DEKRIT TENTANG PELAYANAN DAN KEHIDUPAN PARA IMAM

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI

PENDAHULUAN

1. Keluhuran TINGKAT PARA IMAM dalam Gereja sudah seringkali oleh Konsili suci ini diingatkan kepada segenap umat beriman[1]. Akan tetapi karena dalam pembaharuan Gereja Kristus kepada Tingkat itu diserahkan peranan yang penting sekali dan semakin sulit, maka pada hemat kami berguna sekali untuk secara lebih luas dan lebih mendalam berbicara tentang para imam. Apa yang dikemukakan disini berlaku bagi semua imam, khususnya mereka yang melayani reksa pastoral, tetapi – dengan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan – juga bagi para imam religius. Sebab para imam, berkat tahbisan dan perutusan yang mereka terima dari para Uskup, diangkat untuk melayani Kristus Guru, Imam dan Raja. Mereka ikut menunaikan pelayanan-Nya, yang bagi Gereja merupakan upaya untuk tiada hentinya dibangun dunia ini menjadi umat Allah, Tubuh Kristus dan Kenisah Roh Kudus. Oleh karena itu, supaya dalam situasi pastoral dan manusiawi sering sekali mengalami perubahan begitu mendalam, pelayanan mereka tetap berlangsung secara lebih efektif, dan kehidupan mereka lebih terpelihara, Konsili suci menyatakan dan memutuskan hal-hal berikut.

BAB SATU- IMAMAT DALAM PERUTUSAN GEREJA

2. (Hakekat imamat)

Tuhan Yesus, “yang oleh Bapa dikuduskan dan diutus ke dunia” (Yoh 10:36), mengikut sertakan seluruh Tubuh mistik-Nya dalam pengurapan Roh yang telah diterimanya sendiri[2]. Sebab dalam Dia semua orang beriman menjadi Imamat kudus dan rajawi, mempersembahkan korban-korban rohani kepada Allah melalui Yesus Kristus, dan mewartakan kekuatan Dia, yang memanggil mereka dari kegelapan ke dalam cahaya-Nya yang mengagumkan[3]. Maka tidak ada anggota, yang tidak berperan serta dalam perutusan seluruh Tubuh. Melainkan setiap anggota wajib menguduskan Yesus dalam hatinya[4], dan dengan semangat kenabian memberi kesaksian tentang Yesus[5].

Tetapi, supaya umat beriman makin berpadu menjadi satu Tubuh, – “di dalamnya tidak semua anggota mempunyai tugas yang sama” (Rom 12:4), – Tuhan itu juga mengangkat ditengah mereka beberapa anggota menjadi pelayan, yang dalam persekutuan umat beriman mempunyai Kuasa Tahbisan suci untuk mempersembahkan Korban dan mengampuni dosa-dosa[6], dan demi nama Kristus secara resmi menunaikan tugas imamat bagi orang-orang. Maka dari itu, sesudah mengutus para Rasul seperti Ia sendiri telah diutus oleh Bapa[7], Kristus, melalui para Rasul itu, mengikutsertakan para pengganti mereka, yakni para Uskup, dalam pentakdisan serta perutusan-Nya[8]. Tugas pelayanan Uskup, pada tingkat yang terbawah kepadanya, diserahkan kepada para imam[9], supaya mereka, sesudah ditahbiskan imam, menjadi rekan-rekan kerja bagi Tingkat para Uskup, untuk sebagaimana mestinya melaksanakan misi kerasulan yang mereka terima dari Kristus[10].

Karena fungsi para imam tergabungkan pada Tingkat para Uskup, fungsi itu ikut menyandang kewibawaan Kristus sendiri, untuk membangun, menguduskan dan membimbing Tubuh-Nya. Oleh karena itu, imamat para imam biasa memang mengandaikan Sakramen-sakramen inisiasi kristiani, tetapi secara khas diterimakan melalui Sakramen, yang melambangkan, bahwa para imam, berkat pengurapan Roh Kudus, ditandai dengan meterai istimewa, dan dengan demikian dijadikan serupa dengan Kristus Sang Imam, sehingga mereka mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala[11].

Karena para imam dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas para Rasul, mereka dikurniai rahmat oleh Allah, untuk menjadi pelayan Kristus Yesus di tengah para bangsa, dengan menunaikan tugas Injil yang suci, supaya persembahan para bangsa, yang disucikan dalam Roh Kudus, berkenan kepada Allah[12]. Sebab melalui Warta Rasuli tentang Injil Umat Allah dipanggil dan dihimpun, sehingga semua orang yang termasuk umat itu karena dikuduskan dalam Roh, mempersembahkan diri sebagai “persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah” (Rom 12:1). Melalui pelayanan para imam korban rohani kaum beriman mencapai kepenuhannya dalam persatuan dengan korban Kristus Pengantara tunggal, yang melalui tangan para imam, atas nama seluruh Gereja, dipersembahkan secara tak berdarah dan sakramental dalam Ekaristi, sampai kedatangan Tuhan sendiri[13]. Itulah arah-tujuan pelayanan para imam; disitulah pelayanan itu mencapai kepenuhannya. Sebab pelayanan mereka, yang berawalmula dari Warta Injil, menerima daya-kekuatannya dari Korban Kristus, dan tujuannya ialah, supaya “seluruh kota yang telah ditebus, yakni persekutuan dan himpunan para kudus, dipersembahkan sebagai korban universal kepada Allah melalui Sang Imam Agung, yang dalam Kesengsaraan-Nya telah mempersembahkan Diri-Nya juga bagi kita, supaya kita menjadi Tubuh Kepala yang seagung itu”[14].

Maka tujuan yang mau dicapai oleh para imam melalui pelayanan maupun hidup mereka yakni kemuliaan Allah Bapa dalam Kristus. Kemuliaan itu tercapai, bila orang-orang secara sadar, bebas dan penuh syukur menerima karya Allah yang terlaksana dalam Kristus, dan menampakkan itu melalui seluruh hidup mereka. Maka bila para imam meluangkan waktu bagi doa dan sembah sujud, atau mewartakan sabda atau mempersembahkan Korban Ekaristi dan menerimakan Sakramen-sakramen lainnya, atau menjalankan pelayanan-pelayanan lain bagi sesama, mereka ikut menambah kemuliaan Allah dan membantu sesama berkembang dalam kehidupan ilahi. Itu semua bersumber pada Paska Kristus, dan akan mencapai kepenuhannya pada kedatangan Tuhan penuh kemuliaan-Nya, bila Ia menyerahkan Kerajaan kepada Allah dan Bapa[15].

3. (Situasi para imam di sunia)

Para imam, yang dipilih dari antara manusia dan ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah, untuk mempersembahkan persembahan dan korban bagi dosa-dosa[16], bergaul dengan orang-orang lain bagaikan dengan saudara-saudari mereka. Begitu pulalah Tuhan Yesus, Putera Allah, manusia yang oleh Bapa diutus kepada sesama manusia, tinggal di antara kita, dan dalam segalanya hendak menyerupai saudara-saudari-Nya, kecuali dalam hal dosa[17]. Para Rasul kudus sudah mengikuti teladan-Nya; dan bersaksilah Santo Paulus, Guru para bangsa, yang “disendirikan untuk Injil Allah” (Rom 1:1), bahwa ia telah menjadi segalanya bagi semua orang, untuk menyelamatkan semua orang[18]. Karena panggilan dan tahbisan mereka para imam Perjanjian Baru dalam arti tertentu disendirikan dalam pengakuan umat Allah, tetapi bukan untuk dipisahkan dari umat atau dari sesama manapun juga, melainkan supaya sepenuhnya ditakdiskan bagi karya, yakni tujuan, mengapa Tuhan memanggil mereka[19]. Mereka tidak akan mampu menjadi pelayan Kristus, seandainya mereka tidak menjadi saksi dan pembagi kehidupan lain dari pada hidup di dunia ini. Tetapi mereka juga tidak akan mampu melayani sesama, seandainya mereka tetap asing terhadap kehidupan serta situasi sesama[20]. Pelayanan mereka sendiri karena alasan khas meminta, supaya mereka jangan menyesuaikan diri dengan dunia ini[21]; tetapi sekaligus meminta juga, supaya di dunia ini mereka hidup di tengah masyarakat, dan sebagai gembala-gembala yang baik mengenal domba-domba mereka, dan berusaha mengajak domba-domba juga, yang tidak termasuk kawanan, supaya merekapun mendengarkan suara Kristus, dan terjadilah satu kawanan dan satu Gembala[22]. Untuk dapat mencapai tujuan itu pentinglah peranan keutamaan-keutamaan, yang dalam persekutuan antar manusia memang sudah selayaknya dihargai; misalnya kebaikan hati, kejujuran, keteguhan hati dan ketabahan, semangat mengusahakan keadilan, sopan santun dan lain-lain, yang dianjurkan oleh Rasul Paulus dengan pesannya : “… Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap di dengar, semua yang disebut kebajikan dan patut di puji, pikirkanlah semuanya itu” (Flp 4:8)[23].

BAB DUA – PELAYANAN PARA IMAM

I. FUNGSI PARA IMAM

4. (Para imam, pelayan Sabda Allah)

Umat Allah pertama-tama dihimpun oleh sabda Allah yang hidup[24], yang karena itu juga sudah selayaknya diharapkan dari mulut para imam[25]. Sebab karena tidak seorang pun dapat di selamatkan, kalau ia tidak beriman[26], para imam sebagai rekan-rekan kerja para Uskup, pertama-tama wajib mewartakan Injil Allah kepada semua orang[27]. Demikianlah, dengan melaksanakan perintah Tuhan: “Pergilah ke seluruh dunia, wartakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk 16:15)[28], mereka membentuk dan mengembangkan Umat Allah. Sebab oleh Sabda penyelamat iman dibangkitkan dalam hati mereka yang tidak percaya, dan dipupuk dalam hati mereka yang percaya. Dengan demikian mulai serta tumbuhlah persekutuan kaum beriman, menurut amanat rasul: “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh sabda Kristus” (Rom 10:17). Jadi para imam mempunyai kewajiban terhadap semua orang, untuk menyampaikan kebenaran Injil kepada mereka[29], sehingga mereka bergembira dalam Tuhan. Entah para imam mempunyai cara hidup yang baik di tengah bangsa-bangsa, dan mengajak mereka memuliakan Allah[30], atau dengan pewartaan yang terbuka menyiarkan misteri Kristus kepada kaum beriman, atau memberikan katekese kristiani atau menguraikan ajaran Gereja, atau mereka berusaha mengkaji masalah-masalah aktual dalam terang Kristus, selalu merupakan tugas mereka: mengajar bukan kebijaksanaan mereka sendiri, melainkan Sabda Allah, dan tiada jemunya mengundang semua orang untuk bertobat dan menuju kesucian[31]. Supaya pewartaan iman, yang dalam situasi dunia zaman sekarang tidak jarang memang sukar sekali, secara lebih mengena menggerakkan hati para pendengar, hendaknya jangan menguraikan sabda Allah secara umum dan abstrak saja, melainkan dengan menerapkan kebenaran Injil yang kekal pada situasi hidup yang konkrit.

Demikianlah pewartaan sabda dilaksanakan dengan aneka cara, menanggapi pelbagai kebutuhan para pendengar dan menurut karisma para pewarta. Di daerah-daerah atau dalam kelompok-kelompok bukan kristen hendaknya orang-orang dengan pewartaan Injil diantar kepada iman dan Sakramen-Sakramen keselamatan[32]. Sedangkan dalam jemaat kristen sendiri, terutama bagi mereka yang agaknya kurang mengimani apa yang sering mereka terima, diperlukan pewartaan sabda untuk pelayanan Sakramen-Sakramen, sebab itu merupakan Sakramen-Sakramen iman, yang timbul dari sabda dan dipupuk dengannya[33]. Terutama bila berlaku Liturgi Sabda dalam perayaan Ekaristi, sebab disitu berpadulah secara tak terpisah pewartaan wafat dan kebangkitan Tuhan, jawaban umat yang mendengarkannya, dan persembahan sendiri, saat Kristus mengukuhkan Perjanjian Baru dalam Darah-Nya, serta keikut-sertaan umat beriman dalam persembahan itu, melalui kerinduan mereka dan penerimaan Sakramen[34].

5. (Para imam, pelayan Sakramen-sakramen dan Ekaristi)

Allah, satu-satunya yang Kudus dan menguduskan, berkenan mengikut-sertakan manusia sebagai rekan serta pembantu-Nya, untuk dengan rendah hati melayani karya pengudusan. Maka para imam, dengan pelayanan Uskup, ditakdiskan oleh Allah, supaya mereka secara istimewa ikut menghayati Imamat Kristus, dan dalam merayakan Ekaristi bertindak sebagai pelayan Dia, yang dalam Liturgi tiada hentinya melaksanakan tugas Imamat-Nya melalui Roh-Nya demi keselamatan kita[35]. Dengan Baptis para imam mengantar orang-orang masuk menjadi anggota umat Allah. Dengan Sakramen Tobat mereka mendamaikan para pendosa dengan Allah dan dengan Gereja. Dengan Minyak orang sakit mereka meringankan para penderita penyakit. Terutama dengan merayakan Misa mereka mempersembahkan Korban Kristus secara sakramental. Dalam melaksanakan semua Sakramen, – seperti pada zaman Gereja purba telah dicanangkan oleh S. Ignatius Martir[36], – para imam dengan pelbagai cara tergabunglah secara hirarkis dengan Uskup, dan dengan demikian menghadirkannya secara tertentu dalam masing-masing jemaat umat beriman[37].

Sakramen-sakramen lainnya, begitu pula semua pelayanan gerejawi serta karya kerasulan, berhubungan erat dengan Ekaristi suci dan terarahkan kepadanya[38]. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja[39], yakni Kristus sendiri, Paska kita dan Roti hidup, yang karena Daging-Nya yang dihidupkan oleh Roh Kudus dan menjadi sumber kehidupan mengurniakan kehidupan kepada manusia. Begitulah manusia diundang dan diantar untuk mempersembahkan diri, jerih-payahnya dan segenap ciptaan bersama dengan-Nya. Oleh karena Injil, sementara pada katekumin langkah demi langkah diantar untuk menyambut Ekaristi, dan umat beriman, yang sudah ditandai dengan Baptis suci dan Penguatan, melalui penyambutan sepenuhnya disaturagakan dalam Tubuh Kristus.

