DEKRIT TENTANG TUGAS PASTORAL PARA USKUP DALAM GEREJA

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI
DEMI KENANGAN ABADI

PENDAHULUAN

1. KRISTUS TUHAN, Putera Allah yang hidup, telah datang untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa[1], dan supaya semua orang dikuduskan. Seperti Ia sendiri di utus oleh Bapa, begitu pula Ia mengutus para rasul-Nya[2]. Ia menyucikan mereka dengan menyerahkan Roh Kudus kepada mereka, supaya merekapun memuliakan Bapa diatas bumi dan menyelamatkan orang-orang, “demi pembangunan Tubuh Kristus&” (Ef 4:12), yakni Gereja.

2. Dalam Gereja Kristus itu, Imam agung di Roma sebagai pengganti Petrus, yang oleh Kristus telah dipercaya untuk menggembalakan domba-domba dan anak-anak domba-Nya, atas penetapan ilahi mempunyai kuasa tertinggi, sepenuhnya, langsung dan universal atas reksa jiwa-jiwa. Maka dari itu, karena selaku gembala semua orang beriman ia utus, untuk mengusahakan kesejahteraan bersama Gereja semesta maupun kesejahteraan Gereja masing-masing, ia memperoleh primat kuasa biasa atas semua Gereja.

Adapun para Uskup sendiri, yang diangkat oleh Roh Kudus menggantikan para Rasul sebagai gembala jiwa-jiwa[3], dan bersama dengan Imam Agung Tertinggi serta dibawah kewibawaannya, telah diutus untuk melestarikan karya Kristus, Gembala yang kekal[4]. Sebab kepada Rasul-Rasul dan para pengganti mereka Kristus telah memerintahkan dan memberikan kuasa untuk mengajar semua bangsa, dan menguduskan orang-orang dalam kebenaran, serta menggembalakan mereka, Maka para Uskup, Berkat Roh Kudus yang dikurniakan kepada mereka, menjadi guru iman, Imam Agung dan Gembala yang sejati dan otentik[5].

3. Tugas mereka sebagai Uskup, yang telah mereka terima melalui tahbisan Uskup itu[6], mereka laksanakan sambil ikut memperhatikan semua Gereja-Gereja, dalam persekutuan dan dibawah kewibawaan Imam Agung Tertinggi sehubungan dengan kuasa mengajar dan kepemimpinan kegembalaan, sementara mereka semua bersatu dalam suatu Dewan atau badan menghadapi Gereja Allah yang sePamesta.

Masing-masing Uskup menunaikan tugas itu terhadap bagian kawanan Tuhan yang diserahkan kepadanya. Masing-masing mengasuh gereja khusus yang dipercayakan kepadanya, atau adakalanya beberapa Uskup bersama-sama berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan bersama berbagai gereja.

Maka dari itu Konsili suci, sambil mengindahkan pula kondisi-kondisi umat manusia, yang pada zaman sekarang ini berkembang menuju tata masyarakat yang baru[7], dan dengan maksud menguraikan tugas pastoral para Uskup secara lebih cermat, menetapkan hal-hal berikut ini.

BAB SATU – PARA USKUP DAN GEREJA SEMESTA

I. PERAN PARA USKUP TERHADAP GEREJA SEMESTA

4. (Pelaksanaan kekuasaan oleh Dewan para Uskup)

Berdasarkan tahbisan sakramental dan persekutuan hirarkis dengan Ketua Dewan serta para anggotanya, para uskup diangkat menjadi anggota Badan para uskup[8]. Adapun “Badan para Uskup, yang menggantikan Dewan para rasul dalam tugas mengajar dan bimbingan pastoral, bahkan yang melestarikan Badan para Rasul, bersama dengan Imam Agung di Roma selaku Kepalanya, dan tidak pernah tanpa Kepala itu, merupakan subjek kuasa tertinggi yang penuh juga terhadap seluruh Gereja; tetapi kuasa itu hanyalah dapat dijalankan dengan persetujuan Imam Agung di Roma&”[9]. Kuasa itu “secara meriah dijalankan dalam Konsili Ekumenis&”[10]. Maka Konsili suci menetapkan, bahwa semua Uskup, yang menjadi anggota Dewan para Uskup, berhak menghadiri Konsili Ekumenis.

“Kuasa kolegial itu dapat juga dijalankan oleh para Uskup bersama Paus, kalau mereka tersebar diseluruh dunia, asal saja kepala Dewan mengundang mereka untuk melaksanakan tindakan kolegial, atau setidak-tidaknya menyetujui atau dengan bebas menerima kegiatan bersama para Uskup yang terpencar, sehingga sungguh-sungguh terjadi tindakan kolegial&”[11].

5. (Majelis atau Sinode para Uskup)

para Uskup yang terpilih dari pelbagai wilayah dunia, menurut cara-cara dan kaidah-kaidah yang telah atau masih harus ditetapkan oleh Imam Agung di Roma, memberi bantuan yang lebih berbobot kepada Gembala tertinggi Gereja, dalam musyawarah yang secara khas di sebut Sinode para Uskup[[12]]. Karena sinode membawakan peran seluruh Episkopat katolik, maka sekaligus melambangkan, bahwa semua Uskup dalam persekutuan hirarkis ikut serta menanggung keprihatinan Gereja semesta[13].

6. (para Uskup ikut serta memperhatikan semua Gereja-Gereja)

Hendaknya para Uskup, sebagai pengganti para Rasul yang sah dan anggota Dewan para Uskup, selalu menyadari bahwa mereka berhubungan satu dengan yang lain. Hendaknya mereka juga memperhatikan semua Gereja-Gereja, karena atas ketetapan Allah dan kewajiban tugas rasuli mereka masing-masing bersama para Uskup lainnya bertanggung jawab atas Gereja[14]. Terutama hendaknya mereka penuh perhatian terhadap kawasan-kawasan dunia ini, yang belum menerima pewartaan sabda Allah, atau di mana, terutama karena sedikitnya jumlah imam, Umat beriman kristiani terancam bahaya menjauh dari perintah-perintah hidup kristiani, bahkan kehilangan iman sendiri.

Maka hendaknya mereka berusaha sekuat tenaga supaya karya-karya pewartaan Injil dan kerasulan dengan gembira ditanggung dan di dukung oleh kaum beriman. Selain itu hendaknya mereka mengusahakan, supaya disiapkan imam-imam yang cakap, begitu pula tenaga-tenaga bantuan baik religius maupun awam untuk tanah-tanah Misi maupun daerah-daerah yang kekurangan klerus. Hendaknya mereka usahakan juga, supaya sedapat mungkin beberapa diantara imam-imam mereka mengunjungi tanah-tanah Misi atau keuskupan-keuskupan tersebut di atas, untuk disitu menjalankan pelayanan suci untuk selamanya atau sekurang-kurangnya untuk waktu tertentu.

Kecuali itu hendaklah para Uskup selalu ingat, bahwa dalam penggunaan harta milik gerejawi perlu diindahkan bukan hanya kebutuhan-kebutuhan keuskupan mereka saja, melainkan juga keperluan-keperluan Gereja-gereja khusus lainnya, sebab itu semua merupakan bagian Gereja Kristus yang satu. Akhirnya hendaklah mereka berusaha, untuk sedapat mungkin meringankan malapetaka, yang sedang diderita oleh keuskupan-keuskupan atau daerah-daerah lain.

7. (Cinta kasih yang nyata terhadap para Uskup yang dianiaya)

Terutama hendaklah para Uskup dengan semangat persaudaraan merangkul para Pemimpin Gereja, yang demi nama Kristus menanggung fitnahan dan kegelisahan, dipenjarakan, atau dirintangi dalam menjalankan pelayanan mereka. Hendaklah para Uskup menunjukkan cinta kasih yang tulus sejati dan nyata terhadap mereka, supaya berkat doa dan tindakan Rekan-Rekan sejawat penderitaan mereka diringankan dan diredakan.

II. PARA USKUP DAN TAKHTA SUCI

8. (Kuasa para Uskup dalam keuskupan mereka sendiri)

a) Dalam keuskupan, yang dipercayakan kepada mereka, para Uskup sebagai pengganti para Rasul dengan sendirinya mempunyai segala kuasa biasa, khusus dan langsung, yang diperlukan untuk menjalankan tugas pastoral mereka. Tetapi selalu dan dalam segala hal tetap utuhlah kuasa, yang berdasarkan jabatannya ada pada Imam Agung di Roma, untuk mengkhususkan hal-hal tertentu bagi wewenangnya sendiri atau bagi kuasa gerejawi lainnya.

b) Masing-masing Uskup diosesan dikuasakan untuk dalam perkara khusus memberi dispensasi dari hukum umum. Gereja kepada umat beriman, yang menurut kaedah hukum berada di bawah wewenangnya, setiap kali menurut pertimbangannya hal itu berguna bagi kesejahteraan rohani mereka; kecuali bila oleh Kewibawaan Tertinggi Gereja hal itu telah dikecualikan secara khusus.

9. (Kongregasi-Kongregasi dalam Kuria Roma)

Untuk menjalankan kuasanya tertinggi, penuh dan langsung atas Gereja semesta, Imam agung di Roma menggunakan jasa Kongregasi-Kongregasi itu, yang memang telah amat banyak berjasa kepada Imam Agung di Roma maupun para Gembala Gereja, ditata secara baru dan lebih sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman, daerah-daerah dan Ritus-Ritus, terutama mengenai jumlah dan namanya, mengenai wewenang dan cara bertindaknya masing-masing, serta mengenai koordinasi karya antar Kongreagasi[15]. Para Bapa Konsili menghendaki juga, supaya, – dengan mempertimbangkan tugas kegembalaan yang khas bagi para Uskup – tugas para Duta Imam Agung di Roma ditetapkan dengan lebih jelas.

10. (Para anggota dan para pejabat Kongregasi-Kongregasi)

Selain itu, – karena Kongregasi-Kongregasi itu didirikan demi kesejahteraan Gereja semesta, – dihimbau, supaya para anggota, para pejabat serta penasehat-penasehat mereka, begitu pula para Duta Imam Agung di Roma, sedapat mungkin lebih di pilih dari pelbagai kawasan Gereja, sehingga jabatan-jabatan atau organ-organ pusat Gereja Katolik sungguh menampilkan sifatnya yang sungguh universal.

Diusulkan pula, supaya untuk menjabat anggota Kongregasi-Kongregasi diangkat pula beberapa Uskup, terutama dari keuskupan-keuskupan, yang mampu menyampaikan secara lebuh lengkap maksud-maksud, keinginan-keinginan serta kebutuhan-kebutuhan semua Gereja kepada Imam Agung Tertinggi.

Akhirnya para Bapa Konsili memandang sangat berguna, sekiranya Kongregasi-Kongregasi itu lebih mendengarkan para awam yang unggul karena keutamaan, ilmu pengetahuan serta pengalaman mereka, sehingga para awam itu pun menjalankan peran serta yang cocok bagi mereka dalam perkara-perkara Gereja.

BAB DUA – PARA USKUP DAN GEREJA-GEREJA KHUSUS ATAU KEUSKUPAN-KEUSKUPAN

I. PARA USKUP DIOSESAN

11. (Faham “diosis&” atau keuskupan, dan peran serta para Uskup dalam keuskupan mereka)

“Diosis&” (keuskupan) merupakan sebagian Umat Allah, yang dipercayakan kepada Uskup dalam kerja sama dengan “Dewan Imam&”-nya (presbiterium) untuk digembalakan. Dengan demikian bagian Umat yang patuh pada gembalanya, dan yang dihimpun olehnya dalam roh Kudus melalui Injil dan Ekaristi itu, merupakan Gereja khusus. Disitu sungguh hadir dan berkaryalah Gereja Kristus yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik.

Masing-masing Uskup, yang diserahi reksa pastoral atas gereja khusus, di bawah kewibawaan Imam Agung Tertinggi menggembalakan kawanannya atas nama Tuhan, sebagai gembalanya sendiri yang biasa dan langsung, dengan menunaikan tugas mengajar, menguduskan dan memimpin terhadapnya. Adapun Jemaat itu hendaknya mengakui hak-hak, yang secara sah ada pada baterik (Patriarka0 atau pemimpin Hirarkis lainnya[16].

Hendaklah para uskup melaksanakan tugas rasuli mereka sebagai saksi-saksi Kristus diantara semua orang, bukan hanya dengan mengasuh mereka yang sudah mengikuti Sang Pemimpin para Gembala, melainkan juga dengan sepenuh hati membaktikan diri kepada mereka , yang entah bagaimana telah menyimpang dari jalan kebenaran, atau tidak mengenal Injil kristus serta belaskasihan-Nya yang membawa keselamatan, hingga akhirnya semua orang berjalan “dalam segala kebaikan dan keadilan serta kebenaran&” (Ef 5:9).

12. (Tugas mengajar)

Dalam menjalankan tugas mereka mengajar, hendaklah para Uskup mewartakan Injil Kristus kepada orang-orang, – diantara tugas mereka yang utama memang itulah yang paling luhur[17], – sambil memanggil mereka untuk beriman atau meneguhkan mereka dalam iman yang hidup, dalam kekuatan Roh. Hendaknya para Uskup menyajikan misteri Kristus seutuhnya kepada mereka; yakni : kebenaran-kebenaran, yang kalau tidak dikenal, Kristus juga tidak dikenal. Begitu pula hendaklah para Uskup mengajarkan jalan yang diwahyukan oleh Allah, untuk meluhurkan-Nya, dan dengan demikian untuk memperoleh kebahagiaan kekal[18].

Selain itu hendaklah mereka tunjukkan juga, bahwa hal-hal duniawi dan pranata-pranata manusiawi menurut rencana Allah Pencipta dapat diarahkan juga kepada keselamatan manusia, dan oleh karena itu tidak sedikit faedahnya bagi pembangunan Tubuh Kristus.

Oleh karena itu hendaknya mereka ajarkan, betapa – menurut ajaran Gereja – pribadi manusia harus dijunjung tinggi, beserta kebebasannya dan kehidupan tubuhnya; begitu pula, betapa harus dihormati keluarga beserta kesatuan dan sifat tetapnya, munculnya keturunan serta pendidikannya; betapa harus dihargai masyarakat beserta hukum-hukum dan profesi-profesinya; kerja dan waktu libur, kesenian dan penemuan-penemuan teknis; kemiskinan dan kekayaan. Akhirnya hendaknya para Uskup menjelaskan, bagaimana memecahkan masalah-masalah yang amat berat tentang cara-cara memiliki, mengembangkan serta membagi-bagikan harta duniawi dengan tepat, tentang perdamaian dan perang, tentang hubungan persaudaraan antara semua bangsa[19].

13. (Cara menyajikan ajaran Kristiani)

Hendaknya para Uskup menyajikan ajaran kristiani dengan cara yang menanggapi kebutuhan-kebutuhan zaman; artinya: menjawab kesulitan-kesulitan dan masalah-masalah yang sangat menekan dan menggelisahkan orang-orang. Hendaklah mereka juga menjaga ajaran itu, sambil mengajar Umat beriman untuk membela dan menyiarkannya. Dalam menyalurkan ajaran itu hendaklah para Uskup menampakkan keprihatinan Bunda gereja terhadap semua orang, entah termasuk Umat beriman entah tidak. Hendaklah mereka secara istimewa memperhatikan kaum miskin dan orang-orang tak berdaya, karena untuk mewartakan injil kepada kaum miskin itulah Tuhan mengutus mereka.

Termasuk panggilan Gereja untuk berdialog dengan masyarakat manusia di lingkungannya[20]. Maka para Uskup pertama-tama bertugas untuk mengunjungi orang-orang dan mengusahakan serta mengembangkan dialog dengan mereka. Supaya kebenaran berpadu dengan cinta kasih, dan pengetahuan dengan kasih sayang, dialog keselamatan itu harus menonjol karena jelasnya bahasa, karena kerendahan hati dan kelemah-lembutan; begitu pula karena kebijaksanaan sebagaimana layaknya, tetapi tergabung dengan kepercayaan, sehingga mampu menyatukan hati orang-orang, sebab memupuk persaudaraan[21].

Hendaklah mereka berusaha menyebar-luaskan ajaran kristiani dengan mengerahkan pelbagai upaya, yang tersedia pada zaman sekarang ini, yakni terutama kotbah dan pendidikan kateketis, yang memang selalu harus diutamakan; tetapi juga pelajaran agama disekolah-sekolah, di akademi-akademi, dalam konferensi-konferensi dan segala macam pertemuan; begitu pula penyiaran ajaran melalui pernyataan umum pada kesempatan peristiwa-peristiwa tertentu, melalui media cetak dan pelbagai upaya komunikasi sosial, yang sungguh-sungguh harus dimanfaatkan untuk mewartakan Injil Kristus[22].

14. (Pendidikan kateketis)

Hendaknya para Uskup menjaga, supaya pendidikan kateketis, yang tujuannya ialah: supaya iman Umat diterangi melalui ajaran, dan menjadi hidup dan eksplisit serta aktif, diberikan dengan rajin dan seksama kepada anak-anak dan para remaja, kepada kaum muda maupun orang-orang dewasa; supaya dalam memberikan pendidikan itu tetap diindahkan tata-susunan yang baik dan metode yang cocok bukan hanya mengenai bahan yang diolah, melainkan juga berkenaan dengan sifat perangai, bakat-kemampuan dan umur serta situasi hidup para pendengar; supaya pendidikan itu mengacu kepada Kitab Suci, Tradisi, Liturgi, Ajaran resmi dan kehidupan Gereja.

Selain itu hendaklah para Uskup mengusahakan, supaya para katekis disiapkan dengan baik untuk tugas mereka, sehingga mereka mengenal ajaran gereja dengan jelas, begitu pula secara teoritis maupun praktis mempelajari kaidah-kaidah psikologis dan mata-pelajaran pedagogi. Hendaklah mereka mengusahakan juga, supaya pendidikan para katekumen dewasa diadakan lagi atau disesuaikan dengan lebih baik.

15. (Tugas para Uskup untuk menguduskan)

Dalam menunaikan tugas pengudusan mereka hendaklah para Uskup mengingat, bahwa mereka diambil dari antara orang-orang dan diangkat demi mereka, untuk melayani hal-hal yang menyangkut bakti kepada Allah, untuk menyajikan persembahan dan korban-korban bagi dosa-dosa. Sebab para Uskup dikurniai kepenuhan sakramen tahbisan; dan dari para Uskup tergantunglah baik para imam maupun para diakon dalam melaksanakan kuasa mereka. Para imam pun ditahbiskan menjadi imam-imam Perjanjian Baru yang sejati, untuk menjadi rekan sekerja yang bijaksana bagi Tingkatan para Uskup; para diakon, yang ditahbiskan untuk pelayanan, dalam persekutuan dengan Uskup serta para imamnya membaktikan diri kepada Umat Allah. Maka dari itu para Uskup sendiri berperan sebagai pengurus utama rahasia-rahasia Allah, sebagai pengatur, pendukung dan penjaga seluruh kehidupan liturgis dalam Gereja yang dipercayakan kepada mereka[23].

Oleh karena itu hendaklah para Uskup tiada hentinya mengusahakan, supaya umat beriman semakin menyelami dan menghayati misteri paska melalui Ekaristi suci, sehingga berpadu seerat mungkin menjadi satu Tubuh, dalam kesatuan cinta kasih Kristus[24]. Hendaknya para Uskup “bertekun dalam doa dan pelayanan sabda&” (Kis 6:4), dan mencurahkan tenaga, supaya segenap Umat beriman, yang dipercayakan kepada reksa perhatian mereka, sehati sejiwa dalam doa[25], dan supaya dengan menerima Sakramen-Sakramen mereka bertumbuh dalam rahmat dan menjadi saksi-saksi yang setia kepada Tuhan.

Sebagai pembimbing pada jalan menuju kesempurnaan, hendaknya para uskup berusaha memajukan kekudusan para imamnya, para religius maupun kaum awam, masing-masing menurut panggilannya yang khas[26], seraya menyadari bahwa mereka wajib memberi teladan kesucian, dalam cinta kasih, kerendahan hati dan hidup ugahari. Hendaklah mereka menguduskan gereja-Gereja yang diserahkan kepada mereka sedemikian rupa, sehingga disitu bersinarlah sepenuhnya citarasa Gereja Kristus yang semesta. Dengan semangat itu hendaknya mereka sedapat mungkin mengembangkan panggilan imam maupun religius, sambil secara istimewa memperhatikan panggilan misioner.

16. (Tugas penggembalaan para Uskup)

Dalam menunaikan tugas mereka sebagai bapa dan gembala hendaklah para Uskup hadir ditengah Umat mereka selaku pelayan[27], sebagai gembala baik yang mengenal domba-domba mereka dan dikenal oleh para domba; sebagai bapa sejati, yang unggul karena semangat cinta kasih dan keprihatinan mereka terhadap semua orang, lagi pula kewibawaan yang mereka terima dari Allah dengan rasa penuh syukur dipatuhi oleh semua orang. Hendaklah mereka menghimpun dan membina segenap keluarga kawanan mereka sedemikian rupa, sehingga semua menyadari tugas-tugas masing-masing, dan hidup serta bekerja dalam persekutuan cinta kasih.

Supaya para Uskup mampu melaksanakan itu semua secara tepat guna, mereka harus “siap sedia menjalankan setiap pekerjaan baik&” (2Tim 2:21), “menanggung segalanya demi mereka yang terpilih&” (2Tim 2:10), dan mengatur hidup mereka sedemikian rupa, sehingga menanggapi kebutuhan-kebutuhan zaman.

Hendaknya para Uskup selalu merangkul para imam dengan kasih yang istimewa, karena mereka ikut menanggung sebagian tugas-tugas serta keprihatinan para uskup, dan dari hari ke hari menjalankannya penuh perhatian dan dengan begitu tekun. Hendaklah para Uskup memandang imam-imam sebagai putera dan sahabat[28], dan karena itu bersedia mendengarkan mereka, serta berusaha meningkatkan seluruh karya pastoral segenap keuskupan, sambil memupuk hubungan kepercayaan dengan mereka.

Hendaklah para Uskup memperhatikan sepenuhnya keadaan rohani, intelektual dan jasmani para imam, supaya mereka mampu hidup kudus dan saleh, serta menunaikan pelayanan mereka dengan setia dan subur. Oleh karena itu hendaklah para Uskup mendukung lembaga-lembaga dan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan khusus, sehingga para imam acap kali berkumpul baik untuk menjalani latihan-latihan rohani yang agak lama guna membaharui hidup mereka, maupun untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang berbagai bidang ilmu pengetahuan gerejawi, terutama Kitab suci dan teologi, masalah-masalah sosial yang sungguh penting, dan cara-cara baru menjalankan reksa pastoral. Hendaklah mereka dengan tindakan nyata menunjukkan belas kasihan mereka terhadap imam, yang entah bagaimana berada dalam bahaya atau mengalami kegagalan dalam berbagai hal.

Supaya para Uskup dapat lebih tepat guna mengikhtiarkan kesejahteraan Umat beriman menurut kondisi masing-masing, hendaknya mereka sungguh berusaha memahami kebutuhan-kebutuhan Umat, dalam situasi sosial kehidupannya, dengan menggunakan upaya-upaya yang cocok untuk itu, terutama penelitian sosial. Hendaklah para Uskup menunjukkan kesungguhan perhatian mereka terhadap semua anggota Umat segala umur, keadaan ataupun bangsa, baik penduduk pribumi, maupun para pendatang dan perantau. Dalam mewujudkan keprihatinan pastoral itu hendaknya mereka mempersilahkan Umat beriman untuk menjalankan peran serta yang cocok bagi mereka dalam perkara-perkara Gereja, sambil mengakui tugas serta hak mereka juga untuk secara aktif menyumbangkan tenaga demi pembangunan Tubuh mistik Kristus.

Hendaklah para Uskup menyatakan cinta kasih mereka terhadap para saudara yang terpisah, dan menganjurkan kepada Umat beriman juga untuk bersikap penuh perikemanusiaan dan cinta kasih terhadap mereka, serta mendukung pula ekumenisme menurut pengertian gereja[29]. Hendaknya mereka penuh perhatian pula terhadap orang-orang yang tidak di baptis, supaya bagi mereka itu pun bercahaya lah cinta kasih Kristus Yesus, yang menjadi pokok kesaksian para uskup dihadapan semua orang.

17. (bentuk-bentuk khusus kerasulan)

Hendaknya didorong berbagai cara merasul. Selain itu diseluruh keuskupan, atau di wilayah-wilayahnya yang khas, hendaklah dibawah pimpinan Uskup didukung koordinasi dan hubungan erat antara semua karya kerasulan. Dengan demikian semua usaha dan yayasan, dibidang katekese, misioner, amal kasih, sosial, kehidupan keluarga, persekolahan dan kegiatan lain manapun juga yang bertujuan pastoral, akan menjadi kegiatan yang laras terpadu, sehingga sekaligus kesatuan keuskupan nampak lebih jelas.

