DEKRIT TENTANG PEMBINAAN IMAM

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI

PENDAHULUAN

Konsili suci menyadari sepenuhnya, bahwa pembaharuan yang DIINGINKAN bagi SELURUH Gereja sebagian besar tergantung dari pelayanan para imam, yang dijiwai oleh Roh Kristus[1]. Maka Konsili secara resmi menyatakan, bahwa pembinaan imam memang penting sekali. Konsili menguraikan berbagai prinsip dasarnya, yang meneguhkan ketetapan-ketetapan yang telah diuji melalui praktek berabad-abad lamanya, dan mengintegrasikan ke dalam unsur-unsur baru, yang selaras dengan Konstitusi-Konstitusi maupun Dekrit-Dekrit Konsili ini serta dengan perubahan-perubahan zaman yang aktual. Demi kesatuan imamat katolik pembinaan imam itu sungguh perlu bagi semua imam dari kedua klerus dan dari semua ritus. Oleh karena itu peraturan-peraturan berikut, yang secara langsung menyangkut klerus diosesan, dengan mempertimbangkan perlunya penyesuain-penyesuaian, berlaku bagi semua golongan imam.

I. PENYUSUNAN METODE PEMBINAAN IMAM DI SETIAP NEGARA

1. Mengingat begitu bermacam-ragamnya bangsa maupun daerah, disini hanya dapat disusun ketetapan-ketetapan yang serba umum bagi semua. Maka disetiap negara dan untuk setiap ritus hendaknya disusun “Pedoman pembinaan Iman” yang khusus. Pedoman itu harus dikukuhkan oleh Konferensi-Konferensi Uskup[2], pada saat-saat tertentu ditinjau kembali, dan disetujui oleh Takhta suci. Hendaknya menurut pedoman itu ketetapan-ketetapan umum disesuaikan dengan situasi khas setempat dan semasa, supaya pembinaan imam selalu menanggapi kebutuhan-kebutuhan pastoral daerah-daerah yang dilayani.

II. PENGEMBANGAN PANGGILAN IMAM SECARA LEBIH INTENSIF

2. Pengembangan panggilan[3] termasuk kewajiban seluruh jemaat kristen, yang harus menumbuhkannya terutama dengan perihidup kristen yang sepenuhnya. Dalam hal itu sangat besarlah sumbangan keluarga-keluarga, yang dijiwai semangat iman dan cinta kasih serta ditandai sikap bakti, menjadi bagaikan seminari pertama; begitu pula paroki-paroki, yang memungkinkan kaum remaja ikut mengalami kehidupan jemaat yang subur. Para guru, dan semua saja yang dengan suatu cara lain ikut bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak dan kaum muda, terutama himpunan-himpunan katolik, hendaknya berusaha mendidik kaum remaja yang diserahkan kepada mereka sedemikian rupa, sehingga dapat menerima panggilan ilahi serta mengikutinya dengan sukarela. Hendaknya semua imam sedapat mungkin menunjukkan semangat kerasulan mereka dalam menumbuhkan panggilan. Hendaknya mereka menarik minat kaum remaja terhadap imamat, dengan cara hidup mereka yang memancarkan kerendahan hati, ketekunan bekerja, kegembiraan hati, dan sikap saling mengasihi serta kerja sama persaudaraan antara mereka sendiri.

Termasuk tugas para Uskup mendorong kawanan mereka untuk memajukan panggilan, dan mengusahakan perpaduan serta segala tenaga maupun daya-upaya. Hendaknya mereka, sebagai bapa sejati, tanpa menghemat pengorbanan, membantu para calon, yang menurut penilaian mereka dipanggil oleh Tuhan untuk ikut melaksanakan perutusan-Nya.

Kerja sama aktif segenap Umat Allah untuk mengembangkan panggilan itu menanggapi karya penyelenggaraan ilahi, yang kepada mereka yang oleh Allah dipilih untuk ikut mengemban imamat hirarkis Kristus, menganugerahkan bakat-bakat yang menunjang, serta dengan rahmat-Nya menolong mereka. Penyelenggaraan Allah itu jugalah, yang mempercayakan kepada para pelayan Gereja yang sah, supaya sesudah mengetahui kecakapan para calon, memanggil mereka yang sudah teruji, dan dengan maksud yang tulus serta kebebasan sepenuhnya memohon diperkenankan mengemban tugas seluhur itu, kemudian mentakdirkan mereka dengan meterai Roh Kudus bagi ibadat kepada Allah serta pengabdian kepada Gereja[4].

Konsili terutama menganjurkan upaya-upaya bantuan kerja sama umum yang tradisional, misalnya doa yang tekun, ulah pertobatan kristen, serta pembinaan umat beriman yang makin mendalam melalui pewartaan dan katekese, pun dengan memanfaatkan pelbagai upaya komunikasi sosial, semuanya untuk menjelaskan betapa perlu panggilan imam itu, dan hakekat maupun keluhurannya. Selain itu Konsili memerintahkan, supaya karya-karya untuk panggilan, yang menurut dokumen-dokumen kepausan yang bersangkutan telah atau masih harus didirikan disetiap keuskupan, daerah atau negara, mengatur secara metodis dan serasi seluruh kegiatan pastoral untuk menumbuhkan panggilan, dan selanjutnya dengan bijaksana dan penuh semangat memajukan kegiatan itu[5]. Sementara itu hendaklah jangan diabaikan upaya-upaya pendukung, yang penuh manfaat disediakan oleh ilmu-ilmu psikologi dan sosiologi zaman sekarang.

Begitu pula karya untuk mengembangkan panggilan, dijiwai hati yang lapang terbuka, harus melampaui batas-batas masing-masing keuskupan, negara, tarekat religius dan ritus, serta – sementara memperhatikan kebutuhan-kebutuhan Gereja semesta – pertama-tama membantu daerah-daerah, yang secara lebih mendesak membutuhkan pekerja-pekerja bagi kebun anggur Tuhan.