Jadi perjamuan Ekaristi merupakan pusat jemaat beriman, yang dipimpin oleh imam. Maka para imam mengajar umat untuk dalam Korban Ekaristi mempersembahkan Korban ilahi kepada Allah Bapa, dan bersama dengan-Nya mengorbankan hidup mereka sendiri. Dengan semangat Sang Gembala para imam mengajar mereka untuk dengan hati remuk-redam, dalam Sakramen Tobat, menghadapkan dosa-dosa mereka kepada Gereja, sehingga dari hari ke hari mereka semakin berbalik kepada Tuhan, sambil mengingat amanat-Nya: “Bertobatlah, sebab sudah dekatlah Kerajaan Sorga” (Mat 4:17). Para imam mengajar umat untuk berperanserta dalam perayaan Liturgi suci sedemikian rupa, sehingga di situ pun umat mencapai doa yang tulus. Para imam menutun mereka, untuk seumur hidup menghayati semangat doa secara makin sempurna, sesuai dengan rahmat serta kebutuhan mereka masing-masing, lagi pula mengajak semua untuk melaksanakan tugas-kewajiban status hidup mereka, serta mengundang mereka yang sudah lebih maju, untuk menghayati nasehat-nasehat Injil, masing-masing menurut caranya sendiri. Selanjutnya para imam mengajar umat beriman, untuk sepenuh hati bernyanyi bagi Tuhan dengan kidung-kidung serta lagu-lagu rohani, sambil senantiasa mengucapkan syukur kepada Allah Bapa atas segala sesuatu demi nama Tuhan kita Yesus Kristus[40].

Para imam sendiri meluas-ratakan puji-pujian serta ucapan syukur yang mereka lambungkan dalam perayaan Ekaristi dengan mendoakan Ibadat Harian pada jam-jam tertentu. Dengan ibadat itu mereka memanjatkan doa-doa kepada Allah atas nama Gereja, bagi segenap jemaat yang dipercayakan kepada mereka, bahkan bagi seluruh dunia.

Rumah ibadat, tempat Ekaristi suci di rayakan dan di semayamkan, umat beriman berkumpul, serta kehadiran Putera Allah Penyelamat kita, yang dikorbankan di atas altar bagi kita, dihormati dengan sembah-sujud demi bantuan serta penghiburan umat beriman, harus rapi teratur dan sungguh cocok untuk upacara-upacara ibadat[41]. Disitu para Gembala dan umat beriman diundang, untuk dengan hati penuh syukur menanggapi anugerah Dia, yang melalui kemanusiaan-Nya tiada hentinya mencurahkan kehidupan ilahi ke dalam anggota-anggota Tubuh-Nya[42]. Hendaknya para imam berusaha mengembangkan dengan tepat pengetahuan dan kesenian Liturgi, supaya berkat pelayanan liturgis mereka, oleh jemaat-jemaat kristiani yang dipercayakan kepada mereka, dipersembahkan pujian yang semakin sempurna kepada Allah, Bapa dan Putera dan Roh Kudus.

6. (para imam, pemimpin umat Allah)

Sementara para imam, sesuai dengan tingkat partisipasi mereka dalam kewibawaan, menunaikan tugas Kristus sebagai Kepala dan Gembala, mereka atas nama uskup menghimpun keluarga Allah sebagai rukun persaudaraan yang sehati sejiwa, dan melalui Kristus mengantarnya dalam Roh menghadap Allah Bapa[43]. Untuk menjalankan pelayanan itu, seperti juga untuk tugas-tugas imam lainnya, dikurniakan kuasa rohani, yang diberikan untuk membangun umat[44]. Seturut teladan Tuhan, dalam membangun Gereja para imam harus bergaul dengan semua orang penuh perikemanusiaan. Janganlah mereka bertindak terhadap mereka mengikuti selera orang-orang[45], melainkan menurut tuntutan-tuntutan ajaran dan hidup kristen, dengan mengajar serta memperingatkan mereka juga sebagai putera-puteri yang terkasih[46], menurut pesan Rasul: Siap-sedialah, entah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegurlah dan nasehatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2Tim 4:2)[47].

Maka termasuk tugas para imam sebagai pembina imanlah, mengusahakan entah secara langsung atau melalui orang-orang lain, supaya mereka yang beriman masing-masing dibimbing dalam Roh Kudus untuk menghayati panggilannya sendiri menurut Injil, untuk secara aktif mengamalkan cinta kasih yang jujur, dan untuk hidup dalam kebebasan yang dikurniakan oleh Kristus kepada kita[48]. Hanya sedikit sajalah manfaat upacara-upacara betapa pun indahnya, atau himpunan-himpunan betapa pun suburnya bila itu semua tidak diarahkan untuk membina orang-orang menuju kedewasaan kristiani[49]. Untuk memupuk kedewasaan itu mereka dibantu oleh para imam, supaya dalam peristiwa-peristiwa besar maupun kecil mampu menangkap apakah yang dituntut oleh situasi, dimanakah letak kehendak Allah. Hendaknya umat kristen dibina juga, supaya jangan hanya hidup untuk diri sendiri, melainkan – menanggapi tuntutan perintah baru tentang cinta kasih – supaya mereka saling berbagi rahmat, sesuai dengan kasih kurnia yang diterima oleh masing-masing[50], dan dengan demikian semua melaksanakan tugas-tugas mereka secara kristiani dalam masyarakat.

Sungguh pun para imam mempunyai kewajiban terhadap semua orang, hendaknya mereka secara istimewa bertanggung jawab atas kaum miskin dan lemah. Sebab Tuhan sendiri menunjukkan, betapa Ia menyatu dengan mereka[51], dan pewartaan Injil kepada mereka merupakan tanda karya Almasih[52]. Hendaknya secara khas pula mereka perhatikan generasi muda, begitu juga para suami-isteri dan orangtua; dihimbau agar mereka berkumpul dalam rukun-rukun persaudaraan, untuk saling membantu, supaya dalam hidup yang sering penuh kesukaran mereka lebih mudah lebih penuh bertindak secara kristiani. Hendaknya para imam menyadari, bahwa semua religius pria maupun wanita merupakan bagian yang istimewa di rumah Tuhan, dan karena itu layak mendapat pelayanan yang khas demi kemajuan rohani mereka, demi kesejahteraan seluruh Gereja. Akhirnya hendaknya mereka penuh keprihatinan terhadap mereka yang sakit dan menjelang ajalnya, mengunjungi mereka, dan meneguhkan mereka dalam Tuhan[53].

Tugas Gembala tidak terbatas pada reksa pastoral terhadap kaum beriman secara perorangan, melainkan sudah sewajarnya diperluas pula untuk membina jemaat kristen yang sejati. Adapun untuk sebagaimana mestinya memupuk semangat menjemaat, semangat itu jangan hanya mencakup Gereja setempat, melainkan harus pula ,eliputi Gereja semesta. Jemaat setempat hanya mengembangkan reksa pastoral umat berimannya sendiri, melainkan digerakkan oleh semangat misioner wajib pula merintis jalan menuju Kristus bagi semua orang. Tetapi jemaat hendaknya secara khas merasa bertanggung jawab atas para katekumen dan baptisan baru, yang langkah demi langkah harus dibina untuk makin mengenal dan menghayati hidup kristen.

Tiada jemaat kristen dibangun tanpa berakar dan berporos pada perayaan Ekaristi suci. Maka disitulah harus dimulai segala pembinaan semangat menjemaat[54]. Supaya perayaan itu sungguh tulus dan mencapai kepenuhannya, harus mendorong umat ke arah pelbagai karya cinta kasih, usaha saling membantu, kebiatan misioner, dan aneka bentuk kesaksian kristiani. Selain itu, melalui cinta kasih, doa, teladan dan ulah pertobatan, jemaat gerejawi menunjukkan keibuannya yang sejati dengan mengantar jiwa-jiwa kepada Kristus. Sebab jemaat merupakan upaya yang efektif, untuk memperlihatkan kepada mereka yang belum beriman atau merintiskan bagi mereka jalan menuju Kristus serta Gereja-Nya, dan untuk membangkitan semangat kaum beriman, memelihara kehidupan mereka, dan meneguhkan mereka bagi perjuangan rohani.

Dalam membangun jemaat kristen para imam tidak pernah bekerja demi suatu ideologi atau bagi suatu partai; melainkan mereka berkarya sebagai pewarta Injil dan gembala Gereja, untuk mendukung pertumbuhan rohani Tubuh Kristus.

II. HUBUNGAN PARA IMAM DENGAN SESAMA

7. (Hubungan para Uskup dan para imam)

Semua imam bersama para Uskup berperanserta menghayati satu imamat dan satu pelayanan Kristus sedemikian rupa, sehingga kesatuan pentakdisan dan perutusan itu sendiri menuntut persekutuan hirarkis mereka dengan Dewan para Uskup[55]. Persekutuan itu kadang-kadang dengan jelas sekali mereka tampilkan dalam konselebrasi Liturgi; di situ sekaligus mereka ungkapkan, bahwa mereka merayakan Perjamuan Ekaristi dalam persatuan dengan para Uskup[56]. Maka para Uskup, berdasarkan kurnia Roh Kudus yang dalam Tahbisan suci dianugerahkan kepada para imam, memandang mereka sebagai pembantu dan penasehat yang sungguh dibutuhkan dalam pelayanan dan tugas mengajar, menguduskan dan menggembalakan umat Allah[57]. Sudah sejak zaman kuno itu di maklumkan oleh dokumen-dokumen liturgi Gereja, yakni bila secara resmi Allah dimohon untuk mencurahkan atas diri imam yang ditahbiskan “roh rahmat dan nasehat, supaya ia membantu dan membimbing umat dengan hati yang bersih”[58], seperti dulu di padang gurun roh Musa telah disalurkan ke dalam hati tujuh puluh pria yang bijaksana[59], “yang dipekerjakan oleh Musa sebagai pembantunya, sehingga ia dengan mudah memimpin umat yang tak terbilang jumlahnya”[60]. Maka karena persekutuan dalam satu imamat dan satu pelayanan itu, hendaknya para Uskup memandang para imam sebagai saudara dan sahabat mereka[61], serta sedapat mungkin memperhatikan kesejahteraan mereka baik jasmani maupun terutama rohani. Sebab terutama merekalah yang menanggung beban tanggung jawab yang cukup berat atas kesucian para imam mereka[62]. Maka hendaknya mereka usahakan sedapat mungkin pembinaan terus-menerus para imam[63]. Hendaknya para Uskup dengan senang hati mendengarkan para imam, bahkan meminta nasehat mereka, dan merundingkan dengan mereka hal-hal, yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan karya pastoral dan kesejahteraan keuskupan. Agar supaya itu sungguh dilaksanakan, hendaknya dengan cara yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang[64], menutut bentuk dan norma-norma yang ditetapkan oleh hukum, dibentuk dewan atau senat para imam[65], yang mewakili semua imam, untuk dengan nasehat-nasehatnya membantu Uskup secara efektif dalam memimpin keuskupannya.

Adapun para imam hendaknya memandang kepenuhan Sakramen Imamat yang ada pada para Uskup, dan dalam diri mereka menghormati kewibawaan Kristus Gembala Tertinggi. Hendaknya mereka berpaut pada Uskup mereka dengan cinta kasih yang tulus dan sikap patuh-taat[66]. Kepatuhan para imam itu, yang diresapi semangat kerja sama, berdasarkan partisipasi mereka dalam pelayanan Uskup, yang diberikan kepada para imam melalui Sakramen Tahbisan dan perutusan kanonik[67].

Zaman kita sekarang persatuan para imam dengan para Uskup semakin dibutuhkan. Sebab sekarang ini, karena pelbagai faktor, usaha-usaha kerasulan tidak hanya perlu mengenakan bermacam-macam bentuk, tetapi juga melampaui batas-batas satu paroki atau keuskupan. Maka tidak seorang imam pun mampu menunaikan tugas perutusannya secara memadai, bila ia bertindak secara tersendiri dan sebagai perorangan. Imam hanya mampu melaksanakan misinya, bila ia berpadu tenaga dengan para imam lainnya, di bawah bimbingan mereka, yang memimpin Gereja.

8. (Persatuan persaudaraan dan kerja sama antara para imam)

Berkat Tahbisan, yang menempatkan mereka pada Tingkat imamat biasa, semua imam bersatu dalam persaudaraan sakramental yang erat sekali. Khususnya dalam keuskupan, yang mereka layani di bawah uskupnya sendiri, mereka merupakan satu presbiterium. Sebab walaupun para imam menjalankan bermacam-macam tugas, mereka hanya mengemban satu imamat demi pengabdian kepada sesama. Sebab semua imam diutus untuk bekerja sama demi hanya satu karya, entah mereka melayani atau menjalankan pelayanan yang melampaui batas-batas paroki, atau mencurahkan tenaga untuk penelitian ilmiah atau untuk menyalurkan ilmu, atau juga menjalankan pekerjaan tangan sambil ikut mengalami nasib para pekerja, bila atas persetujuan Kuasa gerejawi yang berwenang itu dipandang berguna, atau akhirnya menjalankan karya-karya kerasulan lainnya atau kegiatan-kegiatan yang mendukung kerasulan. Semua imam bekerja sama hanya demi satu tujuan, yakni pembangunan Tubuh Kristus, yang khususnya pada zaman sekarang meliputi bermacam-macam tugas serta meminta penyesuaian-penyesuaian baru. Oleh karena itu pentinglah bahwa semua imam, baik diosesan maupun religius, saling membantu, supaya mereka selalu mengerjakan karya bersama demi kebenaran[68]. Jadi setiap imam berhubungan dengan para anggota presbiterium lainnya karena ikatan-ikatan khas cinta kasih rasuli, pelayanan dan persaudaraan. Sudah sejak kuno itu dilambangkan dalam Liturgi, bila imam-imam yang hadir diundang untuk bersama dengan Uskup pentahbis menumpangkan tangan atas calon tahbisan, dan bila mereka bersama, sehati sejiwa, mempersembahkan Ekaristi suci. Maka masing-masing imam dipersatukan dengan rekan-rekannya seimamat karena ikatan cinta kasih, doa dan aneka macam kerja sama; dan demikian tampillah kesatuan, yang seturut kehendak Kristus dengan sempurna menghimpun para murid-Nya, supaya dunia mengetahui Putera diutus oleh Bapa[69].