Hendaknya Umat beriman sungguh-sungguh didesak, supaya menjalankan tugas kewajiban mereka merasul menurut kondisi dan kecakapan masing-masing. Hendaknya mereka dianjurkan ikut serta atau membantu pelbagai karya kerasulan awam, dan terutama ” Aksi Katolik&”. Hendaknya dimajukan atau didukung pula perserikatan-perserikatan, yang secara langsung atau tidak langsung bertujuan adikodrati, yakni: untuk mencapai peri-hidup yang lebih sempurna atau untuk mewartakan Injil Kristus kepada semua orang, atau juga untuk makin menyebar-luaskan ajaran kristiani atau meningkatkan perkembangan ibadat umum, atau untuk mencapai tujuan-tujuan sosial, atau untuk menjalankan karya-karya ibadat-bakti atau cinta kasih.

Hendaknya bentuk-bentuk kerasulan dengan cermat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang, sementara diperhatikan juga kondisi-kondisi rakyat, bukan saja dibidang rohani dan moral, melainkan juga dibidang sosial, kependudukan dan ekonomi. Untuk mencapai sasaran itu dengan tepat guna dan hasil baik, sangat bermanfaatlah penelitian-penelitian sosial dan keagamaan, yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga sosial pastoral, yang karena itu sangat dianjurkan.

18. (Keprihatinan khusus terhadap kelompok-kelompok Umat tertentu)

Hendaklah secara istimewa diperhatikan Umat beriman, yang karena kondisi hidupnya tidak dapat dilayani secara memadai melalui reksa pastoral umum dan biasa, seperti dijalankan oleh pastor paroki, atau sama sekali tidak menerima pelayanan, misalnya para transmigran, para perantau di negeri asing dan para pengungsi, para pelaut dan penerbang, para nomad dan kelompok-kelompok lain sebagainya. Hendaknya dikembangkan metode-metode pastoral yang cocok untuk memupuk hidup rohani mereka yang dalam rangka liburan untuk sementara waktu mengunjungi daerah-daerah lain.

Konferensi-konferensi para Uskup, terutama pada tingkat nasional, hendaknya dengan tekun mempelajari masalah-masalah yang lebih mendesak berkenaan dengan kelompok-kelompok tersebut, serta dengan upaya-upaya maupun lembaga-lembaga yang cocok menyelenggarakan dan menunjang reksa rohani bagi mereka, dengan kesepakatan kehendak serta daya-usaha yang terpadu, sementara mengindahkan terutama kaidah-kaidah yang telah ditetapkan atau masih perlu ditetapkan oleh Takhta suci[30], dan yang dengan baik disesuaikan dengan kondisi-kondisi waktu, daerah serta pribadi-pribadi orang.

19. (Kebebasan para Uskup; hubungan mereka dengan Pemerintah)

Dalam menunaikan tugas rasuli mereka, yang bertujuan keselamatan jiwa-jiwa, pada prinsipnya para Uskup mempunyai kebebasan sepenuhnya dan sempurna, dan tidak tergantung pemerintah mana pun juga. Maka tidak bolehlah pelaksanaan tugas gerejawi mereka secara langsung dihalang-halangi, atau mereka dilarang berkomunikasi secara bebas dengan Takhta suci dan dengan para penguasa gerejawi lainnya serta dengan para bawahan mereka.

Tentu saja, sementara menjalankan reksa rohani terhadap kawanan mereka, para Gembala secara nyata ikut mengusahakan kemajuan serta kesejahteraan sosial masyarakat juga. Demi tujuan itu mereka secara aktif menyumbangkan usaha mereka bersama pemerintah, sesuai dengan tugas mereka, para Gembala secara nyata ikut mengusahakan kemajuan serta kesejahteraan masyarakat juga. Demi tujuan itu mereka secara aktif menyumbangkan usaha mereka bersama pemerintah, sesuai dengan tugas mereka dan sebagaimana layaknya bagi para uskup. Mereka menganjurkan sikap patuh kepada hukum-hukum yang adil dan sikap hormat terhadap para penguasa yang diangkat secara sah.

20. (kebebasan dalam pengangkatan para uskup)

Tugas rasuli para Uskup diadakan oleh Kristus Tuhan dan mengarah kepada tugas rasuli dan adikodrati. Maka Konsili suci Ekumenis menyatakan, bahwa hak untuk menunjuk dan mengangkat para Uskup merupakan hak Pimpinan gerejawi yang berwenang sendiri, yang bersifat istimewa dan pada hakekatnya eksklusif.

Maka dari itu untuk melindungi kebebasan Gereja sebagaimana harusnya, dan untuk memajukan kesejahteraan Umat beriman secara lebih sesuai dan lebih lancar, Konsili suci menghendaki, supaya selanjutnya pemerintah-pemerintah tidak lagi diberi hak-hak atau privilegi-privilegi untuk memilih, menunjuk, mengusulkan atau menetapkan seseorang bagi jabatan Uskup. Adapun pemerintah-pemerintah, yang sikap kesediaannya terhadap Gereja oleh Konsili suci diakui dengan rasa syukur dan sangat dihargai, dengan sangat hormat diminta, supaya – sesudah mengadakan perundingan dengan Takhta suci – dengan sukarela bersedia melepaskan hak-hak atau privilegi-privilegi tersebut, yang sekarang ini masih ada padanya berdasarkan perjanjian atau kebiasaan.

21. (Pengunduran diri Uskup dari jabatannya)

Tugas pastoral Uskup amat penting dan sangat berbobot. Oleh karena itu, bila para Uskup diosesan dan para pejabat Gereja lainnya yang menurut hukum sederajat dengan mereka, karena beban usia yang makin lanjut atau karena alasan berat lainnya tidak begitu mampu lagi menunaikan tugas mereka, mereka dimohon dengan sangat, supaya -entah dengan sukarela entah atas anjuran Pimpinan yang berwenang – menyampaikan penyampaian permohonan pengunduran diri dari jabatan mereka. Adapun Pimpinan yang berwenang, bila mengabulkan permohonan itu, akan menjamin rejeki yang selayaknya bagi mereka yang mengundurkan diri, pun juga menjamin, agar hak-hak mereka yang khas tetap diakui.

II. PENENTUAN BATAS-BATAS KEUSKUPAN

22. (Perlunya meninjau kembali batas-batas keuskupan)

Supaya tercapailah tujuan khas keuskupan, perlulah : bahwa hakekat Gereja nampak dengan jelas pada bagian Umat Allah yang termasuk keuskupan itu; bahwa Uskup mampu menjalankan tugas-tugas pastoralnya secara tepat guna dalam keuskupan; bahwa akhirnya keselamatan Umat Allah dilayani sesempurna mungkin.

Tetapi hal itu menuntut atau penentuan batas-batas wilayah keuskupan-keuskupan yang cocok, atau pembagian para imam serta karya-karya yang sewajarnya dan sesuai dengan tuntutan-tuntutan kerasulan. Itu semua bermanfaat bukan saja bagi klerus maupun Umat beriman, yang memang berkepentingan secara langsung, melainkan juga bagi seluruh Gereja katolik.

Maka dari itu mengenai batas-batas keuskupan-keuskupan Konsili suci menetapkan, supaya – sejauh kesejahteraan jiwa-jiwa menuntunya – selekas mungkin dan dengan bijaksana batas-batas itu mulai ditinjau kembali, dengan membagi keuskupan-keuskupan menjadi berbagai keuskupan baru atau dengan menyatukannya, atau juga dengan menggeser batas-batasnya, atau dengan menentukan tempat yang lebih sesuai menjadi ibukota keuskupan, atau akhirnya – terutama bila menyangkut keuskupan-keuskupan yang meliputi kota-kota yang agak besar, – dengan menatanya kembali menurut susunan intern yang baru.

23. (Peraturan-peraturan yang harus dipatuhi)

Dalam meninjau kembali batas-batas keuskupan-keuskupan hendaklah pertama-tama dijamin kesatuan organis masing-masing keuskupan, berkenaan dengan personalia, tugas-tugas serta lembaga-lembaganya, ibarat tubuh yang serba serasi kehidupannya. Akan tetapi pada masing-masing kasus, seraya dipertimbangkan dengan cermat seluruh situasinya, hendaknya diindahkan norma-norma lebih umum berikut ini :

1. Dalam menentukan batas-batas keuskupan hendaklah sedapat mungkin diperhitungkan kemacam-ragaman unsur-unsur dalam Umat Allah, yang dapat banyak membantu untuk menjalankan reksa pastoral secara lebih kena sasaran; sekaligus hendaknya diusahakan, supaya sedapat mungkin dilestarikan perpaduan antara berbagai kelompok penduduk, beserta jawatan-jawatan sipil dan lembaga-lembaga sosial, yang mewujudkan tata-susunan organisnya. Oleh karena itu wilayah setiap keuskupan harus merupakan satu kesatuan yang utuh.

Hendaknya diindahkan juga, bilamana perlu, batas-batas daerah sipil, begitu pula situasi khas penduduk maupun tempat kediaman mereka, misalnya kondisi-kondisi psikologis, ekonomis, geografis dan latar belakang sejarah mereka.

2. Pada umumnya luas wilayah keuskupan serta jumlah penghuninya hendaklah sedemikian rupa, sehingga di satu pihak Uskup sendiri, kendati dibantu juga oleh tenaga-tenaga lain, mampu menjalankan upacara-upacara pontifikal dan mengadakan kunjungan-kunjungan pastoral sebagaimana layaknya, memimpin dan mengkoordinasi dengan seksama semua karya kerasulan dalam keuskupannya, terutama mengenal para imamnya, begitu pula para religius dan kaum awam yang berperan serta dalam usaha-usaha keuskupan; dilain pihak tersedialah bidang yang mencukupi dan cocok bagi Uskup maupun klerus, untuk secara berguna mencurahkan segenap tenaga mereka ke dalam pelayanan, dengan tetap mengindahkan kebutuhan-kebutuhan Gereja semesta.

3. Akhirnya, supaya pelayanan keselamatan dalam keuskupan dapat diselenggarakan secara lebih kena sasaran, hendaklah dijadikan suatu pedoman, bahwa bagi setiap keuskupan tersedialah klerus, yang menurut jumlah maupun kecakapannya setidak-tidaknya memadai untuk menggembalakan Umat Allah sebagaimana harusnya. Hendaknya jangan sampai terasa kurang pelayanan-pelayanan, lembaga-lembaga dan karya-karya, yang memang secara khas perlu ada pada Gereja setempat, dan yang lazimnya untuk memimpinnya dengan baik serta untuk kerasulannya memang ternyata sungguh dibutuhkan. Akhirnya hendaklah sumber-sumber untuk menghidupi tenaga-tenaga, begitu pula untuk menanggung pembiayaan serta melestarikan lembaga-lembaga, atau sudah tersedia, atau sekurang-kurangnya dengan bijaksana dapat diperkirakan akan diperoleh dengan cara lain.

Untuk mencapai tujuan itu pula, bila terdapat Umat beriman yang termasuk Ritus yang berbeda-beda, hendaklah Uskup diosesan memenuhi kebutuhan-kebutuhan rohani mereka entah melalui imam-imam atau paroki-paroki yang menganut Ritus mereka itu, entah melalui vikaris Episkopal yang mendapat wewenang seperlunya, dan bila dibutuhkan juga ditandai oleh meterai tahbisan Uskup, atau juga mereka itu dilayani sendiri selaku ordinaris bagi berbagai Ritus. Bila karena alasan-alasan yang istimewa itu semua menurut penilaian Takhta suci tidak dapat dilaksanakan, hendaknya ditetapkan Hirarki tersendiri bagi berbagai Ritus[31].

Begitu pula, dalam situasi yang serupa, hendaklah ada reksa rohani bagi Umat beriman yang berbeda bahasa, entah melalui para imam atau paroki-paroki yang menggunakan bahasa itu, entah melalui Vikaris Episkopal yang sungguh menguasai bahasa itu, pun juga bila diperlukan ditandai oleh meterai tahbisan Uskup, atau juga dengan cara lain yang lebih sesuai.

24. (Diperlukan pendapat Konferensi Uskup)

Sementara tata-tertib Gereja-Gereja Timur tetap berlaku, mengenai perubahan-perubahan atau pembaharuan-pembaharuan keuskupan-keuskupan menurut kaedah-kaedah yang tercantum dalam artikel 22-23, baiklah bahwa konferensi-konferensi uskup yang berwenang memeriksa perkara-perkara itu dengan cermat untuk kawasan masing-masing, – bila dipandang berguna juga dengan memanfaatkan jasa panitia khusus para Uskup, tetapi selalu sesudah di dengarkan pendapat para Uskup terutama di provinsi-Provinsi atau Regio-Regio yang berkepentingan. Kemudian pertimbangan-pertimbangan serta usul-usul mereka itu hendaklah mereka sampaikan kepada Takhta suci.

III. PARA REKAN SEKERJA USKUP DIOSESAN DALAM REKSA PASTORAL

1. Para Uskup Koajutor dan Auksilier

25. (Peraturan-peraturan untuk mengangkat Uskup Koajutor dan Auksilier)

Dalam memimpin keuskupan tugas pastoral Uskup hendaklah diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga kesejahteraan kawanan Tuhan selalu merupakan pedoman yang tertinggi. Supaya kesejahteraan itu diusahakan sebagaimana harusnya, tidak jarang perlu diangkat Uskup Auksilier; sebab Uskup diosesan, entah karena keuskupannya terlalu luas, atau karena jumlah penduduk terlalu besar, atau karena situasi kerasulan serba istimewa, atau karena aneka macam alasan lainnya, tidak dapat seorang diri memenuhi tugas-kewajibannya sebagai Uskup, seperti dibutuhkan demi kesejahteraan jiwa-jiwa. Bahkan ada kalanya suatu kebutuhan istimewa menuntut, supaya untuk menolong Uskup diosesan diangkat seorang Uskup Koajutor. Para Uskup Koajutor dan Auksilier harus dibekali dengan wewenang-wewenang yang selayaknya sedemikian rupa, sehingga – sementara tetap terjamin kesatuan pimpinan keuskupan, dan tanpa sedikitpun mengurangi kewibaan Uskup diosesan – kegiatan mereka menjadi lebih tepat guna, dan martabat khas Uskup lebih terjamin keutuhannya.

Adapun karena Uskup Koajutor dan Auksilier dipanggil untuk ikut serta menanggung beban keprihatinan Uskup diosesan, hendaknya mereka menunaikan tugas sedemikian rupa, sehingga dalam segala urusan bertindak dalam kesepakatan pandangan dengannya. Selain itu hendaklah mereka selalu menyatakan sikap patuh dan hormat terhadap Uskup diosesan. Dia sendiri hendaknya menunjukkan cinta kasih persaudaraan terhadap Uskup Koajutor atau Auksilier, serta menghargai mereka sepenuhnya.

26. (Wewenang Uskup Auksilier dan Koajutor)

Bila kesejahteraan jiwa-jiwa menuntutnya, hendaklah Uskup diosesan jangan menolak untuk memohon dari pimpinan yang berwenang seorang atau beberapa Uskup Auksilier, yakni yang diangkat untuk keuskupan tanpa hak untuk menggantikan Uskup diosesan.

Adapun bila dalam Surat penunjukan tidak tercantum ketentuan lain, Uskup diosesan hendaknya mengangkat Uskup atau Uskup-Uskup Auksiliernya menjadi Vikaris Jendral atau setidak-tidaknya Vikaris Episkopal, yang semata-mata tergantung dari kewenangannya. Hendaknya ia rela meminta nasehat mereka dalam mempertimbangkan perkara-perkra yang cukup penting, terutama yang bersifat pastoral.

Kecuali kalau ada ketetapan lain dari pihak Pimpinan yang berwenang, bersama dengan berakhirnya tugas Uskup diosesan tidak sekaligus berakhirlah juga kuasa dan wewenang, yang berdasarkan hukum ada pada Uskup Auksilier. Diinginkan pula, supaya – bila tata keuskupan lowong – tugas memimpin keuskupan diserahkan kepada Uskup Auksilier, kecuali bila alasan-alasan yang berat menganjurkan suatu langkah yang lain.

Uskup Koajutor, yakni yang ditunjuk dengan hak untuk menggantikan Uskup diosesan, hendaklah selalu diangkat olehnya menjadi Vikaris Jendral. Dalam keadaan-keadaan yang istimewa ia dapat diberi wewenang yang lebih penuh oleh Pimpinan Gereja yang berwenang. Supaya kesejahteraan keuskupan di masa sekarang dan di kemudian hari sedapat mungkin ditunjang, Uskup yang didampingi dan Uskup Koajutor hendaknya dalam hal-hal yang cukup penting selalu saling meminta pertimbangan.

2. Kuria dan Panitia-panitia Keuskupan

27. (Organisasi Kuria Keuskupan dan pembentukan Panitia Pastoral)

Dalam Kuria Keuskupan fungsi utama ialah fungsi Vikaris Jendral. Tetapi bilamana diperlukan untuk memimpin keuskupan dengan tepat guna, Uskup dapat mengangkat seorang atau beberapa orang Vikaris Episkopal, yakni : yang berdasarkan hukum, dalam bagian tertentu keuskupan, atau untuk jenis urusan-urusan yang tertentu, atau terhadap Umat beriman Ritus tertentu, mempunyai kuasa, yang menurut hukum umum ada pada Vikaris Jendral.

Diantara rekan-rekan sekerja Uskup dalam pimpinan keuskupan termasuk juga imam-imam, yang merupakan senat atau dewannya, misalnya Kapitel katedral, Dewan para penasehat, atau panitia-panitia lain, sesuai dengan situasi atau sifat berbagai daerah. Lembaga-lembaga itu, terutama Kapitel Katedral, hendaknya sejauh perlu ditata secara baru, untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang.

Para imam dan awam, yang termasuk Kuria Keuskupan, hendaknya menyadari bahwa mereka menyumbangkan bantuan mereka kepada pelayanan pastoral Uskup.

Kuria Keuskupan hendaknya ditata sedemikian rupa, sehingga bagi Uskup menjadi upaya yang cocok, bukan hanya untuk tata-usaha keuskupan, melainkan juga untuk menyelenggarakan karya-karya kerasulan.

Sangat dianjurkan, supaya disetiap keuskupan dibentuk Dewan Pastoral yang khas, diketuai oleh Uskup diosesan sendiri. Dalam Dewan itu hendaknya berperan serta imam-imam, para religius dan kaum awam, yang terpilih secara khusus. Tugas Dewan itu ialah : menyelidiki dan mempertimbangkan segala sesuatu yang berkenaan dengan karya pastoral, dan menyusun kesimpulan-kesimpulan praktis mengenainya.

3. Klerus diosesan

28. (Para imam diosesan)

Memang semua imam, diosesan maupun religius, bersama dengan Uskup ikut menerima dan melaksanakan imamat Kristus yang satu, dan karena itu diangkat menjadi rekan-rekan sekerja yang arif bagi Tingkatan para uskup. Tetapi dalam menjalankan reksa jiwa-jiwa peran utama ada pada para imam diosesan. Sebab mereka itulah yang terinkardinasi atau terikat pada Gereja khusus; merekalah yang sepenuhnya membaktikan diri untuk melayaninya, untuk menggembalakan sebagian kawanan Tuhan. Maka mereka mewujudkan satu himpunan para imam (“presbiterium&”) dan satu keluarga, dengan Uskup sebagai bapanya. Untuk dapat mengatur pelayanan-pelayanan suci secara lebih sesuai dan lebih serasi diantara para imamnya, Uskup harus mempunyai kebebasan seperlunya dalam membagi-bagikan tugas-tugas dan tanda-tanda bakti gerejawi. Maka hak-hak atau privilegi-privilegi, yang entah bagaimana menguranginya kebebasan itu, harus ditiadakan.

Hubungan antara para Uskup dan para imam diosesan terutama harus bertumpu pada ikatan-ikatan cinta kasih adikodrati sedemikian rupa, sehingga perpaduan kehendak para imam dengan kehendak Uskup lebih menyuburkan kegiatan pastoral mereka. Maka dari itu, supaya pelayanan kepada jiwa-jiwa makin berkembang, hendaklah Uskup mau mengundang para imam untuk temu wicara, juga yang bersifat umum, terutama mengenai bidang pastoral, bukan saja bila ada kesempatan, melainkan sedapat mungkin juga secara berkala.

Kecuali itu semua imam diosesan hendaklah bersatu, dan dengan demikian bersama-sama didorong oleh keprihatinan akan kesejahteraan rohani seluruh keuskupan. Selain itu, – sementara menyadari, bahwa rezeki, yang mereka peroleh sambil menunaikan tugas gerejani, memang berkaitan dengan tugas suci, – hendaknya mereka sejauh mampu dengan murah hati memberi sumbangan guna menutup kebutuhan-kebutuhan jasmani keuskupan juga, menurut peraturan yang telah ditetapkan oleh Uskup.

29. (Para imam yang menjalankan karya antar paroki)

Rekan-rekan sekerja Uskup yang lebih dekat ialah para imam juga, yang olehnya diserahi tugas pastoral atau karya kerasulan yang bersifat antarparoki, entah bagi wilayah tertentu dalam keuskupan, entah bagi kelompok-kelompok khas umat beriman, entah untuk macam kegiatan yang khusus. Bantuan kegiatan yang istimewa diberikan juga oleh para imam, yang oleh Uskup dipercayai pelbagai tugas kerasulan, entah disekolah-sekolah, atau dilembaga-lembaga atau perserikatan-perserikatan lainnya. Juga para imam, yang terikat pada karya antar keuskupan, karena mereka menjalankan karya kerasulan yang amat penting, sudah selayaknya mendapat perhatian yang istimewa, terutama perhatian Uskup yang memimpin keuskupan tempat kediaman mereka.

30. (Para pastor paroki)

Dalam arti amat khas para pastor paroki menjadi rekan sekerja Uskup. Kepada mereka selaku gembala yang sesungguhnya dipercayakan reksa jiwa-jiwa dalam bagian tertentu keuskupan dibawah kewibawaan Uskup.

1. Dalam menjalankan reksa pastoral itu hendaklah pastor paroki bersama dengan para pembantunya menunaikan tugas mengajar, menguduskan dan memimpin sedemikian rupa, sehingga Umat beriman dan jemaat-jemaat paroki sungguh menyadari diri sebagai anggota keuskupan maupun seluruh Gereja semesta. Maka dari itu hendaknya ia bekerja sama dengan para pastor paroki lainnya serta dengan para imam, yang menjalankan tugas pastoral diwilayah itu (seperti misalnya para Deken, “Vicarii Foranei&”), atau bertugas dalam karya-karya antar paroki; dengan demikian reksa pastoral dalam keuskupan tetap utuh terpadu dan semakin tepat guna.

Kecuali itu hendaknya reksa jiwa-jiwa selalu digerakkan oleh semangat misioner, sehingga sebagaimana harusnya meliputi semua penghuni paroki. Bila pastor paroki tidak dapat menjangkau kelompok-kelompok orang-orang tertentu, hendaklah ia mencari bantuan pada orang-orang lain, juga kaum awam, untuk menolongnya dalam hal-hal yang menyangkut kerasulan.

Adapun untuk meningkatkan tepat guna reksa jiwa-jiwa, sangat dianjurkan kehidupan bersama para imam, terutama yang bertugas di paroki yang sama. Selain mendukung kegiatan merasul, kehidupan bersama itu juga menampilkan teladan cinta kasih dan kesatuan bagi umat beriman.

2. Dalam menjalankan tugas mengajar, pastor paroki bertugas: mewartakan sabda Allah kepada segenap Umat beriman, supaya mereka berakar dalam iman, harapan serta cinta kasih, dan bertumbuh dalam Kristus, dan supaya jemaat kristiani memberikan kesaksian cinta kasih menurut amanat Tuhan[32]; begitu pula melalui pendidikan katekis ia menghantar Umat beriman kepada pengertian misteri keselamatan yang sepenuhnya, dengan mengindahkan setiap kelompok umur. Adapun untuk menyelenggarakan pendidikan katekis itu hendaklah pastor paroki jangan hanya mencari bantuan pada para religius, melainkan juga mengundang para awam untuk bekerja sama, juga dengan mendirikan Perserikatan Ajaran Kristiani.

Dalam menjalankan karya pengudusan hendaklah pastor paroki berusaha, supaya perayaan Korban Ekaristi menjadi pusat dan puncak seluruh kehidupan jemaat kristiani. Begitu pula hendaknya ia berusaha, supaya Umat beriman menerima santapan rohani dengan seringkali menerima Sakramen-Sakramen penuh khidmat, dan dengan ikut berperan secara sadar dan aktif dalam Liturgi. Hendaklah pastor ingat pula betapa sungguh banyak sakramen Tobat membantu dalam memupuk hidup kristiani. Maka hendaklah ia dengan rela menyediakan diri untuk mendengarkan pengakuan dosa Umat beriman, dan bila perlu untuk maksud itu juga mengundang imam-imam lain, yang menguasai berbagai bahasa.