3. Di Seminari-seminari Menengah, yang didirikan untuk memupuk tunas-tunas panggilan, para seminaris hendaknya melalui pembinaan hidup rohani yang khas, terutama dengan bimbingan rohani yang cocok, disiapkan untuk mengikuti Kristus Penebus dengan semangat rela berkorban dan hati yang jernih. Hendaknya mereka, dibawah bimbingan para pemimpin yang penuh kebapaan, dengan kerja sama para orang tua yang sangat membantu, menjalani hidup yang cocok dengan usia, mentalitas dan perkembangan kaum muda, serta sesuai sepenuhnya dengan prinsip-prinsip psikologi yang sehat. Sementara itu hendaklah diperhatikan juga perlunya pengalaman-pengalaman manusiawi secukupnya serta hubungan biasa dengan keluarga mereka sendiri[6]. Kecuali itu semuanya, yang selanjutnya dalam dekrit ini ditetapkan tentang Seminari Tinggi, hendaknya, – sejauh cocok untuk tujuan maupun metode pendidikan di Seminari Menengah – disesuaikan dengannya pula. Studi yang harus ditempuh oleh para seminaris harus diatur sedemikian rupa, sehingga mereka tanpa dirugikan dapat melanjutkannya dilain tempat, sekiranya kemudian memilih status hidup yang lain.

Dengan tekun pula hendaknya dikembangkan tunas-tunas panggilan diantara para remaja dan kaum muda di lembaga-lembaga khusus, yang menanggapi situasi setempat melayani tujuan Seminari-seminari Menengah, begitu pula dikalangan mereka, yang menempuh studi di sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Selain itu hendaknya dikembangkan lembaga-lembaga maupun usaha-usaha lainnya bagi mereka, yang pada usia lebih lanjut mengikuti panggilan ilahi.

III. TATA-LAKSANA SEMINARI-SEMINARI TINGGI

4. (Seluruh pembinaan harus berhubungan erat dengan tujuan pastoral)

Seminari Tinggi sungguh perlu bagi pembinaan imam. Seluruh pendidikan seminaris disitu harus bertujuan: supaya seturut teladan Tuhan kita Yesus Kristus, Guru, Imam dan Gembala, mereka dibina untuk menjadi gembala jiwa-jiwa yang sejati[7]. Maka hendaknya mereka disiapkan untuk pelayanan sabda: supaya mereka makin menyelami makna sabda Allah yang telah diwahyukan, dengan merenungkannya kian diresapi olehnya, serta mengungkapkannya dengan kata-kata maupun perilaku mereka. Hendaknya mereka disiapkan bagi pelayanan ibadat dan pengudusan: supaya seraya berdoa dan melalui perayaan Liturgi suci mereka melaksanakan karya keselamatan melalui korban Ekaristi dan Sakramen-sakramen. Hendaknya mereka disiapkan pula untuk pelayanan kegembalaan: supaya mereka tahu menghadirkan Kristus bagi sesama, Dia yang tidak “datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45; bdk. Yoh 13:12-17), dan dengan mengabdikan diri kepada siapa saja, memperoleh banyak orang (bdk. 1Kor 9:19).

Oleh karena itu semua aspek pembinaan, rohani, intelektual dan disipliner, hendaknya secara terpadu diarahkan kepada tujuan pastoral itu. Untuk mencapai tujuan itu hendaklah semua pembimbing dan dosen bekerja sama dengan tekun, sambil dengan setia mematuhi kewibawaan Uskup.

5. (Para pembimbing Seminari hendaknya dipilih dengan seksama dan dibina secara efektif)

Pendidikan para seminaris tergantung dari peraturan-peraturan yang bijaksana, dan terutama dari para pembina yang cakap. Maka dari itu hendaknya para pembimbing dan dosen Seminari dipilih dari antara pribadi-pribadi yang sungguh baik[8]. Hendaklah mereka sungguh disiapkan melalui studi yang terjamin mutunya, pengalaman pastoral yang secukupnya, dan pembinaan yang khas dibidang rohani serta pendidikan. Maka perlulah dikembangkan lembaga-lembaga untuk mencapai tujuan itu, atau sekurang-kurangnya kursus-kursus yang diprogramkan dengan cermat, begitu pula pertemuan-pertemuan para pembina Seminari, yang diselenggarakan secara berkala.

Hendaknya para pembimbing dan dosen sungguh menyadari, betapa hasil pembinaan para seminaris tergantung dari cara mereka berpikir dan bertindak. Di bawah pimpinan Rektor hendaknya mereka memelihara persatuan semangat maupun perpaduan kegiatan yang erat sekali, begitu pula antara mereka sendiri dan para seminaris mewujudkan rukun kekeluargaan sesuai dengan doa Tuhan: “Hendaklah mereka bersatu” (bdk. Yoh 17:11). Hendaknya dalam hati para seminaris mereka makin menemukan kegembiraan panggilan mereka sendiri. Hendaknya Uskup tiada hentinya, dengan kasih yang istimewa, menyemangati mereka yang berkarya di Seminari, dan bagi para seminaris membawakan diri sebagai bapa yang sejati dalam kristus. Akhirnya hendaknya semua imam memandang Seminari sebagai jantung keuskupan, dan dengan sukarela menyumbangkan bantuan mereka[9].

6. (Penyaringan dan pengujian para seminaris)

Hendaknya – dengan mempertimbangkan umur maupun kemajuan masing-masing – diadakan penyelidikan yang cermat sekali tentang ketulusan maksud serta kehendak bebas para calon, tentang kesesuaian mereka untuk imamat dibidang rohani, moral dan intelektual, tentang cukupnya kesehatan badan maupun jiwa, sementara mempertimbangkan juga disposisi-disposisi yang barangkali mereka warisi dari keluarga. Begitu pula hendaknya dinilai dengan saksama kecakapan para calon untuk menaggung beban hidup sebagai imam serta menunaikan tugas-tugas pastoral[10].

Dalam seluruh penyaringan dan pengujian para seminaris hendaknya selalu dipertahankan ketegasan sikap, juga kendati adanya keluh-kesah tentang kekurangan imam[11]. Sebab Allah tidak akan membiarkan Gereja-Nya tanpa pelayan-pelayan, bila mereka yang memang pantas diangkat, sedangkan mereka yang tidak cocok sebelum terlambat mendapat pengarahan penuh kebapaan untuk berganti haluan, serta dibantu, untuk menyadari panggilan kristen mereka, dan dengan gembira mulai menjalankan kerasulan awam.

7. (Seminari hendaknya diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan para seminaris)

Bila berbagai keuskupan tidak mampu mengelola dengan baik sebuah Seminari untuk dirinya masing-masing, hendaknya didirikan dan dikembangkan Seminari bersama untuk pelbagai keuskupan atau untuk seluruh kawasan atau negeri, supaya secara lebih efektif diselenggarakan pembinaan para seminaris yang terjamin mutunya, dan yang dalam situasi itu pun harus dipandang sebagai norma yang tertinggi. Bila seminari itu bersifat bersifat regional atau nasional, hendaknya dikelola menurut peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh para Uskup yang berkepentingan[12] dan disetujui oleh Takhta Apostolik.