Maka dari itu hendaknya para imam yang sudah lebih lanjut usia sungguh menerima mereka yang lebih muda sebagai saudara, serta memberi bantuan dalam karya-kegiatan dan kesulitan-kesulitan di masa awal pelayanan mereka, begitu pula mencoba memahami cara berfikir mereka meskipun itu berlainan dengan visi mereka sendiri, serta penuh simpati mengikuti kegiatan-kegiatan yang mereka prakarsai. Begitu pula imam-imam muda hendaknya menghormati usia serta pengalaman para imam yang lebih tua, meminta nasehat mereka tentang hal-hal yang menyangkut reksa pastoral, dan dengan senang hati bekerja sama dengan mereka.

Hendaknya para imam, dijiwai semangat persaudaraan, jangan melalaikan keramahan menjamu[70], memupuk kemurahan hati dan berbagi harta-milik mereka[71], pun terutama menunjukkan sikap prihatin terhadap mereka yang sakit, tertimpa kesedihan, tertekan oleh beban kerja yang terlampau berat, merasa kesepian, merantau jauh dari tanah air, dan mengalami penganiayaan[72]. Hendaknya mereka dengan senang hati dan gembira berkumpul juga untuk menyegarkan jiwa, seraya mengenangkan sabda undangan Tuhan sendiri kepada Rasul yang sudah lelah: “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah sejenak!” (Mrk 6:31). Kecuali itu, supaya para imam dapat saling membantu mengembangkan hidup rohani dan intelektual, supaya mereka mampu bekerja sama semakin baik dalam pelayanan, serta terhindarkan dari bahaya-bahaya kesepian yang barangkali muncul, hendaknya dikembangkan kehidupan bersama atau rukun hidup antara mereka. Kebersamaan hidup itu dapat mempunyai berbagai bentuk, menurut beranekanya kebutuhan-kebutuhan pribadi maupun pastoral; misalnya: bersama-sama tinggal serumah bila itu mungkin, atau makan bersama, atau setidak-tidaknya seringkali atau secara berkala mengadakan pertemuan. Hendaknya sungguh dihargai dan dikembangkan dengan tekun pula perserikatan-perserikatan, dikukuhkan dengan anggaran dasar atas persetujuan Kuasa gerejawi yang berwenang, dengan maksud mendorong para imam menuju kesucian melalui praktek pelayanan mereka, dan dengan demikian melayani seluruh jajaran para imam, melalui tata hidup yang sesuai dan disetujui bersama maupun bantuan timbal balik secara persaudaraan.

Akhirnya, berdasarkan persekutuan dalam imamat, hendaknya para imam menyadari, bahwa mereka mempunyai kewajiban-kewajiban istimewa terhadap mereka yang sedang mengalami kesukaran-kesukaran. Hendaknya mereka itu di tolong pada waktunya, bila perlu juga melalui peringatan yang bijaksana. Mereka yang jatuh dalam kesalahan-kesalahan tertentu hendaknya selalu ditampung dengan cinta kasih persaudaraan dan kebesaran jiwa. Para imam hendaknya secara intensif memanjatkan doa kepada Allah bagi mereka itu, serta selalu menghadapi mereka sebagai saudara dan sahabat.

9. (Hubungan para imam dengan kaum awam)

Karena Sakramen Tahbisan para imam Perjanjian Baru menunaikan tugas sebagai bapa dan guru, yang amat luhur dan penting sekali dalam dan bagi umat Allah. Akan tetapi bersama sekalian orang beriman mereka sekaligus menjadi murid-murid Tuhan, yang berkat rahmat panggilan Allah diikutsertakan dalam kerajaan-Nya[73]. Sebab bersama siapa saja yang telah lahir kembali karena Baptis, para imam menjadi sesama saudara[74], sebagai anggota satu Tubuh Kristus yang sama, yang pembangunannya diserahkan kepada semua anggota[75].

Oleh karena itu para imam harus memimpin umat sedemikian rupa, sehingga mereka tidak mencari kepentingan sendiri, melainkan kepentingan Yesus Kristus[76], bekerja sama dengan umat beriman awam, dan ditengah mereka membawakan diri menurut teladan Sang Guru, yang diantara sesama “tidak datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani, dan menyerahkan nyawa-Nya demi penebusan banyak orang” (Mat 20:28). Hendaknya para imam dengan tulus mengakui dan mendukung martabat kaum awam beserta bagian perutusan Gereja yang diperuntukkan bagi mereka. Hendaknya para imam sungguh-sungguh menghormati pula kebebasan sewajarnya, yang menjadi hak semua orang di dunia ini. Hendaknya mereka dengan senang hati mendengarkan kaum awam, secara persaudaraan mempertimbangkan keinginan-keinginan mereka, dan mengakui nilai pengalaman maupun kecakapan mereka di pelbagai bidang kegiatan manusia, supaya mereka mampu mengenali tanda-tanda zaman. Sementara menguji roh-roh apakah memang berasal dari Allah[77], hendaknya imam-imam dalam cita-rasa iman menemukan sekian banyak karisma kaum awam, yang bersifat lebih sederhana maupun yang lebih tinggi, mengakuinya dengan gembira, serta dengan seksama mendukung pengembangannya. Diantara anugerah-anugerah Allah alinnya, yang terdapat melimpah dikalangan umat beriman, layak dipelihara secara khas kurnia-kurnia, yang menyebabkan tidak sedikit diantara mereka merasa tertarik ke arah hidup rohani yang lebih mendalam. Begitu pula hendaknya para imam penuh kepercayaan menyerahkan kepada kaum awam tugas-tugas pengabdian kepada Gereja, sambil memberi mereka kebebasan serta ruang gerak, bahkan mengundang mereka juga, untuk atas kerelaan sendiri memanfaatkan peluang yang baik dengan memulai kegiatan-kegiatan[78].

Selanjutnya para imam ditempatkan di tengah kaum awam, untuk mengantarkan semua kepada kesatuan cinta kasih, “sambil saling mengasihi sebagai saudara, dan saling mendahului dalam memberi hormat” (Rom 12:10). Jadi termasuk tugas merekalah memperpadukan berbagai mentalitas sedemikian rupa, sehingga dalam jemaat beriman tidak seorang pun merasa diri terasing. Para imam menjadi pembela kesejahteraan umum, yang atas nama Uskup harus mereka usahakan, pun serta merta pendukung kebenaran yang gigih, supaya umat beriman jangan diombang-ambingkan oleh bermacam-macam angin pengajar[79]. Kepada keprihatinan mereka yang istimewa dipercayakan pula mereka, yang telah meninggalkan penerimaan Sakramen-sakramen, bahkan barangkali iman mereka juga. Hendaknya selaku gembala yang baik para imam jangan lupa mengunjungi mereka. Seraya mengindahkan peraturan-peraturan tentang ekumenisme[80], hendaknya para imam jangan melupakan saudara-saudari, yang belum berada dalam persekutuan gerejawi sepenuhnya dengan kita.

Akhirnya, hendaknya para imam menyadari tanggung jawab mereka pula atas mereka semua, yang tidak mengenal Kristus sebagai Penyelamat mereka.

Adapun umat beriman hendaknya menyadari, bahwa mereka mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap para imam mereka, dan karena itu penuh kasih menghadapi mereka sebagai gembala-gembala serta bapa-bapanya. Begitu pula, sementara ikut merasakan keprihatinan para imam, hendaknya umat sedapat mungkin membantu mereka dengan doa maupun kegiatan, supaya mereka mampu mengatasi kesukaran-kesukaran mereka dengan lebih lancar, dan lebih berhasil juga dalam menjalankan tugas-tugas mereka[81].

III. PENYEBARAN PARA IMAM DAN PANGGILAN-PANGGILAN IMAM

10. (Penyebaran para imam)

Kurnia rohani, yang oleh para imam telah diterima pada pentahbisan mereka, tidak menyiapkan mereka untuk suatu perutusan yang terbatas dan dipersempit, melainkan untuk misi keselamatan yang luas sekali dan universal “sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8). Sebab pelayanan imam manapun juga ikut memiliki jangkauan luas dan universal perutusan, yang oleh Kristus dipercayakan kepada para Rasul. Sebab Imamat Kristus, yang sungguh-sungguh ikut dihayati oleh para imam, tidak dapat lain kecuali ditujukan kepada semua bangsa di segala zaman, dan tak mungkin dipersempit oleh batas-batas suku, bangsa atau kurun waktu, seperti secara gaib dipralambangkan dalam pribadi Melkisedekh[82]. Maka hendaknya para imam menyadari, bahwa mereka wajib mengindahkan keprihatinan semua jemaat. Oleh karena itu para imam keuskupan-keuskupan, yang lebih kaya panggilan, hendaknya dengan sukarela menyediakan diri, seijin atau atas anjuran Ordinaris mereka, untuk melaksanakan pelayanan mereka di kawasan-kawasan, daerah-daerah misi, atau dalam karya-karya, yang serba kekurangan imam.

Selain itu hendaknya norma-norma tentang inkardinasi dan ekskardinasi ditinjau kembali sedemikan rupa, sehingga unsur kelembagaan yang sudah kuno itu, kendati tetap lestari, toh lebih kena menanggapi kebutuhan-kebutuhan pastoral zaman sekarang. Tetapi di mana pun kondisi kerasulan membutuhkannya, hendaknya dipermudah saja bukan hanya penyebaran para imam untuk sungguh menanggapi situasi, melainkan juga karya-karya pastoral yang khas untuk bermacam-macam kelompok sosial, yang perlu dilaksanakan di kawasan atau negara tertentu, atau di daerah manapun juga. Dapat berguna pula mendirikan beberapa seminari internasional, diosis-diosis atau prelatura-prelatura personal yang khusus, atau lembaga-lembaga semacam itu. Dengan cara-cara yang perlu ditetapkan bagi masing-masing usaha, dan tanpa pernah mengurangi hak-hak para ordinaris setempat, imam-imam dapat bergabung atau diinkardinasi pada lembaga-lembaga itu demi kesejahteraan Gereja semesta.

Akan tetapi, ke daerah baru, terutama bila bahasa maupun adat istiadatnya belum dikenal dengan baik, hendaknya para imam sedapat mungkin dapat di utus seorang demi seorang, melainkan seturut teladan para murid Kristus[83], sekurang-kurangnya berdua atau bertiga, supaya dengan demikian mereka saling membantu. Begitu pula cukup pentinglah bahwa hidup rohani mereka sungguh-sungguh dipelihara, pun juga kesehatan jiwa raga mereka. Selain itu, sejauh mungkin hendaknya bagi mereka masing-masing. Penting sekali jugalah, bahwa mereka yang melawat ke bangsa yang baru, berusaha mengenal dengan baik bukan saja bahasa daerah itu, melainkan juga sifat perangai psikologis maupun sosial yang khas bagi bangsa itu. Kalau memang mereka bermaksud melayaninya dengan kerendahan hati, mereka harus dapat berkomunikasi sesempurna mungkin dengannya, menganut teladan rasul Paulus yang menyatakan tentang dirinya: “Sungguh pun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba bagi semua orang, supaya aku boleh memperoleh mereka sebanyak mungkin. Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memperoleh orang-orang Yahudi …” (1Kor 9:19-20).

11. (Usaha para imam untuk mendapat penggilan-panggilan imam)

Sang Gembala dan Pemelihara jiwa-jiwa[84] sedemikian rupa mendirikan Gereja-Nya, sehingga umat yang telah di pilih dan diperoleh-Nya dengan Darah-Nya[85] senantiasa dan hingga akhir zaman harus memiliki imam-imamnya, supaya jangan pernahlah umat kristen bagaikan domba tanpa gembala[86]. Memahami kehendak Kristus itu, para Rasul, atas dorongan Roh Kudus, memandang sebagai kewajiban mereka memilih pelayan-pelayan, “yang akan cakap juga untuk mengajar orang-orang lain” (2Tim 2:2). Kewajiban itu pasti termasuk perutusan imamat juga. Karena misi itu lah pula imam ikut serta merasakan keprihatinan Gereja semesta, supaya jangan pernah umat Allah di dunia kekurangan pekerja-pekerja. Akan tetapi, karena “pengemudi kapal dan para penumpangnya … mempunyai kepentingan bersama”[87], maka hendaknya segenap umat kristen diajak memahami kewajibannya untuk dengan aneka cara menyumbangkan usahanya, dengan berdoa terus-menerus, begitu pula melalui upaya-upaya lain yang tersedia bagi mereka[88], supaya Gereja selalu mempunyai imam-imam, yang sungguh diperlukan untuk menjalankan misinya yang ilahi. Pertama-tama hendaknya para imam memperhatikan sepenuhnya, supaya melalui pelayanan sabda maupun kesaksian hidup mereka sendiri, yang jelas menampilkan semangat pengabdian dan kegembiraan Paska yang sejati, mereka mengajak umat beriman menyadari keluhuran serta mutlak perlunya imamat. Dan bila ada pemuda-pemuda atau mereka yang sudah lebih dewasa, yang – menurut penilaian para imam yang cermat-bijaksana – memang cakap untuk pelayanan seagung itu, hendaknya mereka, – tanpa menghemat usaha atau memperhitungkan jerih-payah – membantu para pemuda itu, supaya menyiapkan diri dengan baik, dan kemudian suatu ketika , tanpa mengurangi kebebasan mereka sepenuhnya lahir maupun batin, dapat dipanggil oleh para Uskup. Guna mencapai tujuan itu bermanfaat sekalilah bimbingan rohani yang tekun dan bijaksana. Para orangtua dan guru-guru, serta siapa saja yang dengan suatu cara atai lain berkecimpung dalam pendidikan anak-anak dan kaum muda, hendaknya mendidik mereka sedemikian rupa, sehingga mereka memahami keprihatinan Tuhan terhadap kawanan-Nya, memikirkan kebutuhan-kebutuhan Gereja, dan siap sedia untuk dengan kebesaran jiwa menjawab Tuhan yang memanggil mereka, bersama nabi: “Lihatlah aku, utuslah aku” (Yes 6:8). Akan tetapi jangan sekali-kali diharapkan, seolah-olah sabda panggilan Tuhan itu menyapa hati si calon imam dengan cara yang luar biasa. Sebab sabda itu harus ditangkap serta dipertimbangkan berdasarkan isyarat-isyarat, yang setiap hari memperkenalkan kehendak Allah kepada orang-orang kristen bijaksana. Dan tanda-tanda itu hendaknya dipertimbangkan dengan saksama oleh para imam[89].

