yang telah menempuh pendidikan sebagaimana seharusnya, diberikan perutusan gerejani secara resmi, dalam suatu ibadat liturgis yang dirayakan di muka umum, supaya dalam pengabdian kepada iman mereka lebih berwibawa terhadap Umat.

18. (Pengembangan hidup religius)

Hendaknya sejak masa penanaman Gereja sungguh-sungguh diusahakan pengembangan hidup religius, yang bukan hanya memberi bantuan yang berharga dan sangat diperlukan bagi kegiatan misioner, melainkan melalui pentakdisan yang lebih mendalam kepada Allah dalam Gereja juga menunjukkan dan melambangkan dengan jelas inti hakekat panggilan kristiani[55].

Hendaknya lembaga-lembaga religius, yang ikut berjerih payah menanam Gereja, dan secara mendalam diresapi kekayaan mistik, yang menandai tradisi religius Gereja, berusaha mengungkapkan dan menurunkan kekayaan itu sesuai dengan bakat-pembawaan dan watak perangai masing-masing bangsa. Hendaknya dipertimbangkan dengan saksama, bagaimana tradisi-tradisi ulah-tapa serta kontemplasi, yang benih-benihnya acap kali sebelum pewartaan Injil sudah ditanam oleh Allah dalam kebudayaan-kebudayaan kuno, dapat ditampung ke dalam hidup religius kristiani.

Dalam Gereja-Gereja muda hendaknya dikembangkan pelbagai bentuk hidup religius, untuk memperlihatkan pelbagai segi perutusan Kristus dan kehidupan Gereja, dan untuk membaktikan diri melalui pelbagai bentuk karya pastoral serta menyiapkan para anggotanya dengan baik untuk melaksanakan kegiatan itu. Akan tetapi para Uskup dalam Konferensi hendaknya memperhatikan, jangan sampai jumlah Tarekat, yang bertujuan kerasulan yang sama, diperbanyak sehingga merugikan hidup religius maupun kerasulan.

Layak disebutkan secara khusus pelbagai usaha untuk mengakarkan hidup kontemplatif. Ada yang sementara mempertahankan unsur-unsur hakiki lembaga monastik berusaha menanamkan tradisi Tarekat mereka yang amat kaya. Namun ada pula yang kembali ke bentuk-bentuk lebih sederhana hidup monastik di jaman kuno. Akan tetapi hendaknya semuanya berusaha mencari penyesuaian yang sesungguhnya dengan kondisi-kondisi setempat. Karena hidup kontemplatif termasuk kehadiran Gereja yang sepenuhnya, maka hendaknya diadakan di mana-mana dalam Gereja-Gereja muda.

BAB TIGA – GEREJA-GEREJA KHUSUS

19. (Kemajuan Gereja-Gereja muda)

Dalam arti tertentu karya penanaman Gereja pada golongan manusia tertentu mencapai sasarannya, bila jemaat beriman telah berakar dalam hidup masyarakat, sudah agak menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat, dan keadaannya sudah agak stabil dan kuat; artinya: mempunyai sejumlah imam, religius maupun awam pribumi, meskipun belum mencukupi, dan dilengkapi dengan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga, yang dibutuhkan untuk hidup sebagai Umat Allah di bawah bimbingan Uskupnya sendiri dan mengembangkan diri.

Dalam Gereja-Gereja muda itu kehidupan Umat Allah harus menjadi dewasa di segala bidang hidup kristiani yang perlu diperbaharui menurut kaidah-kaidah Konsili ini: kelompok-kelompok Umat beragama semakin sadar menjadi jemaat-jemaat yang hidup karena iman, ibadat dan cinta kasihnya; kaum awam melalui kegiatan kemasyarakatan dan kerasulan berusaha menciptakan tatanan cinta kasih dan keadilan dalam masyarakat; upaya-upaya komunikasi sosial digunakan secara tepat dan bijaksana; keluarga-keluarga dengan hidup mereka yang sungguh kristiani menjadi persemaian kerasulan awam maupun panggilan-panggilan imam dan religius. Akhirnya iman diwartakan melalui katekese yang sesuai, dirayakan dalam liturgi yang selaras dengan sifat perangai rakyat, serta dengan adanya perundangan Gereja yang cocok memasuki lembaga-lembaga yang terpandang dan merasuki adat-kebiasaan setempat.

Adapun para Uskup, masing-masing dengan para imamnya, hendaknya makin diresapi oleh cita-rasa Kristus dan Gereja, dan menjadi seperasaan dan sekehidupan dengan Gereja semesta. Hendaklah Gereja-Gereja muda tetap memelihara persekutuan yang erat dengan seluruh Gereja, yang unsur-unsur tradisinya hendaknya dipadukan dengan kebudayaan sendiri, untuk mengembangkan kehidupan Tubuh Mistik dengan suatu pertukaran timbal-balik[56]. Oleh karena itu hendaknya dikelola unsur-unsur teologis, psikologis dan manusiawi, yang dapat memberi sumbangan untuk memupuk semangat persekutuan dengan Gereja semesta.

Tetapi Gereja-Gereja muda itu, yang sering sekali terletak di kawasan-kawasan dunia yang lebih miskin, kebanyakan masih sangat kekurangan imam dan upaya-upaya jasmani. Maka kebutuhan mereka yang amat mendesak yakni: supaya kegiatan misioner seluruh Gereja yang tiada hentinya menyampaikan bantuan-bantuan, yang terutama akan mendukung perkembangan Gereja setempat dan pendewasaan hidup kristiani. Kegiatan misioner itu hendaklah membantu Gereja-Gereja yang sudah lama didirikan juga, tetapi sedang mengalami suatu kemunduran atau kelemahan.

Akan tetapi hendaklah Gereja-Gereja itu bersama-sama membaharui semangat pastoral serta menyesuaikan kegiatan-kegiatan mereka, supaya dengan demikian panggilan-panggilan imam diosesan dan hidup religius bertambah jumlahnya, dapat dipertimbangkan dengan lebih cermat, dan di pupuk secara lebih tepat-guna[57], sehingga lambat-laun Gereja-Gereja mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri pun juga membantu Gereja-Gereja lain.

20. (Kegiatan misioner Gereja-Gereja khusus)

Gereja khusus wajib menghadirkan Gereja semesta sesempurna mungkin. Maka hendaklah sungguh menyadari, bahwa ia juga diutus kepada mereka yang belum beriman akan Kristus dan bersama dengannya menghuni daerah yang sama, sehingga melalui kesaksian hidup masing-masing anggotanya seluruh jemaatnya menjadi tanda yang menunjukkan Kristus kepada mereka.

Selain itu diperlukan sabda, supaya Injil mencapai semua orang. Uskup pertama-tama wajib menjadi pewarta iman, yang menghantarkan murid-murid baru kepada Kristus[58]. Supaya ia menunaikan tugas mulia itu sebagaimana mestinya, hendaklah ia sungguh menyelami baik situasi dan kondisi kawanannya, maupun pandangan-pandangan tentang Allah yang sesungguhnya terdapat pada sesama warga masyarakat. Hendaklah ia dengan seksama mempertimbangkan juga perubahan-perubahan, yang disebabkan oleh apa yang disebut “urbanisasi”, perpindahan penduduk, dan sikap tak acuh di bidang keagamaan.

Para imam pribumi dalam Gereja-Gereja muda hendaknya penuh semangat menangani karya pewartaan Injil, dengan menjalin kerja sama dengan para misionaris luar negeri, yang bersama mereka merupakan satu himpunan imam, bersatu dibawah kewibawaan Uskup, bukan saja untuk menggembalakan Umat beriman dan merayakan ibadat ilahi, melainkan juga untuk mewartakan Injil kepada mereka yang berada di luar. Hendaknya mereka siap sedia, dan bila ada kesempatan dengan gembira menawarkan diri kepada Uskup mereka, untuk memulai karya misioner di daerah-daerah yang terpencil dan terbelakang di keuskupan mereka sendiri atau di keuskupan-keuskupan lain.

Hendaknya para religius pria maupun wanita, begitu pula kaum awam, dijiwai oleh semangat yang sama terhadap sesama warga masyarakat, terutama terhadap mereka yang lebih miskin.

Hendaknya Konferensi-Konferensi Uskup mengusahakan, supaya pada waktu-waktu tertentu diselenggarakan kursus-kursus penyegaran di bidang Kitab suci, teologi, hidup rohani dan pastoral, dengan maksud supaya ditengah kemajemukan dan perubahan-perubahan situasi klerus memperoleh pengertian yang lebih penuh tentang ilmu teologi dan metode-metode pastoral.

Pada umumnya, hendaklah dipatuhi dengan saksama apa yang telah ditetapkan oleh Konsili ini, terutama dalam Dekrit tentang Pelayanan dan Hidup para Imam.

Supaya karya misioner Gereja khusus itu dapat terlaksana, diperlukan pelayan-pelayan yang cakap, yang perlu disiapkan pada waktunya dengan cara yang sesuai dengan situasi masing-masing Gereja. Tetapi karena orang-orang semakin mengelompok membentuk golongan-golongan tertentu, maka adalah semestinya, bahwa Konferensi-Konferensi Uskup mengadakan pertukaran pandangan tentang bagaimana menjalin dialog dengan golongan-golongan itu. Akan tetapi bila diberbagai wilayah terdapat kelompok-kelompok, yang terhalang untuk memeluk iman katolik, karena mereka tidak mampu menyesuaikan diri dengan bentuk khusus, yang menandai Gereja di situ, lalu diharapkan, supaya situasi yang istimewa itu ditanggapi secara khusus[59], sampai semua orang kristiani dapat berhimpun menjadi satu jemaat. Adapun masing-masing Uskup hendaknya mengundang para misionaris ke keuskupannya, – bila Takhta suci menyediakan sejumlah mereka untuk maksud itu, – atau dengan senang hati menerima mereka, dan secara tepat-guna ikut mengembangkan usaha-usaha mereka.

Supaya di antara saudara-saudara setanah air semangat misioner itu mulai mekar, sudah sepantasnyalah bahwa Gereja-Gereja muda selekas mungkin ikut serta secara nyata dalam perutusan Gereja semesta, dengan mengutus misionaris-misionaris mereka sendiri untuk mewartakan Injil di mana-mana, meskipun mereka sendiri masih kekurangan imam. Sebab persekutuan dengan Gereja semesta dengan cara tertentu akan terlaksana, bila Gereja-Gereja muda itu pun secara aktif ikut menjalankan kegiatan misioner di tengah bangsa-bangsa lain.

21. (Pengembangan kerasulan awam)

Gereja tidak sungguh-sungguh didirikan, tidak hidup sepenuhnya, dan bukan tanda Kristus yang sempurna di tengah masyarakat, selama bersama Hirarki tidak ada dan tidak berkarya kaum awam yang sejati. Sebab Injil tidak dapat meresapi sifat-perangai, kehidupan dan jerih-payah suatu bangsa secara mendalam tanpa kehadiran aktif kaum awam. Oleh karena itu sejak suatu Gereja didirikan perhatian amat besar harus diberikan kepada pembentukan kaum awam kristiani yang dewasa.

Sebab Umat beriman awam sepenuhnya termasuk Umat Allah pun sekaligus masyarakat. Mereka termasuk bangsa yang menjadi pangkuan kelahiran mereka. Melalui pendidikan mereka mulai ikut menikmati kekayaan kebudayaannya. Mereka terikat pada kehidupannya melalui aneka ikatan sosial. Atas usaha sendiri mereka ikut menyumbang bagi kemajuannya melalui kejuruan mereka. Masalah-masalahnya mereka rasakan sebagai persoalan mereka sendiri, dan mereka berusaha memecahkannya. Tetapi mereka juga menjadi milik Kristus, karena dilahirkan kembali dalam Gereja melalui iman dan Baptis, supaya berkat barunya hidup dan karya mereka, mereka menjadi milik Kristus (lih. 1Kor 15:23), supaya dalam Kristus segala-sesuatu tunduk kepada Allah, dan akhirnya Allah menjadi semuanya dalam segalanya (lih. 1Kor 15:28).

Tugas utama para awam baik pria maupun wanita yakni: memberi kesaksian akan Kristus. Mereka wajib bersaksi dengan kehidupan dan kata-kata dalam keluarga, dikalangan sosial mereka, dilingkungan profesi mereka. Sebab pada diri mereka harus nampak manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah dalam kebenaran dan kekudusan yang sejati (lih. Ef 4:24). Adapun sifat baru kehidupan itu wajib mereka ungkapkan di lingkup masyrakat dan kebudayaan pribumi, menurut adat-kebiasaan bangsa mereka. Mereka harus mengenal kebudayaan itu, menyehatkan serta melestarikannya, mengembangkannya sesuai dengan kondisi-kondisi mutakhir, dan akhirnya menyempurnakannya dalam Kristus, supaya iman akan Kristus dan kehidupan Gereja jangan asing lagi bagi masyarakat di sekitar, melainkan mulai meresapi dan mengubahnya. Hendaknya mereka bersatu dengan sesama anggota masyarakat dalam cinta kasih yang tulus, supaya dalam pergaulan mereka nampaklah ikatan baru kesatuan dan solidaritas semesta, yang bersumber pada misteri Kristus. Hendaklah mereka juga menyiarkan iman akan Kristus diantara sesama, yang sekehidupan dan seprofesi dengan mereka. Kewajiban itu semakin mendesak, karena kebanyakan orang hanya dapat mendengarkan Injil dan mengenal Kristus melalui para awam tetangga mereka. Bahkan bila mungkin hendaknya para awam bersedia bekerja sama lebih langsung dengan Hirarki, melaksanakan perutusan istimewa untuk mewartakan Injil serta menyalurkan ajaran kristiani, supaya Gereja yang baru lahir dikukuhkan.

Adapun para pelayan Gereja hendaknya sungguh menghargai kerasulan para awam yang cukup berat. Hendaklah mereka membina para awam, supaya mereka selaku anggota-anggota Kristus menyadari tanggung jawab mereka atas semua orang. Hendaknya kaum awam menyampaikan rahasia Kristus secara mendalam kepada mereka, dan memperkenalkan metode-metode praktis kepada mereka, serta mendampingi mereka bila muncul kesulitan-kesulitan, sehaluan dengan Konstitusi “Lumen Gentium” dan Dekrit tentang ” Kegiatan Merasul”.

Maka dengan mempertahankan tugas-tugas maupun tanggung jawab khusus para gembala dan kaum awam, hendaklah Gereja muda secara menyeluruh serentak memberi kesaksian yang hidup dan teguh tentang Kristus, supaya menjadi lambang cemerlang keselamatan, yang telah sampai kepada kita dalam kristus.