Dalam menunaikan tugas penggembalaan hendaklah pastor paroki pertama-tama berusaha mengenal kawanannya sendiri. Tetapi oleh karena ia menjadi pelayan semua domba, hendaklah ia menunjang pengembangan hidup kristiani baik pada masing-masing orang beriman, dalam keluarga-keluarga, maupun dalam perserikatan-perserikatan, terutama yang bergerak dibidang kerasulan, begitu pula dalam segenap jemaat paroki. Maka hendaklah ia mengunjungi rumah-rumah serta sekolah-sekolah, sebagaimana diperlukan bagi reksa pastoral. Hendaklah ia dengan tekun penuh semangat memperhatikan para remaja dan kaum muda. Hendaknya ia menunjukkan cinta kasih kebapaan terhadap kaum miskin dan orang-orang sakit. Akhirnya hendaklah ia menjalankan reksa istimewa terhadap kaum buruh serta mengusahakan, supaya Umat beriman menyumbangkan tenaga kepada karya-kegiatan kerasulan.

3. Sebagai rekan sekerja pastor kepala paroki, para pastor pembantu setiap hari memberi jasa-sumbangan amat berharga dan aktif dengan menunaikan pelayanan pastoral dibawah pimpinan pastor kepala. Maka pergaulan antara pastor kepala dan para pastor pembantunya hendaklah bersifat persaudaraan; hendaknya selalu terdapat sikap saling mengasihi dan menghormati, dan mereka saling membantu dengan nasehat-nasehat, pertolongan serta teladan; demikianlah mereka melayani paroki dalam kesepakatan kehendak dan jerih payah bersama.

31. (Penunjukan, pemindahan, pemberhentian dan pengunduran diri Pastor paroki)

Dalam menilai kecakapan imam untuk memimpin suatu paroki hendaknya Uskup jangan hanya mengindahkan ajarannya, melainkan juga kesalehannya, semangat kerasulannya, dan bakat-bakat serta sifat-sifat lainnya, yang diperlukan untuk menunaikan reksa jiwa-jiwa sebagaimana mustinya.

Selain itu, karena reksa paroki semata-mata ditujukan kepada kesejahteraan jiwa-jiwa, maka – dengan tetap menjamin hak para religius – hendaknya ditiadakan semua hak lain untuk mencalonkan atau mengangkat pastor paroki, begitu pula wewenang khas pihak tertentu untuk mengangkatnya, pun juga – sekiranya masih ada – hukum untuk mencalonkan diri, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat istimewa. Maksudnya supaya Uskup dapat lebih mudah dan dengan cara yang lebih tepat mengelola paroki-paroki.

Adapun para pastor paroki hendaknya dapat dengan tetap menunaikan tugas mereka di paroki masing-masing, sebagaimana diperlukan bagi kesejahteraan jiwa-jiwa. Maka hendaknya pembedaan antara pastor paroki yang dapat dan tidak dapat dipindahkan ditiadakan saja. Tata-laksana pemindahan dan pemberhentian pastor paroki hendaklah ditinjau kembali dan disederhanakan sedemikian rupa, sehingga – dengan tetap mengindahkan kewajaran menurut kenyataan dan menurut hukum kanonik – Uskup dapat dengan lebih memadai menanggapi kebutuhan-kebutuhan demi kesejahteraan jiwa-jiwa.

Para pastor paroki, yang karena lanjut usia atau alasan berat lainnya terhalang untuk menunaikan tugas mereka sebagaimana mustinya dan dengan hasil yang baik, dimohon dengan sangat, supaya, dengan suka rela atau atas ajakan Uskup, meletakkan jabatan mereka. Hendaknya mereka yang mengundurkan diri itu oleh Uskup dijamin nafkah hidupnya yang selayaknya.

32. (Pembubaran dan pengubahan paroki)

Akhirnya keselamatan jiwa-jiwa itu pulalah, yang menjadi dasar untuk menetapkan atau meninjau kembali pembentukan atau pembubaran paroki-paroki, atau perubahan-perubahan lain sebagainya. Uskup dapat menjalankan itu semua atas kewibawaannya sendiri.

4. Para religius

33. (Para religius dan karya-karya kerasulan)

Semua para religius, – dan dalam hal-hal berikut termasuk juga para anggota Lembaga-Lembaga lain yang mengikrarkan nasehat-nasehat Injili, – wajib secara intensif dan dengan tekun menyumbangkan jerih-payah mereka untuk pembangunan dan pengembangan seluruh Tubuh-Mistik Kristus dan demi kesejahteraan Gereja-Gereja khusus.

Adapun mereka wajib ikut mengejar tujuan-tujuan itu terutama melalui doa, amal ulah-tapa dan teladan hidup mereka sendiri. Konsili suci ini menganjurkan dengan sangat, supaya mereka tiada hentinya berkembang dalam menghargai dan mengusahakan itu semua. Namun, seraya mengindahkan sifat khas masing-masing Tarekat, hendaknya mereka secara lebih intensif melaksanakan karya-karya kerasulan keluar juga.

34. (Para religius rekan sekerja Uskup dalam karya kerasulan)

Para imam religius, yang ditakdiskan untuk tugas imamat, supaya merekapun menjadi rekan-rekan sekerja yang arif bagi tingkatan para Uskup, sekarang ini, – menanggapi makin mendesaknya kebutuhan jiwa-jiwa – dapat masih lebih banyak lagi membantu para Uskup. Maka dari itu harus dikatakan, bahwa karena sesuatu alasan yang tepat mereka termasuk klerus keuskupan, sejauh mereka di bawah kewibawaan para Uskup ikut serta menjalankan reksa jiwa-jiwa dan karya-karya kerasulan.

Begitu pula para anggota religius lainnya, baik pria maupun wanita, secara khas termasuk keluarga keuskupan, serta banyak membantu Hirarki suci. Dan dengan meningkatnya kebutuhan-kebutuhan kerasulan makin lama mereka dapat dan harus makin banyak menyumbangkan bantuan mereka.

35. (Azas-azas kerasulan para religius dalam keuskupan)

Adapun supaya karya-karya kerasulan di masing-masing keuskupan selalu diselenggarakan berdasarkan kesepakatan, dan supaya kesatuan tata-tertib keuskupan tetap terjamin, ditetapkan azas-azas dasar berikut:

1. Hendaknya semua religius selalu menyatakan sikap patuh dan hormat-bakti mereka terhadap para Uskup selaku pengganti para Rasul. Selain itu, setiap kali mereka secara sah diundang untuk kegiatan-kegiatan merasul, mereka wajib menunaikan tugas-tugas mereka sedemikian rupa, sehingga mereka tetap tersedia sebagai rekan sekerja dan taat kepada para Uskup[33]. Bahkan para religius hendaknya siap siaga dan dengan setia memenuhi permintaan-permintaan serta keinginan-keinginan para Uskup, supaya lebih luaslah peran serta mereka dalam melayani keselamatan umat manusia, seraya mengindahkan sifat khas Lembaga dan menganut Konstitusi mereka, yang bila perlu hendaknya disesuaikan dengan tujuan itu, menurut kaedah-kaedah Dekrit Konsili ini.

Memperhatikan kebutuhan jiwa-jiwa yang serba mendesak dan kurangnya jumlah imam diosesan, terutama tarekat-tarekat religius, yang tidak membaktikan diri dalam hidup kontlempatif melulu, dapat diundang oleh para Uskup, untuk menyumbangkan bantuan mereka dalam pelbagai pelayanan pastoral, namun dengan tetap mengindahkan sifat khusus Tarekat masing-masing. Untuk memberi bantuan itu hendaknya para pemimpin seturut kemampuan mereka memberi dukungan, juga dalam menerima reksa paroki biarpun untuk sementara.

2. Hendaknya para religius, yang diutus untuk menjalankan kerasulan diluar, diresapi dengan semangat tarekat mereka sendiri, dan tetap setia mematuhi peraturan hidup mereka, setia pula menaati para Pemimpin mereka sendiri. Hendaklah para uskup sendiri jangan lupa menekankan kewajiban itu.

3. Berdasarkan eksemsi (exemptio) para religius lebih langsung terikat pada Imam Agung Tertinggi atau Pemimpin gerejawi lainnya, dan tidak termasuk lingkup yurisdiksi para Uskup. Eksemsi terutama menyangkut tata-laksana intern tarekat-tarekat; maksudnya supaya di situ segala sesuatu terpadu secara lebih serasi, dan supaya pertumbuhan dan penyempurnaan hidup religius terselenggara dengan lebih baik[34]; begitu pula supaya Imam Agung Tertinggi dapat memanfaatkan jasa mereka demi kesejahteraan Gereja semesta[35], sedangkan Pimpinan Gereja yang berwenang lainnya demi kesejahteraan Gereja-Gereja yang termasuk yurisdiksinya.

Tetapi kendati eksemsi itu para religius di masing-masing keuskupan tetap berada dibawah yurisdiksi para Uskup menurut kaidah hukum, sejauh itu diperlukan untuk pelaksanaan tugas pastoral mereka dan untuk penataan reksa jiwa-jiwa sebagaimana layaknya[36].

4. Semua religius, yang eksem maupun yang tidak eksem, berada dibawah kuasa para Ordinaris wilayah dalam hal-hal termasuk pelaksanaan ibadat ilahi resmi sementara tetap diindahkan kemacam-ragaman Ritus, reksa jiwa-jiwa, penyampaian pewartaan suci kepada Umat, pembinaan keagamaan dan Susila Umat beriman kristiani terutama anak-anak, pendidikan katekese dan Liturgi, serta pantasnya perihidup dalam status rohaniwan, begitu pula dalam pelbagai karya yang menyangkut pelaksanaan kerasulan suci. Juga sekolah-sekolah katolik yang dikelola oleh para religius berada dibawah wewenang Ordinaris wilayah dalam hal penataannya secara umum dan pengawasannya, kendati tetap terjamin hak para religius untuk memimpinnya. Begitu pula para religius wajib mematuhi segala sesuatu, yang secara sah telah ditetapkan oleh Konsili-Konsili serta Konferensi-Konferensi para Uskup.

5. Hendaknya dipelihara kerja sama yang teratur antara pelbagai tarekat religius, maupun antara tarekat-tarekat religius dan klerus diosesan. Selain itu hendaklah dijalin koordinasi yang erat antara semua karya dan kegiatan kerasulan. Koordinasi itu amat tergantung dari sikap adikodrati budi maupun hati, yang akar serta dasarnya ialah cinta kasih. Merupakan wewenang Takhta suci untuk memelihara koordinasi itu bagi Gereja semesta; sedangkan para gembalalah yang berwenang mengusahakan dikeuskupan mereka masing-masing; akhirnya Sinode-Sinode patriarkal dan Konferensi-Konferensi Uskuplah yang wajib memupuknya dikawasan sendiri.

Mengenai karya kegiatan kerasulan para religius hendaknya para uskup atau Konferensi Uskup di satu pihak dan para Pemimpin tarekat religius atau Konferensi para Pemimpin Tinggi dipihak lainnya bersedia mengambil tindakan-tindakan berdasarkan perundingan bersama yang mereka adakan sebelumnya.

6. Untuk memupuk kesepakatan serta tepat-gunanya hubungan timbal-balik antara para Uskup dan para Pemimpin tarekat pada saat-saat tertentu dan bilamana dipandang berguna bersedia mengadakan pertemuan guna menyelesaikan urusan-urusan, yang secara umum menyangkut kerasulan dikawasan mereka.

BAB TIGA – KERJA SAMA PARA USKUP DEMI KESEJAHTERAAN UMUM BERBAGAI GEREJA

I. SINODE, KONSILI, DAN KHUSUSNYA KONFERENSI USKUP

36. (Sinode dan Konsili khusus)

Sejak abad-abad pertama Gereja para Uskup, yang memimpin Gereja-Gereja khusus, terdorong oleh persekutuan cinta kasih persaudaraan dan oleh semangat melangsungkan perutusan universal yang diserahkan kepada para rasul, telah memadukan tenaga serta kehendak mereka untuk meningkatkan kesejahteraan Gereja pada umumnya maupun Gereja masing-masing. Itulah alasannya, mengapa diselenggarakan Sinode-Sinode, atau Konsili-Konsili pada tingkat provinsi gerejawi, atau juga Konsili-Konsili paripurna. Di situ para Uskup menetapkan kaidah-kaidah bersama untuk dianut oleh berbagai Gereja, baik dalam mengajarkan kebenaran-kebenaran iman maupun dalam mengatur tata-tertib gerejawi.

Konsili ekumenis suci ini menginginkan, supaya yayasan Sinode-Sinode maupun Konsili-Konsili yang layak dijunjung tinggi itu bertambah mantap karena kekuatan baru, sehingga – menanggapi situasi-situasi semasa – dengan cara yang lebih cocok dan tepat-guna terwujudlah pengembangan iman dan lestarilah tata-tertib di pelbagai Gereja.

37. (Pentingnya Konferensi uskup)

Terutama pada zaman sekarang ini para Uskup tidak jarang tidak dapat menunaikan tugas mereka dengan baik dan berhasil, tanpa bersama Uskup-Uskup lainnya menjalin kesepakatan yang semakin utuh dan mengerahkan usaha secara makin terpadu. Konferensi-Konferensi Uskup, yang telah dibentuk di berbagai bangsa, menyajikan bukti-bukti yang cemerlang berupa kerasulan yang lebih subur. Maka Konsili suci ini memandang sangat berguna, bahwa dimana-mana para Uskup sebangsa atau sedaerah membentuk suatu himpunan, dan pada waktu-waktu tertentu berkumpul, untuk saling berbagi buah pancaran kebijaksanaan serta pengalaman mereka. Dengan demikian pertemuan gagasan-gagasan akan menumbuhkan perpaduan tenaga demi kesejahteraan umum Gereja-Gereja.

Maka tentang Konferensi-Konferensi Uskup Konsili menetapkan hal-hal berikut.

38. (Hakekat, struktur, wewenang dan kerjasama Konferensi-Konferensi)

1. Konferensi Uskup merupakan bagaikan himpunan, yang mempertemukan Uskup-Uskup suatu bangsa atau daerah tertentu, untuk bersama-sama melaksanakan tugas pastoral mereka, guna makin meningkatkan jasa baik Gereja terhadap orang-orang, terutama dengan sungguh menyesuaikan bentuk-bentuk serta cara-cara kerasulan dengan pelbagai situasi aktual.

2. Semua Ordinaris wilayah dari ritus mana pun juga (kecuali para Vikaris Jendral), para Uskup Koajutor, Auksilier, serta Uskup tituler lainnya, begitu pula – karena tugas istimewa yang mereka jalankan di daerah yang bersangkutan – para Utusan Imam Agung di Roma, bukanlah anggota Konferensi oleh ketetapan hukum.

Para ordinaris wilayah dan Uskup Koajutor mempunyai hak suara deliberatif. Kepada para Uskup Auksilier dan Uskup-Uskup lainnya yang berhak ikut serta dalam Konferensi Anggaran Dasar Konferensi dapat memberi hak suara deliberatif atau konsultatif.

3. Setiap Konferensi Uskup hendaklah menyusun anggaran dasarnya, yang harus disahkan oleh Takhta suci. Disitu hendaklah disamping upaya-upaya lain ditetapkan jabatan-jabatan, yang mempermudah Konferensi untuk dengan tepat guna mencapai tujuannya, misalnya Dewan tetap para Uskup, Komisi-Komisi Konferensi, Sekretariat Jendral.

4. Keputusan-keputusan Konferensi uskup, – asal ditetapkan dengan sah, dan berdasarkan sekurang-kurangnya dua per tiga jumlah suara Uskup yang termasuk anggota Konferensi dengan hak suara deliberatif, lagi pula disahkan oleh Takhta suci, – berkekuatan yuridis untuk mengikat, yakni hanya dalam hal-hal yang atau diwajibkan oleh hukum kanonik umum, atau telah ditetapkan atas perintah khusus Takhta suci, yang diberikan atas prakarsanya sendiri atau karena permohonan Konferensi yang bersangkutan.

5. Bila keadaan istimewa menuntutnya, Uskup-Uskup dari berbagai bangsa atas persetujuan Takhta suci dapat membentuk satu Konferensi. Kecuali itu hendaklah dipelihara hubungan-hubungan antara Konferensi-Konferensi Uskup pelbagai bangsa untuk memajukan kesejahteraan dan menjamin peningkatannya.

6. Sangat dianjurkan, supaya para pemimpin Gereja-Gereja Timur, dalam memajukan tata-tertib Gereja mereka melalui Sinode-Sinode, dan untuk lebih berhasil mendukung karya-kegiatan demi kesejahteraan agama, mengindahkan juga kesejahteraan umum seluruh wilayah yang menampung berbagai Gereja dari bermacam-macam Ritus, seturut kaidah-kaidah yang perlu ditetapkan oleh Pimpinan yang berwenang.

II. PENENTUAN BATAS PROVINSI-PROVINSI GEREJAWI DAN PENETAPAN KAWASAN-KAWASAN GEREJAWI

39. (Prinsip untuk meninjau kembali batas-batas yang telah ditetapkan)

Kesejahteraan jiwa menuntut penetapan batas-batas yang memadai, bukan hanya bagi keuskupan-keuskupan, melainkan juga bagi provinsi-provinsi gerejawi; bahkan juga menyarankan supaya ditetapkan kawasan-kawasan gerejawi. Dengan demikian kebutuhan-kebutuhan kerasulan dapat dilayani dengan lebih baik menurut situasi sosial setempat. Selain itu akan menjadi lebih lancar dan lebih efektif hubungan-hubungan para Uskup antara mereka sendiri, dengan para uskup Metropolit dan Uskup-Uskup lainnya sebangsa, maupun dengan para pejabat sipil.

40. (Beberapa pedoman yang harus dipatuhi)

Oleh karena itu untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut Konsili suci memutuskan untuk menetapkan pedoman-pedoman berikut:

1. Hendaknya batas-batas provinsi-provinsi gerejawi ditinjau kembali sehingga lebih cocok, dan hak-wewenang istimewa para Uskup Metropolit ditetapkan menurut kaidah-kaidah baru yang sesuai.

2. Hendaklah dianggap lazim, bahwa semua keuskupan dan wilayah-wilayah teritorial lainnya, yang atas ketetapan hukum disamakan dengan keuskupan, termasuk kawasan suatu Provinsi gerejawi. Maka dari itu hendaklah keuskupan-keuskupan yang sekarang langsung terbawahkan kepada Takhta suci, dan yang tidak disatukan dengan keuskupan lainnya, atau bila mungkin dihimpun menjadi provinsi gerejawi baru, atau digabungkan dengan provinsi yang lebih dekat atau lebih cocok, dan dibawahkan kepada hukum metropolit Uskup Agung menurut kaidah hukum umum.

3. Bila dipandang berguna, hendaknya Provinsi-Provinsi gerejawi dipadukan menjadi Regio gerejawi, yang penataannya harus ditetapkan berdasarkan hukum.

41. (Perlu dimintakan pandangan Konferensi-Konferensi Uskup)

Baiklah bahwa Konferensi-Konferensi Uskup yang berwenang menyelidiki soal penentuan batas-batas Provinsi-Provinsi atau pembentukan regio-Regio semacam itu, menurut kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam artikel 23 dan 24 tentang penentuan batas-batas keuskupan-keuskupan, dan kemudian menyajikan pertimbangan-pertimbangan serta keinginan-keinginannya kepada Takhta suci.

III. PARA USKUP YANG MENJALANKAN TUGAS ANTAR KEUSKUPAN

42. (Pembentukan biro-biro khusus dan kerja sama dengan para Uskup)

Kebutuhan-kebutuhan pastoral semakin mendesak, supaya berbagai tugas pastoral dipimpin dan dikembangkan pelaksanaannya secara laras serasi. Maka baiklah bahwa untuk melayani semua atau berbagai keuskupan di suatu kawasan atau bangsa tertentu dibentuk beberapa biro, yang dapat juga diserahkan kepada kepemimpinan para Uskup.

Adapun Konsili suci menganjurkan, supaya diantara para pemimpin atau Uskup, yang menunaikan tugas-tugas itu, dan para Uskup diosesan serta Konferensi-Konferensi Uskup selalu dapat persekutuan persaudaraan dan kesepakatan dalam perhatian pastoral, yang corak maupun cara-caranya perlu ditetapkan juga oleh hukum umum.

43. (Vikariat Angkatan Bersenjata)

Mengingat kondisi hidup para prajurit yang serba khas, maka diperlukan perhatian yang amat istimewa bagi reksa rohani mereka. Oleh karena itu, sejauh tenaga-tenaga tersedia, hendaklah disetiap bangsa dibentuk suatu Vikariat Angkatan bersenjata. Baik vikaris maupun para pastor tentara hendaknya secara intensif membaktikan diri kepada karya yang sukar itu, dalam kesepakatan dan kerjasama dengan para Uskup diosesan[37].

Maka hendaklah para Uskup diosesan menyediakan bagi Vikaris Angkatan Bersenjata imam-imam yang cakap menjalankan tugas yang berat itu dalam jumlah yang memadai, lagipula mendukung usaha-usaha untuk mengembangkan kesejahteraan rohani para prajurit[38].

KETETAPAN UMUM

44. Konsili suci memutuskan, supaya dalam meninjau kembali Kitab Hukum Kanonik ditetapkan hukum-hukum yang tepat, berpedoman pada azas-azas yang ditentukan dalam Dekrit ini, sesudah dipertimbangkan pula catatan-catatan yang telah dikemukakan oleh Komisi-Komisi maupun oleh para Bapa Konsili.

Selain itu Konsili suci memutuskan, supaya di susun Direktorium-Direktorium umum tentang reksa jiwa-jiwa, untuk digunakan oleh para Uskup maupun para Pastor paroki, supaya kepada mereka disajikan aturan-aturan yang pasti untuk menunaikan tugas pastoral mereka dengan lebih mudah dan lebih baik.

Hendaklah disusun pula baik Direktorium khusus tentang reksa pastoral kelompok-kelompok khas Umat beriman, sesuai dengan pelbagai situasi masing-masing bangsa atau wilayah, maupun Direktorium tentang pengajaran katekis Umat kristiani, yang menguraikan azas-azas dasar serta penataan pengajaran itu, dan tentang penjabaran buku-buku yang menyangkut hal itu. Adapun dalam menyusun Direktorium-Direktorium itu hendaknya diindahkan juga catatan-catatan, yang dikemukakan baik oleh Komisi-Komisi maupun oleh para bapa konsili.

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili. Dan kami atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada Kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 28 bulan Oktober tahun 1965.

Saya PAULUS
Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


[1] Lih. Mat 1:21.

[2] Lih. Yoh 20:21.

[3] Lih. KONSILI VATIKAN I, Sidang 4, Konstitusi dogmatis tentang Gereja Kristus, bab 3: DENZINGER 1828 (3061).

[4] Lih. KONSILI VATIKAN I, , Sidang 4, Konstitusi dogmatis tentang Gereja Kristus, Pendahuluan: DENZ. 1821 (3050)

[5] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 21, 24, 25.

[6] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 21

[7] Lih. YOHANES XXIII, Konstitusi apostolik Humanae salutis, 25 Desember 1961: AAS 54 (1962) hlm. 6.

[8] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 22.

[9] Ibidem

[10] Ibidem

[11] Ibidem

[12] Lih. PAULUS VI, motu proprio Apostolica Sollicitudo, tgl. 15 September 1965.

[13] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 23.

[14] Lih. PIUS XII, Ensiklik Fidei donum, tgl. 21 April 1957: AAS 49 (1957) hlm. 237 dsl. – Lih. Juga BENEDIKTUS XV, Surat apostolik Maximum illud, tgl. 30 November 1919: AAS 11 (1919) hlm. 440. – PIUS XI, Ensiklik Rerum Ecclesiae, tgl. 28 Februari 1926: AAS 18 (1926)hlm. 68.

[15] Lih. PAULUS VI, Amanat kepada para Bapa Kardinal, para Uskup, para Prelat dan pejabat-pejabat Kuria Roma lainnya, tgl. 21 September 1963: AAS 55 (1963) hlm. 793 dsl.

[16] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 7-11.

[17] Lih. KONSILI TRENTE, Sidang V, Dekrit tentang Pembaharuan, bab 2: MANSI 33,30; Sidang XXIV, Dekrit tentang Pembaharuan, bab 4, MANSI 33,159 (Lih. .KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 25).

[18] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 25.

[19] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 11 April 1963, di berbagai tempat: AAS 55 (1963) hlm. 257-304.