Oleh karena itu kepada mereka sangat dianjurkan Karya-karya panggilan, pada tingkat keuskupan maupun pada tingkat nasional[90]. Dalam kotbah-kotbah, dalam katekese, melalui majalah-majalah, perlu diuraikan dengan jelas kebutuhan-kebutuhan Gereja setempat maupun Gereja semesta. Arti maupun keluhuran pelayanan imam hendaknya dipaparkan sejelas-jelasnya. Sebab dalam pelayanan itulah beban-beban yang amat berat berpadu dengan kegembiraan yang meluap; dan dalam pelayanan itu – menurut ajaran Bapa Gereja – terutama dapat diberikan kepada Kristus kesaksian cinta kasih yang sungguh agung[91].

BAB TIGA – KEHIDUPAN PARA IMAM

I. PANGGILAN PARA IMAM UNTUK KESEMPURNAAN

12. (Panggilan para imam untuk kesucian)

Karena Sakramen Tahbisan para imam dijadikan secitra dengan Kristus Sang Imam, sebagai pelayan Sang Kepala, untuk membentuk dan membangun seluruh Tubuh-Nya, yakni Gereja, sebagai rekan-rekan kerja Tingkat para Uskup. Sudah pada pentakdisan Babtis mereka, seperti semua orang beriman, menerima tanda serta kurnia panggilan dan rahmat seagung itu, sehingga ditengah kelemahan manusiawi pun[92], mereka mampu dan harus menuju kesempurnaan, menurut amanat Tuhan: “Hendaknya kalian menjadi sempurna, seperti Bapamu di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48). Para imam wajib mencapai kesempurnaan itu berdasarkan alasan yang khas, yakni: karena dengan menerima Tahbisan mereka secara baru ditakdiskan kepada Allah. Mereka menjadi sarana yang hidup bagi kristus Sang Imam Abadi, untuk dapat melangsungkan di sepanjang masa karya-Nya yang mengagumkan, yang dengan kekuatan adikodrati telah mengembalikan keutuhan segenap umat manusia[93]. Maka karena setiap imam dengan caranya sendiri membawakan pribadi Kristus sendiri, maka ia diperkaya juga dengan rahmat istimewa, agar supaya dengan melayani jemaat yang diserahkan kepadanya serta segenap umat Allah, ia lebih mampu menuju kesempurnaan Dia, yang peranan-Nya dihadirkan olehnya, dan supaya kelemahan manusia daging disembuhkan oleh kesucian Dia, yang bagi kita telah menjadi Imam Agung, “kudus, tidak mengenal dosa, tanpa noda, terpisahkan dari kaum pendosa” (Ibr 7:26).

Kristus, yang oleh Bapa telah disucikan atau ditakdiskan dan diutus ke dunia[94], “telah menyerahkan Diri bagi kita, untuk menebus kita dari segala kejahatan, dan untuk menguduskan bagi Dirinya suatu umat milik-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik” Itit 2:14); demikianlah melalui kesengsaraan-Nya Kristus telah memasuki kemuliaan-Nya[95]. Begitu pula para imam, yang ditakdiskan dengan pengurapan Roh Kudus dan diutus oleh Kristus, mematikan dalam diri mereka perbuatan daging, dan membaktikan diri seutuhnya dalam pengabdian kepada sesama, dan dengan demikian mampu melangkah maju dalam kesucian, yang telah mereka terima dalam Kristus, menuju kedewasaan penuh[96].

Oleh karena itu, sambil menunaikan pelayanan Roh dan keadilan, para imam, asal membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kristus yang menghidupkan dan menuntun mereka, makin diteguhkan dalam kehidupan roh. Sebab melalui kegiatan Liturgi setiap hari, begitu pula melalui seluruh pelayanan mereka, yang mereka jalankan dalam persekutuan dengan Uskup maupun rekan-rekan imam, mereka sendiri menuju kesempurnaan hidup. Kekudusan para imam besar sekali artinya untuk dengan subur menjalankan pelayanan mereka. Sebab, sungguh pun rahmat Allah juga melalui pelayan-pelayan yang tak pantas mampu melaksanakan karya keselamatan, tetapi lazimnya Allah memilih menampilkan karya-karya agung-Nya melalui mereka, yang lebih terbuka bagi dorongan dan bimbingan Roh Kudus, dan karena persatuan mereka yang mesra dengan kristus serta kekudusan perihidup, bersama Rasul dapat menyatakan: “Aku hidup, bukan lagi aku, melainkan Kristuslah yang hidup dalam diriku” (Gal 2:20).

Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan-tujuan pastoralnya, yakni pembaharuan Gereja ke dalam, penyebaran Injil ke seluruh dunia, lagi pula dialog dengan dunia zaman sekarang, Konsili ini sungguh-sungguh mengajak semua imam: hendaknya mereka dengan memanfaatkan upaya-upaya yang cocok seperti telah dianjurkan oleh gereja[97], selalu berusaha menuju kekudusan yang semakin luhur, sehingga dari hari ke hari mereka menjadi sarana yang makin sesuai dalam pengabdian kepada segenap umat Allah.

13. (Pelaksanaan ketiga fungsi imamat menuntut dan sekaligus mendukung kesucian)

Pada hakekatnya para imam akan mencapai kesucian dan menunaikan tugas-tugas mereka dalam Roh Kristus, secara tulus dan tanpa mengenal lelah.

Sebab karena mereka itu pelayan sabda Allah, maka setiap hari mereka membaca dan mendengarkan sabda Allah, yang wajib mereka sampaikan pada sesama. Bila mereka sekaligus berusaha meresapkannya dalam hati, mereka akan menjadi murid-murid Tuhan yang kian sempurna, seturut pesan Rasul Paulus kepada Timoteus: “Renungkanlah semuanya itu, hiduplah di dalamnya, supaya kemajuanmu nyata bagi semua orang. Awasilah dirimu sendiri dan ajaranmu; bertekunlah dalam semuanya itu. Sebab dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan mereka yang mendengar engkau” (1Tim 4:15-16). Karena seraya mencari bagaimana dapat menyalurkan lebih baik kepada sesama apa yang telah mereka renungkan[98], maka akan secara lebih mendalam menikmati “kekayaan kristus yang tidak terselami” (Ef 3:8) dan pelbagai ragam hikmat Allah[99]. Sementara tetap menyadari, bahwa Tuhanlah yang membuka hati orang-orang[100], dan keluhuran sabda tidak berasal dari mereka sendiri, melainkan dari kekuatan Allah[101], dalam kegiatan menyalurkan sabda sendiri mereka akan lebih erat bersatu dengan Kristus Sang Guru dan dibimbing oleh Roh-Nya. Bila demikian mereka bergaul dengan Kristus, mereka ikut serta mengalami cinta kasih Allah, yang misteri-Nya yang tersembunyi sejak kekal[102] telah diwahyukan dalam Kristus.

Sebagai pelayan Liturgi, terutama dalam korban Ekaristi, para imam secara khas membawakan Pribadi Kristus, yang telah menyerahkan diri sebagai korban demi pengudusan manusia. Itulah sebabnya, mengapa mereka di undang, untuk ikut ikut menghayati apa yang mereka laksanakan: sementara merayakan misteri wafat Tuhan, hendaknya mereka berusaha mematikan anggota-anggota tubuh mereka dari cacat-cela dan nafsu-nafsu[103]. Dalam misteri korban Ekaristi, saat para imam melaksanakan tugas utama mereka, karya penebusan kita terus-menerus diwujudkan[104]. Maka dari itu sangat dianjurkan, supaya Ekaristi dirayakan setiap hari, yang meskipun tidak dihadiri oleh umat beriman, tetapi tetap merupakan tindakan Kristus dan Gereja[105]. Begitulah, sementara para imam menggabungkan diri dengan tindakan Kristus Sang Imam, mereka setiap hari mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah, dan seraya menyambut Tubuh Kristus, mereka dengan ketulusan hati ikut mengalami cinta kasih Dia, yang mengurniakan Diri sebagai santapan kepada umat beriman. Begitu pula dalam melayani Sakramen-sakramen mereka menyatukan diri dengan maksud dan cinta kasih Kristus. Secara khusus itu mereka jalankan, bila mereka nampak bersedia sepenuhnya dan selalu untuk melayani Sakramen Tobat, setiap kali itu secara wajar diminta oleh umat beriman. Dalam mendoakan ibadat harian mereka menyuarakan maksud Gereja, yang atas nama seluruh umat manusia bertabah dalam doa, dalam persatuan dengan Kristus, yang “senantiasa hidup untuk menjadi pengantara kita” (Ibr 7:25).

Sambil membimbing dan menggembalakan umat Allah, para imam didororng oleh Sang Gembala Baik, untuk menyerahkan nyawa mereka demi domba-domba mereka[106], pun siap sedia juga untuk pengorbanan yang paling luhur, mengikuti teladan para imam, yang pada zaman sekarang pun tidak menolak untuk mengorbankan hidupnya. Sebagai pembina imam mereka sendiri “penuh keberanian untuk memasuki tempat yang kudus dalam Darah Kristus” (Ibr 10:19), dan menghadap Allah “dengan hati yang tulus ikhlas dalam kepenuhan iman” (Ibr 10:22). Mereka mempunyai harapan yang teguh bagi jemaat beriman mereka[107]], untuk dapat menghibur siapa saja yang mengalami bermacam-macam tekanan, dengan hiburan-hiburan, seperti mereka sendiri juga dihibur oleh Allah[108]. Selaku pemimpin jemaat mereka menjalankan askese yang khas bagi gembala jiwa-jiwa, dengan mengesampingkan keuntungan-keuntungan pribadi, tanpa mencari apa yang berfaedah bagi diri mereka, melainkan dengan mengusahakan apa yang bermanfaat untuk banyak orang, supaya mereka diselamatkan[109]. Mereka tetap melangkah maju untuk menunaikan reksa pastoral secara lebih sempurna, dan bila diperlukan, bersedia menempuh cara-cara berpastoral yang baru, dibawah bimbingan Roh cinta kasih, yang “bertiup ke mana Ia berkenan”[110].

14. (Keutuhan dan keselarasan kehidupan para imam)

Di dunia zaman sekarang banyak sekali tugas yang harus dijalankan, dan sangat beranekalah masalah-persoalan yang mencemaskan orang-orang serta sering kali perlu segera mereka pecahkan, sehingga tidak jarang mereka terancam bahaya terombang-ambingkan kian-kemari. Para imam sendiri, yang terlibat dalam tugas-kewajiban yang bertubi-tubi dan terbagi-bagi perhatiannya, dengan cemas dapat bertanya-tanya, bagaimana mereka mampu memperpadukan kehidupan batin dengan kegiatan lahiriah mereka. Keutuhan hidup itu tidak tercapai melulu dengan mengatur secara lahiriah karya-karya pelayanan, pun tidak melalui praktek latihan-latihan rohani semata-mata, betapa pun itu semua ikut mendukung keselarasan hidup. Tetapi para imam mampu mewujudkan keutuhan itu, bila dalam menjalankan pelayanan mereka mengikuti teladan Kristus Tuhan, yang makanan-Nya ialah: menjalankan kehendak Bapa, yang mengutus-Nya untuk menyelesaikan karya-Nya[111].

Memang benarlah, untuk tiada hentinya menjalankan kehendak Bapa itu di dunia melalui Gereja, Kristus berkarya dengan pengantara para pelayan-Nya. Oleh karena itu Ia tetep menjadi dasar dan sumber keutuhan hidup mereka, bila mereka menyatukan diri dengan kristus dalam mengenal kehendak Bapa, maupun dalam penyerahan diri mereka bagi kawanan yang menjadi tanggung jawab mereka[112]. Demikianlah, dengan menjalankan peranan Sang Gembala Baik, mereka akan menemukan dalam pengalaman cinta kasih kegembalaan itu sendiri ikatan kesempurnaan imamat, yang akan menyatukan kehidupan serta kegiatan mereka. Cinta kasih kegembalaan itu[113] terutama bersumber pada korban Ekaristi, yang karena itu menjadi pusat dan dasar akar seluruh kehidupan imam, sehingga semangat imamat berusaha meresapkan dalam dirinya apa yang berlangsung di atas altar pengorbanan. Dan itu hanyalah tercapai, bila para imam sendiri melalui doa kian mendalam menyelami misteri kristus.

Untuk dapat mewujudkan keutuhan hidup mereka secara konkrit juga, hendaknya para imam mempertimbangkan segala usaha mereka dengan menilai, di manakah letak kehendak Allah[114], artinya: manakah kesesuaian antara kegiatan-kegiatan itu dengan kaidah-kaidah perutusan Gereja menurut Injil. Sebab kesetiaan terhadap Kristus tidak terceraikan dari kesetiaan terhadap Gereja-Nya. Maka cinta kasih kegembalaan meminta, supaya para imam selalu berkarya dalam ikatan persekutuan dengan para Uskup serta saudara-saudara seimamat lainnya, supaya mereka jangan percuma saja menjalankan kegiatan mereka[115]. Dengan bertindak begitu para imam akan menemukan keutuhan hidup mereka sendiri justru dalam kesatuan perutusan Gereja. Begitulah mereka akan dipersatukan dengan Tuhan mereka, dan melalui Dia dengan Bapa, dalam Roh Kudus, sehingga dapat menikmati hiburan rohani serta kegembiraan yang meluap[116].

II. TUNTUTAN-TUNTUTAN ROHANI YANG KHAS DALAM KEHIDUPAN IMAM

15. (Kerendahan hati dan ketaatan)

Diantara keutamaan-keutamaan yang perlu sekali bagi pelayanan para imam layaklah disebutkan sikap hati yang selalu bersedia bukan untuk mencari kehendak sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus mereka[117]. Sebab karya ilahi – untuk melaksanakan itu mereka telah dikhususkan oleh Roh Kudus[118] – melampaui semua kekuatan manusiawi. “Apa yang lemah bagi dunia, dipilih oleh Allah, untuk memalukan yang kuat” (1Kor 1:27). Maka menyadari kelemahannya sendiri, pelayan Kristus yang sejati bekerja dengan rendah hati, mempertimbangkan apa yang berkenan kepada Allah[119], dan, bagaikan tawanan Roh[120]] dalam segalanya dibimbing oleh kehendak Dia, yang menghendaki keselamatan semua orang. Kehendak itu dapat ditemukan dan dilaksanakannya dalam situasi sehari-hari, dengan melayani dalam kerendahan hati mereka semua, yang oleh Allah dipercayakan kepadanya, dalam tugas yang menjadi tanggungannya dan dalam bermacam-macam peristiwa hidupnya.