22. (Kemacam-ragaman dalam kesatuan)

Benih, yakni sabda Allah, yang tumbuh dari tanah yang subur berkat percikan embun ilahi, menyerap zat-zat cair, mengubah serta menghisapnya, sehingga akhirnya berbuah banyak. Memang menurut tata penjelmaan (Sabda), Gereja-Gereja muda, yang berakar dalam Kristus dan dibangun atas landasan para Rasul, menampung untuk suatu pertukaran yang mengagumkan semua kekayaan para bangsa, yang telah diserahkan kepada Kristus menjadi warisan-Nya (lih. Mzm 2:8). Gereja-Gereja itu meminjam dari adat-istiadat dan tradisi-tradisi para bangsanya, dari kebijaksanaan dan ajaran mereka, dari kesenian dan ilmu-pengetahuan mereka, segala sesuatu, yang dapat merupakan sumbangan untuk mengakui kemuliaan Sang Pencipta, untuk memperjelas rahmat Sang Penebus, dan untuk mengatur hidup kristiani dengan saksama[60].

Untuk mencapai maksud itu perlulah, bahwa disetiap kawasan sosio-budaya yang luas, seperti dikatakan, didoronglah refleksi teologis, untuk – dalam terang Tradisi Gereja semesta – meneliti secara baru peristiwa-peristiwa maupun amanat sabda yang telah diwahyukan oleh Allah, dicantumkan dalam Kitab suci, dan diuraikan oleh para Bapa serta Wewenang Mengajar Gereja. Demikianlah akan dimengerti lebih jelas, bagaimana iman – dengan mengindahkan filsafah serta kebijaksanaan para bangsa – dapat mencari pengertian, dan bagaimana adat kebiasaan, cita rasa kehidupan dan tertib sosial dapat diserasikan dengan tata-susila yang kita terima berkat perwahyuan ilahi. Begitulah akan terbuka jalan menuju penyesuaian lebih mendalam diseluruh lingkup hidup kristiani. Dengan cara bertindak demikian segala kesan sinkritisme (pencampuradukan) dan partikularisme yang keliru akan dielakkan, hidup kristiani akan makin sesuai dengan watak perangai serta sifat-sifat setiap kebudayaan[61], dan tradisi-tradisi khusus beserta bakat-bawaan setiap keluarga bangsa-bangsa, berkat cahaya Injil, akan ditampung dalam kesatuan katolik. Akhirnya Gereja-Gereja khusus baru, disemarakkan dengan tradisi-tradisi mereka, akan mendapat tempat mereka dalam persekutuan gerejawi, sementara tetap utuhlah tempat utama Takhta Petrus, yang mengetahui segenap paguyuban cinta kasih[62].

Maka diharapkan, bahkan memang sepantasnyalah Konferensi-Konferensi Uskup dalam batas-batas kawasan sosio-budaya mereka masing-masing berhimpun sedemikian rupa, sehingga sehati sejiwa dan melalui pertukaran pandangan-pandangan mampu mengusahakan terwujudnya rencana penyesuaian itu.

BAB EMPAT – PARA MISIONARIS

23. (Panggilan misioner)

Meskipun setiap murid Kristus mengemban beban untuk menyiarkan iman sekadar kemampuannya[63], Kristus Tuhan dari antara murid-murid-Nya selalu memanggil mereka yang dikehendaki-Nya, untuk tinggal bersama dengan-Nya, dan untuk diutus mewartakan Injil kepada para bangsa (lih. Mrk 3:13 dsl.). Maka melalui Roh Kudus, yang membagikan kurnia-kurnia seperti yang dikehendaki-Nya demi manfaatnya bagi jemaat (1Kor 12:11), Tuhan menumbuhkan panggilan misioner dihati masing-masing, sekaligus juga membangkitkan Lembaga-Lembaga[64] dalam Gereja, yang menerima tugas mewartakan Injil, yang menjadi tanggung jawab seluruh Gereja, sebagai tugas mereka sendiri.

Sebab panggilan istimewa menandai mereka, yang sifat perangai alamiahnya memang cocok, dan cakap berkat kurnia-kurnia serta bakat pembawaan mereka, lagi pula siap sedia untuk mengemban karya misioner[65], entah mereka itu pribumi entah dari luar negeri: imam-imam, kaum religius, awam. Mereka diutus oleh Wewenang yang sah, dan karena iman serta ketaatan mengunjungi orang-orang yang jauh dari Kristus. Mereka dikhususkan untuk melaksanakan karya yang telah ditetapkan bagi mereka (lih. Kis 13:2) sebagai pelayan Injil, “supaya para bangsa bukan-Yahudi dapat diterima oleh Allah sebagai persembahan yang berkenan kepada-Nya, dan disucikan dalam Roh Kudus” (Rom 15:16).

24. (Spiritualitas misioner)

Tetapi manusia harus menanggapi Allah sejati yang memanggil sedemikian rupa, sehingga tanpa meminta pertimbangan daging maupun darah (lih. Gal 1:16) ia mengikat diri sepenuhnya pada karya Injil. Jawaban itu tidak dapat diberikan tanpa dorongan dan peneguhan oleh Roh Kudus. Sebab orang yang diutus memasuki kehidupan dan perutusan Dia, yang “mengosongkan diri dan mengenakan rupa seorang hamba” (Flp 2:7). Oleh karena itu ia harus bersedia untuk seumur hidup bertahan dalam panggilannya, merelakan dirinya dan segala sesuatu yang sampai kini dimilikinya, dan “menjadikan diri segala-galanya bagi semua orang” (1Kor 9:22).

Sementara mewartakan Injil kepada para bangsa, hendaklah ia dengan percaya memperkenalkan rahasia Kristus yang dilayaninya sebagai utusan, sehingga dalam Dia ia berani berbicara sebagaimana harusnya (lih. Ef 6:19 dsl; Kis 4:31), tanpa merasa malu karena salib yang menjadi batu sandungan. Mengikuti jejak Gurunya, yang lemah lembut dan rendah hati, hendaknya ia memperlihatkan bahwa kuk-Nya enak dan beban-Nya ringan (Mat 11:29 dsl.). Dengan hidupnya yang sungguh bersifat Injili[66], dalam bertahan dengan penuh kesadaran dalam penderitaan, dalam kelapangan jiwa dan kemurahan hati, dalam kasih yang tidak munafik (lih. 2Kor 6:4 dsl.), hendaklah ia memberi kesaksian akan Tuhannya, bila perlu hingga menumpahkan darahnya. Ia akan memperoleh keberanian dan kekuatan dari Allah, dan untuk mengalami bahwa dalam pencobaan duka derita yang berat serta kemelaratan yang amat mencekam terdapat kelimpahan kegembiaraan (lih. 2Kor 8:2). Hendaklah ia menginsyafi, bahwa ketaatan merupakan keutamaan istimewa pelayan Kristus, yang dengan ketaan-Nya telah menebus umat manusia.

Supaya para pewarta Injil jangan mengabaikan rahmat yang ada pada mereka, hendaknya dari hari ke hari mereka dibaharui dalam roh dan budi (lih. 1Tim 4:14; Ef 4:23; 2Kor 4:16). Adapun para Uskup dan Pembesar hendaklah pada saat-saat yang telah ditetapkan mengumpulkan para misionaris, supaya mereka diteguhkan dalam harapan panggilan mereka serta diperbaharui dalam pelayanan kerasulan. Untuk maksud itu dapat diatur pula rumah-rumah yang cocok.

25. (Pembinaan rohani dan moral)

Untuk menangani karya seluhur itu calon misionaris perlu disiapkan dengan pembinaan rohani dan moral yang khusus[67]. Sebab ia harus siap sedia untuk mengadakan prakarsa-prakarsa, dengan tekun menjalankan karya-kegiatannya, dengan tabah menghadapi kesukaran-kesukaran. Ia diharapkan dengan sabar dengan teguh menanggung kesunyian, rasa lelah, dan jerih-payah yang tak berhasil. Ia akan menjumpai sesama dengan budi yang terbuka dan hati yang lapang. Ia akan menerima dengan senang hati tugas-tugas yang diserahkan kepadanya. Dengan murah hati juga ia akan menyesuaikan diri dengan adat-kebiasaan para bangsa yang serba asing dan dengan situasi yang berbeda-beda. Dengan bersehati dan dalam suasana saling mengasihi ia akan menyumbangkan usahanya kepada rekan-rekan dan siapa saja yang berbakti dalam karya yang sama, sehingga sementara menganut teladan jemaat pada zaman para Rasul, ia sehati dan sejiwa dengan Umat beriman (lih. Kis 2:42; 4:32).

Sikap-sikap batin itu hendaknya pada masa pembinaan sudah mulai diamalkan dan dikembangkan dengan tekun, dan diangkat serta dipupuk dalam hidup rohani. Hendaklah misionaris, diresapi oleh iman yang hidup dan harapan yang takkan memudar, menjadi manusia doa. Hendaknya ia bernyala karena semangat yang tangguh dan cinta kasih serta sifat ugaharinya (lih. 2Tim 1:7). Hendaklah ia belajar mencukupi diri di segala keadaan (lih. Flp 4:11). Hendaknya dengan semangat berkorban ia mengemban kematian Yesus dalam dirinya, supaya kehidupan Yesus berkarya pada mereka yang dilayaninya dalam perutusannya (lih. 2Kor 4:10 dsl.). Karena semangat berjerih payah demi keselamatan sesama hendaknya ia sukarela mengorbankan segalanya, bahkan mengorbankan diri sendiri demi jiwa-jiwa (lih. 2Kor 12:15 dsl.). Sehingga “dengan menunaikan tugas harian mereka, mereka berkembang dalam cinta kasih akan Allah dan sesama”[68]. Demikianlah, dalam kepatuhan terhadap kehendak Bapa bersama Kristus, ia akan melangsungkan perutusan-Nya dibawah kewibawaan Hirarki Gereja, dan menyumbangkan tenaganya kepada rahasia keselamatan.

26. (Pembinaan dalam ajaran kerasulan)

Adapun mereka yang akan diutus ke pelbagai bangsa, hendaknya sebagai pelayan-pelayan Kristus yang baik menimba kekuatan dari “sabda-sabda iman dan ajaran yang sehat” (1Tim 4:6), yang terutama mereka gali dari Kitab suci, sambil menyelami Rahasia Kristus, yang akan mereka bawakan dalam pewartaan dan kesaksian mereka.

Oleh karena itu semua misionaris – imam, bruder, suster, awam – perlu disiapkan dan dibina menurut keadaan masing-masing, supaya mereka jangan ternyata tidak sanggup menghadapi tuntutan-tuntutan karya di kemudian hari[69]. Hendaknya sudah sejak semula pembinaan mereka dalam ajaran diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga merangkum baik sifat universal Gereja maupun kemacam-ragaman para bangsa. Itu berlaku bagi semua mata-pelajaran, yang menyiapkan mereka untuk menunaikan pelayanan mereka, maupun bagi ilmu pengetahuan lainnya, yang berguna untuk mereka pelajari, supaya mereka dibekali pengetahuan umum tentang bangsa-bangsa, kebudayaan-kebudayaan, dan agama-agama; itu pun bukan saja menyangkut masa silam, melainkan juga masa sekarang. Memang barang siapa mau mengunjungi bangsa lain, hendaknya sungguh menghargai pusaka warisannya, bahasa-bahasa serta adat-istiadatnya. Bagi calon misionaris sangat perlulah menekuni studi Misiologi; artinya memahami ajaran maupun kaidah-kaidah Gereja mengenai kegiatan misioner, mengetahui jalan-jalan manakah yang disepanjang masa telah ditempuh oleh para pewarta Injil, begitu pula situasi misi-misi zaman sekarang, pun juga metode-metode, yang sekarang dipandang lebih tepat-guna[70].

Tetapi meskipun pembinaan itu seluruhnya perlu dijiwai keprihatinan pastoral, hendaklah diselenggarakan pembinaan kerasulan yang khusus dan teratur, melalui kursus-kursus maupun latihan-latihan praktis[71].

Hendaknya sebanyak mungkin bruder dan suster sungguh-sungguh mempelajari seni berkatekese, dan disiapkan supaya mereka mampu bekerja sama lebih erat lagi dalam kerasulan.

Juga mereka, yang hanya untuk sementara berperan dalam kegiatan misioner, perlulah mendapat pembinaan yang memadai bagi situasi mereka.

Tetapi berbagai macam pembinaan itu hendaklah di daerah-daerah perutusan mereka dilengkapi sedemikian rupa, sehingga para misionaris mendapat pengertian lebih luas tentang sejarah, tata-susunan masyarakat serta adat istiadat para bangsa, dan memahami tata-kesusilaan serta perintah-perintah keagamaan maupun gagasan-gagasan mendalam, yang telah mereka bentuk menurut tradisi-tradisi suci mereka tentang Allah, tentang dunia dan tentang manusia[72]. Hendaknya mereka mempelajari bahasa-bahasa sedemikian baik, sehingga mampu menggunakannya dengan lancar dan halus, dan dengan demikian lebih mudah menyapa budi maupun hati orang-orang[73]. Selain itu hendaklah mereka diperkenalkan dengan kebutuhan-kebutuhan pastoral yang khusus sebagaimana mestinya.

Hendaknya ada beberapa pula yang secara lebih mendalam di siapkan pada Lembaga-Lembaga Misiologi atau di fakultas-fakultas atau universitas-universitas lain, supaya lebih tepat guna menunaikan tugas-tugas yang khusus[74], dan dengan kemahiran mereka mampu yang terutama pada zaman kita sekarang menimbulkan sekian banyak kesulitan dan membuka kesempatan-kesempatan baru. Kecuali itu sangat diharapkan, agar bagi Konferensi-Konferensi Regional para Uskup tersedialah sejumlah pakar-pakar semacam itu. Hendaklah konferensi secara efektif memanfaatkan ilmu-pengetahuan serta pengalaman mereka untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan tugas mereka. Hendaklah ada pula, yang betul-betul mampu menggunakan upaya-upaya tehnis serta komunikasi sosial, yang hendaknya sangat dihargai perlunya oleh semua.

27. (Lembaga-Lembaga yang berkarya di daerah-daerah misi)

Meskipun bagi setiap orang yang diutus kepada bangsa-bangsa itu semua sungguh perlu, menurut kenyataannya hampir tidak tercapai oleh orang perorangan. Lagi pula, karena menurut pengalaman karya misioner sendiri tidak dapat dilaksanakan oleh pribadi masing-masing, maka panggilan bersama menghimpun mereka semua ke dalam Lembaga-Lembaga, supaya di situ, berkat kerja sama, mereka menerima pembinaan yang memadai, dan melaksanakan karya itu atas nama Gereja dan atas isyarat Hirarki yang berwibawa. Lembaga-Lembaga itu sudah berabad-abad lamanya menanggung beban sehari-harian dan panas terik, entah mereka itu membaktikan diri sepenuhnya kepada karya misioner, entah hanya sebagian saja. Sering kali oleh Takhta suci mereka diserahi pewartaan Injil di daerah-daerah yang luas. Disitulah mereka menghimpun Umat yang baru bagi Allah, yakni Gereja setempat yang mematuhi para gembalanya sendiri. Gereja-Gereja yang telah didirikan berkat cucuran keringat, bahkan dengan tumpahan darah akan mereka layani dengan semangat maupun pengalaman, dengan kerja sama persaudaraan, entah dengan menjalankan reksa jiwa-jiwa, ataupun dengan menunaikan tugas-tugas khusus demi kesejahteraan umum.