[20] Lih. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964)hlm. 639.

[21] Ibid., hlm. 644-645.

[22] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Komunikasi Sosial.

[23] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi Suci. – PAULUS VI, Motu proprio Sacram Liturgiam, tgl. 25 Januari 1964: AAS 56 (1964) hlm. 139 dsl.

[24] Lih. PIUS XII, Ensiklik Mediator Dei, tgl. 20 November 1947: AAS 39 (1947)). Hlm. 251 dsl. – PAULUS VI, Ensiklik Mysterium Fidei, tgl. 3 September 1965.

[25] Lih. Kis 1:14 dan 2:46

[26] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 44-45.

[27] Lih. Luk 22:26-27.

[28] Lih. Yoh 15:15.

[29] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Ekumenisme.

[30] Lih. S. PIUS X, Motu proprio lampridem, tgl. 19 maret 1914: AAS 6 (1914) hlm. 174 dsl. – PIUS XII, Konstitusi apostolik Exsul familia, tgl. 1 Agustus 1952: AAS 44 (1952) hlm. 652 dsl. Leges Operis Apostolatus Maris (Hukum-hukum Karya Kerasulan Bahari), disusun atas kewibawaan Pius XII, tgl. 21 November 1957: AAS 50 (1958) hlm. 375 dsl.

[31] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Gereja-Gereja Timur Katolik, art. 4.

[32] Bdk. Yoh 13:35.

[33] Lih. PIUS XII, Amanat tgl. 8 Desember 1950: AAS 43 (1951) hlm. 28. – Lih. Juga PAULUS VI, Amanat tgl. 23 Mei 1964: AAS 56 (1964)hlm. 571.

[34] Lih. LEO XIII, Konstitusi Apostolik Romanos Pontifices, tgl. 8 Mei 1881: Acta Leonis XIII, jilid II (1882) hlm. 234.

[35] Lih. PAULUS VI, amanat tgl 23 Mei 1964: AAS 56 (1964) hlm. 570-571.

[36] Lih. PIUS XII, Amanat tgl. 8 Desember: lihat di atas.

[37] Lih. KONGREGASI KONSISTORI, Instruksi tentang Vikaris Angkatan Bersenjata, tgl. 2 April 1951: AAS 43 (1951) hlm. 562-565; Aturan yang harus dianut dalam menyusun laporan tentang keadaan Vikariat Angkatan Bersenjata, tgl. 20 Oktober 1956: AAS 49 (1957) hlm. 150-163; Dekrit tentang kunjungan kepada Takhta suci yang harus dijalankan oleh para Vikaris Angkatan Bersenjata, tgl. 28 Februari 1959: AAS 51 (1959) hlm. 272-274; Dekrit “Izin untuk mendengarkan pengakuan dosa para prajurit diperluas kepada para pastor tentara&”, tgl. 27 November 1960: AAS (1961) hlm. 49-50. – Lih juga KONGREGASI UNTUK PARA RELIGIUS, Instruksi tentang para pastor tentara yang religius, tgl. 2 Februari 1955: AAS 47 (1955) hlm. 93-97.

[38] Lih. KONGREGASI KONSISTORI, Surat kepada Yang Mulia para Kardinal dan para Uskup Agung, para Uskup dan Ordinaris lainnya diwilayah Spanyol, tgl. 21 juni 1951: AAS 43 (1951) hlm. 566.

DEKRIT TENTANG UPAYA-UPAYA KOMUNIKASI SOSIAL

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA-BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI

PENDAHULUAN

1. (Makna suatu ungkapan)

DI ANTARA penemuan-penemuan teknologi yang MENGAGUMKAN, yang terutama pada zaman sekarang, berkat perkenaan Allah, telah digali oleh kecerdasan manusia dari alam tercipta, yang oleh Bunda Gereja disambut dan diikuti dengan perhatian istimewa ialah penemuan-penemuan, yang pertama-tama menyangkut jiwa manusia, dan membuka peluang-peluang baru untuk menyalurkan dengan lancar sekali segala macam berita, gagasan-gagasan, pedoman-pedoman. Diantara penemuan-penemuan itu yang paling menonjol ialah upaya-upaya, yang pada hakekatnya mampu mencapai dan menggerakkan bukan hanya orang-orang perorangan, melainkan juga massa, bahkan seluruh umat manusia; misalnya: media cetak, sinema, radio, televisi dan sebagainya, yang karena itu memang tepatlah disebut media komunikasi sosial.

2. (Mengapa Konsili membahas masalah komunikasi sosial)

Bunda Gereja menyadari, bahwa upaya-upaya itu, kalau digunakan dengan tepat, dapat berjasa besar bagi umat manusia, sebab sangat membantu untuk menyegarkan hati dan mengembangkan budi, dan untuk menyiarkan serta memantapkan Kerajaan Allah. Gereja menyadari pula bahwa manusia dapat menyalahgunakan media itu melawan maksud Sang Pencipta ilahi dan memutar-balikannya sehingga mengakibatkan kebinasaan. Bahkan hatinya yang penuh keibuan merasa cemas dan sedih, menyaksikan betapa besarlah kerugian yang sering sekali ditimbulkan bagi masyarakat karena penyalahgunaannya.

Maka Konsili mendukung sepenuhnya perhatian dan kewaspadaan para Paus dan Uskup dalam perkara sepenting itu, dan memandang sebagai kewajibannya membahas masalah-masalah utama berkenaan dengan upaya-upaya komunikasi sosial. Selain itu Konsili percaya, bahwa ajarannya maupun tata-laksana yang disajikannya, akan bermanfaat bukan saja bagi keselamatan umat beriman kristen, melainkan juga bagi kemajuan seluruh masyarakat.

BAB SATU – AJARAN GEREJA

3. (Tugas-kewajiban Gereja)

Gereja katolik didirikan oleh Kristus Tuhan demi keselamatan semua orang; maka merasa terdorong oleh kewajiban untuk mewartakan Injil. Karena itulah Gereja memandang sebagai kewajibannya, untuk juga dengan memanfaatkan media komunikasi sosial menyiarkan Warta Keselamatan, dan mengajarkannya, bagaimana manusia dapat memakai media itu dengan tepat.

Maka pada hakikatnya Gereja berhak menggunakan dan memiliki semua jenis media itu, sejauh diperlukannya atau berguna bagi pendidikan kristen dan bagi seluruh karyanya demi keselamatan manusia. Adapun cara Gembala bertugas memberi pengajaran dan bimbingan kepada umat beriman, supaya dengan bantuan upaya-upaya itu mereka mengejar keselamatan dan kesempurnaan mereka sendiri dan segenap keluarga manusia.

Terutama termasuk panggilan kaum awam, untuk menjiwai media komukasi itu dengan semangat manusiawi dan kristen, supaya menanggapi sepenuhnya harapan besar masyarakat dan maksud Allah.

4. (Hukum moral)

Untuk menggunakan upaya-upaya itu dengan tepat, sungguh perlulah bahwa sipa saja yang memakainya mengetahui norma-norma moral, dan dibidang itu mempraktekkannya dengan setia. Maka hendaknya mereka menelaah bahan, yang dikomunikasikan sesuai dengan sifat khas masing-masing medium. Sekaligus hendaklah mereka pertimbangkan juga situasi maupun kondisi-kondisi, yakni : tujuan, orang-orang, tempat, waktu, dan hal-hal lain yang menyangkut komunikasinya sendiri. Sebab konteks itu dapat mengubah kadar moralnya, bahkan mengubahnya sama sekali. Antara lain perlu diperhatikan cara berfungsi yang khas bagi masing-masing medium; begitu pula daya pengaruhnya, yang dapat sedemikian besar, sehingga orang-orang, terutama kalau tidak siap, cukup sulit menyadarinya, mengendalikannya, dan bila perlu menolaknya.

Pertama-tama sungguh perlulah, bahwa siapa saja yang berkepentingan dengan cermat membina suara hatinya sendiri tentang pemakaian media itu, terutama berkenaan dengan berbagai masalah, yang sekarang ini sedang diperdebatkan dengan sengit.

5. (Hak atas informasi)

Masalah pertama menyangkut apa yang disebut informasi, atau pengumpulan dan penyiaran berita-berita. Tentu sudah jelaslah, bahwa, karena kemajuan masyarakat zaman sekarang dan ikatan-ikatan yang makin erat antara para warganya, informasi itu berfaedah sekali dan kebanyakan amat dibutuhkan. Sebab komunikasi peristiwa-peristiwa maupun hal-hal yang berlangsung secara umum dan tepat pada waktunya menyajikan pengertian yang cukup lengkap dan berkesinambungan kepada siapa saja, sehingga khalayak ramai dapat secara efektif bekerja sama demi kesejahteraan umum, dan serentak serta lebih mudah mendukung usaha meningkatkan kemajuan seluruh masyarakat. Jadi masyarakat berhak atas informasi tentang apa saja yang menyangkut kepentingan baik perorangan maupun masyarakat itu secara keseluruhan, sesuai dengan situasi masing-masing. Tetapi cermatnya pelaksanaan hak itu meminta, supaya mengenai objeknya komunikasi itu selalu benar dan – dengan mengindahkan keadilan serta cinta kasih – bersifat lengkap. Selain itu mengenai caranya, hendaklah berlangsung dengan jujur dan memenuhi syarat; maksudnya: hendaknya komunikasi itu mengindahkan sepenuhnya hukum-hukum moral, hak-hak manusia yang semestinya serta martabat pribadinya, dalam mengumpulkan maupun menyiarkan berita-berita. Sebab tidak setiap pengetahuan itu berguna, “tetapi cinta kasih membangun” (1Kor 8:1).

6. (Kesenian dan moral)

Soal kedua menyangkut hubungan timbal-balik antara apa yang sekarang lazim disebut hak-hak kesenian dan kaedah-kaedah hukum moral. Perdebatan yang makin gencar tentang masalah itu tidak jarang bersumber pada ajaran-ajaran sesat tentang etika dan estetika. Maka Konsili menyatakan, bahwa semua orang secara mutlak wajib berpegang teguh pada prioritas tata moral yang objektif. Karena tata moral itulah satu-satunya yang mengatasi dan memperpadukan secara serasi tata nilai-nilai manusiawi lainnya, tidak terkecualikan kesenian, betapa pun luhur nilai-nilai itu. Sebab hanya tata moral itulah yang melibatkan manusia, makhluk Allah yang berbudi dan dipanggil untuk tujuan adikodrati, menurut hakekatnya seutuhnya. Tata moral itu jugalah, yang bila dipatuhi sepenuhnya dan dengan setia, mengatur manusia untuk mencapai kepenuhan, kesempurnaan serta kebahagiannya.

7. (Pemberitaan kejahatan moral)

Akhirnya pemberitaan, penguraian atau penggambaran kejahatan moral, juga melalui media komunikasi sosial, memang dapata membantu secara lebih mendalam memahami dan menjajagi manusia, untuk menampilkan dan mengagungkan keluruhan, kebenaran dan kebaikan, dan dengan pemberitaan itu dapat diperoleh dampak-dampak dramatis yang lebih berfaedah juga. Akan tetapi, supaya jangan lebih merugikan daripada menguntungkan khalayak ramai, hendaknya penuturan dan penampilannya sepenuhnya mematuhi hukum-hukum moral, terutama bila menyangkut hal-hal yang meminta dihormati semestinya, atau yang lebih mudah merangsang nafsu-nafsu jahat manusia, yang terluka akibat dosa asal.

8. (Pendapat umum)

Sekarang ini pendapat-pendapat umum mempunyai dampak dan daya pengaruh yang besar sekali atas perihidup disegala lapisan, baik masyarakat secara keseluruhan maupun warganya secara perorangan. Maka perlulah semua anggota masyarakat memenuhi tugas-kewajiban keadilan dan cinta kasih, juga dibidang komunikasi sosial. Oleh karena itu hendaklah mereka, juga melalui media komunikasi itu, berusaha membentuk dan menyebarluaskan pandangan-pandangan umum yang sesuai dengan kebenaran.

9. (Kewajiban-kewajiban para pemakai media komunikasi sosial)

Kewajiban-kewajiban khusus mengikat semua penerima, yakni para pembaca, pemirsa dan pendengar, yang atas pilihan pribadi dan bebas menampung informasi-informasi yang disiarkan oleh media itu. Sebab cara memilih yang tepat meminta, supaya mereka mendukung sepenuhnya segala sesuatu yang menampilkan nilai keutamaan, ilmu-pengetahuan dan pengetahuan. Sebaliknya hendaklah mereka menghindari apa saja, yang bagi diri mereka sendiri menyebabkan atau memungkinkan timbulnya kerugian rohani, atau yang dapat membahayakan sesama karena contoh yang bururk, atau menghalang-halangi tersebarnya informasi yang baik dan mendukung tersiarnya informasi yang buruk. Hal itu kebanyakan terjadi dengan membayar iuran kepada para penyelenggara, yang memanfaatkan media itu karena alasan-alasan ekonomi semata-mata.

Maka supaya para penerima itu mematuhi hukum moral, hendaknya mereka jangan melalaikan kewajiban, untuk pada waktunya mencari informasi tentang penilaian-penilaian yang mengenai semuanya itu diberikan oleh instansi-instansi yang berwenang, dan untuk mengikutinya sebagai pedoman menurut suara hati yang cermat. Untuk lebih mudah melawan dampak-dampak yang merugikan, dan mengikuti sepenuhnya pengaruh-pengaruh yang baik, hendaknya mereka berusaha mengarahkan dan membina suara hati mereka dengan upaya-upaya yang cocok.

10. (Kewajiban-kewajiban kaum muda dan para orang tua)

Hendaknya para penerima, terutama dikalangan kaum muda berusaha, supaya dalam memakai upaya-upaya komunikasi sosial mereka belajar mengendalikan diri dan menjaga ketertiban. Kecuali itu hendaklah mereka berusaha memahami secara lebih mendalam apa yang mereka lihat, dengar dan baca. Hendaklah itu mereka percakapkan dengan para pendidik dan para ahli, dan dengan demikian mereka belajar memberi penilaian yang saksama. Sedangkan para orang-tua hendaknya menyadari sebagai kewajiban mereka: menjaga dengan sungguh-sungguh, supaya tayangan-tayangan, terbitan-terbitan tercetak dan lain sebagainya, yang bertentangan dengan iman serta tata susila, jangan sampai memasuki ambang pintu rumah tangga, dan jangan sampai anak-anak menjumpainya diluar lingkup keluarga.

11. (Kewajiban-kewajiban para penyelenggara)

Kewajiban moral utama untuk dengan tepat menggunakan upaya-upaya komunikasi sosial ada pada para wartawan, pengarang, aktor, penulis skenario, pelaksana, penyusun acara, distributor, produsen, pemasar, resensor, dan orang-orang lain, yang dengan cara manapun juga berperan serta dalam pelaksanaan dan penyaluran komunikasi. Sebab sudah jelas sekali manakah dan betapa berat kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggungan mereka semua dalam situasi zaman sekarang, karena mereka itulah yang dengan memberi informasi dan menggerakkkan sesama dapat menempatkan umat manusia pada jalan yang benar atau yang salah.

Maka termasuk tugas merekalah menyelaraskan faktor-faktor ekonomi, politik dan kesenian sedemikian rupa, sehingga tidak pernah akan ada yang berlawanan dengan kesejahteraan umum. Supaya maksud itu tercapai dengan lebih lancar, seyogyanyalah mereka menggabungkan diri dengan organisasi-organisasi profesi mereka, yang mampu mewajibkan para anggotanya menghormati hukum-hukum moral dalam menghadpi masalah-masalah maupun kegiatan profesi mereka, juga bila perlu dengan mengadakan perjanjian untuk mematuhi kode moral.

Hendaklah mereka senantiasa menyadari bahwa sebagian besar para pembaca dan pirsawan terdiri dari angkatan muda, yang membutuhkan media cetak maupun tayangan-tayangan, yang menyajikan hiburan-hiburan sehat dan mengarahkan hati kepada perkara-perkara yang lebih luhur selain itu hendaknya mereka mengusahakan, supaya komunikasi tentang soal-soal keagamaan dipercayakan kepada pribadi-pribadi yang layak dan ahli, dan pelaksanaanya disertai sikap hormat sebagaimana mestinya.

12.(Kewajiban-kewajiban pemerintah)

Dalam hal komunikasi sosial pemerintah terikat kewajiban-kewajiban khas demi kesejahteraan umum, yang merupakan tujuan media itu. Sebab termasuk tugas pemerintah, sesuai dengan fungsinya, untuk membela dan melindungi kebebasan yang sejati dan sewajarnya perihal informasi, terutama kebebasan media cetak. Sebab kebebasan itulah yang sungguh diperlukan bagi masyarakat zaman sekarang demi perkembangannya. Pemerintah wajib pula ikut mengembangkan nilai-nilai keagamaan, budaya dan kesenian; begitu pula melindungi para pemakai jasa komunikasi sosial, supaya dapat dengan bebas menggunakan hak-hak mereka yang sewajarnya. Selain itu pemerintah wajib membantu usaha-usaha, yang sungguhpun terutama bagi generasi muda berfaedah sekali, tidak dapat dijalankan tanpa bantuan itu.

Akhirnya pemerintah, yang sudah sewajarnya memelihara kesehatan para warga negara, terikat kewajiban, melalui perundang-undangan yang pelaksanaannya ditegakkan dengan sungguh, untuk menjamin dengan adil dan saksama, jangan sampai dari penyalahgunaan media komunikasi sosial timbul bahaya-bahaya yang gawat bagi kesusilaan umum serta kemajuan masyarakat. Dengan adanya perhatian penuh kewaspadaan itu kebebasan perorangan maupun kelompok-kelompok sedikitpun tidak terancam, terutama bila dari pihak mereka, yang menggunakan media itu berdasarkan profesi mereka, tidak ada langkah-langkah pengamanan efektif.

Secara istimewa hendaklah ada usaha-usaha pengamanan untuk melindungi angkatan muda terhadap media cetak dan tayangan-tayangan, yang mengingat umur mereka merugikan.

BAB DUA – KEGIATAN PASTORAL GEREJA

13.(Kegiatan para Gembala dan umat beriman)

Hendaklah semua putera-puteri Gereja serentak dan secara sekarela mengusahakan, agar upaya-upaya komunikasi sosial dengan cekatan dan seintensif mungkin dimanfaatkan secara efektif dalam aneka macam karya kerasulan, menganggapi tuntutan situasi setempat dan semasa. Hendaknya mereka mencegah usaha-usaha yang merugikan, terutama didaerah-daerah, yang perkembangan moril serta keagamaannya mengundang kegiatan-kegiatan yang lebih mendesak.

Hendaklah para Gembala dibidang itu pun dengan tangkas menunaikan tugas mereka, karena tugas itu berhubungan erat dengan kebajiban harian mereka mewartakan Injil. Para awam pun yang berperan dalam penggunaan media itu, hendaknya berusaha memberi kesaksian tentang Kristus, terutama dengan menunaikan tugas mereka masing-masing penuh keahlian dan berjiwa kerasulan; bahkan juga dengan secara langsung menyumbangkan jasa-jasa mereka dibidang tehnik, ekonomi, kebudayaan dan kesenian bagi kegiatan pastoral Gereja, sesuai dengan posisi mereka.

14.(Prakarsa-prakarsa umat katolik)

Terutama hendaklah didukung pengembangan pers yang sehat. Untuk sepenuhnya meresapkan semangat kristen di kalangan pembaca, hendaklah dibangun dan dikembangkan pers katolik yang sejati, yakni: – entah itu secara langsung di dukung oleh dan tergantung dari Pimpinan Gereja sendiri, entah dari orang-orang katolik perorangan, – media cetak itu hendaknya jelas-jelas diterbitkan dengan maksud untuk membina, meneguhkan dan menumbuhkan pandangan-pandangan umum selaras dengan hak-hak asasi dan dengan ajaran serta prinsip-prinsip katolik, begitu pula untuk menyebarluaskan serta mebahas dengan cermat peristiwa-peristiwa yang menyangkut kehidupan Gereja. Hendaklah umat beriman diingatkan akan perlunya membaca dan menyebarkan pers katolik, untuk membuat penilaian kristen tentang segala kejadian.

Produksi dan penayangan film-film sebagai upaya untuk menyajikan hiburan yang sehat, untuk mengembangkan kebudayaan dan meningkatkan mutu kesenian, khususnya yang dipruntukkan bagi kaum muda, hendaklah didorong dan dijamin mutunya dengan segala upaya yang efektif. Itu terutama dapat dilaksanakan dengan membantu serta bekerja sama dengan kegiatan-kegiatan serta prakarsa-prakarsa para produsen maupun distributor yang beritikad baik, dengan mempromosikan film-film yang layak dipuji melalui kritik yang positif maupun hadiah-hadiah, dengan mendukung serta menggabungkan gedung-gedung bioskop milik usahawan-usahawan katolik yang terpandang.

Begitu pula hendaklah disediakan bantuan yang efektif bagi siaran-siaran radio dan televisi yang bermutu, terutama yang cocok bagi keluarga. Hendaknya dikembangkan secara intensif siaran-siaran katolik, yang dapat mengundang para pendengar dan pemirsa untuk ikut menghayati kehidupan Gereja, dan meresapkan kebenaran-kebenaran keagamaan dihati mereka. Bila perlu hendaklah diusahakan dengan sungguh pembangunan pemancar-pemancar katolik. Tetapi hendaknya diusahakan pula, agar siaran-siarannya unggul karena mutu maupun efisiensinya.

Kecuali itu hendaklah diupayakan juga, supaya seni sandiwara yang sudah ada sejak dulu dan sungguh bermutu, pun sudah luas tersebar berkat media komunikasi sosial, mendukung pembinaan kemanusiaan dan kesusilaan para penonton.

15.(Pembinaan para produsen)

Supaya kebutuhan-kebutuhan itu tadi benar-benar ditanggapi, hendaklah para imam, para religius dan kaum awam dibenahi pada waktunya, supaya mereka mempunyai kemahiran secukupnya untuk mengarahkan media komunikasi itu kepada tujuan kerasulan.

Pertama-tama kaum awam perlu dibekali dengan persiapan ketrampilan, pengetahuan ajaran dan moral. Untuk maksud itu perlu ditingkaykan jumlah sekolah-sekolah, fakultas-fakultas dan lembaga-lembaga, yang membuka peluang bagi para wartawan, para pencipta film serta pengarang siaran radio maupun televisi, begitu pula pihak-pihak lain yang berkepentingan, untuk menerima pendidikan yang lengkap dan diresapi semangat kristen, terutama berkenaan dengan ajaran sosial Gereja. Juga para aktor memerlukan pendidikan dan pertolongan, supaya melalui kesenianmereka dapat memberi sumbangan kepada masyarakat. Akhirnya perlu disiapkan secara intensif pula para kritikus di bidang sastra, sinema, radio, televisi dan sebagainya, yang sungguh mahir di bidang kejuruan masing-masing, dan dilatih serta didorong untuk menyampaikan penilaian mereka, yang selalu dengan jelas menggaribawahi segi moralnya.

16.(Pembinaan para pemakai jasa)

Tepatnya penggunaan media komunikasi sosial yang tersedia bagi para pemakai jasa dalam usia dan dengan tingkatan budaya yang begitu beraneka, memerlukan pendidikan maupun latihan yang khas dan sesuai bagi mereka. Maka disekolah-sekolah katolik pada segala tingkat, diseminari-seminari maupun dalam kelompok-kelompok kerasulan awam, usaha-usaha yang menolong untuk mencapai tujuan itu – terutama bila diperlukan bagi kaum muda – hendaklah dikembangkan, dilipatgandakan dan diarahkan menurut asas-asas moral kristen. Supaya pelaksanaannya lebih lancar, hendaklah ajaran dan tata-laksana katolik dibidang itu disampaikan dan dijelaskan dalam katekese.

17.(Upaya-upaya teknis dan ekonomis)

Sama sekali tidak pantaslah bagi putera-puteri Gereja untuk secara apatis membiarkan saja sabda tentang keselamatan terikat dan terhalang akibat kesulitan-kesulitan teknis atau tersendatnya pembiayaan yang memang berat sekali, dan khusus terkait pada pemakaian media komunikasi sosial. Maka Konsili suci ini mengingatkan, bahwa mereka wajib menopang kelestarian serta membantu harian-harian atau majalah-majalah katolik, kegiatan-kegiatan perfilman katolik, dan pemancar-pemancar serta siaran-siaran radio maupun televisi katolik, yang tujuan utamanya ialah : serentak mewartakan dan membela kebenaran, dan menyelenggarakan pendidikan kristen bagi masyarakat luas. Skalihus Konsili menganjurkan dengan sangat kepada organisasi-organisasi serta tokoh-tokoh perorangan, yang berpengaruh besar dibidang ekonomi maupun teknologi, supaya mereka yang sukarela dan murah hati membantu dengan sumber dana serta keahlian mereka kelangsungan media komunikasi sosial, sejauh mendukung kebudayaan sejati dan kerasulan.