Karena pelayanan imamat itu pelayanan Gereja sendiri, maka hanya dapat dilaksanakan dalam persekutuan hirarkis seluruh Tubuh. Maka cinta kasih kegembalaan mendesak para imam, untuk dalam rangka persekutuan itu melalui ketaatan membaktikan kehendak mereka sendiri dalam pengabdian kepada Allah dan sesama, sambil menerima dan menjalankan dalam semangat iman apa yang diperintahkan atau dianjurkan oleh Paus dan oleh Uskup mereka sendiri serta oleh para pemimpin lainnya; sambil dengan sukarela mengorbankan kemampuan dan bahkan diri mereka sendiri[121], dalam tugas manapun yang dipercayakan kepada mereka, juga dalam tugas yang agak rendah dan tidak terpandang. Sebab dengan demikian mereka melestarikan dan memantapkan kesatuan yang diperlukan dengan rekan-rekan mereka sepelayanan, terutama dengan mereka, yang oleh Tuhan ditetapkan sebagai pemimpin-pemimpin Gereja-Nya yang kelihatan; dan mereka berkarya demi pembangunan Tubuh Kristus, yang bertumbuh “melalui segala sendi-sendi pelayanan”[122]. Ketaatan itu, yang mengantar kepada kebebasan yang lebih dewasa putera-putera Allah, pada hakekatnya supaya para imam – sementara dalam menunaikan tugas mereka, terdorong oleh cinta kasih, mereka dengan bijaksana merintis jalan-jalan baru untuk meningkatkan kesejahteraan Gereja, – penuh kepercayaan mengemukakan prakarsa-prakarsa mereka, serta menekankan kebutuhan-kebutuhan jemaat yang diserahkan kepada mereka, tetapi selalu bersedia pula mematuhi keputusan mereka, yang menjalankan fungsi utama dalam kepemimpinan Gereja Allah.

Melalui kerendahan hati serta ketaatan yang sukarela dan penuh tanggung jawab itu para imam menjadi secitra dengan kristus, penuh citarasa seperti terdapat pada Kristus Yesus, yang “mengosongkan Diri dengan mengenakan penampilan seorang hamba … menjadi taat sampai mati” (Flp 2:7-9); Dia, yang dengan ketaatan-Nya itu telah mengalahkan dan menebus ketidaktaatan Adam, menurut sabda Paulus: “Karena ketidak-taatan satu orang banyak orang telah menjadi pendosa; begitu pula karena ketaatan satu orang banyak orang menjadi benar” (Rom 5:19).

16. (Selibat: diterima dan dihargai sebagai kurnia)

Pantang sempurna dan seumur hidup demi Kerajaan Sorga telah dianjurkan oleh kristus Tuhan[123], dan di sepanjang masa, juga zaman sekarang ini, oleh banyak orang kriten telah diterimakan dengan sukarela dan dihayati secara terpuji. Pantang itu oleh Gereja selalu sangat dijunjung tinggi bagi kehidupan imam. Sebab merupakan lambang dan sekaligus dorongan cinta kasih kegembalaan, serta sumber istimewa kesuburan rohani di dunia[124]. Memang pantang itu tidak dituntut oleh imamat berdasarkan hakekatnya, seperti ternyata juga dari praktek Gereja Purba[125] dan dari tradisi Gereja-Gereja Timur. Di situ, kecuali mereka, yang bersama semua Uskup berkat kurnia rahmat memilih menghayati selibat, terdapat juga imam-imam beristeri yang besar sekali jasanya. Sementara menganjurkan selibat gerejawi, Konsili ini sama sekali tidak bermaksud merubah tata tertib yang berbeda, yang berlaku secara sah di Gereja-Gereja Timur. Konsili penuh kasih mendorong mereka semua, yang telah menerima imamat dalam perkawinan, supaya mereka tabah dalam panggilan suci, dan tetap harus membaktikan hidup mereka sepenuhnya serta dengan tulus ikhlas kepada kawanan yang diserahkan kepada mereka[126].

Tetapi ditinjau dari pelbagai sudut selibat mempunyai kesesuaian dengan imamat. Sebab perutusan imam seutuhnya dibaktikan dalam pengabdian kepada kemanusiaan baru, yang oleh Kristus yang jaya atas maut melalui Roh-Nya dibangkitkan di dunia, dan berasal “bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah” (Yoh 1:13). Dengan menghayati keperawanan atau selibat demi Kerajaan Sorga[127], para imam secara baru dan luhur dikuduskan bagi kristus. Mereka lebih mudah berpaut pada-Nya dengan hati tak terbagi[128], lebih bebas dalam kristus dan melalui Dia membaktikan diri dalam pengabdian kepada Allah dan sesama, lebih lancar melayani kerajaan-Nya serta karya kelahiran kembali adikodrtai, dan dengan demikian menjadi lebih cakap untuk menerima secara lebih luas kebapaan dalam kristus. Jadi dengan demikian mereka menyatakan dihadapan umum, bahwa mereka bermaksud seutuhnya membaktikan diri kepada tugas yang dipercayakan kepada mereka, yakni mempertunangkan umat beriman dengan satu Pria, dan menghadapkan mereka sebagai perawan murni kepada Kristus[129]. Demikianlah mereka membangkitkan kesadaran akan perkawinan penuh rahasia, yang telah diciptakan oleh Allah dan di masa depan akan ditampilkan sepenuhnya, yakni bahwa Gereja hanya mempunyai Kristus sebagai Mempelai satu-satunya[130]. Kecuali itu mereka menjadi lambang hidup dunia yang akan datang, tetapi sekarang sudah hadir melalui iman dan cinta kasih: di situ puteri-puteri kebangkitan tidak akan menikah dan dinikahkan[131].

Karena alasan-alasan yang di dasarkan pada misteri Kristus serta perutusannya itulah, maka selibat, yang semula dianjurkan kepada para imam, kemudian dalam Gereja Latin di wajibkan berdasarkan hukum bagi siapa saja, yang akan menerima Tahbisan suci. Mengenai mereka yang diperuntukkan bagi imamat, ketetapan hukum itu oleh Konsili suci ini sekali lagi disetujui dan dikukuhkan. Konsili percaya, bahwa kurnia selibat, yang begitu cocok bagi imamat Perjanjian Baru, dalam Roh akan dikurniakan penuh kemurahan oleh Bapa, dan yang begitu jelas dipuji oleh Tuhan[132], serta tetap menyadari misteri-misteri agung, yang dilambangkan dan diwujudkan olehnya. Semakin pantang di dunia masa kini oleh banyak orang dianggap mustahil, semakin para imam dengan tabah dan rendah hati akan memohon bersama dengan Gereja rahmat kesetiaan, yang selalu akan dikurniakan kepada mereka yang memohonnya. Sementara itu hendaknya mereka memanfaatkan segala bantuan adikodrati maupun kodrati, yang tersedia bagi semua orang. Terutama pedoman-pedoman askese, yang sudah teruji berkat pengalaman Gereja, dan yang di dunia sekarang tetap dibutuhkan, hendaknya tetap mereka laksanakan. Oleh karena itu Konsili suci ini meminta bukan saja kepada para imam, melainkan kepada segenap umat beriman, supaya mereka tetap menjunjung tinggi anugerah selibat imam yang begitu berharga, dan supaya mereka semua memohon kepada Allah, supaya Ia selalu menganugerahkan kurnia itu secara melimpah kepada gereja-Nya.

17. (Sikap terhadap dunia dan harta duniawi – Kemiskinan sukarela)

Melalui pergaulan persahabatan dan persaudaraan antar mereka sendiri dan dengan orang-orang lain, para imam dapat belajar mengembangkan nilai-nilai manusiawi dan menghargai ciptaan-ciptaan sebagai kurnia Allah. Tetapi selama hidup di dunia hendaknya mereka selalu menyadari bahwa seturut sabda Tuhan Guru kita mereka bukanlah dari dunia[133]. Maka sambil menggunakan hal-hal duniawi seolah-olah tidak menggunakannya[134], mereka akan mencapai kebebasan dari segala kesibukan yang tak teratur, dan akan lebih terbuka untuk mendengarkan sabda ilahi dalam hidup sehari-hari. Dari kebebasan dan sikap terbuka itu tumbuhlah sikap penegasan rohani, yang membantu mereka menemukan sikap yang tepat terhadap dunia dan harta duniawi. Bagi para imam sikap itu penting sekali, sebab perutusan Gereja memang berlangsung di tengah dunia, lagi pula hal-hal tercipta memang sungguh dibutuhkan bagi perkembangan pribadi manusia. Maka hendaknya mereka penuh rasa syukur atas segala sesuatu, yang mereka terima dari Bapa di Sorga untuk hidup secara layak. Akan tetapi mereka perlu mempertimbangkan dalam cahaya iman segala sesuatu yang mereka alami, supaya mereka menemukan cara yang tepat untuk menggunakan hal-hal duniawi sesuai dengan kehendak Allah, dan menolak segala sesuatu yang merugikan perutusan mereka.

Sebab para imam Tuhan sendirilah “bagian dan milik pusaka” (Bil 18:20). Maka mereka harus menggunakan hal-hal duniawi hanya demi tujuan-tujuan yang sungguh halal menurut ajaran Kristus Tuhan dan peraturan Gereja.

Mengenai harta milik yang sungguh bersifat gerejawi: hendaklah para imam sebagamana mestinya mengurusi harta itu menurut katentuan hukum kanonik, sedapat mungkin dengan bantuan para awam yang ahli. Hendaknya milik itu selalu mereka peruntukkan bagi tujuan-tujuan, yang memang boleh diusahakan oleh Gereja, dan menghalalkan harta-milik itu baginya, yakni: untuk mengatur pelaksanaan ibadat kepada Allah, untuk menyediakan rezeki hidup secukupnya bagi klerus, begitu pula untuk melaksanakan karya-karya kerasulan dan cinta kasih, terutama terhadap kaum miskin[135]. Sedangkan harta, yang mereka peroleh selama menunaikan suatu jabatan gerejawi, hendaknya – dengan tetap mengindahkan hukum khusus[136] – digunakan oleh para imam maupun para Uskup pertama-tama untuk dapat hidup secara layak, dan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban status hidup mereka. Apa yang masih tersisakan, hendaknya mereka peruntukkan bagi kesejahteraan Gereja atau karya-karya cinta kasih. Maka dari itu hendaknya jabatan gerejawi jangan dijadikan kesempatan untuk memperkaya diri; jangan pula penghasilan yang di peroleh daripadanya digunakan untuk memperluas milik kaum kerabat sendiri[137]]. Oleh karena itu janganlah para imam menaruh hati pada harta-kekayaan[138]. Hendaknya mereka selalu menghindari segala keserakahan, dan sungguh-sungguh menghindari segala kesan mau berdagang.

Bahkan para imam di undang untuk hidup dalam kemiskinan sukarela. Dengan begitu mereka secara lebih nyata menyerupai Kristus, dan lebih siap-sedia untuk pelayanan suci. Sebab demi kita Kristus telah menjadi miskin, padahal Ia kaya, supaya karena kemiskinan-Nya kitalah yang menjadi kaya[139]. Melalui teladan para Rasul telah memberi kesaksian, bahwa kurnia Allah yang Cuma-Cuma harus disalurkan dengan Cuma-Cuma pula[140], dan bahwa mereka tahu menderita kekurangan dan mengalami kelimpahan[141]. Tetapi juga semacam penggunaan bersama barang-barang, seperti persekutuan harta-milik yang sangat dihargai dalam sejarah Gereja Purba[142], dapat membuka jalan lapang sekali bagi cinta kasih kegembalaan. Dengan corak hidup itu para imam secara terpuji dapat mempraktekkan semangat kemiskinan, yang dianjurkan oleh Kristus.

Maka dibimbing oleh Roh Tuhan, yang mengurapi Sang penyelamat dan mengutus-Nya mewartakan Injil kepada kaum miskin[143], hendaknya para imam maupun para Uskup menghindari segala sesuatu, yang entah bagaimana dapat menjauhkan kaum miskin. Hendaknya mereka, lebih lagi dari para murid Kristus lainnya, menyingkirkan segala kesan kesia-kesiaan pada milik kepunyaan mereka. Rumah kediaman hendaknya mereka atur sedemikian rupa, sehingga nampak terbuka bagi siapa saja, dan tidak seorang pun, juga yang paling hina, merasa takut mengunjunginya.

III. UPAYA-UPAYA – YANG MENDUKUNG KEHIDUPAN PARA IMAM

18. (Upaya-upaya untuk mengembangkan hidup rohani)

Supaya dapat menghayati persatuan dengan Kristus dalam segala situsi hidup mereka, selain melalui pelaksanaan pelayanan mereka penuh kesadaran, bagi para imam tersedia juga berbagai upaya bersama maupun khusus, baru maupun lama, yang tiada hentinya disiapkan oleh Roh Kudus dan umat Allah, dan yang dianjurkan, bahkan ada kalanya juga diwajibkan oleh Gereja demi pengudusan para anggotanya[144]. Yang lebih luhur dari segala bantuan rohani ialah tindakan-tindakan, yang bagi umat beriman menyediakan santapan Sabda Allah pada kedua meja, yakni Kitab suci dan Ekaristi[145]. Bagi siapa pun jelaslah, betapa penting bagi pengudusan para imam untuk terus menerus memanfaatkannya.

Para pelayan rahmat sakramental dipersatukan mesra dengan Kristus Sang Penyelamat dan gembala melalui penerimaan Sakramen-Sakramen yang memperbuahkan rahmat, khususnya dengan sering menerima Sakramen Tobat, yang bila disiapkan melalui pemeriksaan batin harian, sungguh merupakan dukungan kuat bagi pertobatan hati yang memang perlu kepada cinta kasih Bapa yang penuh belas kasihan. Dalam terang iman yang dikembangkan melalui bacaan Kitab suci, para imam dapat dengan tekun menyelidiki isyarat-isyarat kehendak Allah maupun dorongan-dorongan rahmat-Nya dalam pelbagai peristiwa hidup. Demikianlah mereka dapat makin bertambah peka terhadap perutusan yang mereka terima dalam Roh Kudus. Bagi sikap peka-terbuka itu para imam senantiasa menemukan contoh yang mengagumkan pada diri Santa Perawan Maria, yang dibimbing oleg Roh Kudus membaktikan diri sepenuhnya kepada misteri penebusan umat manusia[146]. Hendaknya para imam dengan sikap bakti dan ibadat penuh kasih menghormati serta mencintai Maria sebagai Bunda Sang Imam Agung yang kekal dan Ratu para Rasul, serta sebagai pelindung pelayanan mereka.