Ada kalanya untuk seluruh lingkup daerah tertentu mereka sanggup menanggung jerih payah karya yang lebih mendesak; misalnya: pewartaan Injil kepada golongan-golongan atau bangsa-bangsa, yang barangkali karena sebab-sebab yang istimewa belum menerima pewartaan Injil atau sampai sekarang menolaknya[75].

Bila perlu, mereka yang sementara membaktikan diri kepada kegiatan misioner, hendaknya siap sedia untuk memberi pembinaan dan bantuan berdasarkan pengalaman mereka.

Oleh karena itu, pun juga mengingat masih banyaknya bangsa-bangsa yang perlu dihantar menuju Kristus, Lembaga-Lembaga tetap masih sangat perlu.

BAB LIMA – PENGATURAN KEGIATAN MISIONER

28. (Pendahuluan)

Karena Umat beriman kristiani mempunyai kurnia-kurnia yang berbeda-beda (lih. Rom 12:6), mereka wajib menyumbangkan tenaga bagi Injil, masing-masing menurut kesempatannya, upaya yang tersedia, karisma dan pelayanannya (lih. 1Kor 3:10). Maka mereka semua harus bersatu (lih. 1Kor 3:8), yang menabur dan yang menuai (lih. Yoh 4:37), yang menanam dan yang mengairi, supaya, “sambil dengan bebas dan teratur bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama”[76], mereka sejiwa sehati mencurahkan tenaga demi pembangunan Gereja.

Maka dari itu jerih payah para pewarta Injil dan bantuan Umat kristiani lainnya hendaklah diarahkan dan dipadukan sedemikian rupa, sehingga di segala bidang kegiatan dan kerja sama misioner “segala sesuatu berlangsung secara teratur” (1Kor 14:40).

29. (Organisasi umum)

Karena keprihatinan untuk mewartakan Injil di mana-mana terutama termasuk tugas Dewan para Uskup[77], maka hendaknya Sinode para Uskup atau “Musyawarah tetap para Uskup untuk Gereja semesta”[78], diantara urusan-urusan demi kepentingan umum[79], secara istimewa memperhatikan kegiatan misioner, tugas Gereja yang paling agung dan suci[80].

Untuk semua (daerah) Misi dan untuk seluruh kegiatan misioner hanya boleh ada satu Kongregasi yang berwewenang, yakni Kongregasi untuk “Penyebaran Iman”, yang memimpin dan menyelaraskan di mana-mana baik karya misioner sendiri maupun kerja sama misioner, sedangkan Gereja-Gereja Timur tetap menganut hukum mereka[81].

Dengan pelbagai cara Roh Kudus membangkitkan semangat misioner dalam Gereja Allah, dan tidak jarang mendahului tindakan mereka yang wajib membimbing kehidupan Gereja. Namun dari pihaknya hendaklah Kongregasi untuk “Penyebaran Iman” mengembangkan panggilan serta spiritualitas (corak hidup rohani) misioner, memajukan semangat merasul dan doa untuk Misi, dan mengenai itu semua menerbitkan berita-berita yang asli dan memadai. Hendaknya oleh Kongregasi itu disediakan misionaris-misionaris dan di bagi-bagikan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan daerah-daerah yang lebih mendesak. Oleh Kongregasi itulah hendaknya disusun rencana kerja yang teratur, ditetapkan kaidah-kaidah sebagai pedoman serta azas-azas yang sesuai untuk mewartakan Injil, dan dilancarkan dorongan-dorongan. Olehnya hendaknya disemangati dan dikoordinasikan pengumpulan bantuan-bantuan yang tepat guna, yang dibagikan dengan mempertimbangkan kebutuhan atau kegunaannya maupun luas daerah-daerah, jumlah kaum beriman dan tak beriman, karya-karya dan lembaga-lembaga, para pelayan dan misionaris.

Hendaknya Kongregasi untuk “Penyebaran Iman” bersama Sekretariat untuk “Pengembangan Persatuan Umat Kristiani” mencari jalan serta upaya-upaya untuk mengusahakan dan mengatur kerja sama serta paguyuban persaudaraan dengan usaha-usaha misioner jemaat-jemaat kristiani lainnya, supaya sedapat mungkin dihilangkan sandungan akibat perpecahan.

Maka dari itu perlulah bahwa Kongregasi itu menjadi sarana administratif maupun badan pengarah yang dinamis, yang menggunakan metode-metode ilmiah dan upaya-upaya yang sesuai dengan keadaan dewasa ini, yakni dengan mengindahkan penyelidikan teologis, metodologis dan pastoral misioner zaman sekarang.

Dalam kepengurusan Kongregasi itu hendaknya para wakil terpilih dari mereka semua yang bekerja sama dalam karya misioner ikut serta secara aktif dan mempunyai hak suara yang ikut menentukan : Uskup-Uskup dari seluruh dunia, atas pertimbangan Konferensi-Konferensi Uskup, begitu pula para pemimpin Lembaga-Lembaga serta Karya-Karya Kepausan, menurut cara-cara serta pedoman-pedoman yang perlu ditetapkan oleh Paus. Hendaknya mereka semua pada waktu-waktu tertentu bersidang, dan sebagai instansi tertinggi di bawah kewibawaan Paus mengatur seluruh karya misioner.

Hendaknya Kongregasi itu didampingi oleh Dewan Penasehat tetap, terdiri dari pakar-pakar yang sudah teruji ilmu-pengetahuan maupun pengalamannya. Antara lain mereka akan bertugas mengumpulkan informasi-informasi yang berguna tentang situasi setempat, pelbagai golongan manusia, maupun tentang metode-metode pewartaan Injil yang harus digunakan, begitu pula mengajukan kesimpulan-kesimpulan yang dipertanggungjawabkan secara ilmiah bagi karya dan kerja sama misioner.

Hendaklah Tarekat-tarekat para Suster, karya-karya regional untuk Misi dan oraganisasi-organisasi awam, terutama yang bersifat internasional, diwakili sebagaimana layaknya.

30. (Oraganisasi setempat di daerah Misi)

Supaya dalam pelaksanaan karya misioner sendiri tujuan-tujuan serta hasil-hasil dapat dicapai, hendaknya semua tenaga misioner “sehati dan sejiwa” (Kis 4:32).

Uskup selaku pemimpin dan pusat kesatuan dalam kerasulan keuskupan, bertugas memajukan, memimpin dan mengkoordinasi kegiatan misioner, tetapi sedemikian rupa, sehingga kegiatan spontan mereka yang ikut berkarya tetap dipertahankan dan di dukung. Semua misionaris, juga para religius yang eksem, wajib mematuhi kuasa yang sama di pelbagai karya, yang menyangkut pelaksanaan kerasulan suci[82]. Supaya koordinasi lebih baik, hendaklah Uskup sedapat mungkin mendirikan Dewan pastoral. Dalam Dewan itu hendaknya para imam, religius dan awam berperan serta melalui wakil-wakil yang terpilih. Kecuali itu hendaknya Uskup mengusahakan, janganlah kegiatan merasul terbatas pada mereka yang termasuk anggota Gereja melulu, melainkan hendaknya sebagaimana layaknya sebagian para tenaga dan bantuan-bantuan diperuntukkan bagi pewartaan Injil di antara umat bukan-kristiani.

31. (Koordinasi pada tingkat Regio)

Hendaknya Konferensi-Konferensi Uskup dalam musyawarah bersama mebahasa soal-soal yang cukup berat dan masalah-masalah yang mendesak, tetapi tanpa mengabaikan perbedaan-perbedaan setempat[83]. Supaya jumlah tenaga maupun bantuan-bantuan yang sudah tidak mencukupi jangan dihamburkan, dan prakarsa-prakarsa jangan diperbanyak tanpa perlu, di anjurkan agar karya-karya yang mengabdi kesejahteraan semuanya diselenggarakan dengan berpadu tenaga, misalnya: seminari-seminari, sekolah-sekolah tinggi dan sekolah-sekolah teknik, pusat-pusat pastoral, katekese, liturgi serta media komunikasi sosial.

Bila ada kesempatan, hendaknya kerja sama semacam itu diadakan juga antara berbagai Konferensi Uskup.

32. (Organisasi kegiatan Lembaga-Lembaga)

Berguna pula mengkoordinasi kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga-Lembaga atau Serikat-Serikat Gerejawi. Itu semua, entah macam apa, dalam segalanya yang menyangkut kegiatan misioner sendiri, hendaknya mematuhi Ordinarius setempat. Maka akan banyak berguna mengadakan perjanjian-perjanjian khusus untuk mengatur hubungan-hubungan antara Ordinaris setempat dan Pemimpin Lembaga.

Bila Lembaga tertentu diserahi suatu daerah, Pemimpin Gerejawi maupun Lembaga itu akan memperhatikan untuk mengarahkan segalanya kepada tujuan ini: supaya jemaat kristiani yang baru bertumbuh menjadi Gereja setempat, yang pada waktunya akan dibimbing oleh Gembalanya sendiri beserta para imamnya.

Bila penyerahan daerah itu berakhir, muncullah situasi baru. Pada waktu itu hendaknya Konferensi-Konferensi Uskup dan Lembaga-Lembaga melalui musyawarah bersama menetapkan kaidah-kaidah, untuk mengatur hubungan-hubungan antar para Ordinaris setempat dan Lembaga-Lembaga[84]. Tetapi Takhta sucilah yang akan berwenang menggariskan azas-azas umum, untuk menentukan cara-cara mengadakan perjanjian-perjanjian regional atau pun yang bersifat khusus.

Meskipun Lembaga-Lembaga akan siap sedia melanjutkan karya yang telah dimulai, dengan menyumbangkan tenaga dalam pelayanan biasa berupa reksa jiwa-jiwa, namun dengan bertambahnya klerus setempat, akan perlu diusahakan agar Lembaga-Lembaga, sejauh cocok dengan tujuannya, tetap setia kepada keuskupan yang bersangkutan, dengan bermurah hati menangani karya-karya istimewa atau melayani suatu daerah di keuskupan itu.

33. (Koordinasi antara Lembaga-Lembaga)

Adapun Lembaga-Lembaga, yang menjalankan kegiatan misioner di daerah yang sama, harus menemukan cara-cara mengkoordinasi karya-karya mereka. Maka sangat besarlah manfaat Konferensi-Konferensi para Religius pria dan Perserikatan-Perserikatan para Suster, yang beranggotakan semua Lembaga di negeri atau kawasan yang sama. Konferensi-Konferensi itu hendaknya menyelidiki, manakah usaha-usaha yang dapat dijalankan bersama, dan menjalin hubungan yang erat dengan Konferensi-Konferensi Uskup.

Adalah semestinya, bahwa berdasarkan pertimbangan yang sama itu semua dapat diperluas ke arah kerja sama Lembaga-Lembaga misionaris di tanah-tanah asal mereka, sehingga masalah-persoalan dan prakarsa-prakarsa bersama dapat diselesaikan lebih mudah dan dengan biaya yang lebih ringan.; misalnya: pendidikan para calon misionaris, hubungan-hubungan dengan pemerintah-pemerintah atau dengan badan-badan internasional maupun supranasional.

34. (Koordinasi antara lembaga-lembaga ilmiah)

Pelaksanaan kegiatan misioner yang tepat dan teratur menuntut, supaya para pewarta Injil disiapkan secara ilmiah untuk tugas-tugas mereka, terutama untuk berdialog dengan agama-agama serta kebudayaan-kebudayaan bukan kristiani, dan supaya mereka dibantu secara tepat guna dalam pelaksanaannya sendiri. Maka diharapkan, supaya demi kepentingan daerah-daerah Misi dijalin kerja sama secara persaudaraan dan leluasa antara Lembaga-Lembaga ilmiah manapun juga. Yang mengembangkan misiologi dan bidang-bidang ilmu lain atau ketrampilan-ketrampilan yang bermanfaat bagi daerah-daerah Misi, misalnya: etnologi dan linguistik (ilmu bahasa), sejarah dan ilmu agama-agama, sosiologi, ketrampilan-ketrampilan pastoral dan sebagainya.

BAB ENAM – KERJA SAMA

35. (Pendahuluan)

Seluruh gereja bersifat misioner , dan karya mewartakan Injil merupakan tugas Umat Allah yang mendasar. Maka Konsili suci mengundang semua anggota umat untuk mengadakan pembaharuan batin yang mendalam, supaya mereka mempunyai kesadaran yang hidup tentang tanggung jawab mereka dalam penyebaran Injil, dan menjalankan peran mereka dalam karya misioner di antara bangsa-bangsa.

36. (Kewajiban misioner segenap Umat Allah)

Sebagai anggota Kristus yang hidup, semua orang beriman, yang melalui Baptis, Penguatan serta Ekaristi disaturagakan dan diserupakan dengan Dia, terikat kewajiban untuk menyumbangkan tenaga demi perluasan dan pengembangan Tubuh-Nya, untuk menghantarkan selekas mungkin kepada kepenuhan-Nya (Ef 4:13).

Maka hendaknya semua putera Gereja mempunyai kesadaran yang hidup akan tanggung jawab mereka terhadap dunia, memupuk semangat katolik sejati dalam diri mereka, dan mencurahkan tenaga mereka demi karya mewartakan Injil. Akan tetapi hendaknya semua memahami, bahwa kewajiban mereka yang pertama dan utama untuk menyiarkan iman yakni: menghayati hidup kristiani secara mendalam. Sebab semangat mereka dalam pengabdian kepada Allah dan cinta kasih mereka terhadap sesama akan mendatangkan ilham dorongan rohani yang baru bagi seluruh Gereja, yang akan tampil sebagai tanda yang menjulang di antara bangsa-bangsa (lih. Yes 11:12), “terang dunia” (Mat 5:14) dan “garam dunia” (Mat 5:13). Kesaksian perihidup itu akan lebih mudah berhasil, bila dibawakan bersama dengan kelompok-kelompok kristiani lainnya, menurut kaidah-kaidah Dekrit tentang Ekumenisme[85].

Dalam semangat yang dibaharui itu doa-doa dan ulah pertobatan akan dengan sukarela dipersembahkan kepada allah, supaya Ia menyuburkan karya para misionaris dengan rahmat-Nya; panggilan-panggilan misioner akan tumbuh, dan bantuan-bantuan yang diperlukan di daerah-daerah Misi akan mengalir.

Tetapi supaya semua dan masing-masing orang beriman kristiani sungguh mengenal situasi Gereja di dunia sekarang, dan mendengarkan suara rakyat banyak yang berseru: “Tolonglah kami” (lih. Kis 16:9), hendaknya juga dengan menggunakan sarana-sarana komunikasi sosial yang modern disajikan berita-berita tentang Misi sedemikian rupa, sehingga mereka menyadari bahwa kegiatan misioner itu kegiatan mereka, membuka hati bagi kebutuhan-kebutuhan sesama yang begitu besar dan mendalam, dan mampu membantu mereka.

Perlulah juga koordinasi pemberitaan dan kerja sama dengan badan-badan nasional dan internasional.