Diseminari yang jumlah seminarisnya cukup besar, hendaknya sambil tetap mempertahankan kesatuan kepemimpinan serta pengajaran mereka itu secara tepat dibagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil, supaya pembinaan pribadi masing-masing lebih terjamin.

IV. PEMBINAAN ROHANI YANG LEBIH INTENSIF

8. (Belajar hidup dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal)

Pembinaan rohani erat berhubungan dengan pendidikan intelektual dan pastoral. Terutama dengan bantuan pembimbing rohani[13] hendaknya pembinaan rohani diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga para seminaris belajar hidup dalam persekutan mesra dan terus menerus dengan Bapa, melalui Putera-Nya Yesus Kristus, dalam Roh Kudus. Karena dengan ditahbiskan mereka harus menjadi secitra dengan Kristus Sang Imam, maka hendaknya juga dengan hidup dalam persekutuan akrab yang meliputi seluruh hidup mereka membiasakan diri untuk sebagai sahabat berpaut pada-Nya[14]. Hendaklah mereka menghayati misteri Paska-Nya sedemikian rupa, sehingga tahu juga mengantar umat yang akan mereka bimbing memasuki misteri itu. Hendaknya mereka diajak mencari kristus dengan setia merenungkan sabda Allah, dalam keakraban yang aktif dengan Misteri-misteri suci Gereja, terutama dalam Ekaristi dan ibadat harian[15]. Hendaknya Kristus itu mereka cari dalam diri Uskup yang mengutus mereka, pun juga pada sesama yang mereka hadapi, terutama kaum miskin, anak-anak, mereka yang sakit, para pendosa dan mereka yang belum beriman. Hendaknya mereka penuh kasih mesra dan kepercayaan berbakti kepada Santa Perawan Maria, yang oleh Kristus Yesus menjelang Wafat-Nya di salib diserahkan kepada murid-Nya sebagai ibu.

Hendaknya latihan-latihan rohani, yang dianjurkan berdasarkan kebiasaan Gereja yang terhormat, dihayati dengan sungguh-sungguh. Tetapi hendaklah diusahakan juga, supaya pembinaan rohani jangan hanya ditaruh pada latihan-latihan itu atau melulu mengembangkan perasaan-perasaan religius. Lebih pentinglah, makin bertambah teguh dalam iman, harapan dan cinta kasih, supaya dalam mengamalkannya mereka memperoleh semangat doa[16], peneguhan serta perlindungan bagi panggilan mereka, kekuatan bagi keutamaan-keutamaan lain, dan supaya makin bertumbuhlah semangat mereka untuk memperoleh semua orang bagi Kristus.

9. (Belajar membaktikan diri dalam Gereja)

Hendaknya para seminaris diresapi oleh misteri Gereja seperti diuraikan terutama oleh Konsili suci ini sedemikian rupa, sehingga mereka merasa terikat oleh cinta kasih penuh kerendahan hati terhadap Wakil Kristus yang mereka anggap bapa, sekali ditahbiskan imam berpaut kepada Uskup mereka sebagai rekan-rekan kerja yang setia, bekerja sama dengan teman-teman seimamat, dan dengan demikian memberi kesaksian akan kesatuan, yang menarik semua orang kepada Kristus[17]. Hendaknya mereka dengan hati yang lapang belajar berperanserta dalam kehidupan Gereja semesta, menurut pesan S. Agustinus: “sejauh orang mencintai Gereja Kristus, sejauh itu pulalah roh Kudus diam dihatinya”[18]. Hendaklah para seminaris jelas-jelas menyadari bahwa mereka tidak dimaksudkan untuk dikemudian hari berkuasa dan dihormati, melainkan untuk membaktikan diri sepenuhnya dalam pengabdian kepada Allah dan dalam pelayanan pastoral. Secara istimewa hendaknya mereka dibina dalam ketaatan sebagai imam, dalam semangat hidup miskin, dan dalam semangat ingkar diri sedemikian rupa[19], sehingga mereka langsung bersedia melepaskan apa saja yang sebenarnya dibolehkan, tetapi tidak ada faedahnya, dan membiasakan diri menyerupai kristus yang disalibkan.

Hendaknya para seminaris diberitahu tentang beban tugas-tugas yang akan mereka terima, tanpa ada kesulitan hidup imamat yang didiamkan saja. Tetapi hendaklah mereka jangan mengkhawatirkan adanya bahaya melulu dalam jerih payah mereka dikemudian hari, melainkan lebih baik mereka dibina untuk sedapat mungkin meneguhkan hidup rohani mereka justru melalui kegiatan pastoral mereka.

10. (Belajar menghayati selibat imam)

para seminaris, yang menurut ketetapan-ketetapan ritus mereka yang suci dan sudah membaku menganut tradisi terhormat selibat imam, hendaknya dengan tekun dibimbing untuk menghayati status itu. Disitulah mereka merelakan persekutuan suami-isteri demi Kerajaan sorga (bdk. Mat 19:12), menyerahkan diri kepada Tuhan dengan kasih tak terbagi[20] yang sangat sesuai dengan Perjanjian Baru, memberi kesaksian akan kebangkitan di masa mendatang (bdk. Luk 20:36)[21], dan menerima bantuan yang sungguh mencukupi untuk terus menerus mengamalkan cinta kasih sempurna, yang memungkinkan mereka menjadi segalanya bagi semua orang dalam pelayanan imam[22]. Hendaknya para seminaris menyadari secara mendalam, betapa penuh syukur status itu harus diterima, bukan melulu karena diwajibkan oleh Hukum Gereja, melainkan sebagai Kurnia Allah yang amat berharga, yang perlu dimohon dengan rendah hati, dan berkat rahmat Roh Kudus yang membangkitkan serta menyertainya mereka tanggapi segera, dengan kerelaan dan kebesaran hati..

Hendaknya para seminaris memahami semestinya tugas-kewajiban serta martabat perkawinan kristen, yang menghadirkan cinta kasih antara Kristus dan Gereja (lih. Ef 5:32 dsl.). Hendaklah mereka menyadari keluhuran keperawanan yang dikuduskan kepada Kristus[23], sehingga atas pilihan sendiri yang dipertimbangkan masak-masak dan dengan hati yang penuh-penuh bersedia, mereka membaktikan diri kepada Tuhan dengan penyerahan jiwa-raga seutuhnya.