Untuk menjalankan pelayanan mereka dengan setia, hendaknya mereka memperhatikan wawancara harian dengan Kristus Tuhan, dalam kunjungan serta ibadat pribadi terhadap Ekaristi suci. Hendaknya mereka dengan senang hati meluangkan waktu bagi retret rohani, yang sungguh menghargai bimbingan rohani. Dengan pelbagai cara, khususnya melalui doa batin yang teruji serta berbagai bentuk doa lainnya, yang secara bebas dapat mereka pilih sendiri, para imam mencari dan bersungguh-sungguh memohon kepada Allah semangat sembah-sujud yang sejati, upaya mereka untuk bersama dengan jemaat yang mereka bimbing bersatu mesra dengan Kristus Pengantara Perjanjian Baru, dan dengan demikian sebagai putera-puteri angkat dapat berseru: “Abba, Pater” (Rom 8:15).

19. (Studi dan ilmu pastoral)

Dalam upacara Tahbisan para imam diperingatkan oleh Uskup: “hendaknya mereka masak dalam pengetahuan”, dan ajaran mereka menjadi “usada rohani bagi umat Allah”[147]. Ilmu pengetahuan pelayan kudus harus kudus juga, karena digali dari sumber yang kudus dan mengarahkan kepada tujuan yang kudus pula. Oleh karena itu pertama-tama ditimba dari pembacaan dan renungan Kitab suci[148], tetapi dikembangkan juga dengan mempelajari para Bapa dan Pujangga Gereja serta pusaka-pusaka Tradisi lainnya. Selain itu, untuk dengan tepat mengena menjawab masalah-persoalan, yang ramai dibicarakan oleh orang-orang zaman sekarang, para imam harus mengenal dengan baik dokumen-dokumen Magisterium dan terutama Konsili-Konsili serta para Paus; begitu pula hendaknya mereka menimba ilmu dari karya tulis para pengarang ilmu teologi yang terbaik dan dapat diandalkan.

Tetapi karena sekarang ini kebudayaan dan ilmu-ilmu kudus menempuh langkah-langkah perkembangan yang baru, para imam diundang, untuk secara tepat dan terus menerus menyempurnakan ilmu-pengetahuan mereka tentang hal-hal ilahi maupun manusiawi, dan dengan demikian menyiapkan diri untuk menjalin dialog yang lebih aktual dengan sesama yang semasa.

Supaya para imam lebih mudah belajar dengan tekun, dan lebih efektif mempelajari berbagai cara mewartakan Injil dan merasul, hendaknya dikerahkan segala usaha untuk menyediakan bagi mereka upaya-upaya yang sungguh membantu, misalnya – menurut situasi masing-masing wilayah – diselenggarakan kursus-kursus atau pertemuan-pertemuan, didirikan pusat-pusat untuk studi pastoral, disediakan perpustakaan, dan dimungkinkan bimbingan studi oleh pribadi-pribadi yang cakap. Kecuali itu hendaknya para Uskup masing-masing atau bersama-sama mempertimbangkan cara yang lebih baik untuk mengusahakan, supaya semua para imam mereka, pada masa-masa tertentu, tetapi terutama selang beberapa tahun sesudah pentahbisan mereka[149], dapat mengikuti kursus, yang membuka kesempatan bagi mereka memperoleh pengetahuan lebih luas tentang metode-metode pastoral dan ilmu teologi, untuk memantapkan hidup rohani, dan untuk bertukar pengalaman kerasulan dengan rekan-rekan imam[150]. Dengan upaya-upaya itu dan bantuan-bantuan lainnya yang sesuai hendaknya secara khas ditolong juga para pastor kepala paroki yang baru dan mereka yang diserahi karya pastoral yang baru, pun juga mereka yang di utus ke keuskupan atau bangsa lain.

Akhirnya hendaknya para Uskup sungguh berusaha, supaya ada beberapa yang menekuni studi ilmiah lebih mendalam dibidang teologi, supaya selalu tersedia dosen-dosen yang cakap untuk pendidikan imam, supaya para imam lainnya dan umat beriman dibantu untuk dapat pengajaran yang mereka butuhkan, dan supaya perkembangan sehat dibidang-bidang teologi, yang memang sungguh perlu bagi gereja, mendapatkan dukungan.

20. (balas jasa yang wajar bagi para imam)

Sedah selayaknyalah para imam, yang menghambakan diri kepada Allah dengan menunaikan fungsi yang diserahkan kepada mereka, menerima balas jasa yang sewajarnya, sebab “pantaslah pekerja mendapat upahnya” (Luk 10:7)[151]. Lagi pula “Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus hidup dari pemberitaan Injil itu” (1Kor 9:14). Maka dari itu, sejauh dari pihak lain tidak disediakan balas jasa yang wajar bagi para imam, umat beriman sendiri, yang kesejahteraannya dilayani oleh para imam, terikat kewajiban yang sesungguhnya untuk mengusahakan, supaya bagi mereka disediakan sumbang-bantuan seperlunya untuk hidup secara layak dan sebagaimana mestinya. Para Uskup harus mengingatkan umat beriman akan kewajiban mereka itu serta mengusahakan, – entah masing-masing untuk keuskupannya sendiri, atau lebih baik beberapa Uskup sekaligus untuk wilayah mereka bersama, – supaya ditetapkan peraturan-peraturan, yang seperti harusnya menjamin rezeki hidup yang sepatutnya bagi mereka, yang menjalankan atau pernah menjalankan suatu tugas pengabdian kepada umat Allah. Adapun balas jasa, yang harus diterima masing-masing, dengan memperhitungkan sifat tugasnya dan mempertimbangkan kondisi-kondisi setempat maupun semasa, pada dasarnya hendaklah sama bagi semua imam yang berada dalam situasi yang sama. Hendaknya balas jasa itu sesuai dengan kondisi mereka, pun sekaligus memungkinkan mereka, untuk tidak hanya memberi upah selayaknya kepada mereka yang melayani para imam, melainkan juga memberi sekedar bantuan kepada kaum miskin. Kecuali itu balas jasa hendaklah sedemikian rupa, sehingga memungkinkan para imam untuk setiap tahun menikmati liburan yang sewajarnya dan mencukupi. Para Uskup harus mengusahakan, supaya imam-imam sempat berlibur.

Akan tetapi fungsi yang dijalankan oleh para imamlah, yang harus harus diutamakan. Maka dari itu apa yang disebut sistim “beneficium” hendaknya ditinggalkan, atau setidak-tidaknya dirombak sedemikian rupa, sehingga unsur “beneficium”, atau hak atas penghasilan berdasarkan harta bawaan yang terkait dengan jabatan, dipandang sekunder. Sedangkan yang menurut hukum diutamakan hendaknya jabatan gerejawi sendiri, yang selanjutnya harus diartikan: tugas mana pun juga yang diberikan secara tetap, dan dilaksanakan untuk tujuan rohani.

21. (Pembentukan kas umum, dan pengadaan jaminan sosial bagi para imam)

Hendaknya selalu dikenangkan teladan umat beriman dalam Gereja purba di Yerusalem: disitu “segala sesuatu merupakan milik mereka bersama” (Kis 4:32); “dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya” (Kis 4:35). Maka sangat pada tempatnyalah, bahwa sekurang-kurangnya di wilayah-wilayah, tempat rezeki hidup klerus sepenuhnya atau sebagian besar tergantung dari persembahan-persembahan umat beriman, – harta milik yang dipersembahkan untuk maksud itu dengan Uskup, didampingi oleh imam-imam utusan dan – bila dianggap berguna – oleh saudara-saudara awam juga yang mempunyai keahlian di bidang ekonomi. Dianjurkan pula, supaya selain itu sedapat mungkin disetiap keuskupan atau daerah dibentuk suatu kas umum, yang memungkinkan para Uskup untuk memenuhi kewajiban-kewajiban lainnya terhadap pribadi-pribadi yang berjasa bagi Gereja, dan mencukupi pelbagai hal kebutuhan keuskupan; pun juga yang memungkinkan keuskupan-keuskupan yang lebih kaya membantu yang lebih miskin, supaya kelimpahan pihak pertama melengkapi kekurangan pihak kedua[152]. Kas umum itu terutama harus dibentuk dari harta hasil persembahan umat beriman, tetapi juga dari sumber-sumber lain, yang perlu ditetapkan menurut hukum.

Selain itu di negeri-negeri, tempat jaminan sosial bagi klerus belum diatur dengan baik, hendaknya Konferensi-Konferensi Uskup mengusahakan, supaya – selalu sambil mengindahkan hukum-hukum gerejawi maupun sipil – didirikan yayasan-yayasan keuskupan, juga yang bergabung menjadi federasi, atau yayasan-yayasan bersama untuk berbagai keuskupan, atau suatu perserikatan untuk seluruh kawasan, yang dibawah pengawasan hirarki dilengkapi secukupnya baik dengan apa yang disebut upaya-upaya pemeliharaan kesehatan dan bantuan medis yang memadai, maupun dengan upaya-upaya yang memadai untuk mencukupi kebutuhan hidup para imam yang menderita sakit, sudah invalid atau lanjut usia. Para imam hendaknya membantu yayasan yang telah didirikan itu, terdorong oleh semangat solidaritas terhadap rekan-rekan imam, ikut merasakan penderitaan mereka[153]. Sementara itu hendaknya mereka renungkan, bahwa dengan demikian mereka sendiri, tanpa rasa cemas menghadapi masa depan, dapat menghayati kemiskinan menurut Injil dengan gembira, serta membaktikan diri sepenuhnya bagi keselamatan jiwa-jiwa. Hendaknya mereka yang bertanggung jawab mengusahakan, supaya yayasan-yayasan pada tingkat nasional saling berhubungan, sehingga bersama-sama menjadi lebih kuat dan berkembang meluas.

KATA PENUTUP DAN AJAKAN

22. Sambil menyadari kegembiraan hidup imamat, Konsili suci ini juga tidak dapat menanggapi sepi kesukaran-kesukaran, yang dalam kenyataan hidup zaman sekarang dihadapi oleh para imam. Konsili memahami juga, betapa situasi sosial ekonomi, bahkan adat kebiasaan orang, telah berubah, dan betapa tata nilai-nilai dalam pandangan mereka telah berbeda dari semula. Maka para pelayan Gereja, bahkan sejumlah umat beriman juga, didunia ini merasa bagaikan sudah terasing dari padanya. Dengan cemas mereka bertanya-tanya: upaya-upaya dan bahasa manakah yang cocok untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Sebab halangan-halangan baru yang menghambat iman, jerih-payah mereka yang nampak sia-sia, begitu pula rasa kesepian yang mencekam mereka, dapat menjerumuskan mereka ke dalam bahaya kemurungan.

Akan tetapi dunia, seperti sekarang ini dipercayakan kepada cinta kasih dan pelayanan para Gembala Gereja, begitu dikasihi oleh Allah, sehingga Ia menyerahkan Putra Tunggal-Nya demi keselamatannya[154]. Dan memang benarlah dunia itu terbelenggu karena banyaknya dosa; tetapi juga dilimpahi banyak kemungkinan-kemungkinan. Dunia itulah yang menyediakan bagi Gereja batu-batu hidup[155], untuk dibangun menjadi kediaman Allah dalam Roh[156]. Roh Kudus itu jugalah, yang mendorong Gereja untuk membuka jalan-jalan baru memasuki dunia zaman sekarang, dan menyerahkan serta mendukung penyesuaian-penyesuaian pelayanan imam yang relevan baginya.

Hendaknya para imam menyadari, bahwa dalam berkarya mereka tidak pernah seorang diri, melainkan bertumpu pada kekuatan Allah yang mahakuasa. Hendaklah mereka penuh iman akan Kristus, yang telah memanggil mereka untuk ikut menghayati Imamat-Nya, dengan segala kepercayaan membaktikan diri melalui pelayanan mereka, dalam keyakinan bahwa Allah berkuasa untuk makin menumbuhkan cinta kasih mereka[157]. Hendaknya mereka sadari pula, bahwa saudara-saudara seimamat, bahkan umat beriman di seluruh dunia, menjadi rekan-rekan mereka. Sebab semua imam bekerja sama dalam melaksanakan rencana keselamatan Allah, yakni misteri Kristus atau rahasia yang sejak kekal tersembunyi dalam Allah[158], yang hanya lambat-laun diwujudkan secara nyata, berkat berpadunya pelbagai pelayanan demi pembangunan Tubuh Kristus, hingga terpenuhilah kurun waktunya. Karena itu semua bersama Kristus tersembunyi dalam Allah[159], maka hanya dapat diterima dalam iman. Sebab dalam imanlah para pemimpin umat Allah harus menempuh perjalanan, mengikuti teladan Abraham yang setia, yang penuh iman “taat untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat tanpa mengetahui tempat yang ditujunya” (Ibr 11:8). Memanglah pengurus misteri-misteri Allah dapat diibaratkan orang yang menabur benih di ladang. Tentang dia Tuhan bersabda: “Pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia bangun, dan benih itu mengeluarkan tunas, dan tunas itu makin tinggi. Bagaimana itu terjadi? Tidak diketahui oleh orang itu” (Mrk 4:27). Selanjutnya Tuhan Yesus, yang bersabda: “Percayalah, Aku telah mengalahkan dunia” (Yoh 16:33), dengan kata-kata itu tidak menjanjikan kepada Gereja kejayaan sempurna di dunia ini. Tetapi Konsili suci bergembira, bahwa tanah, yang ditaburi benih Injil, sekarang di banyak tempat menghasilkan buah dibawah bimbingan Roh Tuhan, yang memenuhi dunia, dan yang dalam hati banyak imam serta umat beriman telah membangkitkan semangat misioner yang sejati. Atas semuanya itu Konsili suci penuh cinta menyampaikan terima kasih kepada para imam di seluruh dunia: “Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari apa yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja dalam diri kita, bagi Dialah kemuliaan dalam jemaat dan dalam Kristus Yesus turun temurun sampai selama-lamanya. Amin” (Ef 3:20-21).