37. (Kewajiban misioner jemaat-jemaat kristiani)

Adapun Umat Allah hidup dalam jemaat-jemaat, terutama dalam keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki, serta dengan cara tertentu kelihatan disitu. Maka jemaat-jemaat itu pun wajib memberi kesaksian akan Kristus di hadapan para bangsa.

Di jemaat-jemaat rahmat pembaharuan tidak dapat berkembang, bila jemaat masing-masing tidak memperluas tidak memperluas gelanggang cinta kasihnya sampai ke ujung-ujung bumi, dan menyatakan perhatian yang sama terhadap mereka yang jauh dan mereka yang termasuk anggotanya sendiri.

Begitulah seluruh jemaat berdoa, menyumbangkan tenaga dan melaksanakan kegiatan di antara bangsa-bangsa melalui para puteranya, yang dipilih oleh Allah untuk tugas yang amat luhur itu.

Asal saja karya misioner di seluruh dunia tidak diabaikan, akan sangat berguna melestarikan hubungan dengan para misionaris yang berasal dari jemaat sendiri, atau dengan suatu paroki atau keuskupan di daerah Misi, supaya persekutuan antar jemaat menjadi nyata, dan dengan demikian jemaat-jemaat saling membangun.

38. (Kewajiban misioner para Uskup)

Semua Uskup, sebagai anggota badan para Uskup yang menggantikan Dewan para Rasul, ditahbiskan bukan hanya bagi satu keuskupan, melainkan demi keselamatan seluruh dunia. Perintah Kristus untuk mewartakan Injil kepada segenap makluk (Mrk 16:15) pertama-tama dan secara langsung menyangkut mereka, bersama Petrus dan di bawah Petrus. Dari situlah muncul persekutuan dan kerja sama antar Gereja, yang sekarang ini begitu perlu untuk melaksanakan karya mewartakan Injil. Berdasarkan persekutuan itu masing-masing Gereja mengemban keprihatinan akan semua Gereja-Gereja lain. Mereka saling menyatakan kebutuhan-kebutuhan mereka, dan saling memberitahukan hal-ikhwal mereka, sebab perluasan Tubuh Kristus merupakan tugas seluruh Dewan para Uskup[86].

Dalam keuskupannya, yang menyatu dengannya, Uskup membangkitkan, memajukan dan membimbing karya misioner. Demikianlah Ia menghadirkan dan bagaikan menampilkan semangat misioner Umat Allah yang berkobar-kobar, sehingga seluruh keuskupan menjadi misioner.

Adalah tugas Uskup membangkitkan di tengah Umatnya, terutama diantara mereka yang lemah dan tertimpa kemalangan, jiwa-jiwa yang mempersembahkan doa-doa dan amal pertobatan kepada Allah dengan hati yang terbuka bagi pewartaan Injil di dunia. Uskuplah yang semestinya dengan suka hati mengembangkan panggilan-panggilan kaum muda dan klerus untuk Lembaga-Lembaga misioner, dan menerimanya dengan rasa syukur, bila Allah memilih beberapa di antara mereka, untuk menggabungkan diri pada kegiatan misioner Gereja. Uskuplah yang hendaknya mendorong Kongregasi-Kongregasi diosesan dan membantu mereka, untuk ikut memainkan perannya di daerah-daerah Misi. Uskup pula, yang seyogyanya memajukan karya-karya Lembaga-Lembaga misioner dia antara Umat berimannya, terutama Karya-Karya Misioner Kepausan. Sebab sudah seharusnyalah Karya-Karya itu di beri tempat utama, karena merupakan upaya-upaya, baik untuk menanam pada Umat katolik sejak masih kecil semangat yang sungguh universal dan misioner, maupun untuk menggairahkan pengumpulan bantuan-bantuan yang tepat-guna demi kesejahteraan semua Misi menurut kebutuhan masing-masing[87].

Akan tetapi karena semakin besarlah kebutuhan akan pekerja di kebun anggur Tuhan, dan para imam diosesan pun ingin berperan serta semakin intensif dalam evangelisasi dunia, Konsili suci menghimbau supaya para Uskup mempertimbangkan kekurangan yang amat parah akan imam-imam, yang merintangi pewartaan Injil di banyak daerah. Mereka dihimbau supaya mengutus kepada keuskupan-keuskupan, yang miskin imam beberapa imam mereka yang tergolong lebih baik, dan telah menawarkan diri untuk karya misioner, sudah mempersiapkan diri sebagaimana mestinya. Di keuskupan-keuskupan itu sekurang-kurangnya untuk sementara para imam itu akan melaksanakan pelayanan misioner dengan semangat pengabdian[88].

Supaya kegiatan misioner para Uskup dapat dilaksanakan secara lebih tepat-guna demi kesejahteraan seluruh Gereja, seyogyanya Konferensi-Konferensi Uskup memimpin urusan-urusan, yang menyangkut teraturnya kerja sama dikawasannya.

Hendaknya dalam Konferensi-Konferensi mereka para Uskup berunding tentang imam diosesan yang seyogyanya diperuntukkan bagi evangelisasi para bangsa; tentang iuran tertentu, yang setiap keuskupan setiap tahun wajib menyumbang untuk karya Misi serasi dengan pendapatannya[89]; tentang tugas memimpin dan mengatur cara-cara serta upaya-upaya untuk secara langsung membantu dan – bila perlu – mendirikan Lembaga-Lembaga misoner dan seminari-seminari klerus diosesan untuk daerah-daerah Misi; tentang cara mempererat hubungan-hubungan antara Lembaga-Lembaga itu dan keuskupan-keuskupan. Begitu pula termasuk tugas Konferensi-Konferensi Uskup untuk menyelenggarakan dan mamajukan karya-karya, yang maksudnya supaya mereka yang karena pekerjaan dan studi berpindah masuk dari daerah-daerah Misi ditampung secara persaudaraan dan dibantu dengan reksa pastoral yang memadai. Sebab melalui mereka bangsa-bangsa yang jauh dengan cara tertentu menjadi dekat, dan jemaat-jemaat kristiani yang sudah tua memperoleh kesempatan amat baik, untuk berwawancara dengan bangsa-bangsa yang belum menerima pewartaan Injil, dan menunjukkan kepada mereka wajah Kristus yang sejati melalui pelayanan cinta kasih dan bantuan yang diberikan[90].

39. (Kewajiban misioner para imam)

Para imam membawakan pribadi Kristus dan menjadi rekan-rekan sekerja bagi Dewan para Uskup dalam tugas suci rangkap tiga, yang menurut hakekatnya menyangkut perutusan Gereja[91]. Maka dari itu hendaklah mereka menyadari sedalam-dalamnya, bahwa hidup mereka telah ditakdiskan demi pelayanan Misa juga. Melalui pelayanan mereka sendiri – yang terutama terletak pada Ekaristi yang membentuk Gereja – mereka berada dalam persekutuan dengan Kristus Kepala, dan menghantar sesama kepada persekutuan itu. Maka tidak mungkin mereka tidak menyadari, masih betapa jauh kepenuhan Tubuh belum tercapai, dan karena itu betapa banyak masih harus dilakukan, supaya Tubuh itu semakin berkembang. Oleh sebab itu hendaknya mereka mengatur reksa pastoral sedemikian rupa, sehingga bermanfaat bagi penyebaran Injil di antara umat bukan kristiani.

Dalam reksa pastoral para imam akan membangkitkan dan melestarikan semangat untuk evangelisasi dunia di antara Umat beriman, dengan memperkenalkan kepada mereka – melalui katekese dan pewartaan – tugas Gereja menyiarkan Kristus kepada bangsa-bangsa; dengan mengajarkan kepada keluarga-keluarga kristiani, betapa perlu dan mulianya memupuk panggilan-panggilan misioner pada putera-puteri mereka; dengan mengembangkan semangat misioner pada kaum muda yang masih bersekolah dan termasuk perserikatan-perserikatan katolik sedemikian rupa, sehingga dari antara mereka muncul calon-calon pewarta Injil. Hendaknya para imam mengajak Umat beriman untuk mendoakan Misi, dan janganlah mereka malu meminta derma dari mereka, bagaikan pengemis bagi Kristus demi keselamatan jiwa-jiwa[92].

Para diosesan Seminari dan Universitas akan memperkenalkan kepada kaum muda situasi dunia dan Gereja yang sesungguhnya, supaya perlunya pewartaan Injil yang lebih intensif kepada umat bukan kristiani menjadi jelas bagi mereka dan menghidupkan semangat misioner mereka. Dalam menyampaikan vak-vak dogma, Kitab suci, moral dan sejarah hendaknya mereka jelaskan segi-segi misioner yang tercantum dalamnya sedemikian rupa, sehingga dengan demikian kesadaran misioner dibina pada para calon imam.

40. (Kewajiban misioner tarekat-tarekat religius)

Tarekat-tarekat religius hidup kontemplatif maupun aktif hingga sekarang telah dan tetap masih memainkan peran amat penting dalam evangelisasi dunia. Dengan suka hati Konsili suci mengakui jasa-jasa mereka dan bersyukur kepada Allah atas sekian banyak pengorbanan yang ditanggung demi kemuliaan Allah dan pengabdian kepada jiwa-jiwa. Konsili mengajak tarekat-tarekat, supaya tanpa kenal lelah melanjutkan karya yang telah dimulai, atas kesadaran bahwa keutamaan cinta kasih, yang berdasarkan panggilan mereka wajib mereka amalkan secara lebih sempurna, mendorong serta mengikat mereka untuk mewujudkan semangat dan menangani karya yang sungguh bersifat katolik[93].

Tarekat-tarekat hidup kontemplatif melalui doa-doa, ulah-pertobatan dan duka-derita mereka, amat penting maknanya bagi pertobatan jiwa-jiwa, karena Allah-lah, yang bila dimohon mengutus pekerja-pekerja ke dalam panenan-Nya (lih. Mat 9:38), membuka hati umat bukan kristiani untuk mendengarkan Injil (lih. Kis 14:16), dan menyuburkan sabda keselamatan dalam hati mereka (lih. 1Kor 3:7). Bahkan tarekat-tarekat itu diminta mendirikan biara-biara di daerah-daerah Misi, seperti memang cukup banyak yang telah menjalankannya. Maksudnya supaya di situ tarekat-tarekat itu – dengan cara yang sesuai dengan tradisi-tradisi keagamaan asli para bangsa – dengan menghayati hidup, memberi kesaksian sungguh mulia ditengah umat bukan kristiani tentang kedaulatan dan cinta kasih Allah, dan tentang persatuan dalam Kristus.

Adapun tarekat-tarekat hidup aktif, entah bertujuan melalui misioner entah tidak, hendaknya dengan jujur bertanya diri dihadapan Allah, dapatkah mereka memperluas kegiatan mereka demi perluasan Kerajaan Allah di antara bangsa-bangsa; dapatkah mereka menyerahkan beberapa pelayanan kepada tarekat-tarekat lain, sehingga mampu mencurahkan daya-tenaga mereka untuk daerah-daerah Misi; dapatkah mereka memulai kegiatan di daerah-daerah Misi, bila perlu dengan menyesuaikan Konstitusi mereka, tetapi menurut maksud Pendiri; benarkah para anggota mereka menurut kemampuan ikut serta dalam kegiatan misioner; benarkah kebiasaan hidup mereka merupakan kesaksian akan Injil yang disesuaikan dengan sifat perangai dan situasi bangsa.

Tetapi karena atas dorongan Roh Kudus dalam Gereja Institut-Institut sekular makin berkembang, karya-kegiatan mereka di daerah-daerah Misi, dibawah kewibawaan Uskup, dengan pelbagai cara dapat menjadi subur, sebagai tanda penyerahan diri sepenuhnya demi evangelisasi dunia.

41. (Kewajiban misioner kaum awam)

Para awam menyumbangkan tenaga demi karya Gereja mewartakan Injil, dan sebagai saksi-saksi pun sekaligus sarana-sarana hidup ikut serta dalam perutusannya yang membawa keselamatan[94], terutama bila mereka dipanggil oleh Allah dan oleh para Uskup diperuntukkan bagi karya itu.

Di daerah-daerah yang sudah kristiani para awam menyumbangkan tenaga untuk karya mewartakan Injil, dengan mengembangkan pengertian dan cinta kasih terhadap Misi pada dirinya maupun pada sesama, dengan membangkitkan panggilan-panggilan dalam keluarga mereka sendiri, dalam perserikatan-perserikatan katolik dan di sekolah-sekolah, dengan menyumbangkan segala macam bantuan, supaya kurnia iman, yang telah mereka terima dengan Cuma-Cuma, dapat disalurkan kepada sesama.

Sedangkan di daerah-daerah Misi kaum awam, entah pendatang entah pribumi, hendaknya mengajar di sekolah-sekolah, menangani urusan-urusan duniawi, ikut berperan dalam kegiatan kegiatan paroki dan keuskupan, menyelenggarakan dan mengembangkan pelbagai bentuk kerasulan awam, supaya umat beriman dalam Gereja-Gereja muda selekas mungkin mampu memainkan peran mereka dalam kehidupan Gereja[95].

Akhirnya hendaklah kaum awam dengan suka rela mengadakan kerja sama sosial ekonomi dengan bangsa-bangsa yang sedang berkembang. Kerja sama itu semakin layak di puji, semakin menyangkut usaha mendirikan lembaga-lembaga, yang menyentuh tata susunan hidup kemasyarakatan yang mendasar, atau tertujukan kepada pendidikan mereka, yang mengemban tanggung jawab atas masyarakat.

Yang layak mendapat pujian istimewa yakni para awam, yang di Universitas-Universitas atau Lembaga-Lembaga ilmiah mengembangkan pengetahuan tentang bangsa-bangsa dan agama-agama melalui penelitian-penelitian mereka dibidang sejarah atau ilmu-pengetahuan agama, sambil membantu para pewarta Injil dan menyiapkan dialog dengan umat bukan kristiani.

Hendaklah para awam dalam semangat persaudaraan bekerja sama dengan umat kristiani lainnya, dengan umat bukan kristiani, khususnya dengan para anggota perserikatan-perserikatan internasional, sementara selalu mengarah kepada tujuan, supaya “pembangunan masyarakat duniawi selalu bertumpu pada Tuhan dan diarahkan kepada-Nya”[96].

Untuk menunaikan semua tugas itu, para awam membutuhkan persiapan tehnis dan rohani seperlunya, yang harus diberikan pada Lembaga-Lembaga yang dimaksudkan untuk itu, supaya hidup mereka merupakan kesaksian tentang Kristus di tengah umat bukan-kristiani, manurut amanat Rasul : “Janganlah kamu menimbulkan syak dalam hati orang-orang Yahudi dan Yunani, maupun jemaat Allah. Sama seperti aku juga berusaha menyenangkan semua orang dalam segalanya, bukan untuk kepentingan diriku, melainkan untuk kepentingan orang banyak, supaya mereka diselamatkan” (1Kor 10:32-33).