18.(Sekali setahun: hari komunikasi sosial)

Supaya kerasulan Gereja yang bermacam-macam dibidang upaya-upaya komunikasi sosial makin dimantapkan secara efektif, hendaknya disemua keuskupan, atas kebijaksanaan para Uskup, setiap tahun dirayakan hari komunikasi sosial. Pada hari itu umat beriman diajak menyadari kewajiban-kewajiban mereka dibidang itu, memanjatkan doa-doa baginya, dan mengumpulkan dana untuk maksud itu. Dana itu hendaknya digunakan dengan cermat untuk menghidupi dan menyokong lembaga-lembaga serta usaha-usaha yang dianjurkan oleh Gereja, menanggapi kebutuhan-kebutuhan seluruh dunia katolik.

19.(Sekretariat pada Takhta suci)

Dalam menunaikan reksa pastoral tertinggi sekitar media komunikasi sosial tersedialah untuk mendampingi Sri Paus Sekretariat khusus pada Takhta suci [1].

20.(Wewenang para Uskup)

Termasuk wewenang para Uskup menyimak dan memajukan kegiatan-kegiatan serta usaha-usaha dibidang itu dalam keuskupan mereka, dan mengarahkannya sejauh menyangkut kerasulan umum, tidak terkecualikan usaha-usaha yang dikelola oleh para religius eksem.

21.(Biro nasional)

Supaya kerasulan menjadi efektif untuk seluruh negara, diperlukan kesatuan perencanaan dan usaha-usaha. Maka Konsili menetapkan dan memerintahkan, agar dimana-mana didirikan Biro Nasional untuk media cetak, film, radio dan televisi, dan Biro itu dibantu sedapat mungkin. Tugasnya terutama ialah mengusahakan, agar suara hati umat beriman dibina dengan tepat untuk memanfaatkan upaya-upaya komunikasi sosial sebagaimana mestinya, dan untuk mendorong serta mengarahkan usaha mana pun yang dibidang ini dijalankan oleh umat katolik.

Hendaklah disetiap Negara kepengurusan Biro dipercayakan kepada kelompok khusus Uskup-Uskup, atau seorang Uskup sebagai wakil. Dalam Biro itu hendaknya berperan-serta juga sejumlah awam, yang mahir dalam ajaran katolik dan berkualifikasi di bidang teknologi yang bersangkutan.

22.(Organisasi-organisasi internasional)

Selain itu dampak-pengaruh media komunikasi sosial melampaui batas-batas negara, dan setiap orang bagaikan menjadi warga segenap persekutuan manusia. Maka hendaklah dibidang itu usaha-usaha ditingkat nasional menggalang kerja sama juga dalam lingkup internasional. Hendaknya Biro-Biro, yang disebutkan dalam artikel 21, bekerja sama secara aktif dengan Organisasi Katolik Internasional yang berkaitan. Organisasi-organisasi Katolik Internasional itu hanya dapat disetujui secara sah oleh Takhta suci, dan tergantung daripadanya.

PENUTUP

23.(Instruksi pastoral)

Supaya semua prinsip-prinsip maupun pedoman-pedoman Konsili suci tentang media komunikasi sosial sungguh dilaksanakan, atas perintah eksplisit Konsili hendaklah diterbitakan Instruksi pastoral yang disusun oleh Sekretariat pada Takhta suci, yang disebut dalam artikel 19, dengan bantuan pakar-pakar dari pelbagai negara.

24.(Anjuran akhir)

Konsili percaya, bahwa prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman dalam Dekrit ini akan diterima dengan senang hati dan dipatuhi dengan tertib oleh semua putera-puteri Gereja. Dengan menggunakan upaya bantuan itu mereka tidak akan mengalami kerugian, melainkan justru bagaikan garam dan terang akan mengasinkan bumi dan menyinari dunia. Selain itu Konsili mengundang semua orang yang beritikad baik, terutama mereka yang mengatur penggunaan media itu, supaya mereka berusaha mengarahkan upaya-upaya itu kepada kesejahteraan masyarakat semata-mata, yang untung-malangnya semakin tergantung dari tepatnya penggunaan media. Maka dari itu hendaklah Nama Tuhan diluhurkan oleh penemuan-penemuan baru itu, seperti sejak semula telah dimuliakan oleh monumen-monumen kesenian yang agung, seturut sabda Rasul : “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya” (Ibr 13:8).

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 4 bulan Desember tahun 1963

Saya PAULUS
Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


[1] Para Bapa Konsili dengan senang hati mendukung himbauan “Sekretariat untuk Pers dan Teater”, yang memohon penuh hormat kepada Paus, supaya tugas-tugas serta kewenangan Sekretariat diperluas meliputi semua media komunikasi sosial, tidak terkecuali media cetak, dengan mengikutsertakan para pakar, juga para awam, dari pelbagai bangsa.

DEKRIT TENTANG GEREJA-GEREJA TIMUR KATOLIK

PAUS PAULUS USKUP HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

PENDAHULUAN

1. Gereja Katolik sangat menghargai lembaga-lembaga, upacara-upacara liturgi, tradisi-tradisi gerejawi dan tata-laksana hidup kristen dalam GEREJA-GEREJA TIMUR. Sebab semuanya itu mempunyai keunggulan sebagai warisan zaman kuno yang terhormat, menampilkan tradisi yang melalui para Bapa Gereja berasal dari para Rasul[1], dan merupakan sebagian dalam pusaka perwahyuan ilahi, yang utuh-utuh diserahkan kepada Gereja semesta. Maka penuh perhatian terhadap Gereja-Gereja Timur, saksi-saksi hidup Tradisi itu, Konsili Ekumenis ini menyatakan keinginannya, supaya Gereja-gereja itu tetap subur, dan dengan kekuatan rasuli yang diperbaharui menunaikan tugas perutusan yang dipercayakan kepadanya. Selain apa yang berlaku bagi Gereja semesta, Konsili memutuskan untuk menetapkan beberapa pokok, sementara hal-hal lain diserahkan kepada penyelenggaraan Sinode-Sinode Timur dan Takhta Apostolik.

GEREJA-GEREJA KHUSUS ATAU RITUS-RITUS

2. (Kemacam-ragaman dalam persekutuan Gereja katolik) Gereja katolik yang kudus, Tubuh Mistik Kristus, ialah umat beriman yang dipersatukan secara laras-serasi karena iman yang sama, Sakramen-sakramen yang sama, dan kepemimpinan yang sama dalam Roh Kudus. Umat itu merupakan perpaduan pelbagai golongan yang tergabung di bawah bimbingan hirarki, yang terhimpun sebagai Gereja-Geraja khusus atau Ritus-Ritus. Antara Gereja-gereja itu ada persekutuan yang mengagumkan, sehingga kemacam-ragaman dalam Gereja bukannya merugikan kesatuannya, melainkan justru mengungkapkannya. Gereja katolik memang menghendaki, agar tradisi-tradisi masing-masing Gereja khusus atau Ritus tetap utuh dan lestari. Lagi pula Gereja hendak menyesuaikan perihidupnya dengan bermacam-macam kebutuhan setempat dan semasa[2]). 3. (Kesamaan martabat, hak-hak dan kewajiban-kewajiban) Gereja-gereja khusus seperti itu, baik di Timur maupun di Barat, sebagian saling berbeda perihal apa yang disebut ritus, Yakni Liturgi, tat-laksana gerejawi, dan pusaka warisan rohani. Tetapi sama-sama dipercayakan kepada kepemimpinan pastoral Imam Agung di Roma, yang berdasarkan ketetapannya atas Gereja semesta. Maka Gereja-Gereja itu mempunyai martabat yang sama, sehingga tiada satupun unggul terhadap yang lain-lain karena rirusnya; begitu pula mempunyai hak-hak yang sama dan terikat kewajiban-kewajiban yang sama, juga perihal pewartaan Injil ke seluruh dunia (lih. Mrk 16:15) , dibawah kepemimpinan paus di Roma. 4. (Kelestarian Ritus-Ritus dalam satu persekutuan) Maka diseluruh dunia hendaknya diusahakan kelestarian dan perkembangan semua Gereja khusus. Oleh karena itu hendaklah dibentuk paroki-paroki beserta hirarkinya sendiri, bila itu diperlukan bagi kesejahteraan rohani umat beriman. Tetapi hendaknya para Hirark berbagai Gereja khusus, yang mempunyai yurisdiksi di daerah yang sama, berusaha – dengan mengadakan musyawarah dalam sidang-sidang berkala ” memelihara kesatuan kegiatan, dan dengan berpadu tenaga mendukung karya-karya bersama, untuk mempermudah peningkatan kesejahteraan agama, dan secara lebih aktif menjaga tata-laksana di anatra klerus[3]. Segenap klerus dan mereka yang menyiapkan diri untuk menerima Tahbisan suci hendaknya mendapat penyuluhan yang memadai tentang Ritus-Ritus, dan terutama tentang norma-norma praktis mengenai perkara-perkara antar Ritus. Bahkan kaum awam pun hendaklah dalam pendidikan katekis mendapat penjelasan tentang Ritus-Ritus orang katolik, dan mereka yang menerima Babtis di Gereja atau jemaat bukan katolik mana pun juga, yang menggabungkan diri dalam kepenuhan persekutuan katolik, dimanapun juga tetap hidup menurut Ritus mereka sendiri, memeliharanya dan sedapat mungkin mematuhinya[4]. Sementara itu tetap dipertahankan hak untuk mengajukan persoalan kepada Takhta Apostolik, bila ada kasus kasus khas menyangkut pribadi-pribadi jemaat-jemaat, atau daerah-daerah. Takhta suci, sebagai instansi tertinggi yang berwenang atas hubungan-hubungan antar Gereja, akan menanggapi kebutuhan-kebutuhan dalam semangat ekumenis, secara langsung atau melalui instansi-instansi lainnya, melalui norma-norma, dekrit-dekrit dan jawaban-jawaban resmi.

MELESTARIKAN PUSAKA ROHANI GEREJA-GEREJA TIMUR

5. (Hak serta kewajiban Gereja-Gereja untuk melestarikan tata-laksana masing-masing) Sejarah, tradisi-tradisi, dan amat banyak lembaga-lembaga gerejawi memberi kesaksian gemilang, betapa besar jasa-sumbangan Gereja-Gereja Timur bagi Gereja semesta[5]. Maka itu konsili suci tidak hanya menyambut pusaka gerejawi dan rohani itu dengan penghargaan dan pujian semestinya, melainkan dengan tegas memandangnya juga sebagai pusaka seluruh gereja Kristus. Oleh sebab itu Konsili secara resmi menyatakan, bahwa Gereja-Gereja Timur seperti juga Gereja-Gereja Barat mempunyai hak maupun kewajiban, masing-masing untuk mengatur diri menurut tata-laksana yang khas. Sebab tata-laksana itu dianjurkan karena riwayatnya yang kuno dan terhormat, karena lebih sesuai dengan sifat dan perilaku umat beriman, dan nampak lebih sesuai untuk mengembangkan kesejahteraan umat. 6. (Melestarikan upacara-upacara Liturgi Ritus Timur) Hendaklah segenap umat Gereja-Gereja Timur menyadari dan merasa yakin, bahwa mereka selalu dapat dan wajib melestarikan upacara-upacara Liturgi mereka yang sah serta tata-laksana mereka, dan bahwa perubahan-perubahan hanya hanya boleh diadakan berdasarkan motivasi kemajuan mereka yang laras-serasi. Maka hendaklah itu semua oleh umat gereja-Gereja Timur dipatuhi dengan kesetiaan sepenuhnya. Mengenai semuanya itu mereka harus memperoleh pengertian yang makin mendalam dan mencapai tingkat pelaksanaan yang makin sempurna. Dan bila tanpa alasan yang wajar, karena situasi jaman atau pribadi-pribadi tertentu, mereka telah menyimpang dari padanya, hendaklah mereka berusaha kembali kepada tradisi-tradisi para leluhur. Adapun mereka, yang karena tugas atau pelayan kerasulan seringkali berhubungan dengan Gereja-Gereja Timur atau dengan umatnya, hendaknya ” sesuai dengan beratnya kewajiban mereka ” dibenahi dengan pengertian yang cermat tentang upacara-upacara, tata-laksana, ajaran, sejarah serta sifat-sifat umat, dengan penghargaan terhadapnya[6]. Kepada tarekat-tarekat religius serta perserikatan-perserikatan Ritus Latin, yang berkarya didaerah-daerah timur atau ditengah umat Gereja-Gereja Timur, dianjurkan dengan sangat, supaya demi efektifnya kerasulan mereka, mereka sedapat mungkin mendirikan rumah-rumah atau juga provinsi-provinsi Ritus Timur[7]

.

PARA PATRIARK TIMUR

7. (Siapa Patriark Timur itu?) Sejak jaman kuno terdapatlah dalam Gereja lembaga patriarkal, yang sudah diakui oleh Konsili-Konsili Ekumenis pertama[8]. Yang disebut Patriark Timur ialah Uskup, yang mempunyai yurisdiksi atas semua Uskup, tidak terkecuali uskup Metropolit, atas klerus dan umat wilayah atau Ritusnya sendiri, menurut norma hukum dan tanpa mengurangi primat Paus di Roma[9]. Dimanapun diangkat seorang Hirark dari suatu Ritus diluar batas-batas wilayah patriarkal, ia tetap termasuk hirarki patriarkat Ritus itu juga menurut norma hukum. 8. (Semua Patriark sederajat martabatnya) Meskipun patriarkat-patriarkat muncul pada waktu yang berlainan, semua Patraiark Gereja-Gereja Timur sederajat berdasarkan martabat patriarkal, tanpa mengurangi adanya urutan kehormatan antara mereka, yang telah ditetapkan secara sah[10]. 9. (Wewenang patriark dan Sinode) Menurut tradisi Gereja yang sangat kuno para Patriark Gereja-Gereja Timur layak mendapat kehormatan istimewa, karena mereka mengetuai patrairkat mereka masing-masing sebagai bapa dan kepala. Maka Konsili suci ini menetapkan, agar hak-hak serta privilegi-privilegi mereka dipulihkan, seturut tradisi-tradisi kuno masing-masing Gereja serta dekrit-dekrit Konsili-Konsili Ekumenis[11]. Hak-hak dan privilegi-privilegi itu ialah : yang berlaku pada waktu persatuan antara Timur dan Barat, sungguhpun semuanya perlu sekedar disesuaikan dengan situasi zaman sekarang. Patriark beserta sinode-sinodenya merupakan instansi yang lebih tinggi untuk urusan-urusan mana pun juga dalam patriarkat, tidak terkecuali hak-hak untuk menetapkan eparkia-eparkia baru dan mengangkat Uskup-Uskup Ritusnya dalam batas-batas wilayah patriarkal, tanpa mengurangi hak paus di Roma yang tidak dapat diganggu-gugat untuk bercampur tangan pada setiap kasus. 10. (Uskup Agung Utama) Apa yang dikatakan tentang para Patriark, menurut norma hukum berlaku juga bagi para Uskup Agung Utama, yang memimpin suatu Gereja khusus secara keseluruhan atau suatu Ritus[12]. 11. (Didirikan patriarkat-patriarkat baru sejauh perlu) Karena dalam gereja-Gereja Timur lembaga patriarkal merupakan bentuk kepemimpinan yang tradisional, Konsili Ekumenis ini menghimbau, supaya bilamana perlu didirikan patriarkat-patriarkat baru. Termasuk wewenang khusus Konsili Ekumenis atau Paus di Roma, untuk mendirikannya[13]. TATA-LAKSANA SAKRAMEN-SAKRAMEN 12. (Konsili mengukuhkan tata-laksana Sakramen-Sakramen) Konsili Ekumenis ini mengukuhkan serta memuji tata-laksana Sakramen-Sakramen, yang sejak dulu kala berlaku di Gereja-Gereja Timur, begitu pula praktek perayaan serta pelayanannya. Konsili menginginkan, supaya sejauh perlu tata-laksana itu dipulihkan. 13. (Pelayan Sakramen Krisma) Tata-laksana menyangkut pelayan Sakramen Krisma, yang sejak dahulu berlaku di Gereja-gereja Timur, hendaknya dipulihkan seutuhnya. Maka para Imam dapat menerimakan Sakramen itu, dengan menggunakan Krisma yang diberkati oleh Patriark atau Uskup[14]. 14. (Penerimaan Sakramen Krisma) Semua imam Gereja-Gereja Timur dapat secara sah menerimakan Sakramen Krisma, entah bersama dengan Babtis atau terpisah dari padanya, kepada sekalian umat beriman dari Ritus manapun juga, tak terkecualikan Ritus Latin, dengan mematuhi demi halalnya peraturan-peraturan hukum yang bersifat umum maupun khusus[15]. Juga para imam Ritus Latin, menurut kewenangan yang mereka terima untuk menerimakan Sakramen itu, dapat menerimakannya secara sah juga kepada umat beriman Gereja-Gereja timur, entah mereka termasuk Ritus mana, dengan mematuhi demi halalnya peraturan-peraturan hukum yang bersifat umum maupun khusus[16]. 15. (Ekaristi suci) Umat beriman wajib ikut merayakan Liturgi ilahi pada hari Minggu dan hari Raya, atau ” menurut peraturan-peraturan atau adat kebiasaan Ritusnya ” ikut mendoakan Pujian ilahi (ibadat harian)[17]. Untuk mempermudah umat beriman menunaikan kewajiban itu, ditetapkan, bahwa waktu yang cocok untuk menaati perintah itu berlangsung dari sore sebelumnya hingga akhir Minggu atau hari raya[18]. Dianjurkan dengan sangat, supaya umat beriman pada hari-hari itu, atau lebih sering, bahkan setiap hari, menerima Ekaristi suci[19]. 16. (Pelayan Sakramen Tobat) Karena umat beriman pelbagai Gereja khusus sehari-harian bercampur-baur di wilayah atau daerah Gereja Timur yang sama, kewenangan para imam dari Ritus mana pun juga untuk menerima pengakuan dosa, yang mereka peroleh secara sah dan tanpa syarat dari Hirarki mereka, diperluas hingga meliputi seluruh wilayah Hirarki yang memberinya, pun juga meliputi tempat-tempat serta umat beriman yang termasuk Ritus mana pun juga diwilayah itu, kecuali bila Hirark setempat jelas-jelas menolaknya untuk daerah Ritusnya[20]. 17. (Diakonat dan tahbisan-tahbisan tingkat rendah) Supaya tata-laksana Sakramen Tahbisan dari zaman dahulu berlaku lagi di Gereja-gereja Timur, Konsili suci ini menganjurkan, agar lembaga diakonat yang tetap, bila kebiasaan itu telah hilang, dipulihkan[21]. Mengenai sub diakonat dan tingkat-tingkat Tahbisan yang lebih rendah beserta hak-hak maupun kewajiban-kewajibannya, hendaklah itu diurus oleh wewenang legislatif setiap Gereja khusus[22]. 18. (Pernikahan campur) Untuk mencegah perkawinan-perkawinan yang tidak sah, bila anggota Gereja Timur katolik menikah dengan orang yang dibabtis dalam gereja Timur bukan katolik, dan untuk memeliharakelestarian serta kekudusan perkawinan dan kedamaian rumah tangga, Konsili menetapkan, bahwa bentuk kanonik perayaan untuk perkawinan itu hanya diwajibkan supaya perkawinan itu halal, dan bahwa untuk sahnya perkawinan cukuplah kehadiran pejabat gerejawi, dengan mengindahkan ketetapan-ketetapan hukum lainnya[23]. LITURGI 19. (Hari-hari raya) Selanjutnya hanya Konsili Ekumenis atau Takhta apostoliklah, yang berwenang menetapkan, memindahkan atau meniadakan hari-hari raya yang berlaku umum bagi semua Gereja Timur. Sedangkan yang berwenang menetapkan, memindahkan atau meniadakan hari-hari raya untuk masing-masing Gereja khusus, ialah: kecuali Takhta apostolik, Sinode-Sinode patriarkal atau arkiepiskopal; tetapi perlu dipertimbangkan kepentingan seluruh daerah serta Gereja-Gereja khusus lainnya[24]. 20. (Hari raya Paska) Sampai tercapainya persetujuan yang diinginkan oleh segenap umat kristen tentang hari tunggal bagi semua untuk merayakan hari raya Paska, dan untuk meningkatkan kesatuan umat kristen di satu daerah atau negara, untuk sementara diserahkan kepada para Patriark atau para penguasa gerejawi setempat yang tertinggi, untuk berdasarkan mufakat bulat dan musyawarah antara pihak-pihak yang berkepentingan, menetapkan satu hari Minggu guna merayakan hari raya Paska[25]. 21. (Penyesuaian diri dengan Ritus setempat) Setiap orang beriman, yang tinggal diluar wilayah atau daerah Ritusnya sendiri, berkenaan dengan hukum tentang masa-masa kudus, dapat menyesuaikan diri sepenuhnya dengan tata-laksana gerejawi yang berlaku ditempat kediamannya. Dalam keluarga-keluarga, yang para anggotanya menganut Ritus yang berbeda-beda, hukum itu boleh diakui menurut satu Ritus saja[26]. 22. (Pujian ilahi [ibadat harian]) Hendaknya para anggota klerus dan religius Gereja-Gereja Timur mematuhi peraturan-peraturan tata-laksana serta tradisi-tradisi mereka sendiri dalam merayakan Pujian ilahi (ibadat harian), yang sejak dulu kala dijunjung tinggi di semua Gereja-Gereja Timur[27]. 23. (Penggunaan bahasa daerah) Patriark beserta sinode, atau Pemimpin Tertinggi setiap Gereja beserta Dewan para Hiark, mempunyai hak untuk mengatur penggunaan bahasa-bahasa dalam upacara-upacara Liturgi, pun juga ” sesudah melaporkannya kepada Takhta Apostolik ” menyetujui terjemahan-terjemahan teks-teks dalam bahasa daerah[28]. PERGAULAN DENGAN PARA ANGGOTA GEREJA-GEREJA YANG TERPISAH 24. (Memelihara persekutuan menurut Dekrit tentang Ekumenisme) Termasuk tuga khusus Gereja-Gereja Timur yang berada dalam persekutuan dengan Takhta Apostolik di Roma, memelihara kesatuan segenap umat kristen, terutama umat Gereja-Gereja Timur, menurut prinsip-prinsip dekrit Konsili ini tentang Ekumenisme, pertama-tama melalui doa-doa, teladan hidup, kesetiaan keagamaan terhadap tradisi-tradisi Timur yang kuno, saling pengertian yang makin mendalam, kerja sama dan penghargaan persaudaraan terhadap orang-orang maupun berbagai hal[29]. 25. (Syarat untuk kesatuan; kewenangan menjalankan kuasa Tahbisan) Dari umat Gereja-Gereja Timur terpisah, yang berkat dorongan rahmat Roh Kudus memasuki kesatuan katolik, hendaklah jangan dituntut lebih dari ikrar iman katolik yang sederhana. Dan bila diantara mereka masih tetap dipertahankan imamat yang sah, para anggota klerus Gereja-Gereja Timur, yang bergabung dengan kesatuan katolik, mempunyai kewenangan menjalankan kuasa Tahbisannya, menurut norma-norma yang ditetapkan oleh Pimpinan yang berwenang[30]. 26. (“Communicatio in sacris”) Perayaan bersama Sakramen-Sakramen (“communicatio in sacris”), yang melanggar kesatuan Gereja, atau mencakup persetujuan formal terhadap kesesatan atau bahaya menyimpang dari iman, batu sandungan, atau indeferentisme, dilarang berdasarkan hukum ilahi[31]. Akan tetapi berkenaan dengan para anggota Gereja-Gereja Timur praktek pastoral menunjukkan, bahwa dapat dan harus dipertimbangkan pelbagai situasi masing-masing pribadi, yang tidak menimbulkan pelanggaran terhadap kesatuan Gereja atau bahaya-bahaya yang perlu dielakkan, melainkan mengisyaratkan mendesaknya kebutuhan akan keselamatan dan kesejahteraan rohani umat. Oleh karena itu Gereja katolik sesuai dengan situasi waktu, tempat serta pribadi-pribadi, seringkali telah dan masih tetap menempuh cara bertindak yang lebih lunak, dengan menyajikan kepada semua upaya-upaya keselamatan serta kesaksian cinta kasih antar umat kristen, melalui keikut-sertaan dalam perayaan Sakramen-Sakramen, partisipasi dalam perayaan-perayaan serta kegiatan-kegiatan lain. Memperhatikan itu semua, dan “untuk tidak menjadi halangan bagi mereka yang diselamatkan karena kerasnya penilaian”[32], pun juga untuk mempererat persatuan dengan Gereja-Gereja Timur yang tercerai dari kita, menetapkan cara bertindak berikut. 27. Berdasrkan prinsip-prinsip yang telah disebutkan, kepada para anggota Gereja-Gereja Timur, yang tanpa kesalahan apapun terpisah dari Gereja katolik, dapat diterimakan Sakramen Tobat, Ekaristi dan Pengurapan Orang Sakit, bila mereka sendiri memintanya dan berada dalam disposisi baik. Bahkan orang-orang katolik pun boleh meminta Sakramen-Sakramen itu kepada pelayan-pelayan yang tidak katolik, bila Gereja-Gereja mereka mempunyai Sakramen-Sakramen yang sah, setiap kali iti dibutuhkan, atau sungguh ada manfaat rohaninya, dan bila secara fisik atau moril tidak dapat ditemui seorang imam katolik[33]. 28. Begitu pula, berdasarkan prinsip-prinsip yang sama, serta dengan alasan yang wajar, umat katolik dan para anggota Gereja-gereja Timur yang terpisah diperbolehkan bersama-sama merayakan ibadat dan menggunakan hal-hal serta tempat-tempat kudus[34]. 29. (Bimbingan para Hirark setempat) Pelaksanaan peraturan yang diperlunak tentang perayaan bersama Sakramen-Sakramen dengan saudara-saudari Gereja-Gereja Timur yang terpisah itu dipercayakan kepada pengawasan dan bimbingan para Hiraki setempat, supaya mereka ” berdasarkan musyawarah antara mereka, dan bila perlu juga dengan menampung pendapat Hirark Gereja-Gereja yang terpisah ” dengan peraturan-peraturan serta norma-norma yang menunjang dan efektif, mengatur hubungan antar umat kristen.