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan Kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagipula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 7 bulan Desember tahun 1965.

Saya PAULUS
Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


[1] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi. – Konstitusi dogmatis tentang Gereja. – Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam gereja. – Dekrit tentang Pendidikan Imam.

[2] Lih. Mat 3:16; Luk 4:18; Kis 4:27; 10:38.

[3] Lih. 1ptr 2:5 dan 9.

[4] Lih. 1Ptr 3:15.

[5] Lih. Why 19:10. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 35.

[6] KONSILI TRENTO, Sidang 23, bab 1 dan kanon 1: DENZ. 957 dan 961 (1764 dan 1771).

[7] Lih. Yoh 20:21. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 18.

[8] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 28.

[9] Lih. Dalam artikel yang sama.

[10] Lih. Pontificale Romanum, De Ordinatione Presbytery (tentang tahbisan Imam), Prefasi. Kata-kata itu sudah terdapat dalam Sacramentarium Veronense (MOHLBERG, Roma 1956, hlm. 122); begitu juga dalam Missale Francorum (MOHLBERG, Roma 1957, hlm. 9); juga dalam Liber Sacramentorum Romanae Ecclesiae (MOHLBERG, Roma 1960, hlm. 25); begitu pula dalam Pontificale Romanum-Germanicum (VOGEL-ELZE, Citta del vaticano 1963, jilid I hlm. 34).

[11] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 10.

[12] Bdk. Rom 15:16 Yunani.

[13] Lih. 1Kor 11:26.

[14] S. AGUSTINUS, Tentang Kota Allah, 10, 6: PL 41, 284.

[15] Lih. 1Kor 15:24.

[16] Lih. Ibr 5:1

[17] Lih. Ibr 2:17; 4:15.

[18] Lih. 1Kor 9:19-23 Vulgat.

[19] Lih. Kis 13:2.

[20] “Usaha menuju kesempurnaan religius dan moril itu semakin di rangsang juga karena situasi lahiriah kehidupan Gereja. Sebab Gereja tidak dapat tetap tak berubah dan tidak acuh terhadap pergolakan masyarakat disekitarnya, yang mempunyai bermacam-macam situasi. Pasti sudah jelas pula, bahwa Gereja tidak terceraikan dari masyarakat manusia, melainkan hidup ditengahnya; maka dari itu putera-puteri Gereja digerakkan dan diarahkan oleh masyarakat itu, diresapi oleh kebudayaannya, mematuhi hukum-hukumnya, mengenakan adat-istiadatnya. Tetapi kontak Gereja dengan masyarakat manusia itu tiada hentinya menimbulkan masalah-persoalan yang rumit juga, yang terutama sekarang ini memang berat sekali … (…). Beginilah Rasul para bangsa mengingatkan umat kristen pada zamannya: ‘Janganlah kalian merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan mereka yang tidak beriman. Sebab persamaan manakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? … Apakah bagian bersama mereka yang beriman dengan mereka yang tidak beriman?’ (2Kor 6:14-15). Oleh karena itu sungguh perlulah mereka, yang sekarang ini menjadi pembina dan guru dalam Gereja, mengingatkan angkatan muda katolik akan situasinya yang istimewa, serta akan kewajiban yang timbul dari padanya, yakni: hidup di dunia ini, tetapi bukan menurut semangat dunia ini, sesuai dengan doa permohonan yang oleh Kristus Yesus dipanjatkan bagi para murid-Nya: ‘Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka terhadap yang jahat. Mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia’ (Yoh 17:15-16). Dan Gereja menjadikan doa itu permohonannya sendiri. Akan tetapi pembedaan dari dunia itu tidak berarti perceraian; bukan pula sikap tak acuh, rasa takut, atau sikap menghina. Sebab bila Gereja membedakan diri dari umat manusia, Gereja tidak mempertentangkan diri terhadapnya, sebaliknya malahan menyatukan diri dengannya” (PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 627 dan 638).

[21] Lih. Rom 12:2.

[22] Lih. Yoh. 10:14-16.

[23] Lih. S. POLIKARPUS, Surat kepada umat di Filipi, VI, 1: “Hendaknya para imam cenderung untuk ikut merasakan penderitaan, berbelaskasihan terhadap semua orang, mengembalikan siapa saja yang sesat , mengunjungi semua orang sakit, jangan mengabaikan janda, atau yatim-piatu atau si miskin; hendaknya mereka senantiasa memikirkan bagaimana berbuat baik dihadapan Allah dan sesama; jangan pernah marah-marah, melulu mau menjaga gengsi, menjatuhkan penilaian yang tidak adil; hendaklah mereka menjauhkan diri dari segala keserakahan; jangan dengan gegabah mempercayai sesuatu melawan orang lain; jangan terlalu keras dalam menilai; dan selalu menyadari, bahwa kita ini semua ikut tersangkut dalam dosa”, FUNK I, hlm 303.

[24] Lih. 1Ptr 1:23; Kiss 6:7; 12:24. “(Para Rasul) mewartakan Sabda kebenaran dan melahirkan Gereja-Gereja” (S. AGUSTINUS, tentang Mzm 44:23: PL 36, 508.

[25] Lih. Mal 2:7; 1Tim 4:11-13; 2Tim 4:5; Tit 1:9.

[26] Lih. Mrk 16:16.

[27] Lih. 2Kor 11:7. Tentang para Imam sebagai rekan-rekan kerja para Uskup berl aku pula apa yang dikatakan tentang para Uskup. – Lih. Statuta Ecclessia Antiqua (Peraturan-peraturan Gereja kuno), bab 3 (CH. MUNIER, Paris 1960, hlm. 79). – Decretum Gratiani (Dekrit Gratianum), C.6, D.88 (FRIEDBERG, I,307). – KONSILI TRENTO, Dekrit tentang Pembaharuan, Sidang 5, bab 2, no. 9 (Conciliorum Oecumenicorum Decreta, ed. Herder, Roma 1963, hlm. 645); Sidang 24, bab 4 (hlm. 739). – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja art. 25.

[28] Lih. Constitutiones Apostolorum (Ketetapan-ketetapan para Rasul), II, 26,7: “Hendaknya (para Imam) menjadi guru pengetahuan ilahi, karena Tuhan sendiri pun memerintahkan kepada kami: pergilah, ajarlah, dan seterusnya” (FUNK, Didascalia et Constitutiones Apostolorum, I, Paderborn 1905). – Sacramentarium Leonianum dan buku-buku Upacara Sakramen lainnya hingga Pontificale Romanum, Prefasi pada Tahbisan Imam: “Karena penyelenggaraan-Mu, ya Tuhan, Engkau telah menggabungkan pada para Rasul Putera-Mu pengajar-pengajar iman sebagai rekan; dengan para pewarta tingkat kedua itu mereka telah memenuhi seluruh dunia”. – Liber Ordinum Liturgiae Mozarabicae (Kitab Tahbisan menurut Mozarabia), Prefasi pada tahbisan Imam: “sebagai pengajar rakyat dan pemimpin para bawahan, hendaknya ia dengan tertib berpegang teguh pada iman katolik, serta mewartakan keselamatan sejati kepada semua orang”: (M. FEROTIN, Paris 1904, kolom 55).

[29] Lih. Gal 2:5.

[30] Lih. 1Ptr 2:12.

[31] Bdk. Upacara Tahbisan Imam di Gereja Iskandaria umat Yakobit: “… Kumpulkanlah umatmu untuk sabda pengajaran, seperti inang yang mengasuh anak-anaknya” (H. DENZINGER, Ritus Orientalium II, Wurzburg 1863 hlm. 14).

[32] Lih. Mat 28:19; Mrk 16:16. – TERTULIANUS, De babtismo (tentang baptis), 14,2 (Corpus Christianorum, seri latin I, hlm. 289, 11-13). – S. ATANASIUS, Adv. Arianos (melawan kaum Arian), 2, 42 (PG 26,237). – S. HIERONIMUS, Komentar pada Mat 28:19 (PL 26,218 BC): “Pertama-tama mereka mengajar semua bangsa, kemudia membaptis mereka yang menerima ajaran itu. Sebab tidak mungkin badan menerima Sakramen Baptis, kalau jiwa tidak sebelumnya menerima kebenaran iman”. – S. TOMAS, Expositio primae Decretalis, par. 1: “Ketika Penyelamat kita mengutus para murid untuk mewartakan Injil, Ia memerintahkan tiga hal kepada mereka. Pertama supaya mereka mengajarkan iman; kedua supaya mereka terimakan Sakramen-Sakramen kepada barang siapa beriman” (ed. Marietti, Opuscula Theologica, Taurani, Roma 1954, 1138).

[33] Lih. KONSIL VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 35,2.

[34] Lih. KONSIL VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 33, 35, 48, 52.

[35] Lih. KONSIL VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 7. – PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis, tgl. 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 230.

[36] S. IGNASIUS Martir, Surat kepada umat di Smirna, 8,1-2 (FUNK, hlm. 282, 6-15). – Constitutiones Apostolorum (Ketetapan-ketetapan para Rasul), VIII,12,3 (FUNK, hlm. 496); VIII,29,2 (hlm. 532).

[37] Lih. KONSIL VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 28.

[38] “Ekaristi bagaikan pemenuhan hidup rohani, dan tujuan semua Sakramen” (S. TOMAS, Summa Theol. III, soal 73, art. 3 c); bdk. III, soal 6 art. 3.

[39] Lih. S. TOMAS, Summa Theol. III, soal 65 art. 3, ad 1; soal 79, art.1, c, dan ad 1.

[40] Lih. Ef 5:19-20.

[41] Lih. S. HIERONIMUS, Surat, 114,2: “… piala-piala suci, dan kain-kain suci, dan semua lainnya yang digunakan untuk mengenangkan sengsara Tuhan … karena bersentuhan dengan Tubuh dan Darah Tuhan, harus dihormati dengan penghormatan yang sama seperti Tubuh dan Darah-Nya” (PL 22,934). – Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 122-127.

[42] “Selain itu hendaknya umat beriman jangan lupa pada waktu siang hari mengunjungi Sakramen Mahakudus, yang menurut peraturan-peraturan Liturgi harus di semayamkan di gereja-gereja, di tempat yang paling layak dan sehormat mungkin. Sebab kunjungan itu merupakan bukti hati yang penuh syukur, tanda cinta kasih, dan kewajiban sembah-sujud yang seharusnya terhadap Kristus Tuhan, yang hadir di situ” (PAULUS VI, Ensiklik Mysterium Fidei, tgl. 3 September 1965: AAS 57 (1965) hlm. 771.

[43] Lih. KONSIL VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 28.

[44] Lih. 2Kor 10:8; 13:10.

[45] Lih. Gal 1:10.

[46] Lih. 1Kor 4:14.

[47] Lih. Didascalia, II,34,3; II,46,6; II,47,1; Constitutiones Apostolorum, II,47,1: FUNK, Didascalia et Constitutiones, I, 116, 142 dan 143.

[48] Lih. Gal 4:3; 5:1 dan 13.

[49] Lih. S. HIERONIMUS, Surat 58,7: “Apakah gunanya dinding gemerlapan dengan butir-butir mutiara, kalau Kritus mati dalam diri orang miskin?” (PL 22,584).

[50] Lih. 1Ptr 4:10 dan selanjutnya.

[51] Lih. Mat 25:34-45.

[52] Lih. Luk 4:18.

[53] Dapat pula di sebutkan kelompok-kelompok lain, misalnya para emigran, kaum nomad, dan sebagainya. Tentang mereka itu lihat Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja, art. 18.

[54] Lih. Didascalia II,59, 1-3: “Bila mengajar, perintahkan dan anjurkanlah, supaya umat sering kali menghadiri pertemuan, dan jangan pernah membolos; tetapi umat harus setiap kali berkumpul dan tidak boleh membatasi pertemuan, dengan meloloskan diri, dan mengurangi anggota Tubuh Kristus … Jadi, karena kalian itu anggota-anggota Kristus, janganlah menceraikan diri dari pertemuan, dengan tidak ikut berkumpul. Sebab kalian mempunyai Kristus sebagai Kepala, dan menepati janji-Nya, Ia hadir dan bergaul dengan kalian. Maka janganlah kalian melalaikan diri atau menjauhkan Sang Penyelamat dari anggota-anggota-Nya, atau memecah-belah atau mencerai-beraikan Tubuh-Nya …”: FUNK I, 170. – PAULUS VI, Amanat kepada para Klerus Italia, yang menghadiri Sidang Sepekan XIII di Orvieto tentang “pembaharuan pastoral”. Tgl. 6 September 1963 AAS 55 (1963) hlm. 750 dan selanjutnya.

[55] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 28.

[56] Lihat apa yang disebut Constitutio Ecclesiastica Apostolorum (Ketetapan gerejawi para Rasul), XVIII: para imam itu sama-sama dilibatkan dalam misteri (symmystai) dan dalam perjuangan (synepimachoi) dengan para Uskup (TH. SCHERMANN, Die allgemeine kirchenordnung, I, Paderborn 1914, hlm. 26; A. HARNACK, T. u. U., II,4, hlm. 13, no. 18 dan 19). – PSEUDO-HIERONIMUS, De septem Ordinibus Ecclesiae tentang tujuh tingkat tahbisan Gereja): “… dalam pemberkatan (para imam) bersama para Uskup itu menghayati misteri-misteri” (A. W. KALFF, Wurzburg 1937, hlm. 45). – S. ISIDORUS dari Sevilla, De Ecclesiasticis Officiis (tentang jabatan-jabatan gerejawi), bab VII: “Sebab (para imam) memimpin Gereja Kristus dan dalam konsekrasi Tubuh dan Darah bertindak bersama para Uskup, begitu pula dalam mengajar para bangsa dan dalam tugas pewartaan” (PL 83,787).

[57] Lih. Didascalia, II, 28,4: FUNK, 108. – Constitutiones Apostolorum, II,28,4; II,34,3: ibidem, hlm. 109 dan 117.

[58] Const.Apost., VIII,16,4 (FUNK I, 522, 13). – Bdk. Epitome Const. Apost. (ikhtisar Ketetapan-ketetapan para Rasul), VI, (FUNK II, hlm. 80,3-4). – Testamentum Domini (Pusaka Tuhan): “… berilah ia Roh rahmat, nasehat dan kebesaran jiwa, semangat imam … untuk ikut membantu dan membimbing umat-Mu dalam karya, dalam rasa takut kepada Allah, dalam hati yang bersih” (terj. I. E. RAHMANI, Mainz 1899, hlm. 69). – Begitu pula dalam Trad. Apost. (B. BOTTE, La Tradition Apostolique, Munster i.W. 1963, hlm. 20).