PENUTUP

42. Para Bapa Konsili bersama dengan Imam Agung di Roma, yang menyadari bahwa tugas menyebarluaskan Kerajaan Allah di mana-mana itu mahaberat, menyampaikan salam penuh kasih, kepada semua pewarta Injil, terutama kepada mereka yang demi nama Kristus menanggung penganiayaan, dan menggabungkan diri sebagai rekan dalam duka-derita mereka[97].

Juga mereka berkobar karena cinta yang sama, seperti Kristus bernyala kasih-Nya terhadap umat manusia. Sementara menyadari, bahwa Allahlah yang berkarya supaya Kerajaan-Nya datang di dunia, mereka memanjatkan doa-doa bersama segenap Umat beriman kristiani, supaya berkat perantaraan Perawan Maria Ratu para Rasul, para bangsa selekas mungkin dihantar untuk mengenali kebenaran (1Tim 2:4), dan cahaya Allah, yang bersinar pada wajah Kristus Yesus, melalui Roh Kudus menerangi semua orang (2Kor 4:6).

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan Kami, atas kuasa Rasuli yang oleh kristus diserahkan kepada Kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 7 bulan Desember tahun 1965.

Saya PAULUS
Uskup Gereja katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


[1] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, art. 48.

[2] S. AGUSTINUS, Uraian tentang Mazmur 44:23: PL. 36,508; CChr 38,510.

[3] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 1.

[4] Lih. S. IRENIUS, Melawan bidaah-bidaah, III, 18, 1: “Sabda yang berada pada Allah, melalui Dia segala-sesuatu dijadikan, Dia selalu hadir pada umat manusia …”: PG 7,932. – Dalam karya yang sama, IV, 6, 7: “Sejak semula Putera, yang hadir dalam ciptaan-Nya, mewahyukan Bapa kepada semua orang yang dikehendaki-Nya, serta bila Bapa menghendaki dan seperti Bapa menghendakinya”: PG. 7,990, Lih. dalam karya yang sama, IV, 20, 6 dan 7: PG 7, 1037. IRENIUS, Pembuktian, n. 34: PO XII, 773; Sourches chr. 62, Paris 1958, hlm. 87. KLEMENS dari Iskandaria, Proteptika 112,1 : GCS Clemens I, 79. Idem, Stromata VI, 6, 44, 1: GCS Clemens Ii, 453; 13, 106, 3 dan 4: GCS, ibid., 485. mengenai ajarannya sendiri: lih. PIUS XII, Amanat radio 31 Desember 1952; KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 16.

[5] Lih. Ibr 1:2; Yoh 1:3 dan 10; 1Kor 8:6; Kol 1:16.

[6] Lih. S. ATANASIUS, Surat kepada Epiktetus, 7: PG 26, 1060. – S. SIRILUS dari Yerusalem, Katekese 4,9: PG 33,465. – MARIUS VIKTORINUS, Melawan Arius 3,3: PL 8,1101. – S. BASILIUS, Surat 261,2: PG 32,969. – S. GREGORIUS dari Nazianze, Surat 101: PG 37,181. – S. GREGORIUS dari Nissa, Antirrheticus, Melawan Apolinaris, 17: PG 45,1156. – S. AMBROSIUS, Surat 48,5 : PL 16,1153. – S. AGUSTINUS, Tentang Injil Yohanes, traktar XXIII, 6: PL 35,1585; CChr. 36,236. – Selain itu, dengan penalaran ini ia membuktikan, bahwa Roh Kudus tidak menebus kita, karena Ia tidak menjelma: Tentang sakrat maut Kristus 22,24: PL 40,302. – S. SIRILUS dari Iskandaria, Melawan Nestorius I, 1: PG 76, 20. – S. FULGENSIUS, Surat 17,3, 5: PL 65,454. – IDEM, Kepada Trasimundus III, 21: PL 65,285: Tentang kesedihan dan rasa takut.

[7] Roh Kuduslah yang telah bersabda melalui para nabi: Syahadat Konstantinopel: DS. 150. S. LEO AGUNG, Kotbah 76: PL 54,405-406: “Ketika pada hari pentekosta Roh Kudus memenuhi para murid Tuhan, itu bukan permulaan kurnia-Nya, melainkan perluasannya: sebab para bapa bangsa, para nabi, para imam, dan semua orang kudus yang hidup pada zaman sebelumnya, telah dijiwai oleh penyucian Roh itu juga … meskipun ukuran kurnia-kurnia tidak sama”. Juga Kotbah 77, 1: PL 54,412. – LEO XIII, Ensiklik Divinum illud: ASS 1897, hlm. 650-651. – juga S. YOHANES KRISOSTOMUS, meskipun menekankan sifat barunya perutusan Roh Kudus pada hari Pentekosta: Tentang Ef, bab 4, homili 10, 1: PG 62,75.

[8] Para Bapa suci sering berbicara tentang Babel dan pentekosta: ORIGENES, Tentang Kejadian, bab 1: PG 12,112. – S. GREGORIUS dari Nazianze, Pidato 41, 16: PG 36,449. – S. YOHANES KRISOSTOMUS, Homili 2 pada hari Pentekosta, 2: PG 50,467. – IDEM, Tentang Kisah para Rasul: PG 60,44. – S. AGUSTINUS, Uraian tentang Mzm 54:11: PL 36,636; CChr. 39,664 dsl. – IDEM, Kotbah 271: PL 38,1245. – S. SIRILUS dari Iskandaria, Glaphyra tentang Genesis II: PG 69,79. – S. GREGORIUS Agung, Homili tentang Injil, kitab II, Homili 30, 4: PL 76,1222. – S. BEDA, Tentang Hexaemeron, kitab III: PL 91,125. – Selain itu lihat juga gambaran di ruang muka Gereja Basilik S. Markus di Venesia. – Gereja berbicara dalam semua bahasa, dan dengan demikian menghimpun semua orang dalam sifat katolik Iman: S. AGUSTINUS, Kotbah 266, 267, 268, 269: PL 38,1225-1237. – IDEM, Kotbah 175, 3: PL 38,946. – S. YOHANES KRISOSTOMUS, Tentang Surat 1Kor, Homili 35: PG 61, 296. – S. SIRILUS dari Iskandaria, Fragm. In Act.: PG 74,758. – S. FULGENSIUS, Kotbah 8, 2-3: PL 65, 743-744. – Tentang pentekosta sebagai pengudusan para Rasul untuk perutusan, bdk. J.A. CRAMER, Catena in Acta SS. Apostolorum, Oxford 1838, hlm. 24 dsl.

[9] Lih. Luk 3:22; 4:1; Kis 10:38).

[10] Lih. Yoh bab 14-17. – PAULUS VI, Amanat dalam Konsili tgl. 14 September 1964: AAS 56 (1964), hlm. 807.

[11] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 4.

[12] S. AGUSTINUS, Kotbah 267, 4: PL 38,1231: “Dalam seluruh Gereja Roh Kudus menjalankan, apa yang dilakukan jiwa dalam semua anggota badan yang satu”. – Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, art. 7 beserta catatan 8.

[13] Lih. Kis 10:44-47; 11:15; 15:8.

[14] Lih. Kis 4:8; 5:32; 8:26; 29, 39; 9:31; 10; 11:24, 28; 13:2, 4, 9; 16:6-7; 20:22-23; 21:11, dan lain-lain.

[15] TERTULIANUS, Apologetika 50, 13: PL 1,534; CChr. 1,171.

[16] S. TOMAS AQUINO sudah berbicara tentang tugas kerasulan menanam Gereja: lih. Sententiae, kitab 1, dist. 16, soal 1, art. 2 ad 2 dan ad 4; art. 3 pemecahan. – IDEM, Summa Theol. I, soal 43, art. 7 ad 6;I-II, soal 106, art. 4 ad 4. – Lih. BENEDIKTUS XV, Maximum illud, 30 November 1919: AAS 11 (1919) hlm. 445 dan 453. – PIUS XI, Rerum Ecclesiae, 28 Februari 1926: AAS 18 (1926) hlm. 74. – PIUS XII, 30 April 1939, kepada para direktur Karya-karya Kepausan untuk Misi; IDEM, 24 Juni 1944, kepada para direktur Karya-karya Kepausan untuk Misi: AAS 38 (1944) hlm. 210, lagi dalam AAS 42 (1950) hlm. 727, dan 43 (1951) hlm. 508. – IDEM, 29 Juni 1948 kepada klerus pribumi: AAS 40 (1948) hlm. 374. – IDEM, Evangelii Praecones, 2 Juni 1951: AAS 43 (1951) hlm. 507. – IDEM, Fidei donum, 15 Januari 1957: AAS 49 (1957) hlm. 236. – YHANES XXIII, Princeps Pastorum, 28 November 1959: AAS 51 (1959) hlm. 835. – PAULUS VI, Homili 18 Oktober 1964: AAS 56 (1964) hlm. 911. – Baik para Paus maupun para Bapa dan Skolastik sering berbicara tentang “perluasan” Gereja: S. TOMAS, Komentar pada Mat 16:28, – LEO XII, Ensiklik Sancta Dei Civitas: AAS (1880) hlm. 241. -BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 442. – PIUS XI, Ensiklik Rerum Ecclesiae: AAS 18 (1926) hlm. 65.

[17] Sudah jelaslah, bahwa dalam faham “kegiatan misioner” itu menurut kenyataan terangkum juga bagian-bagian Amerika Latin, yang belum memiliki Hirarkinya sendiri maupun mencapai kedewasaan hidup kristiani, serta belum menerima perwartaan Injil yang memadai. Apakah wilayah-wilayah itu de facto oleh Takhta suci diakui sebagai daerah misi, tidak tergantung dari Konsili. Maka dari itu mengenai hubungan antara faham “kegiatan misioner” dan wilayah-wilayah tertentu dikatakan: kegiatan itu ‘kebanyakan” dilaksanakan di daerah-daerah tertentu yang diakui oleh Takhta suci.

[18] KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Ekumenisme, art. 1.

[19] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 14.

[20] Lih. Yoh 7:18; 8:30 dan 44; 8:50; 17:1.

[21] Mengenai gagasan sintetis itu lihat ajaran S, IRENEUS tentang Recapitulatio (penyatuan segala sesuatu dalam Kristus sebagai Kepala). Lih. juga HIPOLITUS, Tentang Anti-Kristus, 3: Ia “mencintai semua orang dan menghendaki keselamatan mereka semua; ia hendak menjadikan mereka semua putera-putera Allah, dan memanggil semua para kudus untuk menjadikan mereka semua satu manusia yang sempurna …”: PG 10,732; CGS Hippolyt. I, 2, hlm. 6. – IDEM, Berkat-berkat Jakub, 7: TU. 38-1, hlm. 18, baris 4 dsl. – ORIGENES, Tentang Yohanes, I, n. 16: “Sebab pada saat itu akan ada satu kegiatan mengenal Allah pada mereka, yang datang kepada Allah, berkat bimbingan Sang Sabda yang ada pada Allah; sehingga semua sebagai putera dibina dengan cermat dalam pengenalan Bapa’: PG 14,49: GCS Orig. IV, 20. – S. AGUSTINUS, Tentang manat Tuhan di atas bukit, I, 41: “Marilah kita mencintai apa yang bersama kita dapat dihantarkan ke kerajaan itu, tempat tak seorang pun berkata : Bapaku, melainkan semua menyapa Allah yang esa: Bapa kami”: PL 34,1250. – S. SIRILUS dari Iskandaria, Tentang Yohanes I: “Sebab kita semua berada dalam Kristus, dan kodrat kemanusiaan kita yang umum hidup kembali dalam Dia. Sebab karena itulah Ia disebut Adam yang baru …. Karena Ia, yang menurut kodrat-Nya Putera dan Allah, tinggal diantara kita; maka dalam Roh-nya kita dalam satu kenisah, yakni yang dikenakan-Nya demi kita dan dari kita, supaya Ia merangkum semua orang dalam diri-Nya, dan mendamaikan semua dengan Bapa dalam satu Tubuh, menurut kata Paulus”: PG 73, 161-164.

[22] BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 445: “Sebab Gereja Allah bersifat katolik, dan tidak asing bagi suku atau bangsa mana pun juga ….”. – Lih YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: “Atas ketetapan ilahi Gereja meliputi semua bangsa …, sebab menyalurkan daya kekuatannya seperti ke dalam ‘pembuluh-pembuluh’ suatu bangsa; maka Gereja bukan dan tidak memandang diri sebagai suatu lembaga, yang dipaksakan dari luar terhadap bangsa itu …. Maka dari itu apa pun yang dipandangnya baik dan luhur, diteguhkan dan disempurnakan (oleh mereka yang telah lahir kembali dalam Kristus)”: AAS 53 (1961) hlm. 444.

[23] Lih. S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah, III, 15, 3: PG 7,919: “Mereka itu pewarta kebenaran dan rasul kebebasan”.

[24] Antifon “O” pada tgl. 23 Desember.

[25] Lih. Mat 24:31. Didache, 10,5: FUNK I, 32.

[26] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 17. – S. AGUSTINUS, Tentang Kota Allah, 19, 17: PL 41,646. – KONGREGASI PENYEBARAN IMAN, Instruksi: Collectanea I, n. 135, hlm. 42.

[27] Menurut ORIGENES Injil harus diwartakan sebelum akhir dunia ini: Homili tentang Luk XXI: GCS Orig. IX, 136,21 dsl. – IDEM, Komentar tentang Mat., 39: GCS Orig. XI, 75,25 dsl.; 76,4 dsl. – IDEM, Homili tentang Yerem. III, 2: GCS Orig. VII, 308,29 dsl. – S. TOMAS, Summa Theol. I-II, soal 106, art. 4 ad 4.

[28] S. HILARIUS dari Poiters, Tentang Mzm 14: PL 9,301. – EUSEBIUS dari Sesarea, Tentang Yesaya 54:2-3: PG 24,462-463. – S. SIRILUS dari Iskandaria, Tentang Yesaya V, bab 54: 1-3: PG 70,1193.

[29] Lih. PAULUS VI, Amanat pada tgl. 21 November 1964 dalam sidang Konsili: AAS 56 (1964) hlm. 1013.

[30] KONSILI VATIKAN II, Pernyataan tentang Kebebasan Beragama, art. 2, 4, 10. juga Konstitusi Pastoral tentang gereja dalam Dunia Modern, art. 21.

[31] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 17.

[32] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 64-65.

[33] Tentang pembebasan dari perbudakan setan dan kegelapan itu menurut Injil: Lih. Mat 12:28; Yoh 8:44; 12:31(bdk 1Yoh 3:8; Ef 2:1-2).- Dalam liturgi babtis: Lih. Rituale (tata-upacara) Romawi.

[34] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 14.

[35] Lih. S. AGUSTINUS, Traktat tentang Yohanes 11,4: PL 35,1476.

[36] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 9.

[37] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 10, 11, 34.

[38] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Wahyu ilahi, art. 21.

[39] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 12, 35.

[40] Lih. Ibid, art. 23, 26.

[41] Lih. Ibid, art. 11, 35, 41.

[42] Lih. KONSILI VATIKAN II, Tentang Gereja-Gereja Timur, art. 30.

[43] Lih. Surat kepada Dignetus, 5: PG 2,1173. – Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 38.