Hendaknya mereka diperingatkan terhadap bahaya-bahaya, yang terutama dimasyarakat zaman sekarang mengancam kemurnian mereka[24]. Dibantu oleh upaya-upaya pelindung yang cocok, baik ilahi maupun manusiawi, hendaknya mereka belajar mengintegrasikan pengorbanan hidup perkawinan sedemikian rupa, sehingga hidup maupun kegiatan mereka bukan saja tidak dirugikan oleh selibat, melainkan mereka justru mencapai pengendalian jiwa raga yang lebih mendalam serta kemajuan kedewasaan yang semakin penuh, dan lebih sempurna menikmati kebahagiaan Injil.

11. (Menuju kedewasaan pribadi)

Hendaknya asas-asas pendidikan kristen dipatuhi dengan saksama, serta dengan cermat dilengkapi dengan penemuan-penemuan mutakhir psikologi dan pedagogi yang sehat. Melalui sistem pendidikan yang disusun dengan bijaksana dalam diri para seminaris perlu ditumbuhkan juga kedewasaan kepribadian yang semestinya, yang terutama ternyata dalam sifat kejiwaan yang stabil, dalam kemampuan mengambil keputusan yang dipertimbangkan, dan dalam cara menilai peristiwa-peristiwa serta orang-orang dengan saksama. Hendaklah para seminaris membiasakan diri untuk mengatur sifat perangai mereka. Hendaknya mereka dibina untuk mencapai keteguhan jiwa, dan pada umumnya belajar menghargai keutamaan-keutamaan, yang dijunjung tinggi oleh orang-orang, serta menimbulkan penghargaan terhadap pelayan Kristus[25], misalnya: kejujuran, usaha tiada hentinya demi keadilan, kesetiaan terhadap janji-janji, sopan-santun dalam perilaku, kesederhanaan dalam berbicara yang disertai cinta kasih.

Tata-tertib kehidupan di Seminari hendaklah dipandang bukan hanya sebagai pelindung yang tangguh bagi hidup bersama dan cinta kasih, melainkan sebagai bagian yang perlu dalam seluruh pendidikan untuk mencapai penguasaan diri, mendukung pendewasaan pribadi yang mantap, dan membentuk disposisi-disposisi jiwa lainnya, yang sangat membantu keserasian dan kesuburan kegiatan Gereja. Tata-tertib itu hendaknya dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga terbentuklah disposisi batin para seminaris untuk menerima kewibawaan para pemimpin berdasarkan keyakinan pribadi atau suara hati (lih. Rom 13:5) serta alasan-alasan adikodrati. Peraturan-peraturan tata-tertib hendaknya diterapkan sesuai dengan umur para seminaris, sehingga mereka sendiri, membiasakan diri untuk menggunakan kebebasan dengan bijaksana, bertindak secara sukarela dan penuh semangat[26], pun juga bekerja sama dengan rekan-rekan sepanggilan dan kaum awam.

Seluruh corak hidup di Seminari, yang diliputi semangat kesalehan dan keheningan serta ditandai rasa terdorong untuk saling membantu, hendaklah diatur sedemikian rupa, sehingga sudah merupakan suatu permulaan kehidupan iman dikemudian hari.

12. (Waktu untuk pembinaan rohani yang lebih intensif; masa pembinaan pastoral)

Supaya dasar pembinaan rohani makin bertambah mantap, dan para seminaris menekuni panggilan mereka berdasarkan pilihan yang dipertimbangkan masak-masak, termasuk kewenangan para Uskuplah menetapkan waktu tertentu bagi pembinaan rohani yang lebih intensif. Termasuk wewenang mereka pula mempertimbangkan kegunaan waktu terluang dalam proses studi, atau masa pembinaan pastoral yang memadai, supaya para calon imam dapat diuji secara lebih saksama. Begitu pula, sesuai dengan situasi masing-masing daerah, termasuk wewenang para Uskup mengambil keputusan tentang pengunduran saat yang sekarang ini ditetapkan oleh Hukum Kanonik umum untuk pentahbisan; begitu pula mempertimbangkan adanya kesempatan, supaya para seminaris, seusai studi teologi, melaksanakan diakonat mereka untuk jangka waktu yang mencukupi, sebelum menerima Tahbisan imam.

V. PENINJAUAN KEMBALI STUDI GEREJAWI

13. (Studi persiapan untuk studi gerejawi)

Sebelum memulai studi gerejawi yang sesungguhnya, hendaknya para seminaris dibekali dengan pendidikan humaniora dan ilmiah, yang memungkinkan kaum muda menempuh studi tingkat tinggi dalam negeri. Selain itu hendaknya mereka mengetahui pengetahuan bahasa latin, yang memungkinkan mereka memahami dan memanfaatkan sekian banyak sumber ilmu dan dokumen-dokumen Gereja[27]. Hendaklah dipandang perlu studi bahasa liturgi yang khas bagi masing-masing ritus, pun hendaknya sangat dianjurkan pengetahuan bahasa-bahasa Kitab suci dan tradisi.

14. (Studi gerejawi hendaknya lebih diserasikan)

Dalam meninjau kembali studi gerejawi hendaknya yang terutama mau dicapai ialah: supaya vak-vak filsafat dan teologi disusun secara lebih serasi, dan semuanya berpadu secara laras untuk makin menyingkapkan kepada para seminaris Misteri Kristus. Misteri itu menyangkut seluruh sejarah umat manusia, tiada hentinya meresapi Gereja, dan terutama berkarya melalui pelayanan imam[28].

Supaya pandangan itu sejak awal pembinaan tersalurkan kepada para seminaris, hendaknya studi gerejawi dimulai dengan kursus pengantar dalam jangka waktu secukupnya. Pada awal studi itu Misteri Keselamatan hendaknya diuraikan sedemikian rupa, sehingga para seminaris memahami makna, tata-susunan maupun tujuan pastoral studi gerejawi, pun sekaligus dibantu untuk mendasari dan merasuki seluruh hidup mereka dengan iman, serta diteguhkan dalam menghayati panggilan mereka dengan penyerahan diri dan hati gembira.

15. (Peninjauan kembali studi filsafat)

Vak-vak filsafat hendaknya diajarkan sedemikian rupa, sehingga para seminaris pertama-tama diantar untuk mendapat pengertian yang mantap dan koheren tentang manusia, dunia dan Allah, bertumpu pada pusaka filsafat yang tetap berlaku[29]. Sementara itu perlu diindahkan pula penyelidikan-penyelidikan filsafat yang aktual, terutama yang berpengaruh cukup besar dikalangan bangsa mereka sendiri begitu juga kemajuan mutakhir ilmu-pengetahuan. Demikianlah para seminaris akan menangkap dengan cermat mentalitas zaman sekarang, dan menjalani persiapan yang bermanfaat untuk menjalin dialog dengan orang-orang semasa[30].