[59] Lih. Bil 11:16-25.

[60] “Pontificale Romanum” De Ordinatione Presbyteri (tentang tahbisan imam), prefasi. Rumus itu sudah Sacramentarium Leonianum, Sacramentarium Gelasianum dan Sacramentarium Gregorianum. Rumus yang serupa terdapat dalam Liturgi-Liturgi Timur; bdk. Trad. Apost.: “… pandanglah hamba-Mu ini, dan kurniailah ia roh rahmat dan nasehat, untuk membantu para imam, dan memimpin umat-Mu dengan hati yang bersih, seperti dulu Engkau telah memandang umat pilhan-Mu, dan memerintahkan Musa untuk memilih para penatua, yang Kau penuhi dari Roh-Mu, yang Kau anugerahkan kepada hamba-Mu” (dari terjemahan latin kuno di Verona, edisi B. BOTTE, La Tradition apostolique de S. Hippolyte. Essai de reconstruction, Munster i.W. 1963, hlm. 20. – Const.Apost., VIII,16,4: FUNK I,522,16-17. – Epitome Const.Apost. 6: FUNK II,20,5-7. – Testamentum Domini: terj. I. E. RAHMANI, Mainz 1899, hlm. 69. – Euchologion Serapionis, XXVII: FUNK, Didascalia et Constitutiones, II, hlm. 190, baris 1-7. – Ritus Ordiationis in ritu Maronitarum (upacara tahbisan dalam rite Maronit): trj. H. DENZINGER, Ritus Orientalium, II, Wurzburg 1863, hkm. 161. Diantara para Bapa Gereja dapat di kutip: TEODORETUS MOPS., komentar pada 1Tim 3:8: SWETE, II, 119-121. – TEODOROTUS, Quaest. In Numeros (soal-soal tentang kitab Bilangan), XVIII: PG 80,372b.

[61] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 28.

[62] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii Nostri primordia, tgl. 1 Agustus 1959: AAS 51 (1959) hlm. 576. – S. PIUS X, Anjuran kepada klerus Haerent animo, tgl. 4 Agustus 1908: S.PII X Acta, jilid iv (1908) hlm. 237 dan selanjutnya.

[63] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Tugas Penggembalaan para Uskup dalam Gereja, art. 15 dan 16.

[64] Dalam Kitab Hukum Kanonik (lama) sudah ada Kapitel Katedral (Capitulum Cathedrale), sebagai “senat dan dewan penasehat” (senatus et consilium) Uskup (CIC, kanon 391), atau, kalau tidak ada, Dewan para konsultor keuskupan (bdk. CIC, kanon 423-428). Tetapi dihimbau, supaya lembaga-lembaga semacam itu ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga lebih menanggapi situasi dan kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang. Jelas pula, bahwa Dewan para Imam seperti itu berbeda dengan Dewan Pastoral menurut Dekrit tentang Tugas Patoral para Uskup dalam gereja, art. 27. Sebab dalam Dewan pastoral itu juga ada saudara-saudara awam, dan tugas Dewan hanyalah menyelidiki hal-ikhwal yang menyangkut reksa pastoral. Tentang para imam sebagai penasehat para Uskup dapat dibaca juga: “Didascalia”, II,28,4: FUNK I, 108. – Const. Apost, II, 28,4: FUNK I,109. – S. IGNASIUS Martir, Surat kepada jemaat di Magnesia, 6,1: FUNK 234,10-16; kepada jemaat di Tralles, 3,1: FUNK 244,10-12. – ORIGENES, “Melawan Celsus”, 3:30: para imam merupakan penasehat-penasehat atau “bouleutai”: PG 11,957 d – 960 a.

[65] S. IGNASIUS Martir, Surat kepada jemaat di Magnesia 6,1: “Kuanjurkan, supaya kalian berusaha menjalankan segalanya dalam kerukunan Allah, dibawah Uskup yang memimpin sebagai wakil Allah serta para imam sebagai ganti dewan rasuli, dan para diakon yang amat ku kasihi dan dipercayai pelayanan Yesus Kristus, yang sebelum segala abad berada di hadirat Bapa, dan pada zaman akhir telah menampakkan Diri” (FUNK 234, 10-13). – S. IGNASIUS Martir, Surat kepada jemaat di tralles 3,1: “Begitu pula hendaknya semua menghormati para diakon sebagai Yesus kristus, seperti juga Uskup yang menjadi citra Bapa, serta para imam sebagai senat Allah dan dewan para Rasul. Tanpa mereka orang tak dapat berbicara tentang Gereja” (FUNK, hlm. 244, 10-12). – S. HIERONIMUS, komentar pada Yesaya, II,3 (PL 24,61A): “Kita pun mempunyai dalam gereja dewan kita, yakni kelompok para imam”.

[66] Lih. PAULUS VI, Amanat kepada para imam dan para pengkotbah untuk masa Prapaska di Roma, di kapel “Sixtina”, tgl. 1Maret 1965: AAS 57 (1965) hlm. 326.

[67] Lih. Const.Apost., VIII,47,39: “Para imam … hendaknya jangan berbuat sesuatu tanpa persetujuan Uskup. Sebab Uskuplah yang diserahi umat Tuhan, dan daripadanya akan diminta pertanggungjawaban atas jiwa-jiwa umat” (FUNK, 577).

[68] Lih. 3Yoh 8.

[69] Lih. Yoh 17:23.

[70] Lih. Ibr 13:1-2.

[71] Lih. Ibr 13:16.

[72] Lih. Mat 5:10.

[73] Lih. 1Tes 2:12; Kol 1:13.

[74] Lih. Mat 23:8. – “Perlulah, supaya karena kami ingin menjadi gembala, bapa dan guru bagi semua orang, kami justru bertindak selaku saudara mereka” (PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 58 (1964) hlm. 657).

[75] Lih. Ef 4:7 dan 16. – Const.Apost. VIII,1,20: “Bahkan Uskup pun janganlah meninggikan diri terhadap para diakon atau imam-imam, atau para imam terhadap umat; sebab tata susunan jemaat mencakup keduanya” (FUNK I, 467).

[76] Lih. Flp 2:21.

[77] Lih. 1Yoh 4:1.

[78] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 37.

[79] Lih. Ef 4:14.

[80] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Ekumenisme.

[81] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, art. 37.

[82] Lih. Ibr 7:3.

[83] Lih. Luk 10:1.

[84] Lih. 1Ptr 2:25.

[85] Lih. Kis 20:28.

[86] Lih. Mat 9:36.

[87] Pontificale Romanum, De Ordinatione Presbyteri(tentang pentahbisan imam).

[88] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tanteng Pendidikan Imam, art. 2.

[89] “Suara Allah yang memanggil mengungkapkan diri dengan dua cara yang berbeda, mengagumkan dan sehaluan; cara pertama bersifat batiniah melampaui kata-kata, yang berasal dari “suara” Tuhan “tanpa kata-kata” tetapi penuh kekuatan, dan menyapa lubuk hati manusia yang tak terduga; dan kedua: cara lahiriah, manusiawi, indrawi, sosial, yuridis, konkrit, cara pelayan yang ditandai oleh Sabda Allah, cara Rasul, cara hirarki, sarana yang mutlak perlu, diadakan dan dikehendaki oleh kristus, ibarat kendaraan, yang ditugaskan untuk menterjemahkan dalam bahasa pengalaman amanat Sabda dan perintah ilahi. Demikianlah ajaran katolik mengajar bersama S. Paulus: ‘bagaimanakah mereka mendengarkan tanpa ada pewarta … Iman berasal dari pendengaran’ (Rom 10:14 dan 17) (PAULUS VI, Amanat tgl. 5 Mei 1965, diterjemahkan dari L’Osservatore Romano, 6-V-65, hlm. 1).

[90] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Pendidikan Imam, art. 2.

[91] Itulah yang diajarkan oleh para Bapa Gereja, bila mereka menjelaskan sabda kristus kepada Petrus: “Benarkah engkau mencintai Aku? … Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh21:17). Misalnya: S. YOHANES KRISOSTOMUS, Tentang Imamat, II,1-2: PG 47-48, 644. – S. GREGORIUS AGUNG, Reg. Past. Liber (Kitab Pedoman Pastoral), Bagian I bb 5: PL 77,19a.

[92] Lih. 2Kor 12:9.

[93] Lih. PIUS XI, Ensiklik Ad catholoci sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935 1935: AAS 28 (1936) hlm. 10.

[94] Lih. Yoh 10:36.

[95] Lih. Luk 24:26.

[96] Lih. Ef 4:13.

[97] Lih. Antara lain: S. PIUS X, Pesan kepada klerus Haerent animo, tgl. 4 Agustus 1908: S. Pii X Acta, jilid IV (1908) hlm. 237 dan selanjutnya. – PIUS XI, Ensiklik Ad catholici sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 5 dan selanjutnya. – PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 657 dan selanjutnya. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii nostri primordia, tgl. 1 Agustus 1959: AAS 51 (1959) hlm. 545 dan selanjutnya.

[98] Lih. S. TOMAS, Summa Theol, II-II, soal 188, art. 7.

[99] Lih. Ef 3:9-10.

[100] Lih. Kis 16:14.

[101] Lih. 2Kor 4:7.

[102] Lih. Ef 3:9.

[103] Lih. Pontificale Romanum, De Ordinatione Presbyteri (tentang Pentahbisan imam).

[104] Lih. Missale Romanum, Doa atas persembahan pada hari minggu IX sesudah Pentekosta.

[105] “Sebab setiap Misa, meskipun dirayakan oleh imam seorang diri, tidak bersifat privat, melainkan merupakan tindakan Kristus dan Gereja. Dalam korban yang dipersembahkan Gereja belajar mempersembahkan diri sebagai korban untuk semua orang, dan mengenakan kekuatan korban Salib yang menyelamatkan, bersifat tunggal dan bernilai tiada harganya, pada duni semesta demi keselamatannya. Sebab setiap Misa yang dirayakan tidak hanya dipersembahkan untuk keselamatan beberapa orang saja, melainkan demi keselamatan seluruh dunia juga (…) Maka secara kebapaan kami sangat menganjurkan kepada para imam, yang dalam Tuhan merupakan kegembiraan yang terbesar dan mahkota bagi kami, agar … setiap hari merayakan Misa secara pantas dan penuh khidmat” (PAULUS VI, Ensiklik Mysterium Fidei, tgl. 13 September 1965: AAS 57 (1965) hlm. 761-762). – Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 26 dan 27.

[106] Lih. Yoh 10:11.

[107] Lih. 2Kor 1:7.

[108] Lih. 2Kor 1:4.

[109] Lih. 1Kor 10:33.

[110] Lih. Yoh 3:8.

[111] Lih. Yoh 4:34.

[112] Lih. 1Yoh 3:16.

[113] “Hendaklah menjadi tugas cinta kasih menggembalakan kawanan Tuhan” (S. AGUSTINUS, Tract. In Lo. (ulasan tentang Injil Yohanes), 123,5: PL 35,1967).

[114] Lih. Rom 12:2.

[115] Lih. Gal 2:2.

[116] Lih. 2Kor 7:4.

[117] Lih. Yoh 4:34; 5:30; 6:38.

[118] Lih. Kis 13:2.

[119] Lih. Ef 5:10.

[120] Lih. Kis 20:22.

[121] Lih. 2Kor 12:15.

[122] Lih. Ef 4:11-16.

[123] Lih. Mat 19:12.

[124] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitus Dogmatis tentang Gereja, art. 42.

[125] Lih. 1Tim 3:2-5; Tit 1:6.

[126] Lih. PIUS XI, Ensiklik Ad catholici sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 28.

[127] Lih. Mat 19:12.

[128] Lih. 1Kor 7:32-34.

[129] Lih. 2Kor 11:2.

[130] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 42 dan 44. – Dekrit tentang Pembaharuan Hidup Religius yang Disesuaikan, art. 12.

[131] Lih. Luk 20:35-36. – PIUS XI, Ensiklik Ad catholici sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 24-28. – PIUS XII, Ensiklik Sacra Virginitas, tgl. 25 Maret 1954: AAS 46 (1954) hlm. 169-172.

[132] Lih. Mat 19:11.

[133] Lih. Yoh 17:14-16.

[134] Lih. 1Kor 7:31.

[135] Lih. KONSILI ANTIOKIA, kanon 25: MANSI 2,1328. – Decretum Gratiani, bab 23, C. 12, soal 1: FRIEDBERG, I, 684-685.

[136] Ketentuan ini terutama dimaksudkan bagi hukum-hukum serta adat-kebiasaan yang berlaku di Gereja-Gereja Timur.

[137] KONSILI di PARIS, tahun 829, kanon 15: MGH, Sectio III, Concilia, jilid 2, bag. 6,622. – KONSILI TRENTO, Sidang 25 tentang Pembaharuan, bab 1.

[138] Lih. Mzm 62:11 (Vulg. 61).

[139] Lih. 2Kor 8:9.

[140] Lih. Kis 8:18-25.

[141] Lih. Flp 4:12.

[142] Lih. Kis 2:42-47.

[143] Lih. luk 4:18.

[144] Lih. Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 125 dan selanjutnya.

[145] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Pembaharuan Hidup Religius yang Disesuaikan, art. 6. – Konstitusi dogmatis tentang Wahyu Ilahi, art. 21.

[146] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 65.

[147] “Pontificale Romanum”, De Ordinatione Presbyteri.

[148] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Wahyu Ilahi, art. 25.

[149] Usaha pembinaan itu berlainan dengan pendidikan pastoral langsung sesudah pentahbisan, yang disebutkan oleh Dekrit tentang Pendidikan Imam, art. 22.

[150] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja, art. 16.

[151] Lih. Mat 10:10; 1Kor 9:7; 1 Tim 5:18.

[152] Lih. 2Kor 8:14.

[153] Lih. Flp 4:14.

[154] Lih. Yoh 3:16.

[155] Lih. 1Ptr 2:5.

[156] Lih. Ef 2:22.

[157] Lih. Pontificale Romanum, De Ordinatione Presbyteri.

[158] Lih. Ef 3:9.

[159] Lih. Kol 3:3.