[44] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 32. – Dekrit tentang kerasulan awam.

[45] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Pendidikan imam, art. 4, 8, 9.

[46] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Liturgi, art. 17.

[47] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Dekrit tentang Pendidikan imam, art. 1.

[48] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Princeps Pastorum: AAS 51 (1959) hlm. 834-844.

[49] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Ekumenisme, art. 4.

[50] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Princeps Pastorum: AAS 51 (1959) hlm. 842.

[51] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 29.

[52] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Princeps Pastorum: AAS 51 (1959) hlm. 855.

[53] Yang dimaksudkan disini para “katekis purnawaktu” atau “fulltime”

[54] Dalam bahasa latin: Opus pro Catechistis.

[55] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 31, 44.

[56] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Princeps Pastorum: AAS 51 (1959) hlm. 838.

[57] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pelayanan dan hidup para imam, art. 11. – Juga : Dekrit tentang pendidikan imamat, art. 2.

[58] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 25.

[59] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pelayanan dan hidup para imam, art. 10. Di situ – untuk memperlancar kegiatan-kegiatan pastoral khusus bagi pelbagai golongan sosial – dibuka kemungkinan mendirikan Praelatura personalis (lingkup kepemimpinan Gereja untuk pribadi-pribadi/kelompok tertentu), sejauh itu memang diperlukan demi kepentingan kerasulan.

[60] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 13.

[61] Lih. PAULUS VI, Amanat pada upacara kanonisasi para Martir di Uganda: AAS 56 (1964) hlm. 908.

[62] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 13.

[63] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 17.

[64] Yang dimaksudkan dengan “lembaga-Lembaga” yakni Ordo-Ordo, Kogregasi-Kongregasi, Lembaga-Lembaga maupun Serikat-Serikat, yang berkarya di daerah-daerah Misi.

[65] Lih. PIUS XI, Ensiklik rerum Ecclesiae: AAS 18 (1926) hlm. 69-71. – PIUS XII, Ensiklik Saeculo exeunte: AAS 32 (1940) hlm. 256. – IDEM, Ensiklik Evangelii praecones: AAS 43 (1951) hlm. 506.

[66] Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 449-450.

[67] Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 448-449. – PIUS XII, Ensiklik Evangelii praecones: AAS 43 (1951) hlm. 507. – Dalam pembinaan para imam misionaris perlu diperhatikan juga apa yang ditetapkan dalam Dekrit KONSILI VATIKAN II tentang Pendidikan Imam.

[68] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 41.

[69] Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 440. PIUS XII Ensiklik Evangelii praecones: AAS 43 (1951) hlm. 507.

[70] Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 448. – KONGREGASI SUCI UNTUK PENYEBARAN IMAN, dekrit tanggal 20 Mei 1923: AAS 15 (1923) hlm. 269-370. – PIUS XII, Ensiklik Saeculo Exeunte: AAS 32 (1940) hlm. 256. – IDEM, Ensiklik Evangelii praecones: AAS 43 (1951) hlm. 507. – YOHANES XXIII, Ensiklik Princeps Pastorium: AAS 51 (91959) hlm. 843-844.

[71] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Pendidikan imam, art. 19-21.- Konstitusi apostolik Sedes Sapientiae beserta Anggaran Dasar Umum.

[72] Lih. PIUS XII, Ensiklik Evangelii praecones: AAS 43 (1951) hlm. 523-524.

[73] Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 448. – PIUS XII Ensiklik Evangelii praecones: AAS 43 (1951) hlm. 507.

[74] Lih. PIUS XII, Ensiklik Fidei donum: AAS 49 (1957) hlm. 234.

[75] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pelayanan dan kehidupan para Imam, n. 10; di situ dibicarakan diosis-diosis dan prelatur-prelatur dan sebagainya.

[76] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 18.

[77] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 23.

[78] Lih. Motu proprio Apostolica Sollicitudo, 15 September 1965.

[79] Lih. PAULUS VI, Amanat dalam Sidang Konsili pada tgl. 21 November 1964: AAS 56 (1964).

[80] Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 39-40.

[81] Sekiranya ada daerah-daerah Misi yang karena alasan-alasan khusus untuk sementara masih berada di bawah pimpinan Kongregasi-Kongregasi lain, seyogyanyalah kongregasi-Kongregasi itu menjalin hubungan dengan Kongregasi untuk Penyebaran Iman, supaya pengaturan dan pembimbingan semua daerah misi dapat di dasarkan pada pemikiran dan kaidah-kaidah yang sungguh tetap dan seragam.

[82] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang tugas kegembalaan Uskup dalam Gereja, art. 35, 4.

[83] Lih. Dekrit yang sama, art. 36-38.

[84] Lih. Dekrit yang sama, art. 35, 5-6.

[85] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Ekumenisme, art. 12.

[86] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 23-24.

[87] Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Maximum illud: AAS 11 (1919) hlm. 543-544. – PIUS XII, Ensiklik Rerum Ecclesiae: AAS 18 (1926) hlm. 71-73. – PIUS XII, Ensiklik Evangelii Praecones: AAS 43 (1951) hlm. 525-526. – IDEM, Ensiklik Fidei donum: AAS 49 (1957) hlm. 241.

[88] Lih. PIUS XII, Ensiklik Fidei donum: AAS 49 (1957) hlm. 245-246.

[89] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang tugas kegembalaan para Uskup, art. 6.

[90] Lih. PIUS XII, Ensiklik Fidei donum: AAS 49 (1957) hlm. 245.

[91] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 28.

[92] Lih. PIUS XII, Ensiklik Rerum Ecclesiae: AAS 18 (1926) hlm. 72.

[93] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 44.

[94] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 33, 35.

[95] Lih. PIUS XII, Ensiklik Evangelii Praecones: AAS 43 (1951) hlm. 510-514. – YOHANES XXIII, Ensiklik Princeps Pastorium: AAS 51 (1959) hlm. 851-852.

[96] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 46.

[97] Lih. PIUS XII, Ensiklik Evangelii praecones: AAS 43 (1951) hlm. 527. – YOHANES XIII, Ensiklik Princeps Pastorium: AAS 51 (1959) hlm. 864.

PERNYATAAN TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI

TENTANG HAK PRIBADI DAN MASYARAKAT ATAS KEBEBASAN SOSIAL DAN SIPIL DALAM HAL KEAGAMAAN

1. MARTABAT PRIBADI MANUSIA semakin disadari oleh manusia zaman sekarang[1]. Bertambahlah juga jumlah mereka yang menuntut, supaya dalam bertindak manusia sepenuhnya menggunakan pertimbangannya sendiri serta kebebasannya yang bertanggung jawab, bukannya terdorong oleh paksaan, melainkan karena menyadari tugasnya. Begitu pula mereka menuntut supaya wewenang pemerintah dibatasi secara yuridis, supaya batas-batas kebebasan yang sewajarnya baik pribadi maupun kelompok-kelompok jangan dipersempit. Dalam masyarakat manusia tuntutan kebebasan itu terutama menyangkut harta-nilai rohani manusia, dan teristimewa berkenaan dengan pengalaman agama secara bebas dalam masyarakat. Dengan saksama Konsili Vatikan ini mempertimbangkan aspirasi-aspirasi itu, dan bermaksud menyatakan betapa keinginan-keinginan itu selaras dengan kebenaran dan keadilan. Maka Konsili ini meneliti Tradisi serta ajaran suci Gereja, dan dari situ menggali harta baru, yang selalu serasi dengan khazanah yang sudah lama.

Oleh karena itu Konsili suci pertama-tama menyatakan, bahwa Allah sendiri telah menunjukkan jalan kepada umat manusia untuk mengabdi kepada-Nya, dan dengan demikian memperoleh keselamatan dan kebahagiaan dalam Kristus. Kita percaya, bahwa satu-satunya Agama yang benar itu berada dalam Gereja katolik dan apostolik, yang oleh Tuhan Yesus diserahi tugas untuk menyebarluaskannya kepada semua orang, ketika bersabda kepada para Rasul: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan babtislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19-20). Adapun semua orang wajib mencari kebenaran, terutama dalam apa yang menyangkut Allah dan Gereja-Nya. Sesudah mereka mengenal kebenaran itu, mereka wajib memeluk dan mengamalkannya.

Begitu pula Konsili suci menyatakan, bahwa tugas-tugas itu menyangkut serta mengikat suara hati, dan bahwa kebenaran itu sendiri, yang merasuki akal budi secara halus dan kuat. Adapun kebebasan beragama, yang termasuk hak manusia dalam menunaikan tugas berbakti kepada Allah, menyangkut kekebalan terhadap paksaan dalam masyarakat. Kebebasan itu sama sekali tidak mengurangi ajaran katolik tradisional tentang kewajiban moral manusia dan masyarakat terhadap agama yang benar dan satu-satunya Gereja Kristus. Selain itu dalam menguraikan kebebasan beragama Konsili suci bermaksud mengembangkan ajaran para paus akhir-akhir ini tentang hak-hak pribadi manusia yang tidak dapat di ganggu-gugat, pun juga tentang penataan yuridis masyarakat.

I. AJARAN UMUM TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA

2. (Objek dan dasar kebebasan beragama)

Konsili vatikan ini menyatakan, bahwa pribadi manusia berhak atas kebebasan beragama. Kebebasan itu berarti, bahwa semua orang harus kebal terhadap paksaan dari pihak orang-orang perorangan maupun kelompok-kelompok sosial atau kuasa manusiawi mana pun juga, sedemikian rupa, sehingga dalam hal keagamaan tak seorang pun dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya, atau dihalang-halangi untuk dalam batas-batas yang wajar bertindak menurut suara hatinya, baik sebagai perorangan maupun dimuka umum, baik sendiri maupun bersama dengan orang-orang lain. Selain itu Konsili menyatakan, bahwa hak menyatakan kebebasan beragama sungguh didasarkan pada martabat pribadi manusia, sebagaimana dikenal berkat sabda Allah yang diwahyukan dan dengan akal-budi[2]. Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama harus diakui dalam tata hukum masyarakat sedemikian rupa, sehingga menjadi hak sipil.

Menurut martabat mereka semua orang – justru sebagai pribadi, artinya berakalbudi dan berkehendak bebas, oleh karena itu mengemban tanggung jawab pribadi, – berdasarkan kodrat mereka sendiri terdorong, dan karena kewajiban moral terikat untuk mencari kebenaran, terutama yang menyangkut Agama. Mereka wajib juga berpegang pada kebenaran yang mereka kenal, dan mengatur seluruh hidup mereka menurut tuntunan kebenaran. Tetapi manusia hanyalah dapat memenuhi kewajiban itu dengan cara yang sesuai dengan kodrat mereka, bila mereka mempunyai kebebasan psikologis pun sekaligus bebas dari paksaan dari luar. Jadi hak atas kebebasan beragama tidak didasarkan pada keadaan subjektif seorang pribadi, melainkan pada kodratnya sendiri. Maka dari itu hak atas kebebasan itu tetap masih ada juga pada mereka, yang tidak memenuhi kewajiban mereka mencari kebenaran dan berpegang teguh padanya; dan menggunakan hak itu tidak dapat dirintangi, selama tata masyarakat tetap berdasarkan keadilan.

3. (Kebebasan beragama dan hubungan manusia dengan Allah)

Itu semua menjadi lebih jelas lagi, bila dipertimbangkan bahwa tolok ukur hidup manusia yang tertinggi ialah hukum ilahi sendiri, yang bersifat kekal serta obyektif, dan berlaku bagi semua orang, yakni bahwa menurut ketetapan kebijaksanaan dan cinta kasih-Nya Allah mengatur, mengarahkan serta memerintahkan alam semesta dan perjalanan masyarakat manusia. Allah mengikutsertakan manusia dalam hukum-Nya itu, sehingga manusia, berkat penyelenggaraan ilahi yang secara halus mengatur segalanya, dapat semakin menyelami kebenaran yang tak dapat berubah. Maka dari itu setiap orang mempunyai tugas dan karena itu juga hak untuk mencari kebenaran perihal keagamaan, untuk dengan bijaksana, melalui upaya-upaya yang memadai, membentuk pendirian suara hatinya yang cermat dan benar.

Adapun kebenaran harus dicari dengan cara yang sesuai dengan martabat pribadi manusia serta kodrat sosialnya, yakni melalui penyelidikan yang bebas, melalui pengajaran atau pendidikan, komunikasi dan dialog. Melalui cara-cara itu manusia menjelaskan kepada sesamanya kebenaran yang telah ditemukannya, atau yang ia telah merasa menemukan, sehingga mereka saling membantu dalam mencari kebenaran. Atas persetujuannya sendiri manusia harus berpegang teguh pada kebenaran yang dikenalnya.

Manusia menangkap dan mengakui ketentuan-ketentuan hukum ilahi melalui suara hatinya. Ia wajib mematuhi suara hatinya. Ia wajib mematuhi suara hati dengan setia dalam seluruh kegiatannya, untuk mencapai tujuannya yakni Allah. Jadi janganlah ia dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya. Tetapi jangan pula ia dirintangi untuk bertindak menurut suara hatinya, terutama dalam hal keagamaan. Sebab menurut sifatnya sendiri pengalaman agama pertama-tama terdiri dari tindakan-tindakan batin yang dikehendaki orang sendiri serta bersifat bebas, dan melalui tindakan-tindakan itu ia langsung mengarahkan diri kepada Allah: tindakan-tindakan seperti itu tidak dapat diperintahkan atau dihalang-halangi oleh kuasa manusiawi semata-mata[3]. Sedangkan kodrat sosial manusia sendiri menuntut, supaya ia mengungkapkan tindakan-tindakan batin keagamaannya secara lahiriah, berkomunikasi dengan sesama dalam hal keagamaan, dan menyatakan agamanya secara bersama-sama.

Maka terjadilah ketidak-adilan terhadap pribadi manusia dan tata sosial yang ditetapkan oleh Allah baginya, bila ia tidak diperbolehkan mengamalkan agamanya secara bebas dalam masyarakat, padahal ketertiban umum yang adil tetap dihormatinya.

Kecuali itu tindakan-tindakan keagamaan, yang dijalankan manusia untuk sebagai pribadi maupun dimuka umum mengarahkan diri kepada Allah berdasarkan keputusan pribadi, pada hakekatnya mengatasi tata duniawi yang fana. Maka dari itu pemerintah, yang bertujuan mengusahakan kesejahteraan umum di dunia ini memang wajib mengakui kehidupan beragama para warganegara dan mendukungnya. Tetapi harus dikatakan melampaui batas wewenangnya, bila memberanikan diri mengatur dan merintangi kegiatan-kegiatan religius.

4. (Kebebasan jemaat-jemaat keagamaan)

Kebebasan dari paksaan dalam hal agama, yang menjadi hak setiap pribadi yang harus diakui juga bila orang-orang bertindak bersama. Sebab kodrat sosial manusia maupun hakekat sosial agama menuntut adanya jemaat-jemaat keagamaan.