Sejarah filsafat hendaknya diajarkan sedemikian rupa, sehingga para seminaris menyelami asas-asas terdalam pelbagai sistem, mempertahankan apa yang disitu terbukti benar, mampu menyingkapkan akar-akar anggapan-anggapan yang sesat serta menyanggahnya.

Cara mengajar sendiri hendaklah membangkitkan pada diri murid cinta akan kebenaran, yang harus dicari, dikaji dan dibuktikan melulu menurut kenyataan, sementara batas-batas pengetahuan manusiawi diakui dengan jujur. Hendaknya diperhatikan dengan saksama kaitan yang erat antara filsafat dan masalah-masalah kehidupan yang nyata, begitu pula soal-soal yang sedang mengasyikkan pemikiran para seminaris. Mereka sendiri pun hendaknya ditolong untuk memahami hubungan-hubungan antara penalaran-penalaran filsafat dan misteri-misteri keselamatan, yang dalam teologi ditelaah dalam terang iman yang lebih luhur.

16. (peningkatan studi teologi)

Hendaknya vak-vak teologi diajarkan dalam cahaya iman, di bawah bimbingan Magisterium Gereja[31] sedemikian rupa, sehingga para seminaris dengan saksama menimba ajaran katolik dari perwahyuan ilahi, menyelaminya secara mendalam, menjadikannya bahan renungan untuk meningkatkan hidup mereka[32], serta mampu mewartakan, menguraikan dan mempertahankannya dalam pelayanan dikemudian hari sebagai imam.

Hendaklah para seminaris diajak dengan sungguh tekun mempelajari Kitab suci, yang bagaikan harus menjiwai seluruh teolog[33]. Sesudah mendapat pengantar secukupnya, hendaknya mereka dengan cermat diperkenalkan dengan metode menafsirkan Kitab suci. Hendaklah mereka mendalami tema-tema perwahyuan ilahi yang paling mendasar, dan dalam membaca serta merenungkan Kitab suci setiap hari mengalami, betapa hidup rohani mereka didorong dan diperkaya[34].

Hendaknya teologi dogmatik diuraikan secara terencana, dimulai dengan penyajian tema-tema kitabiah. Hendaklah dipaparkan kepada para seminaris apa saja yang disumbangkan oleh para Bapa Gereja Timur maupun Barat, untuk dengan setia menyalurkan dan mengulas kebenaran-kebenaran Wahyu secara rinci; begitu pula sejarah dogma selanjutnya, seraya diperhatikan hubungannya dengan sejarah umum Gereja[35]. Kemudian, untuk seutuhnya mungkin membahas misteri-misteri keselamatan, hendaklah para seminaris belajar menyelaminya secara makin mendalam melalui refleksi teologis berpaduan S. Tomas, serta memahami antar hubungannya[36]. Hendaknya mereka diajar menyadari, bahwa misteri-misteri itu senantiasa hadir dan berkarya dalam upacara-upacara Liturgi[37] dan dalam seluruh hidup Gereja. Begitu pula hendaklah mereka belajar memecahkan soal-soal manusiawi dalam terang Wahyu, menerapkan kebenaran-kebenarannya yang kekal pada situasi manusiawi yang silih-berganti, dan mewartakannya kepada sesama semasa dengan cara yang sesuai[38].

Demikian pula hendaklah vak-vak teologi lainnya diperbaharui melalui kontak yang lebih hidup dengan Misteri Kristus dan sejarah keselamatan. Secara khas hendaklah diusahakan penyempurnaan teologi moral. Hendaknya itu diuraikan secara ilmiah, lebih mengacu kepada ajaran Kitab suci, sehingga sungguh menjelaskan keluhuran panggilan umat beriman dalam Kristus serta kewajiban mereka untuk demi kehidupan dunia menghasilkan buah dalam cinta kasih. Begitu pula dalam penjelasan tentang Hukum Kanonik dan penyampaian sejarah gereja hendaknya diperhatikan hubungan dengan Misteri gereja, menurut Konstitusi dogmatis tentang Gereja, yang telah dimaklumkan oleh Konsili ini. Liturgi suci harus dipandang sebagai sumber utama yang sungguh perlu bagi semangat kristen yang sejati, dan diajarkan seturut maksud Konstitusi tentang Liturgi, artikel 15 dan 16[39].

Sementara dipertimbangkan situasi perlbagai daerah yang serba aneka, hendaknya para seminaris diajak makin mengenal Gereja-Gereja dan Jemaat-jemaat gerejawi yang terpisah dari Takhta Apostolik di Roma, supaya mereka mampu menyumbangkan jasa mereka demi semakin tercapainya pemulihan kesatuan antara semua orang kristen menurut ketetapan-ketetapan Konsili ini[40].

Begitu pula hendaknya para seminaris diajak makin memahami agama-agama lain, yang cukup tersebar dimasing-masing daerah, supaya mereka lebih mengenali kebaikan serta kebenaran, yang berkat penyelenggaraan Allah terdapat pada agama-agama itu, belajar menyanggah kesesatan-kesesatan, dan dapat menyalurkan kepenuhan cahaya kebenaran kepada mereka yang belum menikmatinya.

17. (Metode pendidikan yang cocok dalam pelbagai vak)

Pendidikan intelektual janganlah melulu bertujuan menyampaikan pengetahuan-pengetahuan saja, melainkan hendaknya diarahkan kepada pembinaan pada seminaris yang sejati dan mendalam. Oleh karena itu hendaknya metode-metode pendidikan ditinjau kembali, baik mengenai kuliah-kuliah, wawancara dan latihan-latihan, maupun mengenai cara menggairahkan studi para seminaris, baik pribadi maupun dalam kelompok-kelompok kecil. Hendaknya sungguh-sungguh diusahakan kesatuan dan mutu seluruh pendidikan, dengan menghindari jumlah terlampau besar vak-vak maupun kuliah-kuliah, dan mengesampingkan masalah-masalah, yang praktis tidak relevan lagi, atau yang termasuk studi akademis lebih tinggi.