PENUTUP

30. Konsili suci sangat bergembira atas kerja sama aktif yang berhasil antara Gereja-Gereja katolik Timur dan Barat, pun sekaligus menyatakan : bahwa semua peraturan hukum itu ditetapkan untuk situasi sekarang ini, sampai Gereja katolik dan Gereja-Gereja Timur yang terpisah menyatu dalam persekutuan sepenuhnya. Sementara itu seluruh umat kristen yang termasuk Gereja-Gereja Timur maupun barat diminta dengan sangat, supaya penuh semangat dan dengan tekun, bahkan setiap hari memanjatkan doa-doa kepada Allah, supaya berkat bantuan Santa Bunda Allah, mereka semua menjadi satu. Hendaklah mereka berdoa pula, supaya sekian banyak orang kristen dalam Gereja mana pun juga, yang dengan berani menyerukan nama Kristus dan karena itu menanggung penderitaan dan penindasan, dilimpahi peneguhan dan penghiburan sepenuhnya oleh Roh Kudus Sang Penghibur. Marilah kita semua saling mengasihi sebagai saudara, dan saling mendahului dalam memberi hormat (Rom 12:10). Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah. Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 21 bulan November tahun 1964. Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik (Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


[1] LEO XIII, Surat apostolik Orientalium dignitas, tgl. 30 November 1984: Acta Leonis XIII”, jilid XIV (1894) hlm. 201-202. [2] S. LEO IX, Surat In terra pax, tahun 1053 : “Ut enim”. ” INOSENSUS III, Konsili Lateran IV, Tahun 1215, bab IV : Licet Graecos; Surat Inter Quattuor, tagl 2 Agustus 1206 : Postulasi Postmodum. ” INOSENSUS IV, Surat Cum de cetero, tgl. 27 Agustus 1247; Surat Sub catholicae, tgl. 6 Maret 1254, pendahuluan . ” NIKOLAUS III, Instruksi Istut est memoriale, tgl. 9 Oktober 1278. ” LEO X, Surat apostolik Accepimus nuper, tgl. 18 Mei 1521. ” PAULUS III, Surat apostolik Dudum, tgl. 23 Desember 1534. ” PIUS IV, Konstitusi Romanus Pontifex, tgl. 16 Februari 1564, 5. ” KLEMENS VIII, Konstitusi Magnus Dominus, tgl. 23 Desember 1595, 10. ” PAULUS V, Konstitusi Solet circumspecta, tgl. 10 Dsember 1615, 3. ” BENEDICTUS XIV, Ensiklik Demandatam, tgl. 24 Desember 1743, 3; Ensiklik “Allatae sunt”, tgl. 26 Juni 1755, 3, 6-19, 32. ” PIUS VI, Ensiklik Catholicae communionis, tgl. 24 Mei 1787. ” PIUS IX, Surat In Suprema, tgl. 6 Januari 1848, 3; Surat apostolik Ecclesiam Christi, tgl. 26 November 1853; Konstitusi Romani Pontificis, tgl. 6 Januari 1862. ” LEO XIII, Surat apostolik Praeclara, tgl. 20 Juni 1894, no. 7; Surat apostolik Orientalium dignitas, tgl. 30 November 1894, pendahuluan; dan lain-lain. [3] PIUS XII, Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 4. [4] PIUS XII, Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 8: “Sine Licentia Sedis Apostolicae” (tanpa izin Takhta Apostolik), dengan menganut praksis abad-abad sebelumnya; begitu pula tentang mereka yang di Babtis di luar Gereja Katolik, dalam kanon 11 tercantum : “ritum quem maluerint amplecti possunt” (mereka boleh berpegang teguh pada Ritus, yang mereka pilih sendiri); dalam teks yang diajukan diambil keputusan positif tentang “tetap mempertahankan Ritusnya” bagi semua kaum beriman di seluruh dunia. [5] Lih. LEO XIII, Surat apostolik Orientalium dignitas, tgl. 30 November 1894; Surat apostolik praeclara gratulationis, tgl. 0 Juni 1894, dan dokumen-dokumen yang disebutkan pada catatan kaki 2. [6] Lih. BENEDIKTUS XV, Motu Proprio Orientis cattholici, tgl. 15 Oktober 1917. ” PIUS XI, Ensiklik Rerum orientalium, tgl. 8 September 1928, dan lain-lain. [7] Praktek Gereja katolik pada zaman Pius XI, Pius XII, dan Yohanes XXIII secara melimpah menunjukkan adanya gerakan itu. [8] Lih. KONSILI NIKAIA I, kanon 6. ” KONSILI KONSTANTINOPEL I, kanon 2 dan 3. ” KONSILI CHALKEDON, kanon 28; kanon 9. ” KONSILI KONSTANTINOPEL IV, kanon 17; kanon 21. ” KONSILI LATERAN IV, kanon 5; kanon 30. ” KONSILI FIRENZE, Dekrit untuk umat Yunani, dan lain-lain. [9] Lih. KONSILI NIKAIA, kanon 6. ” KONSILI KONSTANTINOPEL IV, kanon 17. ” PIUS XII, , Motu proprio Cleri sanctitati, kanon 216, 2, 1. [10] Dalam Konsili-Konsili Ekumenis: NIKAIA I, kanon 6. ” KONSTANTINOPEL I, kanon 21. ” LATERAN IV, kanon 5. ” FIRENZE, Dekrit untuk umat Yunani, tgl. 6 Juli 1439, 9. ” Lih. PIUS XII, , Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 219, dan lain-lain. [11] Lih. Catatan kakai 8. [12] Lih. KONSILI EFESUS, kanon 8. ” KLEMENS VII, Decet Romanum Pontificem, tgl. 23 Februari 1596. ” PIUS VII, Surat Apostolik In universalis Ecclesiae, tgl. 22 februari 1807. ” PIUS XII, , Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 324-339. KONSILI KARTAGO, tahun 419, kanon 17. [13] KONSILI KARTAGO, tahun 419, kanon 17 dan 57. ” KONSILI CHALKEDON, tahun 451, kanon 12. ” S. INOSENSIUS I, Surat Ad consulta vestra, tgl. 13 November 866: A quo autem. INOSENSIUS III, Surat Rex regum, tgl. 25 Februari 1204. ” LEO XII, Surat apostolik Petrus Apostolorum Princeps, tgl. 15 Agustus 1824. ” LEO XIII, Surat apostolik Christi Domini, tahun 1895. ” PIUS XII, , Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 159. [14] Lih. INOSENSIUS IV, Surat Sub catholicae, tgl. Maret 1254, 3, n.4. ” KONSILI LYON II, tahun 1274 (Ikrar iman Mikael Paleologos yang dipersembahkan kepada Gregorius X). ” EUGENIUS IV, dalam Konsili Firenze, Konstitusi Exsultate Deo, tgl. 22 November 1439, 11. ” KLEMENS VIII, Instruksi Sanctissimus, tgl. 31 Agustus 1595. ” BENEDIKTUS XIV, Konstitusi Etsi pastoralis, tgl. 26 Mei 1742, II, n.1, dan lain-lain. ” SINODE LAODIKAIA, tahun 347/381, kanon 48. ” SINODE SIS GEREJA ARMENIA, tahun 1342. ” SINODE LIBANON GEREJA MARONIT, tahun 1736, Bag. II, Bab III, n.2, dan Sinode-Sinode khusus lainnya. [15] Lih. KONGREGASI OFISI SUCI, Instruksi (kepada Uskup di Zips), tahun 1783. ” KONGEGRASI PENYIARAN IMAN (untuk umat Koptis), tgl. 15 Maret 1790, n.XIII; Dekrit tgl. 6 Oktober 1863, C, a; KONGREGASI UNTUK GEREJA-GEREJA TIMUR, tgl. 1 Mei 1948. ” KONGREGASI OFISI SUCI, Jawaban tgl. 22 April 1896 dengan surat tgl. 19 Mei 1896. [16] Kitab Hukum Kanonik, kanon 782, 4. ” KONGREGASI UNTUK GEREJA-GEREJA TIMUR, Dekrit “tentang pelayanan Sakramen Krisma juga kepada umat Gereja-Gereja Timur, oleh imam-imam Ritus Latin, yang mempunyai wewenang itu terhadap umat dari Ritusnya:, tgl. 1 Mei 1948. [17] Lih. SINODE LAODIKAIA, tahun 347/381, kanon 29. ” S. NIKEFOROS dari Konstantinopel, bab 14. ” SINODE GEREJA ARMENIA di DWIN, tahun 719, kanon 31. ” S. TEODOROS STUDITA, kotbah 21. ” S. NIKOLAUS I, Surat Ad consulta vestra, tgl. 13 November 866: In quorum Aposlotorum; Nos cupitis; quod interrogatis; Praterea consulitis; Si die Dominico; dan sinode-sinode khusus. [18] Itu sesuatu yang baru, sekurang-kurangnya dimana berlaku kewajiban untuk ikut merayakan Liturgi suci; tetapi itu cocok dengan “hari liturgi” menurut Gereja-Gereja Timur. [19] Lih. Canones Apostolorum, 8 dan 9. ” SINODE ANTIOKIA, tahun 341, kanon 2. ” TIMOTEOS dari Iskandaria, Interrogatio (pertanyaan) 3. ” INOSENSIUS III, Konstitusi Quia divinae, tgl. 4 Januari 1215; dan amat banyak Sinode khusus Gereja-Gereja Timur yang lebih resen. [20] Tanpa mengurangi sifat teritorial yurisdiksi, kanon itu demi kesejahteraan umat beriman bermaksud menanggapi situasi yang timbul dari kemajemukan yurisdiksi di satu tempat yang sama. [21] Lih. KONSILI NIKAIA I, kanon 18. ” SINODE NEOKAISAREA, tahun 314/325, kanon 12. ” SINODE SARDIKA, tahun 343, kanon 8. ” S. LEO AGUNG, Surat Omnium quidem, tgl 13 Januari 444. ” KONSILI CHALKEDON, kanon 6. ” KONSILI KONSTANTINOPEL IV, kanon 23, 26, dan lain-lain. [22] Di berbagai Gereja Timur subdiakonat dipandang sebagai Tahbisan tingkat rendah. Tetapi Motu Proprio PIUS XII Cleri sanctitati mengenakan padanya kewajiban-kewajiban yang berlaku bagi tingkat-tingkat Tahbisan yang lebih tinggi. Kanon menganjurkan, supaya diikuti lagi tata-laksana tata-laksana zaman dahulu, yang ada pada masing-masing Gereja, mengenai kewajiban-kewajiban para subdiakon, menyimpang dari hukum umum menurut Cleri sanctitati. [23] Lih. PIUS XII, Motu Proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 267 (kewenangan para Patriark untuk memberi penyembuhan pada akarnya). ” KONGREGASI OFISI SUCI dan KONGREGASI UNTUK GEREJA-GEREJA TIMUR pada tahun 1957 memberi kewenangan mendispensasikan dari bentuk kanonik dan menyembuhkan, bila perkawinan dilangsungkan tanpa bentuk kanonik (untuk lima tahun): “diluar patriarkat, kepada para Metropolit dan para Ordinaris wilayah lainnya … yang tidak mempunyai Atasan di bawah Takhta suci”. [24] Lih. S. LEO AGUNG, Surat Quod sapissime, tgl 15 April 454: Petitionem autem. ” S. NIKEFOROS dari Konstantinopel, bab 13. ” SINODE PATRIARK SERGIUS, tgl 18 September 1956, kanon 17. ” PIUS VI, Surat apostolik Assueto paterne, tgl. 8 April 1775, dan lain-lain. [25] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi [26] Lih. KLEMENS VIII, Instruksi Sanctissimus, tgl. 31 Agustus 1595, 6: Si ipsi graeci. ” KONGREGASI OFISI SUCI, tgl. 7 Juni 1673, ad 1 dan 3; tgl. 13 Maret 1916, art. 14.- KONGREGASI UNTUK PENYIARAN IMAN, Dekrit tgl. 18 Agustus 1913, art. 33; Dekrit tgl. 14 Agustus 1914, art. 27; Dekrit tgl. 27 Maret 1916, art. 14. ” KONGREGASI UNTUK GEREJA-GEREJA TIMUR, Dekrit tgl. 1 Maret 1929, art. 36; Dekrit tgl. 4 Mei 1930, art. 41. [27] Lih. SINODE LAODIKAIA, tahun 347/381, kanon 18. ” SINODE MARISSAC, GEREJA CHALDEA, tahun 410, kanon 15. ” SINODE NERSESHROMKLAY, GEREJA ARMENIA, tahun 1166. ” INOSESNSIUS IV, Surat Sub catholicae, tgl. 6 Maret 1254, 8. ” BENEDIKTUS XIV, Konstitusi Etsi pastoralis, tgl. 26 Mei 1742, 7, n.5; Instruksi Eo quamvis tempore, tgl. 4 Mei1745, 42 dan selanjutnya. ” Sinode-sinode khusus: Gereja Armenia (1911), Koptik (1898), Maronit (1736), Rumania (1872), Ruthenia (1891), Syria (1888). [28] Menurut tradisi Timur. [29] Menurut isi Piagam-Piagam persatuan masing-masing Gereja Timur katolik. [30] Kewajiban berdasarkan ketetapan Konsili, menyangkut para anggota Gereja-Gereja Timur yang terpisah, serta mengenai semua Tahbisan mana pun, atas ketetapan ilahi maupun gerejawi. [31] Ajaran itu berlaku juga di Gereja-Gereja yang terpisah. [32] S. BASILIUS AGUNG, “Surat kanonik kepada Amfilokios”: PG 32, 669 B. [33] Sebagai motivasi untuk sikap yang lebih lunak itu dikemukakan pokok-pokok berikut : 1 sahnya Sakramen-Sakramen; 2 tiada kesalahan, dan disposisi baik; 3 kebutuhan akan keselamatan kekal; 4 tidak adanya imam dari Gereja sendiri; 5 tidak adanya bahaya yang perlu dielakkan, pun tidak adanya persetujuan formal terhadap kesesatan. [34] Yang dimaksudkan ialah apa yang disebut communicatio extrasacramentalis in sacris (kegiatan suci bersama diluar perayaan Sakramen). Konsililah yang di sini memperlunak peraturan, dengan syarat, bahwa tetap diindahkan apa yang harus ditaati.

DEKRIT TENTANG EKUMENISME

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI

PENDAHULUAN

1. Mendukung PEMULIHAN KESATUAN antara segenap umat kristen merupakan salah satu maksud utama Konsili Ekumenis Vatikan II. Sebab yang didirikan oleh Kristus Tuhan ialah Gereja yang satu dan tunggal. Sedangkan banyak persekutuan kristen membawakan diri sebagai pusaka warisan Yesus Kristus yang sejati bagi umat manusia. Mereka semua mengaku sebagai murid-murid Tuhan, tetapi berbeda-beda pandangan dan menempuh jalan yang berlain-lainan pula, seolah-olah Kristus sendiri terbagi-bagi [1] . Jelaslah perpecahan itu terang-terangan berlawanan dengan kehendak Kristus, dan menjadi batu sandungan bagi dunia, serta merugikan perutusan suci, yakni mewartakan Injil kepada semua makhluk.

Adapun Tuhan segala zaman, yang penuh kebijaksanaan serta kesabaran melaksanakan rencana rahmat-Nya terhadap kita para pendosa, masa terakhir ini telah mulai makin melimpah mencurahkan semangat pertobatan dan kerinduan akan persatuan ke dalam hati umat kristen yang tercerai-berai. Dimana-mana banyak sekali orang yang terdorong oleh rahmat itu, dan di antara saudara-saudari kita yang terpisah pun berkat rahmat Roh Kudus telah timbul gerakan yang makin meluas untuk memulihkan kesatuan segenap umat kristen. Dalam gerakan penyatuan yang disebut “ekumenis itu berperansertalah mereka, yang menyerukan Allah Tritunggal dan mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Penyelamat, itu pun bukan hanya masing-masing secara perorangan, melainkan juga sebagai jemaat. Disitulah mereka mendengarkan Injil. Jemaat-jemaat itulah yang oleh masing-masing di akui sebagai Gereja mereka dan gereja Allah. Tetapi hampir semua, kendati melalui aneka cara, mencita-citakan satu gereja Allah yang kelihatan, yang sungguh-sungguh bersifat universal, dan diutus ke seluruh dunia, supaya dunia bertobat kepada Injil, dan dengan demikian diselamatkan demi kemuliaan Allah.

Maka, sambil mempertimbangkan itu semua dengan hati gembira, konsili suci ini, karena sudah menguraikan ajaran tentang Gereja, terdorong oleh keinginan untuk memulihkan kesatuan antara semua murid Kristus, bermaksud menyajikan kepada segenap umat katolik bantuan-bantuan, upaya-upaya dan cara-cara, untuk menolong mereka menanggapi panggilan serta rahmat ilahi itu.

BAB SATU – PRINSIP-PRINSIP KATOLIK UNTUK EKUMENISME

2. (Gereja yang satu dan tunggal)

Di sini nyatalah cinta kasih Allah terhadap kita, bahwa Putera Tunggal Allah telah diutus oleh Bapa ke dunia, untuk menjadi manusia, dengan karya penebusan-Nya melahirkan kembali seluruh umat manusia, serta menyatukannya[2]]. Sebelum mempersembahkan diri sebagai korban tak bernoda di altar salib, Ia berdoa kepada bapa bagi umat beriman: “Semoga semua bersatu, seperti Engkau, ya Bapa, dalam Aku, dan Aku dalam Dikau, supaya mereka pun bersatu dalam kita : supaya percayalah dunia, bahwa Engkau telah mengutus aku (Yoh17:21). Dalam Gereja-Nya Ia mengadakan Sakramen Ekaristi yang mengagumkan dan melambangkan serta memperbuahkan kesatuan Gereja. Kepada para murid-Nya Ia telah memberi perintah baru untuk saling mengasihi[3]], serta menjanjikan Roh Penghibur[4]], untuk menyertai mereka selamanya sebagai Tuhan sumber kehidupan.

Ketika Tuhan yesus telah ditinggikan di salib dan di muliakan, Ia mencurahkan Roh yang di janjikan-Nya. Melalui Roh itulah Ia memanggil dan menghimpun umat Perjanjian Baru, yakni Gereja, dalam kesatuan iman, harapan dan cinta kasih, menurut ajaran Rasul: “Satu Tubuh dan satu Roh, seperti kalian telah dipanggil dalam satu harapan panggilan kalian. Satu Tuhan, satu iman, satu babtis(Ef 4:4-5). Sebab “barang siapa telah dibabtis dalam Kristus, telah menganakan Kristus …. Sebab kalian semua ialah satu dalam Kristus Yesus (Gal 3:27-28). Roh Kudus, yang tinggal dihati umat beriman, dan memenuhi serta membimbing seluruh Gereja, menciptakan persekutuan umat beriman yang mengagumkan itu, dan sedemikian erat menghimpun mereka sekalian dalam Kristus, sehingga menjadi Prinsip kesatuan Gereja. Dialah yang membagi-bagikan aneka rahmat dan pelayanan[5]], serta memperkaya Gereja Yesus Kristus dengan pelbagai anugerah, untuk memperlengkapi para kudus bagi pekerjaan pelayanan, demi pembangunan Tubuh Kristus (Ef 4:12).

Untuk mendirikan Gereja-Nya yang kudus itu di mana-mana hingga kepenuhan zaman, Kristus mempercayakan tugas mengajar, membimbing dan menguduskan kepada Keduabelas Rasul[6]]. Di antara mereka Ia memilih Petrus. Ia memutuskan untuk membangun Gereja-Nya di atas petrus sesudah pengakuan imannya. Kepadanya dijanjikan-Nya kunci Kerajaan Sorga[7]]. Kepadanya pula, sesudah pernyataan cinta kasihnya, Kristus mempercayakan semua domba-domba-Nya, supaya mereka diteguhkan dalam iman[8]] dan digembalakan dalam kesatuan yang sempurna[9]], sedangkan Kristus Yesus sendiri untuk selamanya menjadi batu penjuru[10]] dan Gembala jiwa-jiwa kita[11]].

Melalui pewartaan Injil yang setia oleh para Rasul serta pengganti-pengganti mereka, yakni para Uskup, diketuai oleh pengganti Petrus, melalui pelayanan Sakramen-Sakramen , dan melalui pembimbingan dalam cinta kasih, Yesus Kristus menghendaki umat-Nya berkembang berkat karya Roh Kudus, serta menyempurnakan persekutuannya dalam kesatuan: dalam pengakuan satu iman, dalam perayaan bersama ibadat ilahi, dan dalam kerukunan persaudaraan keluarga Allah.

Demikianlah Gereja, kawanan tunggal Allah, bagaikan panji-panji yang dinaikkan bagi bangsa-bangsa[12]], sambil melayani Injil kedamaian bagi segenap umat manusia[13]], berziarah dalam harapan menuju cita-cita tanah air di Sorga[14]].

Itulah misteri kudus kesatuan Gereja, dalam Kristus dan dengan perantaraan Kristus, disertai oleh Roh Kudus yang mengerjakan kemacam-ragaman kurnia-kurnia. Pola dan Prinsip terluhur misteri misteri itu ialah kesatuan Allah Tri Tunggal dalam tiga Pribadi Bapa, Putera dan Roh Kudus.

3. (Hubungan antara saudara-saudari yang terpisah dan Gereja Katolik)

Dalam satu dan satu-satunya Gereja Allah itu sejak awalmula telah timbul berbagai perpecahan[15]], yang oleh Rasul dikecam dengan tajam sebagai hal yang layak di hukum[16]]. Dalam abad-abad sesudahnya timbullah pertentangan-pertentangan yang lebih luas lingkupnya, dan jemaat-jemaat yang cukup besar terpisahkan dari persekutuan sepenuhnya dengan Gereja Katolik, yang seringnya karena kesalahan orang- orang di kedua belah pihak. Tetapi mereka, yang sekarang lahir dan di besarkan dalam iman akan Kristus di jemaat-jemaat itu, tidak dapat dipersalahkan dan dianggap berdosa karena memisahkan diri. Gereja Katolik merangkul mereka dengan sikap bersaudara penuh hormat dan cinta kasih. Sebab mereka itu, yang beriman akan Kristus dan dibaptis secara sah, berada dalam suatu persekutuan dengan Gereja Katolik, meskipun persekutuan ini tidak sempurna. Perbedaan- perbedaan yang ada dalam derajat yang berbeda di antara mereka dan Gereja Katolik-  baik perihal ajaran dan ada kalanya juga dalam tata-tertib, maupun mengenai tata-susunan Gereja, memang menciptakan banyak hambatan, kadang menjadi hambatan yang serius, terhadap persekutuan gerejawi yang penuh. Gerakan ekumenis bertujuan mengatasi hambatan-hambatan itu. Sungguhpun begitu, karena mereka dalam Baptis dibenarkan berdasarkan iman, mereka disaturagakan dalam Kristus[17]]. Oleh karena itu mereka memang dengan tepat menyandang nama Kristen, dan tepat pula oleh putera-puteri Gereja katolik diakui selaku saudara-saudari dalam Tuhan[18]].