Maka asal tuntutan-tuntutan ketertiban umum yang adil jangan dilanggar, jemaat-jemaat itu berhak atas kebebasan, untuk mengatur diri menurut kaidah-kaidah mereka sendiri, untuk menghormati Kuasa ilahi yang tertinggi dengan ibadat umum, untuk membantu para anggota mereka dalam menghayati hidup keagamaan serta mendukung mereka dengan ajaran, dan untuk mengembangkan lembaga-lembaga, tempat para anggota bekerja sama untuk mengatur hidup mereka sendiri menurut azas-azas keagamaan mereka.

Begitu pula jemaat-jemaat keagamaan berhak untuk memilih, membina mengangkat dan memindahkan petugas-petugasnya sendiri, untuk berkomunikasi dengan para pemimpin dan jemaat-jemaat keagamaan, yang berada di kawasan-kawasan lain di dunia, untuk mendirikan bangunan-bangunan bagi keperluan keagamaan, dan untuk memperoleh serta mengelola harta-milik yang mereka perlukan; itu semua tanpa dihalang-halangi oleh upaya-upaya hukum atau oleh tindakan administratif kuasa sipil.

Jemaat-jemaat keagamaan berhak pula untuk tidak dirintangi dalam mengajarkan iman mereka dan memberi kesaksian tentangnya di muka umum, secara lisan maupun melalui tulisan. Tetapi dalam menyebarluaskan iman dan memasukkan praktik-praktik keagamaan janganlah pernah menjalankan kegiatan mana pun juga, yang dapat menimbulkan kesan seolah-olah ada paksaan atau bujukan atau dorongan yang kurang tepat, terutama bila menghadapi rakyat yang tidak berpendidikan dan serba miskin. Cara bertindak demikian harus dipandang sebagai penyalahgunaan hak mereka sendiri dan pelanggaran hak pihak-pihak lain.

Selain itu kebebasan beragama berarti juga, bahwa jemaat-jemaat keagamaan tidak dilarang untuk secara bebas menunjukkan daya-kemampuan khusus ajaran mereka dalam mengatur masyarakat dan dalam menghidupkan seluruh kegiatan manusiawi. Akhirnya pada kodrat sosial manusia dan pada sifat Agama sendiri didasarkan hak orang-orang, untuk – terdorong oleh cita rasa keagamaan mereka – mengadakan dengan bebas pertemuan-pertemuan atau mendirikan yayasan-yayasan pendidikan, kebudayaan, amal kasih dan sosial.

5. (Kebebasan beragama dan keluarga)

Setiap keluarga, sebagai rukun hidup dengan hak aslinya sendiri, berhak untuk dengan bebas mengatur hidup keagamaan dalam pangkuannya sendiri dibawah bimbingan orang tua. Mereka itu berhak menentukan menurut keyakinan keagamaan mereka sendiri, pendidikan keagamaan manakah yang akan diberikan kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu pemerintah wajib mengakui hak orang tua, untuk dengan kebebasan sepenuhnya memilih sekolah-sekolah atau upaya-upaya pendidikan lainnya. Pun janganlah karena kebebasan memilih itu mereka secara langsung atau tidak langsung diharuskan menanggung beban yang tidak adil. Kecuali itu hak orang tua dilanggar, bila anak-anak dipaksa mengikuti pelajaran-pelajaran sekolah, yang tidak cocok dengan keyakinan keagamaan orang tua mereka, atau bila hanya ada satu cara pendidikan saja yang diwajibkan, tanpa pendidikan keagamaan sama sekali.

6. (Tanggung jawab atas kebebasan beragama)

Kesejahteraan umum masyarakat, yakni keseluruhan kondisi-kondisi hidup sosial, yang memungkinkan orang-orang mencapai kesempurnaan mereka secara lebih utuh dan lebih mudah, terutama terletak pada penegakan hak-hak serta tugas-tugas pribadi manusia[4]. Maka ada kewajiban menjaga hak atas kebebasan beragama pada para warganegara, pada kelompok-kelompok sosial, pada pemerintah-pemerintah, pada Gereja dan jemaat-jemaat keagamaan lainnya, demi tugas mereka memelihara kesejahteraan umum.

Pada hakekatnya termasuk tugas setiap kuasa sipil: melindungi dan mengembangkan hak-hak manusia yang tak dapat di ganggu-gugat[5]. Maka kuasa sipil wajib, melalui hukum-hukum yang adil serta upaya-upaya lainnya yang sesuai, secara berhasil-guna menanggung perlindungan kebebasan beragama semua warganegara, dan menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan untuk mengembangkan hidup keagamaan. Dengan demikian para warga negara dapat sungguh-sungguh mengamalkan hak-hak serta menunaikan tugas-tugas keagamaan, dan masyarakat sendiri akan menikmati baiknya keadilan dan damai, yang muncul dari kesetiaan manusia terhadap Allah dan terhadap kehendak-Nya yang suci[6].

Bila karena keadaan istimewa bangsa-bangsa tertentu suatu jemaat keagamaan mendapat pengakuan sipil istimewa dalam tata hukum masyarakat, sungguh perlulah bahwa hak semua warganegara dan jemaat-jemaat keagamaan atas kebebasan beragama diakui dan dipatuhi.

Akhirnya pemerintah wajib mengusahakan, supaya kesamaan yuridis para warganegara, yang termasuk kesejahteraan umum masyarakat, jangan pernah secara terbuka ataupun diam-diam dilanggar berdasarkan alasan-alasan agama, pun juga supaya diantara mereka jangan sampai ada diskriminasi.

Oleh karena itu pemerintah sama sekali tidak boleh – melalui paksaan atau ancaman atau upaya-upaya lainnya – mengharuskan para warganegara untuk mengakui atau menolak agama mana pun juga, atau menghalang-halangi siapa pun juga untuk memasuki atau meninggalkan jemaat keagamaan tertentu. Masih lebih lagi merupakan tindakan melawan kehendak Allah dan melawan hak-hak keramat pribadi serta keluarga bangsa-bangsa, bila dengan cara manapun digunakan kekerasan untuk menghancurkan atau merintangi agama, entah diseluruh bangsa manusia entah dikawasan tertentu entah dalam kelompok tertentu.

7. (batas-batas kebebasan beragama)

Hak atas kebebasan beragama dilaksanakan dalam masyarakat manusia. Maka dari itu penggunaannya harus mematuhi kaidah-kaidah tertentu yang mengaturnya.

Dalam penggunaan semua kebebasan harus ditaati azas moral tanggung jawab pribadi dan sosial: Dalam memakai hak-haknya setiap orang maupun kelompok sosial diwajibkan oleh hukum moral untuk memperhitungkan hak-hak orang lain, dan wajib-wajibnya sendiri terhadap orang-orang lain, maupun kesejahteraan umum semua orang . Semua orang harus diperlakukan menurut keadilan dan perikemanusiaan.

Selain itu, karena masyarakat sipil berhak melindungi diri terhadap penyalahgunaan yang dapat timbul atas dalih kebebasan beragama, terutama pemerintahlah yang wajib memberi perlindungan itu. Tetapi itu harus terjadi bukan sewenang-wenang, atau dengan cara tidak adil memihak pada satu golongan, melainkan menurut kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan tata moral yang objektif. Kaidah-kaidah itu diperlukan demi kehidupan mereka bersama secara damai; diperlukan juga untuk menjalankan usaha-usaha secukupnya demi ketentraman umum yang sepantasnya, yakni kehidupan bersama dan teratur dalam keadilan yang sejati; diperlukan pula untuk menjaga kesusilaan umum sebagamana harusnya. Itu semua merupakan unsur dasar kesejahteraan umum, dan termasuk tata-tertib umum. Memang dalam masyarakat pada umumnya perlu dipertahankan kebebasan seutuhnya. Itu berarti, bahwa harus diakui kebebasan manusia sepenuh mungkin; dan kebebasan itu jangan dibatasi kecuali bila dan sejauh memang perlu.

8. (Pembinaan penggunaan kebebasan)

Manusia zaman sekarang menghadapi pelbagai tekanan, dan terancam bahaya kehilangan kebebesan mengikuti cara berfikirnya sendiri. Tetapi dilain pihak tidak sedikit orang yang agaknya begitu condong untuk dengan dalih mau bebas menolak setiap bentuk kepatuhan dan meremehkan ketaatan yang sewajarnya.

Itulah sebabnya mengapa Konsili ini menganjurkan kepada semua, terutama mereka yang bertugas sebagai pendidik, supaya berusaha membina orang-orang, yang mematuhi tata-kesusilaan, mentaati kekuasaan yang sah, dan mencintai kebebasan sejati. Dengan kata lain: orang-orang, yang dengan pertimbangannya sendiri menilai kenyataan dalam terang kebenaran, mengatur kegiatannya dengan kesadaran bertanggungjawab, dan berusaha mencari apa pun yang benar dan adil, dengan hati yang rela untuk bekerja sama dengan orang-orang lain.

Demikianlah termasuk hasil dan tujuan kebebasan beragama juga, bahwa dalam menunaikan tugas-tugasnya sendiri manusia bertindak dalam hidup memasyarakat dengan tanggung jawab yang lebih besar.

II. KEBEBASAN BERAGAMA DALAM TERANG WAHYU

9. (Ajaran tentang kebebasan beragama berakar dalam wahyu)

Apa yang oleh Konsili Vatikan ini dinyatakan tentang hak manusia atas kebebasan beragama, mempunyai dasarnya dalam masyarakat pribadi. Tuntutan-tuntutan martabat itu disadari semakin mendalam oleh akalbudi manusia melalui pengalaman berabad-abad. Bahkan ajaran tentang kebebasan itu berakar dalam Wahyu ilahi. Oleh karena itu harus semakin dipatuhi oleh Umat kristiani. Sebab Wahyu memang tidak dengan jelas sekali mengiyakan hak atas kebebasan terhadap paksaan dari luar dalam hal kegamaan. Namun memaparkan martabat pribadi manusia dalam arti yang sepenuhnya. Wahyu memperlihatkan, bagaimana Kristus mengindahkan kebebasan manusia dalam menunaikan wajibnya beriman akan sabda Allah. Wahyu mengajar kita tentang semangat, yang dalam segalanya harus diterima dan diikuti oleh para murid Sang Guru itu. Dengan itu semua diperjelas azas-azas umum, yang mendasari ajaran Pernyataan tentang kebebasan beragama ini. Terutama kebebasan beragama dalam masyarakat selaras sepenuhnya dengan kebebasan beragama dalam masyarakat selaras dengan kebebasan faal iman kristiani.

10. (Kebebasan dan faal iman)

Salah satu pokok amat penting ajaran katolik, yang tercantum dalam sabda Allah dan terus-menerus diwartakan oleh para Bapa Gereja[7], yakni: manusia wajib secara sukarela menjawab Allah dengan beriman; maka dari itu tak seorang pun boleh dipaksa melawan kemauannya sendiri untuk memeluk iman[8]. Sebab pada hakekatnya kita menyatakan iman kita dengan kehendak yang bebas, karena manusia – yang ditebus oleh Kristus Sang Penyelamat, dan dengan perantaraan Yesus Kristus dipanggil untuk diangkat menjadi anak Allah[9], – tidak dapat mematuhi Allah yang mewahyukan Diri, seandainya Bapa tidak menariknya[10], dan ia tidak dengan bebas menyatakan kepada Allah ketaatan imannya yang menurut nalar dapat dipertanggungjawabkan. Jadi sama selaras dengan sifat iman, bahwa dalam hal keagamaan tidak boleh ada bentuk paksaan mana pun juga dari pihak manusia. Oleh karena itu ketetapan tentang adanya kebebasan beragama sangat membantu untuk memelihara kondisi hidup, yang memungkinkan manusia dengan mudah diajak menerima iman kristiani, memeluknya secara suka rela, dan secara aktif mengakuinya dengan seluruh cara hidupnya.

11. (cara bertindak Kristus dan para Rasul)

Memang Allah memanggil manusia untuk mengabdi diri-Nya dalam roh dan kebenaran. Maka ia juga terikat dalam suara hati, tetapi tidak dipaksa. Sebab Allah memperhitungkan martabat pribadi manusia yang diciptakan-Nya, yang harus di tuntun oleh pemikirannya sendiri dan mempunyai kebebasan. Adapun itu nampak paling unggul dalam Kristus Yesus, yang bagi Allah menjadi Perantara untuk dengan sempurna menampakkan Diri serta jalan-jalan-Nya. Sebab Kristus, Guru dan Tuhan kita[11], yang lemah-lembut dan rendah [12], dengan sabar mengambil hati dan mengajak para murid-Nya[13]. Memang dengan mukjizat-mukjizat Ia mendukung dan meneguhkan pewartaan-Nya, untuk membangkitkan dan mengukuhkan iman para pendengar-Nya, bukan untuk memaksa mereka[14]. Memang Ia mengecam ketidak-percayaan para pendengar-Nya, tetapi sambil menyerahkan hukuman kepada Allah pada hari Pengadilan[15]. Ketika mengutus para Rasul ke dunia Ia bersabda: “Barang siapa beriman dan dibabtis akan selamat; tetapi siapa tidak percaya akan dihukum” (Mrk 16:16). Tetapi, melihat bahwa bersama gandum telah ditaburkan lalang, Ia memerintahkan supaya keduanya dibiarkan tumbuh sampai waktu menuai, yakni pada akhir zaman[16]. Yesus tidak mau menjadi Almasih tokoh politik yang memerintah dengan kekerasan[17]. Ia lebih senang menyebut diri Putera Manusia yang datang “untuk melayani dan menyerahkan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45). Ia membawakan Diri sebagai Hamba Allah yang sempurna[18], yang “tidak akan memutuskan buluh yang patah terkulai, dan tidak akan memadamkan sumbu yang pudar nyalanya” (Mat 12:20). Ia mengakui pemerintah serta hak-haknya, ketika menyuruh membayar pajak kepada kaisar, tetapi dengan jelas mengingatkan, bahwa hak-hak Allah yang lebih tinggi wajib di patuhi: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat 22:21). Akhirnya Ia menyempurnakan perwahyuan-Nya ketika menyelesaikan karya penebusan-Nya di salib, untuk memperoleh keselamatan dan kebebasan sejati bagi manusia. Sebab Ia memberi kesaksian dan kebenaran[19], tetapi tidak mau memaksakannya kepada mereka yang membantahnya. Kerajaan-Nya tidak dibela dengan menghantam dengan kekerasan[20], melainkan dikukuhkan dengan memberi kesaksian akan kebenaran serta mendengarkannya. Kerajaan itu berkembang karena cinta kasih, cara Kristus yang ditinggikan di salib menarik manusia kepada diri-Nya[21].