18. (Studi khusus bagi mereka yang berbakat tinggi)

Termasuk tugas para Uskup mengusahakan, supaya orang-orang muda, yang menilik sifat-perangai, keutamaan serta tingkat kecerdasan mereka memang cocok, diutus ke lembaga-lembaga, fakultas-fakultas atau universitas-universitas, agar diberbagai bidang teologi dan dalam ilmu pengetahuan lainnya yang dipandang sungguh berguna, disiapkan imam-imam yang dengan menempuh pendidikan ilmiah yang lebih mendalam mampu memenuhi pelbagai kebutuhan kerasulan. Tetapi hendaklah pembinaan rohani dan pastoral mereka, terutama sebelum tahbisan imam, jangan diabaikan.

IV. PEMBINAAN PASTORAL

19. (pembinaan dalam pelbagai bentuk reksa pastoral)

Keprihatinan pastoral mendalam, yang harus merasuki seluruh pendidikan para seminaris[41], meminta juga supaya mereka dibina dengan tekun dalam segala sesuatu, yang secara khs menyangkut pelayanan imam, terutama katekese dan pewartaan, ibadat Liturgi dan pelayanan Sakramen-Sakramen, karya cinta kasih, tugas menghadapi mereka yang sesat dan tidak percaya, dan tugas-tugas pastoral lainnya. Hendaknya mereka dididik dengan saksama untuk memberi bimbingan rohani, supaya mereka mampu membina semua putera-puteri Gereja terutama untuk penuh kesadaran menghayati hidup kristen berjiwakan kerasulan, dan untuk menunaikan kewajiban-kewajiban status hidup mereka. Hendaknya para seminaris belajar dengan perhatian sebesar itu juga membantu para religius pria maupun wanita, supaya mereka tetap hidup dalam rahmat panggilan mereka, dan berkembang menurut spiritualitas pelbagai Tarekat mereka[42].

Pada umumnya hendaknya dalam diri seminaris dikembangkan kecakapan-kecakapan yang diperlukan untuk berdialog dengan sesama, misalnya: kemampuan untuk mendengarkan orang lain, dan untuk dalam semangat cinta kasih membuka hati bagi bermacam-macam segi kebutuhan manusia[43].

20. (Pembinaan untuk mengembangkan kerasulan)

Hendaknya para seminaris juga diajar memanfaatkan sumbangan yang dapat diberikan oleh ilmu-ilmu pedagogi, psikologi dan sosiologi[44], menganut metode-metode yang tepat dan norma-norma Pimpinan Gereja. Begitu pula hendaklah mereka disiapkan dengan cermat untuk membangkitkan dan menggairahkan kerasulan awam[45], begitu pula untuk mengembangkan aneka bentuk kerasulan yang lebih efektif. Hendaknya mereka diresapi semangat katolik yang sejati, sehingga mereka membiasakan diri untuk melampaui batas-batas keuskupan, bangsa maupun ritus, dan membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan seluruh Gereja, dengan hati yang siap-sedia untuk dimana-mana mewartakan Injil[46].

21. (Melatih diri melalui praktek pastoral)

Memang perlulah para seminaris tidak hanya secara teoritis mempelajari cara merasul, melainkan melatihnya juga secara praktis, dan mampu bertindak atas tanggung jawab sendiri serta bekerja sama. Oleh karena itu sejak mereka menempuh studi, juga pada waktu liburan, hendaknya mereka diajak menjalani praktek pastoral melalui latihan-latihan yang tepat guna. Latihan-latihan itu harus dijalankan dengan mengindahkan umur para seminaris dan situasi setempat, menurut kebijakan para Uskup, secara metodis, dan dibawah bimbingan mereka yang mahir dibidang pastoral. Sementara itu hendaknya tetap disadari, bahwa upaya-upaya adikodrati masih lebih diperlukan lagi[47].

VII. PEMBINAAN SEUSAI MASA STUDI

22. Terutama mengingat situasi masyarakat akhir-akhir ini, pembinaan imam juga seusai kurikulum studi di Seminari masih perlu dilanjutkan dan disempurnakan[48]. Maka termasuk wewenang Konferensi uskup, untuk disetiap negara mengerahkan upaya-upaya yang cukup berfaedah, misalnya lembaga-lembaga pastoral yang bekerja sama dengan paroki-paroki tertentu yang dipilih dengan saksama, pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan secara berkala, dan latihan-latihan yang sesuai. Hendaknya dengan upaya-upaya itu klerus angkatan muda lambat-laun diajak menghayati imamat serta kegiatan merasul dalam dimensinya rohani, intelektul serta pastoral, dan dengan demikian makin mampu membaharui dan mengembangkannya.

PENUTUP

Untuk meneruskan karya yang telah dimulai oleh Konsili Trento, para Bapa Konsili ini, – sambil penuh kepercayaan menyerahkan kepada para pembina dan para dosen di Seminari-seminari tugas untuk mendidik para calon imam Kristus dalam semangat pembaharuan yang didukung oleh Konsili ini, – dengan sangat mendorong mereka, yang menyiapkan diri untuk pelayanan imam, supaya mereka sungguh menyadari, bahwa merekalah yang menjadi tumpuan harapan gereja serta keselamatan sesama. Semoga mereka dengan rela hati menyambut pedoman-pedoman yang tercantum dalam Dekrit ini, dan memperbuahkan hasil yang lestari dan berlimpah-limpah.

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada Kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 28 bulan Oktober tahun 1965.

Saya PAULUS
Uskup Gereja katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


[1] Atas kehendak Kristus sendiri perkembangan segenap Umat Allah banyak sekali tergantung dari pelayanan para imam. Itu jelas dari sabda Tuhan, yang menjadikan Rasul-rasul serta para pengganti mereka beserta rekan-rekan kerja pewarta Injil, pemimpin umat baru yang terpilih, dan pelayan misteri-misteri Allah. Kenyataan itu masih dikukuhkan juga oleh ungkapan-ungkapan para Bapa Gereja dan para Kudus, begitu pula dari pelbagai ajaran para paus. Lih terutama : S. PIUS X, hlm. 236-264. – PIUS XI, Ensiklik Ad catholici Sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28(1936) terutama hlm. 37-52. – PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 657-702. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii Nostri primordia, tgl. 1 Agustus 1959: AAS 51 (1959) hlm. 545-579. – PAULUS VI, Surat apostolik, Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963) hlm. 979-995.