Kecuali itu, dari unsur-unsur atau nilai-nilai, yang keseluruhannya ikut berperanan dalam pembangunan serta kehidupan Gereja sendiri, beberapa bahkan banyak sekali yang sangat berharga, yang dapat ditemukan diluar kawasan Gereja katolik yang kelihatan: Sabda Allah dalam Kitab suci, kehidupan rahmat, iman, harapan dan cinta kasih, begitu pula kurnia-kurnia Roh kudus lainnya yang bersifat batiniah dan unsur-unsur lahiriah. Itu semua bersumber pada Kristus dan mengantar kepada-Nya, dan memang selayaknya termasuk gereja Kristus yang tunggal.

Tidak sedikit pula upacara-upacara agama kristen, yang diselenggarakan oleh saudara-saudari yang tercerai dari kita. Upacara-upacara itu dengan pelbagai cara dan menurut bermacam-ragam situasi masing-masing Gereja dan jemaat sudah jelas memang dapat menyalurkan hidup rahmat yang sesungguhnya, dan harus diakui dapat membuka pintu memasuki persekutuan keselamatan.

Oleh karena itu Gereja-Gereja[19]]dan Jemaat-Jemaat yang terpisah, walaupun menurut pandangan kita diwarnai oleh kekurangan-kekurangan, sama sekali bukannya tidak berarti atau bernilai dalam misteri keselamatan. Sebab Roh Kristus tidak menolak untuk menggunakan mereka sebagai upaya-upaya keselamatan, yang kekuatannya bersumber pada kepenuhan rahmat serta kebenaran sendiri, yang dipercayakan kepada Gereja katolik.

Akan tetapi saudara-saudari yang tercerai dari kita, baik secara perorangan maupun sebagai Jemaat dan Gereja, tidak menikmati kesatuan, yang oleh Yesus Kristus hendak dikurniakan kepada mereka semua, yang telah dilahirkan-Nya kembali dan dihidupkan-Nya untuk menjadi satu tubuh, bagi kehidupan yang serba baru, menurut kesaksian Kitab suci dan tradisi Gereja yang terhormat. Sebab hanya melalui Gereja Kristus yang katoliklah, yakni upaya umum untuk keselamatan, dapat dicapai seluruh kepenuhan upaya-upaya penyelamatan. Sebab kita percaya, bahwa hanya kepada Dewan Para Rasul yang diketuai oleh Petruslah Tuhan telah mempercayakan segala harta Perjanjian Baru, untuk membentuk satu Tubuh kristus di dunia. Dalam tubuh itu harus disaturagakan sepenuhnya siapa saja, yang dengan suatu cara telah termasuk umat Allah, Selama berziarah di dunia, umat itu, meskipun dalam para anggotanya tetap tidak terluputkan dari dosa, berkembang dalam Kristus, dan secara halus dibimbing oleh Allah, menurut rencana-Nya yang penuh rahasia, sampai akhirnya penuh kegembiraan meraih seluruh kepenuhan kemuliaan kekal di kota Yerusalem sorgawi.

4. (Ekumenisme)

Sekarang ini, atas dorongan rahmat Roh Kudus, di cukup banyak daerah berlangsunglah banyak usaha berupa doa, pewartaan dan kegiatan, untuk menuju ke arah kepenuhan kesatuan yang dikehendaki oleh Yesus Kristus. Maka Konsili suci mengundang segenap umat katolik, untuk mengenali tanda-tanda zaman, dan secara aktif berperanserta dalam kegiatan ekumenis.

Yang dimaksudkan dengan “Gerakan Ekumenis ialah: kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha, yang – menanggapi bermacam-macam kebutuhan Gereja dan berbagai situasi – diadakan dan ditujukan untuk mendukung kesatuan umat kristen; misalnya: pertama, semua daya-upaya untuk menghindari kata-kata, penilaian-penilaian serta tindakan-tindakan, yang ditinjau dari sudut keadilan dan kebenaran tidak cocok dengan situasi saudara-saudari yang terpisah, dan karena itu mempersukar hubungan-hubungan dengan mereka; kemudian, dalam pertemuan-pertemuan umat kristen dari berbagai Gereja atau Jemaat, yang diselenggarakan dalam suasana religius, “dialog antara para pakar yang kaya informasi, yang memberi ruang kepada masing-masing peserta untuk secara lebih mendalam menguraikan ajaran persekutuannya, dan dengan jelas menyajikan corak-cirinya. Sebab melalui dialog itu semua peserta memperoleh pengertian yang lebih cermat tentang ajaran dan perihidup kedua persekutuan, serta penghargaan yang lebih sesuai dengan kenyataan. Begitu pula persekutuan-persekutuan itu menggalang kerja sama yang lebih luas lingkupnya dalam aneka usaha demi kesejahteraan umum menurut tuntutan setiap suara hati kristen; dan bila mungkin mereka bertemu dalam doa sehati sejiwa. Akhirnya mereka semua mengadakan pemeriksaan batin tentang kesetiaan mereka terhadap kehendak Kristus mengenai Gereja, dan sebagaimana harusnya menjalankan dengan tekun usaha pembaharuan dan reformasi.

Bila itu semua oleh umat Katolik dilaksanakan dengan bijaksana dan sabar dibawah pengawasan para gembala, akan membantu terwujudnya nilai-nilai keadilan dan kebenaran, kerukunan dan kerja sama, semangat persaudaraan dan persatuan. Semoga dengan demikian lambat-laun teratasilah hambatan-hambatan, yang menghalang-halangi persekutuan gerejawi yang sempurna, dan semua orang kristen dalam satu perayaan Ekaristi dihimpun membentuk kesatuan Gereja yang satu dan tunggal. Kesatuan itulah yang sejak semula dianugerahkan oleh kristus kepada Gereja-Nya. Kita percaya, bahwa kesatuan itu tetap lestari terdapat dalam Gereja Katolik, dan berharap, agar kesatuan itu dari hari ke hari bertambah erat sampai kepenuhan zaman.

Jelaslah bahwa karya menyiapkan dan mendamaikan para anggota perorangan, yang ingin memasuki persekutuan sepenuhnya dengan Gereja katolik, menurut hakekatnya terbedakan dari usaha ekumenis. Tetapi juga tidak bertentangan; sebab keduanya berasal dari penyelenggaraan Allah yang mengagumkan.

Dalam kegiatan Ekumenis hendaknya umat katolik tanpa ragu-raga menunjukkan perhatian sepenuhnya terhadap saudara-saudari yang terpisah, dengan mendoakan mereka, dengan bertukar pandangan tentang hal-ihwal Gereja dengan mereka, dengan mengambil langkah-langkah pendekatan pertama terhadap mereka. Akan tetapi umat katolik sendiri pertama-tama wajib mempertimbangkan dengan jujur dan penuh perhatian segala sesuatu, yang dalam keluarga Katolik sendiri perlu diperbaharui dan dilaksanakan, supaya perihidupnya memberi kesaksian yang lebih setia dan lebih jelas tentang ajaran dan segala sesuatu yang ditetapkan oleh Kristus serta diwariskan melalui para Rasul.

Sebab sungguhpun Gereja Katolik diperkaya dengan segala kebenaran yang diwahyukan oleh Allah dan dengan semua upaya rahmat, para anggotanya tidak menghayatinya penuh semangat sebagaimana mestinya. Oleh karena itulah wajah Gereja kurang terang bersinar bagi saudara-saudari yang tercerai dari kita dan bagi seluruh dunia, dan pertumbuhan Kerajaan Allah mengalami hambatan. Maka dari itu segenap umat katolik wajib menuju kesempurnaan kristen[20]], dan menurut situasi masing-masing mengusahakan, supaya Gereja, seraya membawa kerendahan hati dan kematian Yesus dalam tubuhnya[21]], dari hari ke hari makin dibersihkan dan diperbaharui, sampai Kristus menempatkannya dihadapan Dirinya penuh kemuliaan, tanpa cacat atau kerut[22]].

Semoga dengan memelihara kesatuan dalam apa yang sungguh perlu semua anggota Gereja, sesuai dengan tugas-kewajiban masing-masing, dalam aneka bentuk hidup rohani dan tertib gerejawi , maupun dalam kemacam-ragaman tata-upacara Liturgi, bahkan juga dalam mengembangkan refleksi teologis tentang kebenaran yang diwahyukan, tetap memupuk kebebasan yang sewajarnya. Tetapi dalam segalanya hendaklah mereka memelihara cinta kasih. Sebab dengan bertindak demikian mereka akan makin penuh menampilkan ciri katolik dan sekaligus apostolik Gereja dalam arti yang sesungguhnya.

Dilain pihak perlulah umat katolik dengan gembira mengakui dan menghargai nilai-nilai sungguh kristen, yang bersumber pada pusaka warisan bersama, dan terdapat pada saudara-saudari yang tercerai dari kita. Sungguh layaklah dan mengantar kepada keselamtan, mengakui kekayaan Kristus serta kuasa-Nya yang berkaya dalam kehidupan orang-orang lain, yang memberi kesaksian akan Kristus, ada kalanya hingga menumpahkan darah. Sebab Allah senantiasa mengagumkan dan layak dikagumi dalam karya-karya-Nya.

Jangan pula dilupakan, bahwa apa saja yang dilaksanakan oleh rahmat Roh Kudus diantara saudara-saudari yang terpisah, dapat juga membantu kita membangun diri. Apa pun yang sungguh bersifat kristen, tidak pernah berlawanan dengan nilai-nilai iman yang sejati. Bahkan selalu dapat membantu untuk mencapai secara lebih sempurna misteri Kristus dan Gereja sendiri.

Akan tetapi bagi Gereja perpecahan umat kristen merupakan halangan untuk mewujudkan secara nyata kepenuhan ciri katoliknya dalam diri putera-puterinya, yang berkat Bptis memang ditambahkan padanya, tetapi masih tercerai dari kepenuhan persekutuan dengannya. Bahkan bagi Gereja sendiri pun menjadi lebih sukar untuk dalam kenyataan hidupnya mengungkapkan kepenuhan sifat katoliknya dalam segala seginya.

Inilah yang penuh kegembiraan disaksikan oleh Konsili : bahwa peran serta umat katolik dalam gerakan ekumenis makin intensif. Konsili menganjurkan kepada para Uskup dimanapun juga, supaya gerakan itu mendukung mereka secara intensif, dan mereka bimbing dengan bijaksana.

BAB DUA – PELAKSANAAN EKUMENISME

5. (Ekumenisme : tanggung jawab segenap umat beriman)

Keprihatinan untuk memulihkan kesatuan melibatkan segenap Gereja, baik umat Beriman, maupun para Gembala dan siapa pun juga seturut kemampuannya, dalam hidup kristen sehari-hari, pun dalam penelitian-penelitian teologis dan historis. Secara tertentu usaha-usaha itu sudah menampakkan hubungan yang sudah terjalin antara semua orang kristen, dan mengantar menuju kesatuan yang penuh-purna, menurut kemurahan hati benevolentia Allah.

6. (Pembaharuan Gereja)

Semua pembaharuan Gereja[23]] pada hakekatnya terletak pada berkembangnya kesetiaan terhadap panggilannya. Maka jelaslah sudah, bahwa pembaharuan itulah sebabnya, mengapa gerakan ekumenis menuju kesatuan. Selama ziarahnya Gereja dipanggil oleh Kristus untuk terus-menerus merombak dirinya, seperti memang selamanya dibutuhkan olehnya sebagai suatu lembaga manusiawi dan duniawi. Oleh karena itu bila, menilik situasi zaman, baik di bidang moral, dalam tata-tertib gerejawi, maupun dalam cara merumuskan ajaran, – dan itu harus dibedakan dengan cermat dari perbendaharaan iman sendiri, – ada hal-hal yang telah dilestarikan secara kurang seksama, hendaknya itu pada suatu saat yang baik dipulihkan secara tepat sebagaimana harusnya.

Maka pembaharuan itu mendapat makna ekumenis yang istimewa. Aneka bentuk kehidupan Gereja, yang sudah mengalami pembaharuan – misalnya : gerakan Kitab suci dan Liturgi, pewrtaan sabda Allah dan katekese, kerasulan awam, bentuk-bentuk baru hidup religius, spiritualitas perkawinan, ajaran serta kegiatan gereja di bidang sosial, – dapat dipandang sebagai jaminan dan pertanda, yang meramalakan, bahwa di masa mendatang ekumenisme akan berkembang dengan baik.

7. (Pertobatan hati)

Tidak ada ekumenisme sejati tanpa pertobatan batin. Sebab dari pembaharuan hati[24]], dari ingkar diri dan dari kelimpahan cinta kasih yang sungguh ikhlaslah kerinduan akan kesatuan timbul dan makin menjadi masak. Maka hendaklah dari Roh ilahi kita mohon rahmat penyangkalan diri yang tulus, kerendahan hati dan sikap lemah lembut dalam memberi pelayanan, begitu pula kemurahan hati dalam persaudaraan terhadap sesama. “Kunasehatkan kepada kalian, demikianlah Rasul para bangsa berpesan, “aku yang dipenjarakan dalam Tuhan, supaya menempuh cara hidup yang pantas meurut panggilan kalian. Hendaklah selalu bersikap rendah hati dan lemah-lembut. Hendaklah kalian dengan sabar saling membantu dalam cinta kasih., dan sungguh berusaha memelihara kesatuan Roh dalam ikatan damai (Ef 4:1-3). Dorongan itu terutama ditujukan kepada mereka, yang telah ditahbiskan dengan maksud, agar tetap berlangsunglah perutusan Kristus, “yang datang tidak untuk dilayani, melainkan untuk melayani (Mat 20:28).

Pada kesalahan-kesalahan melawan kesatuan dapat diterapkan pula kesaksian- S. Yohanes: “Sekiranya kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, kita menjadikan Dia pendusta, dan sabda-Nya tidak tinggal dihati kita (1Yoh 1:10). Maka dalam doa penuh kerendahan hati kita memohon pengampunan dari Allah dan saudara-saudari yang terpisah, seperti kita pun mengampuni mereka yang bersalah terhadap kita.

Hendaklah segenap kaum beriman menyadari, bahwa mereka makin pesat memajukan persatuan umat kristen, bahkan makin baik melaksanakannya, semakin mereka berusaha menhayati hidup jernih menurut Injil. Sebab semakin erat mereka bersatu dalam persekutuan dengan Bapa, Sang Sabda dan roh Kudus, semakin mampu jugalah mereka untuk meningkatkan persaudaraan timbal-balik, dengan cara yang lebih mesra dan lebih mudah.

8. (Doa bersama)

Pertobatan hati dan kesucian hidup itu, disertai doa-doa permohonan perorangan maupun bersama untuk kesatuan umat kristen, harus dipandang sebagai jiwa seluruh gerakan ekumenis, dan memang tepat juga disebut ekumenisme rohani.

Sebab bagi umat katolik merupakan kebiasaan baik sekali : sering berkumpul untuk mendoakan kesatuan Gereja, seperti oleh Sang Penyelamat sendiri pada malam menjelang wafat-Nya telah dimohon secara mendesak dari Bapa : “Supaya bersatulah mereka semua (Yoh 17:21).

Dalam berbagai situasi yang istimewa, misalnya bila dipanjatkan doa permohonan “untuk kesatuan, begitu pula dalam pertemuan-pertemuan ekumenis, umat katolik diperkenankan, bahkan dianjurkan, untuk bergabung dalam doa bersama dengan saudara-saudari yang terpisah. Pastilah doa-doa bersama seperti itu merupakan upaya yang sangat efektif untuk memperoleh rahmat kesatuan, serta merta menjadi lambang otentik ikatan-ikatan, yang masih ada antara umat katolik dan saudara-saudari terpisah : “Sebab dimana pun ada dua atau tiga yang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku berada di tengah mereka (Mat18:20).

Akan tetapi kebersamaan merayakan Sakramen-Sakramen (Comunicatio in sacris) janganlah dianggap sebagai upaya yang boleh digunakan secara acak-acakan untuk memulihkan kesatuan umat kristen. Kebersamaan dalam perayaan itu terutama tergantung dari dua prinsip, yakni : mengungkapkan kesatuan gereja, dan mengikutsertakan pihak lain dalam upaya-upaya rahmat. Ditinjau dari sudut mengungkapkan kesatuan, kebanyakan kebersamaan itu dilarang. Rahmat yang dapat diperoleh kadang-kadang menganjurkannya. Hendaklah mengenai cara bertindak konkrit, sambil mengindahkan segala situasi masa, tempat dan pribadi-pribadi, keputusan diambil dengan bijaksana oleh kewibawaan Uskup setempat, kecuali bila ditetapkan lain oleh konferensi Uskup menurut Anggaran Dasarnya, atau oleh Takhta suci.

9. (Saling mengenal sebagai saudara)

Semangat saudara-saudari yang terpisah perlu dimengerti. Untuk itu perlu sekalilah studi, yang harus ditempuh dengan menjunjung tinggi kebenaran dan dengan hati terbuka. Umat katolik hendaknya disiapkan sebagaimana mestinya, dan perlu meningkatkan pengertiannya tentang ajaran dan sejarah, hidup rohani dan peribadatan, psikologi agama dan kebudayaan, yang khas menyangkut saudara-saudari yang terpisah. Untuk mencapai semuanya itu pertemuan-pertemuan akan banyak membantu kedua pihak, terutama untuk membahas soal-soalteologis. Disitu mereka berdialog sebagai peserta yang sederajat. Suatu syarat ialah, bahwa mereka yang ikut serta dibawah pengawasan para Uskup, memang sungguh kompeten. Dari dialog semacam itu akan nampak lebih jelas pula, bagaimanakah sesungguhnya posisi Gereja katolik. Dengan demikian akan diketahui lebih baik pula pemikiran saudara-saudari yang terpisah, dan mereka akan mendapat penjelasan yang lebih baik tentang iman kita.

10. (Pembinaan ekumenis)

Pendidikan teologi dan vak-vak lainnya, terutama sejarah, harus diberikan juga dalam perspektif ekumenis, supaya lebih cermat mengungkapkan kebenaran.

Sebab bagi para calon gembaladan imam penting sekali mendalami teologi yang dikembangkan dengan seksama secara demikian, bukan lagi secara polemis, terutama dalam hal-hal yang menyangkut yang menyangkut hubungan-hubungan saudara-saudari yang terpisah dengan Gereja katolik.

Sebab dari pembinaan para imam tergantunglah terutama pendidikan dan pembinaan rohani yang amat dibutuhkan oleh umat beriman dan para para religius.

Juga para misionaris katolik yang berkarya di daerah-daerah yang sama seperti orang-orang kristen lainnya sekarang ini terutama harus mengetahui masalah-persoalan serta hasil-hasil, yang diperbuahkan oleh ekumenisme dalam kerasulan mereka.

11. (Cara mengungkapkan dan menguraikan ajaran iman)

Metode serta cara mengungkapkan iman katolik jangan sampai menghambat dialog dengan saudara-saudari kita. Memang seharusnyalah ajaran seutuhnya diuraikan dengan jelas. Tiada sesuatupun yang begitu asing bagi ekumenisme seperti irenisme (sikap “suka damai) palsu, yang merugikan bagi kemurnian ajaran katolik, serta mengaburkan artinya yang otentik dan pasti.

Iman katolik hendaknya diuraikan secara lebih mendalam sekaligus lebih cermat, dengan cara dan bahasa yang sungguh dapat difahami juga oleh saudara-sudari yang terpisah.

Kecuali itu dalam dialog ekumenis para teolog katolik harus stia sepenuhnya terhadap ajaran Gereja, dan dalam usaha mereka bersama dengan saudara-saudari yang terpisah untuk semakin menyelami misteri-misteri ilahi, harus melangkah maju dengan cinta akan kebenaran, kasih-sayang dan kerendahan hati. Dalam membandingkan ajaran-ajaran hendaknya mereka sadari adanya tata-urutan atau “hirarki kebenaran-kebenaran ajaran katolik, karena berbeda-bedalah hubungannya dengan dasar iman kristen. Dengan demikian akan terbukalah jalan, yang mendorong semua mitra dialog untuk berlomba-lomba secar persaudaraan, menuju pengertian yang makin mendalam tentang kekayaan Kristus yang tidak terduga dalamnya[25]], serta penampilannya yang makin gemilang.

12. (Kerja sama dengan saudara-saudari yang terpisah)

Hendaklah segenap umat kristen dihadapan segala bangsa menyatakan iman mereka akan Allah Tritunggal, akan Putera Allah yang menjelma, Penebus dan Tuhan kita. Hendaknya mereka melalui usaha-usaha bersama yang ditandai sikap saling menghargai memberi kesaksian tentang harapan kita, yang tidak akan sia-sia. Zaman sekarang ini sangat meluaslah kerja sama di bidang sosial. Memanglah semua orang tanpa terkecuali dipanggil utuk menggalang kerja sama itu, terutama mereka yang beriman akan Allah, pertama-tama semua orang kristen karena ditandai oleh nama Kristus. Kerja sama antara semua orang kristen secara cemerlang mengungkapkan persatuan yang sudah ada antara mereka, dan lebih jelas menampilkan wajah Kristus Sang Hamba. Kerja sama itu, yang sudah dimulai dibanyak negara, hendaknya makin dipererat, terutama di daerah-daerah, yang tengah mengalami perkembangan sosial dan teknologi, dalam usaha menghargai sepantasnya martabat pribadi manusia, dalam memajukan perdamaian, dalam menerapkan Injil pada situasi kemasyarakatan, dalam mengembangkan ilmu-pengetahuan maupun kesenian dalam suasana kristen, dalam menggunakan segala macam usaha untuk menanggulangi penderitaan-penderitaan zaman sekarang, misalnya : kelaparan dan bencana-bencana, buta aksara dan kemelaratan, kekurangan akan perumahan, dan pembagian harta benda yang tidak adil. Berkat kerja sama itu semua orang yang beriman akan Kristus dengan mudah dapat belajar, sebagaimana orang0orang dapat lebih saling mengenal dan saling menghargai, dan bagaimana dibukalah jalan menuju kesatuan umat kristen.

BAB TIGA – GEREJA-GEREJA DAN JEMAAT-JEMAAT GEREJAWI YANG TERPISAH DARI TAKHTA APOSTOLIK DI ROMA

13. Perhatian kita arahkan kepada dua golongan perpecahan utama, yang menimpa jubah Kristus yang tidak berjahit, hanya satu tenunan saja.

Perpecahan pertama terjadi di Timur, akibat perdebatan tentang perumusan-perumusan dogmatis Konsili Efesus dan Khalkedon, dan kemudian akibat perpecahan persekutuan gerejawi antara Patriarkat-Patriarkat Timur dan Takhta Roma.

Perpecahan lainnya, sesudah lebih dari empat abad, timbul di Barat akibat peristiwa-peristiwa, yang secara keseluruhan disebut “Reformasi. Sejak itu banyak persekutuan, yang bersifat nasional maupun konfesional (menyangkut ikrar iman), terceraikan dari Takhta di Roma. Diantara persekutuan-persekutuan, yang tetap melestarikan sebagian tradisi-tradisi maupun struktur-struktur katolik, yang mempunyai posisi istimewa ialah Persekutuan aglikan.

Adapun pelbagai kelompok yang terpisah itu banyak berbeda satu dengan lainnya, bukan hanya berdasarkan asal-usul, tempat ataupun zamannya, melainkan pertama-tama karena hakekat maupun bobot masalah-persoalan, yang menyangkut iman dan struktur gerejawi.

Oleh karena itu Konsili ini tidak menganggap remeh situasi pelbagai golongan kristen yang serba aneka itu. Kendati adanya perpecahan itu, Konsili tidak pula mengabaikan hubungan-hubungan antar golongan yang masih ada. Konsili menetapkan untuk menyajikan pertimbangan-pertimbangan berikut, untuk dengan bijaksana menjalankan kegiatan-kegiatan ekumenis.

I. TINJAUAN KHUSUS – TENTANG GEREJA-GEREJA TIMUR

14. (Semangat dan sejarah Gereja-Gereja Timur)

Sudah berabad-abad lamanya Gereja-Gereja Timur dan Barat menempuh perjalanan masing-masing, namun tetap berhubungan karena persekutuan persaudaraan dalam iman dan kehidupan sakramental. Sementara itu berdasarkan persetujuan Takhta di Roma ikut memainkan peranan, bila antara Gereja-Gereja itu timbul sengketa tentang iman dan tata-tertib. Konsili suci – diantara hal-hal lain yang penting sekali – berkenan mengingatkan kepada segenap umat beriman, bahwa di Timur banyaklah Gereja-Gereja khusus atau setempat yang berkembang dengan subur. Diantaranya yang terpenting ialah Gereja-Gereja patriarkal. Cukup banyak diantaranya membanggakan para Rasul sendiri sebagai asal-usulnya. Maka dari itu di kalangan Gereja-Gereja Timur telah dan masih tetap diutamakan usaha yang istimewa untuk melestarikan hubungan -hubungan kekerabatan dalam persekutuan iman dan cinta kasih, yang harus tetap terjalin antara Gereja-Gereja setempat, bagaikan antra saudari.