Para Rasul belajar dari sabda dan teladan Kristus, serta menempuh jalan yang sama. Sejak masa awal Gereja para murid Kristus berusaha, supaya orang-orang bertobat dan mengakui Kristus Tuhan, bukan dengan tindakan memaksa atau dengan siasat-siasat yang tak layak bagi Injil, melainkan pertama-tama dengan kekuatan sabda Allah[22]. Dengan berani mereka mewartakan kepada semua orang rancana Allah Penyelamat, “yang menghendaki semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1Tim 2:4). Tetapi sekaligus para murid Tuhan menghormati mereka yang lemah, juga bila sedang sesat; dan dengan demikian mereka menunjukkan , bagaimana “setiap orang diantara kita akan memberi pertanggungjawaban tentang dirinya kepada Allah” (Rom 14:12)[23], dan sejauh itu wajib menganut suara hatinya sendiri. Seperti kristus, begitu pula para Rasul selalu bermaksud memberi kesaksian akan kebenaran Allah, penuh keberanian untuk di hadapan rakyat serta para penguasa mewartakan “sabda Allah dengan kepercayaan” (Kis 4:31)[24]. Dengan iman yang teguh mereka yakin, bahwa Injil sendiri benar-benar merupakan kekuatan Allah demi keselamatan setiap orang yang beriman[25]. Maka dari itu mereka meremehkan “senjata duniawi”[26], mengikuti teladan kelemah-lembutan serta keugaharian Kristus, dan mewartakan sabda Allah, dengan penuh kepercayaan akan kekuatan ilahi sabda itu untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan yang menentang Allah[27], dan untuk mengembalikan orang-orang kepada iman serta kepatuhan terhadap Kristus[28]. Seperti Sang Guru, begitu pula para Rasul mengakui pemerintahan yang sah: “setiap orang hendaklah takhluk kepada pemerintah yang diatasnya; … barang siapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah” (Rom 13:1-2)[29]. Tetapi serta merta mereka tidak takut menyanggah pemerintah yang menentang kehendak Allah yang suci: “kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis 5:29)[30]. Jalan itu disepanjang zaman dan diseluruh dunia ditempuh juga oleh para martir dan kaum beriman yang tak terhitung jumlahnya.

12. (Gereja menempuh jalan Kristus dan para Rasul)

Maka Gereja, yang setia kepada kebenaran Injil, menempuh jalan Kristus dan para Rasul, bila mengakui dan mendukung azas kebebasan beragama sebagai prinsip yang selaras dengan martabat manusia dan wahyu Allah. Ajaran yang diterima dari Sang Guru dan dari para Rasul oleh Gereja dipelihara dan diteruskan di sepanjang masa. Sungguhpun dalam kehidupan Umat Allah, melalui silih-bergantinya kenyataan-kenyataan sejarah bangsa manusia yang sedang berziarah, ada kalanya ditempuh cara bertindak yang kurang selaras dengan semangat Injil, bahkan bertentangan dengannya, namun selalu tetaplah ajaran gereja, bahwa tak seorangpun boleh dipaksa untuk beriman.

Demikianlah ragi Injil cukup lama merasuki jiwa orang-orang, dan menyumbangkan banyak, sehingga dari masa ke masa makin bertambahlah jumlah mereka yang mengakui martabat pribadinya, dan makin masaklah keyakinan bahwa dalam masyarakat kebebasannya perihal keagamaan harus tetap dipertahankan dari setiap paksaan manusia.

13. (Kebebasan gereja)

Di antara hal-hal yang menyangkut kesejahteraan Gereja, bahkan kesejahteraan masyarakat dunia, dan yang di mana-mana selalu harus dipelihara serta dilindungi terhadap segala ketidakadilan, pasti yang paling utama yakni: supaya Gereja menikmati kebebasan bertindak yang secukupnya untuk mengusahakan keselamatan manusia[31]. Sebab sungguh kuduslah kebebasan, yang dikurniakan oleh Putera Tunggal Allah kepada Gereja yang diperoleh-Nya dengan darah-Nya. Kebebasan itu begitu khas bagi Gereja, sehingga barang siapa menentangnya bertindak melawan kehendak Allah. Kebebasan Gereja merupakan azas dasar dalam hubungan antara Gereja dan pemerintah-pemerintah serta seluruh tata masyarakat.

Dalam masyarakat manusia dan terhadap pemerintah mana pun Gereja menuntut kebebasan, sebagai kewibawaan rohani yang ditetapkan oleh Kristus Tuhan, dan yang atas perintah ilahi bertugas pergi ke seluruh dunia dan mewartakan Injil kepada semua makluk[32]Begitu pula Gereja mengutarakan haknya atas kebebasan, sebagai masyarakat manusia juga, yang berhak hidup dalam masyarakat menurut kaidah-kaidah iman kristiani[33].

Adapun hanya bila berlakulah ketetapan tentang kebebasan beragama, yang bukan saja dimaklumkan dengan kata-kata atau melulu dikukuhkan dengan undang-undang, melainkan secara jujur dipraktikkan juga, maka Gereja akan memperoleh kondisi stabil menurut hukum maupun dalam kenyataan, yakni kemerdekaan dalam menunaikan perutusan ilahinya, yang secara makin mendesak dituntut oleh para pemimpin Gereja dalam masyarakat[34]. Sekaligus Umat beriman kristiani, seperti semua orang lainnya, mempunyai hak sipil untuk tidak dirintangi dalam menghayati hidup menurut suara hati mereka. Jadi terdapat keselarasan antara kebebasan Gereja dan kebebasan keagamaan, yang oleh semua orang dan jemaat harus diakui sebagai hak dan dikukuhkan dalam perundang-undangan.

14. (Peran Gereja)

Untuk mematuhi perintah ilahi: “Ajarilah semua bangsa” (Mat 28:19), Gereja katolik wajib sungguh-sungguh mengusahakan, supaya “sabda Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan” (2Tes 3:1).

Maka dari itu Gereja meminta dengan mendesak, supaya para putera-puterinya pertama-tama menganjungkan “permohonan-permohonan, doa-doa syafaat serta ucapan syukur bagi semua orang … Sebab itu baiklah dan berkenan kepada Allah Penyelamat kita, yang menghendaki agar semua orang diselamatkan dan mencapai pengertian tentang kebenaran” (1Tim 2:1-4).

Tetapi kaum beriman kristiani dalam membentuk suara hati mereka wajib mengindahkan dengan saksama ajaran Gereja yang suci dan pasti[35]. Sebab atas kehendak Kristus Gereja Katolik adalah guru kebenaran. Tugasnya mengungkapkan dan mengajarkan secara otentik Kebenaran, yakni Kristus, pun juga menjelaskan dan mengukuhkan dengan kewibawaannya azas-azas kesusilaan, yang bersumber pada kodrat manusia sendiri. Selain itu hendaknya Umat kristiani, yang dengan kebijaksanaanya menghadapi mereka yang berada di luar, “dalam Roh Kudus, dalam cinta kasih yang tidak munafik, dalam sabda kebenaran” (2Kor 6:6-7), berusaha memancarkan cahaya kehidupan dengan penuh kepercayaan[36] dan kekuatan rasuli, hingga penumpahan darah.

Sebab seorang murid terikat oleh kewajiban yang berat terhadap Kristus Sang Guru, yakni semakin mendalam menyelami kebenaran yang diterima dari pada-Nya, mewartakannya dengan setia, membelanya dengan berani, tanpa menggunakan upaya-upaya yang berlawanan dengan semangat Injil. Tetapi sekaligus cinta kasih Kristus mendesaknya, untuk bertindak penuh kasih, kebijaksanaan dan kesabaran terhadap mereka, yang berada dalam keadaan sesat atau tidak tahu menahu mengenai iman[37]. Maka perlu dipertimbangkan baik tugas-tugas terhadap Kristus Sabda yang menghidupkan, yang harus diwartakan, pun juga hak-hak pribadi manusia, maupun besarnya rahmat yang oleh Allah dikurniakan melalui Kristus kepada manusia, yang diundang untuk dengan suka rela menerima dan mengakui iman.

15. (Penutup)

Maka jelaslah manusia zaman sekarang menghendaki untuk dengan bebas dapat mengakui agamanya baik secara perorangan maupun di muka umum. Bahkan jelas pula kebebasan beragama dalam kebanyakan Undang-Undang Dasar sudah dinyatakan sebagai hak warganegara dan dalam dokumen-dokumen internasional diakui secara resmi[38].

Akan tetapi ada pula sitem-sistem pemerintahan, yang – meskipun dalam Undang-Undang Dasar kebebasan ibadat keagamaan diakui, namun pemerintah-pemerintahnya sendiri berusaha menjauhkan para warganegara dari pengakuan agama mereka, dan sangat mempersukar dan membahayakan kehidupan jemaat-jemaat keagamaan.

Dengan gembira Konsili suci menyambut gejala-gejala pertama sebagai tanda-tanda zaman sekarang yang sungguh baik, sedangkan fakta-fakta lainnya yang layak disesalkan dan dikecamnya dengan sedih hati. Konsili menganjurkan Umat katolik, tetapi mengajukan permohonan mendesak kepada semua orang, supaya mereka penuh perhatian mempertimbangkan, betapa perlulah kebebasan beragama, terutama dalam keadaan keluarga manusia zaman sekarang.

Sebab jelaslah, bahwa semua bangsa makin bersatu, bahwa orang-orang dari pelbagai kebudayaan dan agama saling terikat secara semakin erat, akhirnya bahwa bertambahlah kesadaran akan tanggung jawab masing-masing. Maka dari itu, supaya hubungan-hubungan damai dan kerukunan pada bangsa manusia diperbaharui dan diteguhkan, perlulah bahwa dimana-mana kebebasan beragama didukung dengan perlindungan hukum yang tepat guna, dan bahwa tugas-tugas serta hak-hak manusia yang tertinggi untuk secara bebas menghayati hidup beragama dalam masyarakat dipatuhi.

Semoga Allah dan Bapa semua orang menganugerahkan, supaya keluarga manusia, berkat usaha yang tekun untuk menegakkan kebebasan beragama dalam masyarakat, karena rahmat Kristus dan kekuatan Roh Kudus dihantar kepada “kebebasan kemuliaan putera-puteri Allah” (Rom 8:21) yang amat luhur dan kekal.

Semua itu dan setiap hal yang diungkapkan dalam Pernyataan ini telah berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Adapun Kami, dengan kuasa kerasulan yang diserahkan Kristus kepada Kami, bersama dengan para Bapa yang terhormat, mengesahkan, menetapkan serta mengundangkannya dalam Roh Kudus. Dan Kami memerintahkan, agar apa yang telah ditetapkan bersama dalam Konsili ini diumumkan demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 7 bulan Desember tahun 1965.

Saya PAULUS
Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


[1] Lih. YOHAHES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 279; lihat juga hlm. 265. PIUS XII, Amanat radio, 24 Desember 1944: AAS 37 (1945) hlm. 14.

[2] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 260-261. PIUS XII, Amanat radio, 24 Desember 1942: AAS 35 (1943) hlm. 19. PIUS XI, Ensiklik Mit brennender Sorge, 14 Maret 1937: AAS 29 (1937) hlm. 160. LEO XIII, Ensiklik Libertas praestantissnum, 20 Juni 1888: Acta Leonis XIII 8, 1888, hlm. 237-238.

[3] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 270. PAULUS VI, Amanat radio, 22 Desember 1964: AAS 57 (1965) hlm. 181-182.

[4] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 417. IDEM, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 273.

[5] Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 273-274. PIUS XII, Amanat radio, 1 Juni 1941: AAS 33 (1941) hlm. 200.

[6] Lih. LEO XIII, Ensiklik Immortale Dei, 1 november 1885: ASS 18 (1885) hlm. 161.

[7] Lih. LAKTANSIUS, Ajaran-ajaran Ilahi, V, 19: CSEL 19, hlm. 463-464, 465; PL 6,614 dan 616 (bab 20). S. AMBROSIUS, Surat 21 kepada Kaisar Valentinianus: PL 16, 1005. S. AGUSTINUS, Melawan surat-surat Petilianus, II, 83: CSEL 52, hlm 112; PL 43, 315; lih. C.23, q.5, c.33: FRIEDBERG, kolom 939. IDEM, surat 23: PL 33,98. IDEM, surat 34: PL 33,132. IDEM, Surat 35: PL 33,135. S. GREGORIUS AGUNG, Surat kepada Uskup Virgillius dan Uskup Teodorus di Massilia, Gallia, Daftar Surat-surat I,45: MGH Ep.1 hlm. 72; PL 77,510-511 (jilid I, surat 47). IDEM, Surat kepada Yohanes Uskup Konstantinopel, Daftar Surat-surat III, 52: MGH Ep. 1, hlm. 210; PL 77,649 (jilid III, surat 53); lih. D.45, c.1: FRIEDBERG, kolom 160. KONSILI TOLEDO IV, bab 57: MANSI 10,633; lih. D.45, c.5: FRIEDBERG, kolom 161-162. KLEMENS III: X., V,6,9: FRIEDBERG, kolom 774. INOSENSIUS III, Surat kepada Uskup Agung di Arles, X., III,42,3: FRIEDBERG, kolom 646.

[8] Lih. Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 1351. PIUS XII, Amanat kepada para Prelat auditor serta para pejabat dan petugas lainnya pada Pengadilan Rota Romana, 6 Oktober 1946: AAS 38 (1946) hlm. 394. IDEM, Ensiklik Mystici Corporis, 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 243.

[9] Lih. Ef 1:5.

[10] Lih. Yoh 6:44.

[11] Lih. Yoh 13:13.

[12] Lih. Mat 11:29.

[13] Lih. Mat 11:28-30; Yoh 6:67-68.

[14] Lih. Mat 9:28-29; Mrk 9:23-24; 6:5-6. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 642-643.

[15] Lih. Mat 11:20-24; Rom 12:19-20; 2Tes 1:8.

[16] Lih. Mat 13:30 dan 40-42.

[17] Lih. Mat 4:8-10; Yoh 6-15.

[18] Lih. Yes 42:1-4.

[19] Lih. Yoh 18:37.

[20] Lih. Mat 26:51-53; Yoh 18:36.

[21] Lih. Yoh 12:32.

[22] Lih. 1Kor 2:3-5; 1Tes 2:3-5.

[23] Lih. Rom 14:1-23; 1Kor 8:9-13; 10:23-33.

[24] Lih. Ef 6:19-20.

[25] Lih. Rom 1:16.

[26] Lih. 2Kor 10:4; 1Tes 5:8-9.

[27] Lif. Ef 6:11-17.

[28] Lih. 2Kor 10:3-5.

[29] Lih. 1Ptr 2:13-17.

[30] Lih. Kis 4:19-20.

[31] Lih. LEO XII, Surat Officio sanctissimo, 22 Desember 1887: ASS 20 (1887) hlm. 269. IDEM, Surat Ex litteris, 7 April 1887: ASS 19 (1886) hlm. 465.

[32] Lih. Mrk. 16:15; Mat 28:18-20. PIUS XII, Ensiklik Summi Pontificatus, 20 oktober 1939: AAS 31 (1939) hlm. 445-446.

[33] Lih. PIUS XI, Surat Firmissimam constantiam, 28 Maret 1937: AAS 29 (1937) hlm. 196.

[34] Lih. PIUS XII, Amanat Ci riesce, 6 Desember 1953: AAS 45 (1953) hlm. 802.

[35] Lih. PIUS XII, Amanat radio, 23 Maret 1952: AAS 44 (1952) hlm. 270-278.

[36] Lih. Kis 4:29.

[37] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 299-300.

[38] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 295-296.