[2] Seluruh pembinaan imam, yakni tata-laksana Seminari, pembinaan rohani, peraturan studi, hidup bersama para seminaris dan tata-tertib, latihan-latihan pastoral, harus disesuaikan dengan pelbagai situasi setempat. Penyesuaian itu mengenai asas-asasnya yang utama harus dijalankan menurut norma-norma umum, bagi klerus diosesan oleh Konferensi-Konferensi Uskup, dan dengan cara yang serupa bagi para imam religius oleh para Pemimpin yang berwenang. Lih. Ketetapan-ketetapan umum yang dilampirkan pada Konstitusi apostolik Sedes Sapientae, art. 19.

[3] Diantara kesukaran-kesukaran pokok yang menimpa Gereja zaman sekarang, hampir di mana-mana yang paling penting ialah sedikitnya panggilan imam. – Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: “… jumlah imam baik di daerah-daerah katolik, maupun di daerah-daerah misi, kebanyakan tidak mencukupi untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan yang bertubi-tubi”: AAS 42 (1950) hlm. 682. – YOHANES XXIII: “Masalah panggilan gerejawi dan religius merupakan keprihatihatinan sehari-hari bagi Paus …; itulah jeritan doanya, itu pula aspirasi jiwanya yang membara” (dari Amanat kepada Kongres Internasional I tentang panggilan hidup religius, tgl. 16 Desember 1961: L’Osservatore Romano, tgl. 17 Desember 1961).

[4] PIUS XII, Konstitusi apostolik Sedes sapientiae, tgl. 31 mei 1956: AAS 48 (1956) hlm. 357. – PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963) hlm. 984 dan selanjutnya.

[5] Lih. Terutama : PIUS XII, Motu Proprio Cum nobis, tentang “didirikannya Karya Kepausan untuk Panggilan Imam pada kongregasi untuk Seminari dan Universitas”, tgl. 4 November 1941: AAS 33 (1941) hlm. 479; dilampiri Ketetapan-Ketetapan dan norma-norma yang diumumkan oleh Kongregasi itu pada tgl. 8 September 1943. – Motu proprio Cum supremae, tentang “Karya Kepausan untuk Panggilan Religius”, tgl. 11 februari 1955: AAS 47 (1955) hlm. 266; dilampiri Ketetapan-ketetapan dan norma-norma yang diumumkan oleh Kongregasi untuk para Religius (ibid., hlm. 298-301). – KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, art. 24. – Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam gereja, art. 15.

[6] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 685.

[7] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja art. 28.

[8] Lih. PIUS XI, Ensiklik Ad Catholici Sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 37: “Pertama-tama hendaklah para pembimbing serta dosen-dosen dipilih dengan saksama … Berilah kepada Seminari-Seminari anda imam-imam yang terbaik. Janganlah berkeberatan membebaskan mereka dari tugas-tugas, yang nampaknya saja memang lebih penting, tetapi sungguh tiada dapat dibandingkan dengan karya mahapenting, yang tak dapat digantikan itu”. Surat apostolik kepada Ordinaris di Brasilia, tgl. 23 April 1947, Discorsi e Radiomessagi IX, hlm. 579-580.

[9] Tentang kewajiban umum membantu Seminari-seminari lih. PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963)hlm. 984.

[10] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 684. – Bdk. Kongregasi untuk Sakramen-Sakramen, Surat edaran Magna equidem kepada para Ordinaris, tgl. 27 Desember 1935, no. 10. – Untuk para Religius: lih. Statula Generalia (ketetapan-ketetapan umum) yang dilampirkan pada Konstitusi apostolik Sedes Sapientiae, tgl. 31 Mei 1956, art. 33. – PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963) hlm. 987 dan selanjutnya.

[11] Lih. PIUS XI, Ensiklik Ad Catolici Sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 41.

[12] Ditetapkan, supaya dalam menentukan Anggaran Dasar Seminari-Seminari regional maupun nasional semua Uskup yang berkepentingan berperan serta; dengan demikian ketentuan Kitab Hukum Kanonik kanon 1357, butir 4, ditiadakan.

[13] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 674. – KONGREGASI UNTUK SEMINARI DAN UNIVERSITAS, LA Formazione spirituale del candidato al sacerdotio (Pembinaan rohani calon imam), Citta del Vaticano 1965.

[14] Lih. S. PIUS X, Amanat kepada klerus katolik Haerent animo, tgl. 4 Agustus 1908: S. Pii X Acta, IV, hlm. 242-244. – PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 659-661. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii nostri Primordia, tgl. 1 Agustus 1959: AAS 51 (1959) hlm. 550 dan selanjutnya.

[15] Lih. PIUS XII, Ensiklik Mediator Dei, tgl. 20 November 1947: AAS 39 (1947) hlm. 547 dan selanjutnya, dan 572 dan selanjutnya. – YOHANES XXIII, Anjuran apostolik Sacrae Laudis, tgl. 6 Januari 1962: AAS 54 (1962) hlm. 69. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 16 dan 17. – KONGREGASI IBADAT, Instructio ad axecutionem Constitutionis de Sacra Liturgia recte ordinandam (Instruksi untuk mengatur pelaksanaan Konstitusi tentang Liturgi), tgl. 26 September 1964, no. 14-17: AAS 56 (1964) hlm. 880 dan selanjutnya.

[16] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii Nostri primordia: AAS (1959) hlm. 550 dan selanjutnya.

[17] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 28.

[18] S. AGUSTINUS, Komentar pada Injil Yohanes 32,8: PL 35, 1646.

[19] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, AAS 42 (1950) hlm. 662 dan selanjutnya, 685, 690. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii Nostri primordia: AAS 51 (1959) hlm. 551-553; 556 dan selanjutnya. – PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, Tgl 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 634 dan selanjutnya. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, terutama art. 8.

[20] Lih. PIUS XII, Ensiklik Sacra Virginitas, tgl. 25 Maret 1954: AAS 46 (1954) hlm. 165 dan selanjutnya.

[21] Lih. S. SIPRIANUS, De habitu virginum (tentang sikap para perawan), 22: PL 4,475. – S. AMBROSIUS, De virginibus (tentang para perawan) I,8,52: PL 16,202 dan selanjutnya.

[22] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: AAS 42 (1950), hlm. 663.

[23] Lih. PIUS XII, Ensiklik Sacra Virginitas: AAS 46 (1954)hlm. 170-174.

[24] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: AAS 42 (1950) hlm. 663.

[25] Lih. PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963) hlm. 991.

[26] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: AAS 42 (1950) hlm. 686.

[27] Lih. PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum: AAS 55 (1963) hlm. 993.

[28] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 7 dan 28.

[29] Lih. PIUS XII, Ensiklik Humani generis, tgl. 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) hlm. 571-575.

[30] Lih. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 637 dan selanjutnya.

[31] Lih. PIUS XII, Ensiklik Humani generis, tgl. 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) hlm. 567-569. – Amanat Si diligis, tgl. 31 Mei 1954: AAS 46 (1954) hlm. 314 dan selanjutnya. – PAULUS VI, Amanat di Universitas Kepausan Gregoriana, tgl. 12 maret 1964: AAS 56 (1964) hlm. 364 dan selanjutnya. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 25.

[32] Lih. S. BONAVENTURA, Itinerarium mentis in Deum (perjalanan jiwa menuju Allah), pembukaan, no. 4: “Janganlah seorangpun percaya, seakan-akan baginya sudah cukuplah bacaan tanpa pengurapan, permenungan tanpa sikap bakti, penyelidikan tanpa rasa kagum, sikap hati-hati tanpa kegembiraan, ketekunan tanpa kesalehan, pengetahuan tanpa cinta kasih, pemahaman tanpa kerendahan hati, usaha tanpa rahmat ilahi, terang tanpa kebijaksanaan yang diilhami oleh Allah”, Opera Omnia, V, Quaracchi 1891, hlm. 296.

[33] Lih. LEO XIII, Ensiklik Providentissimus Deus, tgl. 18 November 1893: AAS 26 (1893-94) hlm. 283.

[34] Lih. KOMISI KITAB SUCI, Instructio de Sacra Scriptura recte docenda, tgl. 13 Mei 1950: AAS 42 (1950) hlm. 502.

[35] Lih. PIUS XII, Ensiklik Humani generis, tgl. 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) hlm. 568 dan selanjutnya: “… karena sumber-sumber kudus dipelajari, ilmu-ilmu selalu mengalami peremajaan. Sebaliknya penalaran, yang mengabaikan penyelidikan perbendaharaan iman yang lebih mendalam menurut pengalaman menjadi mandul”.

[36] Lih. PIUS XII, Amanat kepada para Seminaris, tgl. 24 Juni 1939: AAS 31 (1939) hlm. 247: “Dengan menganjurkan ajaran S. Tomas gairah … untuk mencari dan menyiarkan kebenaran tidak dikekang, melainkan justru dibangkitkan dan dituntun dengan aman”. – PAULUS VI, Amanat di Universitas Gregoriana, tgl. 12 Maret 1964: AAS 56 (1964) hlm. 365: “Hendaknya (para dosen) … penuh hormat mendengarkan suara para Pujangga Gereja, antara lain Tomas Akuino yang menduduki tempat utama. Sebab Pujangga bagaikan malaikat itu begitu unggul kecerdasannya, begitu tulus cintanya akan kebenaran, begitu menonjol kearifannya dalam menelusuri kebenaran-kebenaran yang terdalam, dalam menguraikannya dan memadukannya menjadi satu keutuhan yang serasi, sehingga ajarannya merupakan upaya yang efektif sekali, bukan hanya untuk melindungi dasar-dasar iman, melainkan juga untuk dengan banyak manfaat dan aman memetik buah-hasil kemajuan yang sehat”. – Lih. Juga Amanat pada Kongres Internasional tentang Tomisme ke VI, tgl. 10 September 1965.

[37] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 7 dan 16.

[38] Lih. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesian suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 640 dan selanjutnya.

[39] KONSILI VATIKAN II, konstitusi tentang Liturgi, art. 10, 14, 15, 16. – KONGREGASI IBADAT, Instructio ad excecutionem Constitutionis de Sacra Liturgi recte ordinandam, tgl. 26 September 1964, no. 11 dan 12: aas 56 (1964) hlm. 879 dan selanjutnya.

[40] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Ekumenisme, art. 1, 9, 10.

[41] Citra gembala yang sempurna dapat dijabarkan dalam dokumen-dokumen para paus terakhir, yang secara eksplisit membahas kehidupan, sifat-perangai, pembinaan imam; terutama : S. PIUS X, Anjuran kepada klerus Haerent animo: S. pii X Acta IV, hlm. 327 dan selanjutnya. – PIUS XI, Ensiklik Ad catholici Sacerdotii: AAS 28 (1936) hlm. 5 dan selanjutnya. – PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: AAS 42 (1950) hlm. 657 dan selanjutnya. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotti Nostri primordia: AAS 51 (1959) hlm. 545 dan selanjutnya. – PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum: AAS 55 (1963) hlm. 979 dan selanjutnya. – Tentang pembinaan pastoral banyak pula ditemukan dalam Ensiklik Mystici Corporis (1943), Mediator Dei (1947), Evangelii Praecones (1951), Sacra Virginitas (1954), Musicae Sacrae Disciplina (1955), Princeps Pastorum (1959), dan Konstitusi apostolik Sedes Sapientiae (1956) untuk para religius. – PIUS XII, YOHANES XXIII dan PAULUS VI dalam amanat-amanat mereka kepada para seminaris dan imam-imam sering pula melukiskan citra gembala yang baik.

[42] Tentang pentingnya status hidup, yang didasarkan pada pengikraran nasehat-nasehat Injil: Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, bab VI; Dekrit tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius.

[43] Lih. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam Suam, tagl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) seringkali, terutama hlm. 635 dan selanjutnya, dan 640 dan selanjutnya.

[44] Lih. terutama YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 401 dan selanjutnya.

[45] Lih. terutama KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 33.

[46] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 17.

[47] Banyak sekali dokumen para Paus, yang mengingatkan akan bahaya mengabaikan tujuan adikodrati dalam kegiatan pastoral, serta setidak-tidaknya secara praktis meremehkan bantuan-bantuan adikodrati. Lih. terutama dokumen-dokumen yang tercantum dalam catatan kaki 41.

[48] Dokumen-dokumen Takhta suci akhir-akhir ini mendesak, supaya para imam-imam baru diperhatikan secara istimewa. Terutama baiklah disebut: PIUS XII, Motu Proprio Quandoquidem, tgl. 2 April 1949: AAS 41 (1949) hlm. 165-167; Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950); Konstitusi apostolik (untuk para religius) Sedes Sapientiae, tgl 31 Mei 1956, dan Ketetapan-ketetapan umum yang dilampirkan; Amanat kepada para imam pada Pertemuan di Barcelona, tgl. 14 Juni 1957: Discorsi e Radiomesagi, XIX, hlm. 271-273. – PAULUS VI, Amanat kepada para imam tarekat Gian Matteo Giberti di keuskupan Verona, tgl. 13 Maret 1964.