Jangan pula dilupakan, bahwa Gereja-Gereja Timur sejak awal mula mengemban harta-kekayaan, yang cukup banyak unsur-unsurnya di bidang Liturgi, dalam tradisi rohani maupun perihal tata-hukum tersalurkan ke dalam gereja Barat. Janganlah kurang dihargai pula, bahwa dogma-dogma fundamental iman kristiani tentang Tritunggal dan Sabda Allah yang menjelma dari Perawan Maria telah resmi ditetapkan dalam Konsili-Konsili ekumenis yang diselenggarakan di Timur. Untuk mempertahankan iman itu Gereja-Gereja Timur telah dan tetap masih masih menanggung banyak penderitaan.

Pusaka iman yang diwariskan oleh para rasul telah diterima dalam aneka bentuk dan dengan berbagai cara. Kemudian sejak awal mula Gereja warisan itu di pelbagai tempat telah diuraikan dengan aneka cara sesuai pula dengan majemuknya keunggulan akal budi dan kenyataan-kenyataan hidup. Itu semua, disamping faktor-faktor lahiriah, juga karena kurangnya saling pengertian dan saling cinta kasih, telah membuka pintu bagi perpecahan-perpecahan.

Oleh karena itu Konsili suci mendorong siapa saja, tetapi terutama mereka, yang bermaksud memperjuangkan pemulihan persekutuan sepenuhnya yang diinginkan antara Gereja-Gereja Timur dan Gereja katolik, supaya mereka memberi perhatian yang sewajarnya kepada situasi istimewa Gereja-Gereja Timur yang telah muncul dan berkembang, begitu pula pada corak dan hubungan-hubungan, yang semula, sebelum perpecahan, ada antara Gereja-Gereja itu dan Takhta di Roma, pun juga supaya mereka dengan seksama membentuk penilaian mereka tentang itu semua. Bila semuanya itu dipatuhi dengan cermat, akan sangat membantu untuk menjalin dialog yang dimaksudkan.

15. (Tradisi Liturgi dan hidup rohani dalam Gereja-Gereja Timur)

Semua orang mengetahui juga, betapa umat kristen Gereja-Gereja Timur sepenuh hati melaksanakan Liturgi suci, terutama peryaan Ekaristi, sumber kehidupan Gereja dan jaminan kemuliaan di masa yang akan datang. Perayaan itu bagi umat beriman dalam persatuan dengan Uskup membuka jalan untuk menghadap Allah Bapa dengan perantaraan Putera, Sabda yang menjelma, menderita sengsara dan dimuliakan, dalam pencurahan Roh Kudus, dan memasuki persekutuan dengan Tritunggal Mahakudus, “ikutserta menghayati kodrat ilahi (2Ptr 1:4). Maka melalui perayaan Ekaristi Tuhan di masing-masing Gereja itu, Gereja Allah di bangun dan berkembang[26]], dan persekutuan Gereja-Gereja itu ditampakkan melalui konselebrasi.

Dalam ibadat Liturgi itu umat Gereja-Gereja Timur dengan kidung-kidung yang amat indah mengagungkan Santa Maria selalu Perawan, yang oleh Konsili ekumenis Efesus secara resmi dimaklumkan sebagai Bunda Allah yang suci, supaya Kristus sungguh-sungguh dan dalam arti yang sejati diakui sebagai Putera Allahdan Putera manusia menurut Kitab suci. Umat Gereja-Gereja Timur juga menghormati dan memuji banyak orang kudus, diantara mereka para Bapa Gereja semesta.

Sungguhpun terpisah, Gereja-Gereja Timur mempunyai Sakramen-Sakramen yang sejati, terutama berdasarkan pergantian apostolik, Imamat dan Ekaristi. Melalui Sakramen-Sakramen itu mereka masih berhubungan erat sekali dengan kita. Maka dari itu suatu kebersamaan dalam perayaan Sakramen-Sakramen, bila situasi memang menguntungkan dan dengan persetujuan Pimpinan gerejawi, bukan hanya mungkin, melainkan juga dianjurkan.

Di Timur terdapat kekayaan tradisi-tradisi rohani, yang terutama terungkap dalam perihidup para rahib. Sebab disitu sejak zaman kekayaan para Bapa kudus berkembanglah spiritualitas monastik, yang kemudian menjalar ke kawasan Gereja barat. Spiritualitas itulah yang menjadi sumber bagi lembaga hidup religius dalam Gereja Latin, dan kemudian memberinya daya-kekuatan baru. Maka dari itu sangat dianjurkan, supaya umat katolik lebih sering menikmati kekayaan rohani para Bapa Gereja Timur, yang mengangkat manusia seutuhnya untuk merenungkan misteri ilahi.

Hendaknya semua menyadari betapa sangat pentinglah mengenal, menghormati, melestarikan dan mendukung pusaka-warisan Liturgi dan hidup rohani Gereja-Gereja Timur yang kaya sekali, untuk dengan setia melindungi kepenuhan tradisi kristen, dan untuk mewujudkan pendamaian umat kristen gereja-Gereja Timur dan Barat.

16. (Tata-tertib khas Gereja-Gereja Timur)

Selain itu sudah sejak awal mula Gereja-Gereja Timur mematuhi tata-tertib mereka sendiri, yang telah dikukuhkan oleh para Bapa kudus dan Sinode-Sinode, juga yang bersifat ekumenis. Adanya kemacam-ragaman adat-istiadat serta kebiasaan-kebiasaan, seperti sudah dikemukakan, sama sekali tidak menghalang-halangi kesatuan Gereja, bahkan menambah seri-semaraknya dan tidak sedikit membantu pelaksanaan perutusannya. Maka untuk menghilangkan segala keragu-raguan, Konsili menyatakan, bahwa Gereja-gereja timur – seraya tetap menyadari pentingnya kesatuan Gereja semesta – dapat mengatur peri hidup mereka dengan leluasa seturut tata-tertib mereka sendiri, karena lebih sesuai dengan sifat perangai umat mereka, dan lebih memadai untuk memelihara kesejahteraan umat. Sempurnanya pelaksanaan asas tradisional itu, yang tidak selalu tercapai, termasuk prasyarat yang sungguh perlu dipenuhi untuk memulihkan kesatuan.

17. (Ciri khas Gereja-gereja Timur berkenaan dengan soal-soal ajaran)

Apa yang telah di uraikan tentang keanekaragaman yang sewajarnya, Konsili berkenan menyatakan juga tentang pelbagai perumusan teologis ajaran-ajaran. Sebab, untuk mendalami kebenaran yang diwahyukan, di Timur dan di Barat telah ditempuh bermacam-macam metode dan upaya untuk mengenal misteri ilahi dan merumuskan iman akannya. Maka tidak mengherankan, bahwa berbagai aspek misteri yang diwahyukan ada kalanya lebih seksama ditangkap dan lebih jelas diungkapkan oleh pihak tertentu dari pada oleh pihak lain, sehingga pelbagai perumusan teologis tidak jarang lebih tepat dipandang saling melengkapi dari pada saling bertentangan. Mengenai tradisi-tradisi teologis Gereja-gereja Timur yang otentik, harus diakui bahwa tradisi-tradisi itu memang berakar secara mantap dalam Kitab suci, diteguhkan dan diungkapakan oleh kehidupan liturgis, diperkaya oleh tradisi apostolik yang hidup maupun karya tulis para bapa gereja Timur serta para penulis hidup rohani. Tradisi-tradisi itu mengantar umat kepada pola hidup yang baik, bahkan juga kepada kontemplasi kebenaran kristen sepenuhnya.

Konsili melambungkan syukur kepada Allah, bahwa banyak putera-puteri Gereja katolik dari ritus Timur, yang melestarikan pusaka-warisan itu dan ingin menghayatinya secara lebih murni dan lebih utuh, sudah hidup dalam persekutuan penuh dengan saudara-saudari yang termasuk tradisi barat. Konsili menyatakan, bahwa seluruh pusaka-warisan di bidang hidup rohani dan liturgi, tata-tertib gerejawi dan teologi, beserta bermacam-ragam tradisi-tradisinya, termasuk kepenuhan katolisitas dan apostolitas Gereja.

18. (penutup)

Menyadari semuanya itu sepenuhnya, Konsili suci ini membaharui apa yang pernah dinyatakan oleh Konsili-Konsili di masa lampau dan oleh para Paus, yakni : untuk memulihkan dan melestarikan persekutuan serta kesatuan perlulah tidak menaruh beban lebih berat dari yang memang sungguh diperlukan(Kis15:28). Konsili meminta dengan sangat pula, supaya selanjutnya semua usaha ditujukan untuk setapak demi setapak mencapai kesatuan itu, di pelbagai unsur kelembagaan serta bentuk-bentuk kehidupan Gereja, terutama dalam doa dan dialog persaudaraan tentang ajaran-ajaran maupun kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak akan reksa pastoral pada zaman sekarang. Begitu pula Konsili menganjurkan kepada para Gembala serta umat Gereja katolik untuk menjalin hubungan-hubungan dengan mereka, yang tidak hidup di Timur lagi, melainkan merantau jauh dari tanah air. Maksudnya supaya makin meningkatlah kerja sama persaudaraan dengan mereka itu dalam semangat cinta kasih, dengan menyisihkan segala segala keinginan untuk bersaing. Kalau usaha itu digiatkan sepenuh hati, Konsili suci menharapkan, supaya robohlah dinding pemisah antara Gereja Barat dan Gereja Timur, pada akhirnya terwujudlah kediaman satu-satunya, dibangun atas Batu Penjuru, yakni Kristus Yesus, yang akan menyatukan kedua pihak[27]].

II. GEREJA-GEREJA DAN JEMAAT-JEMAAT GEREJAWI YANG TEPISAH DI DUNIA BARAT

19. (Situasi khusus Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat)

Gereja-Gereja dan Jemaat-jemaat gerejawi, yang pada masa krisis parah sekali, – krisis itu di Barat sudah mulai menjelang akhir Abad pertengahan, – atau sesudah itu, telah terpisahkan dari Takhta Apostolik di Roma, masih tetap mempunyai ikatan dengan Gereja katolik karena kekerabatan yang istimewa serta hubungan-hubungan berkat kehidupan umat kristen dalam satu persekutuan gerejawi selama abad-abad sebelumnya.

Akan tetapi Gereja-Gereja serta Jemaat-Jemaat gerejawi itukarena beragamnya asal-usul, ajaran dan hidup rohani tidak sedikit pula berbeda bukan hanya dari kita, melainkan juga antara mereka sendiri. Maka sukar sekali memberi gambaran semestinya tentang mereka. Dan itu memang tidak kami maksudkan di sini.

Sungguhpun gerakan ekumenis dan kerinduan untuk berdamai dengan Gereja katolik belum dimana-mana merupakan arus yang kuat, kami berharap, supaya dalam hati segenap umat kristen semangat ekumenis dan sikap saling menghargai lambat-laun makin berkembang.

Akan tetapi harus diakui, bahwa antara Gereja-Gereja serta Jemaat-Jemaat itu dan Gereja katolik masih terdapat perbedaan-perbedaan cukup penting, bukan hanya yang bersifat historis, sosiologis, psikologis dan budaya, melainkan terutama menyangkut cara menafsirkan kebenaran yang diwahyukan. Supaya kendati perbedaan-perbedaan itu dialog ekumenis dapat lebih mudah diadakan, dalam artikel-artikel berikut kami bermaksud mengutarakan apa yang dapat dan harus merupakan dasar maupun dorongan bagi dialog itu.

20. (Iman akan Kristus)

Yang kami maksudkan pertama-tama ialah umat kristen, yang secara terbuka mengikrarkan iman akan Yesus Kristus sebagai Allah dan Tuhan serta Pengantara tunggal antara Allah dan manusia, demi kemuliaan Allah yang Esa, Bapa, Putera dan Roh Kudus. Memang kami menyadari adanya perbedaan-perbedaan yang cukup berarti dengan ajaran Gereja katolik juga tentang Kristus Sabda Allah yang menjelma serta karya penebusan-Nya, kemudian tentang misteri serta pelayanan Gereja, begitu pula tentang peranan Mariadalam karya penyelamatan. Tetapi kami bergembira menyaksikan saudara-saudari yang terpisah mengarahkan pandangan kepada Kristus selaku sumber dan pusat persekutuan gerejawi. Tersentuh oleh kerinduan akan persatuan dengan Kristus, mereka terdorong untuk semakin mengusahakan kesatuan, pun juga untuk memberi kesaksian iman mereka ditengah bangsa-bangsa dimanapun juga.

21. (Pendalaman Kitab Suci)

Cinta serta sikap hormat – hampir-hampir ibadat bakti – terhadap Kitab suci menggerakkan saudara-saudari kita untuk terus menerus dan dengan tekun mendalami Kitab suci : sebab Injil “merupakan kekuatan Allah yang menyelamatkan siapapun yang beriman, pertama orang yahudi, kemudian orang Yunani (Rom 1:16).

Sambil menyerukan Roh Kudus, mereka mencari dalam Kitab suci Allah sendiri, yang bagaikan menyapa mereka dalam Kristus, yang dinubuatkan oleh para Nabi, Sabda Allah yang menjelma untuk kita. Dalam kitab suci mereka renungkan hidup Kristus serta apa saja yang diajarkan dan diperbuat oleh Sang Guru ilahi demi keselamatan manusia, terutama misteri wafat serta kebangkitan-Nya.

Tetapi, sedangkan umat kristen yang tercerai dari kita mengakui kewibawaan ilahi Kitab suci, mereka – dengan cara yang berbeda-beda antara mereka sendiri – berpandangan lain dengan kita mengenai hubungan antara Kitab suci dan Gereja. Sebab menurut iman katolik Wewenang Mengajar yang otentik berada dalam posisi yang istimewa dalam menguraikan dan mewrtakan Sabda Allah yang termaktub.

Akan tetapi dalam dialog sendiri sabda Allah merupakan upaya yang luar biasa dalam tangan Allah yang penuh kuasa untuk mencapai kesatuan, yang oleh Sang Penyelamat ditawarkan kepada semua orang.

22. (Hidup sakramental)

Berkat Sakramen babtis, bilaman pun itu diterimakan dengan semestinya menurut ketetapan tuhan, dan diterima dengan disposisi batin yang selayaknya, manusia sungguh disaturagakan dalam Kristus yang disalibkan dan dimuliakan, serta dilahirkan kembali untuk ikut serta menghayati hidup ilahi, menurut sabda rasul: “kalian telah dikuburkan bersama Dia dalam baptis; dalam Dia pula kalian telah bangkit berkat iman akan karya Allah, yang telah membangkitkan-Nya dari kematian (Kol 2:12)[28]].

Maka Baptis merupakan ikatan sakramental kesatuan antara semua orang yang dilahirkan kembali karenanya. Akan tetapi Baptis sendiri baru merupakan awal-mula dan titik-tolak, sebab seluruhnya tertujukan untuk memperoleh kepenuhan hidup dalam Kristus. Oleh karena itu Baptis terarahkan kepada pengikraran iman yang seutuhnya, kepada integrasi sepenuhnya ke dalam tata-keselamatan seperti dimaksudkan oleh Kristus sendiri, akhirnya kepada integrasi seutuhnya ke dalam persekutuan Ekaristi.

Jemaat-jemaat gerejawi yang terpisah dari kita tidak bersatu sepenuhnya dengan kita berdasarkan Baptis; dan kita percaya bahwa mereka, terutama karena tidak memiliki Sakramen Tahbisan, sudah kehilangan hakekat misteri Ekaristi yang otentik dan sepenuhnya. Kendati begitu, bila dalam Perjamuan Kudus mereka mengenangkan wafat dan kebangkitan Tuhan, mereka mengimani, bahwa kehidupan terdapat dalam persekutuan dengan Kristus, dan mereka mendabakan kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan. Oleh karena itu ajaran tentang Perjamuan Tuhan, Sakramen-Sakramen lainnya, ibadat serta pelayanan-pelayanan Gereja harus merupakan bahan dialog.

23. (Kehidupan dalam Kristus)

Hidup kristen saudara-saudari itu tumbuh berkat iman akan Kristus, dan berkembang karena rahmat baptis dan dengan mendengarkan Sabda Allah. Hidup itu nampak dalam doa pribadi, dalam renungan tentang Kitab suci, dalam kehidupan keluarga kristen, dalam ibadat jemaat yang berhimpun untuk memuji Allah. Selain itu ibadat mereka acap kali menampilkan dengan jelas unsur-unsur liturgi kuno yang bersifat umum bagi umat umat kristen.

Iman akan Kristus berbuah dalam pujian dan ucapan syukur atas kurnia-kurnia yang diterima dari Allah. Kecuali itu terdapat rasa keadilan yang peka dan cinta ksih yang tulus terhadap sesama. Iman yang mewujud dalam tindakan-tindakan nyataitu memperbuahkan cukup banyak lembaga juga untuk meringankan penderitaan rohani maupun jasmani, untuk mengembangkan pendidikan kaum muda, untuk menjadikan kondisi-kondisi sosial kehidupan lebih manusiawi, untuk menciptakan perdamaian di mana pun juga.

Meskipun banyak juga diantara umat kristen, yang dibidang moral tidak selalu memberikan tafsiran yang sama tentang Injil seperti umat katolik, dan tidak menyetujui cara-cara yang sama untuk memecahkan persoalan-persoalan masyarakat zaman sekarang yang cukup sulit, tetapi seperti kita mereka pun hendak berpegang teguh pada sabda Kristus sebagai sumber keutamaan kristen, serta mematuhi perintah Rasul: “Apa pun yang kalian lakukan dengan kata-kata maupun perbuatan, itu semua hendaknya dilakukan demi nama Tuhan Yesus Kristus, seraya bersyukur kepada Allah Bapa dengan perantaraan-Nya (Kol3:17). Maka dialog ekumenis dapat diawali dengan penerapan Injil di bidang moral.

24. (Penutup)

Demikianlah, sesudah dengan singkat menjelaskan syarat-syarat untuk melaksanakan kegiatan ekumenis, begitu pula prinsip-prinsip untuk mengaturnya, kami penuh percaya mengarahkan pendangan ke masa depan. Konsili suci ini mengajak umat beriman, untuk menjauhkan diri dari setiap sikap acak-acakan atau dari semangat yang tidak bijaksana, yang justru dapat merugikan kemajuan kesatuan yang sesungguhnya. Kegiatan ekumenis mereka tidak dapat lain kecuali bersifat katolik sepenuhnya dan setulus-tulusnya, artinya: setia terhadap kebenaran, yang telah kita waris dari para Rasul dan para Bapa Gereja; begitu pula sesuai dengan iman, yang senantiasa di ikrarkan oleh Gereja katolik, sekaligus pula menuju kepenuhan, yang seturut kehendak Tuhan harus semakin terwujudkan pada Tubuh-Nya di sepanjang masa.

Konsili suci ini sungguh menginginkan, supaya usaha-usaha putera-puteri Gereja katolik makin mengalami kemajuan terpadu dengan usaha-usaha saudara-saudai yang terpisah, dan supaya jangan sampai ada hambatan terhadap jalan Penyelenggaraan ilahi, jangan pula ada prasangka-prasangka terhadap dorongan-dorongan Roh Kudus di masa mendatang. Kecuali itu Konsili menyatakan keyakinannya, banyak maksud yang suci untuk mendamaikan segenap umat kristen menjadi satu dalam Gereja Kristus yang satu dan tunggal melampaui daya-kekuatan serta bakat-kemampuan manusiawi. Oleh karena itu konsili menaruh harapan sepenuhnya pada doa Kristus bagi Gereja, pada cinta kasih Bapa terhadap kita, dan pada kekuatan Roh Kudus. “Harapan tidak mengecewakan: sebab cinta kasih Allah telah dicurahkan ke dalam hati kita berkat Roh Kudus, yang dianugerahkan kepada kita (Rom 5:5).

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan kami, atas kuasa Rasul yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagipula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 21 bulan November tahun 1964.

Saya PAULUS
Uskup Gereja katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


[1] Lih. 1Kor 1:13.

[2] Lih. 1Yoh 4:9; Kol 1:18-20; Yoh 11:52.

[3] Lih. Yoh 13:34.

[4] Lih. Yoh 16:7.

[5] Lih 1Kor 12:4-11

[6] Lih. (Mat 28:18-20), bdk. (Yoh 20:21-23).

[7] Lih. (Mat 16:19), bdk. (Mat 18:18).

[8] Lih. (Luk 22:32).

[9] Lih. (Yoh 21:15-17).

[10] Lih (Ef 2:20).

[11] Lih 1Ptr 2:25. – KONSILI VATIKAN I, Sidang 4 (1870), Konstitusi Pastor Aeternus: Coll.Lac. 7, 482 a.

[12] Lih. (Yes 11:10-12).

[13] Lih (Ef 2:17-18), bdk. (Mrk 16:15).

[14] Lih. (1Ptr 1:3-9).

[15] Lih. (1Kor 11:18-19 ; Gal 1:6-9 ; 1Yoh 2:18-19).

[16] Lih. (1Kor 1:11) dan selanjutnya; (1Kor 11:22).

[17] Lih. KONSILI FIRENZE, Sidang 8 (1439), Dekrit Exsultate Deo: MANSI 31, 1055 A.

[18] Lih. S. AGUSTINUS, Uraian tentang Mzm 32, Ur.II, 29: PL 36, 299.

[19] Lih. KONSILI LATERAN IV (1215), Konstitusi IVa: MANSI 22, 990. – KONSILI LYON II (1274), Ikrar Imam Mikael paleologus: MANSI 24, 71E. – KONSILI FIRENZE, Sidang 6 (1439), Definisi Laetentur Coeli: MANSI 31, 1026e.

[20] Lih. (Yak 1:4 ; Roma 12:1-2).

[21] Lih. (2 Kor4:10 ; Flp 2:5-8).

[22] Lih. (Ef 5:27).

[23] Lih. KONSILI LATERAN V, Sidang 12 (1517), Konstitusi Constituti: MANSI 32, 988 B-C.

[24] Lih. (Ef 4:23).

[25] Lih. (Ef 3:8).

[26] Lih. S. YOHANES KRISOSTOMUS, Homili tentang Yoh. : PG 59, 260-262.

[27] Lih. KONSILI FIRENZE, Sidang 6 (1439), Definisi Laetentur Coeli: MANSI 31, 1026 E.

[28] Lih. (Rom 6:4).

DEKRIT TENTANG PEMBAHARUAN DAN PENYESUAIAN HIDUP RELIGIUS

PAULUS USKUP HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

1. Pendahuluan

Dalam Konstitusi yang diawali dengan kata-kata “Terang para bangsa” Konsili suci telah menunjukkan, bahwa usaha menuju CINTA KASIH SEMPURNA melalui nasehat-nasehat Injil bersumber pada ajaran maupun teladan Sang Guru ilahi, dan nampak bagaikan tanda cemerlang Kerajaan sorga. Namun sekarang Konsili bermaksud menguraikan perihidup dan tata-tertib tarekat-tarekat, yang para anggotanya mengikrarkan kemurnian, kemiskinan serta ketaatan, dan menanggapi kebutuhan-kebutuhan mereka, menurut tuntutan zaman kita sekarang.

Adapun sejak awal mula Gereja terdapat pria dan wanita, yang dengan mengamalkan nasehat-nasehat Injil bermaksud mengikuti Kristus secara lebih bebas, dan meneladan-Nya dengan lebih setia. Dengan cara mereka masing-masing mereka menghayati hidup yang dibaktikan kepada Allah. Diantara mereka banyaklah yang atas dorongan Roh Kudus hidup menyendiri atau mendirikan keluarga-keluarga religius. Dengan kewibawaannya Gereja dengan suka hati menyambut dan menyetujui cara hidup mereka. Maka berkat rencana ilahi berkembanglah keanekaan kelompok-kelompok religius yang menakjubkan. Itu semua sangat membantu Gereja, untuk tidak hanya diperlengkapi bagi setiap amal baik (lih 2Tim 3:17) dan siap siaga menjalankan karya pelayanan untuk membangun Tubuh Kristus (lih. Ef 4:12); melainkan juga supaya berkat pelbagai kurnia para puteranya, Gereja nampak berhias, seperti pengantin berdandan bagi suaminya (lih. Why 2:2), dan melalui Gereja makin nyatalah kebijaksanaan Allah yang bermacam-ragam (lih. Ef 3:10).

Tetapi dalam keaneka-ragaman kurnia-kurnia yang sekaya itu semua, yang dipanggil oleh Allah untuk mengamalkan nasehat-nasehat Injil serta dengan setia menghayatinya, secara istimewa membaktikan diri kepada Tuhan, seraya mengikuti Kristus, yang dalam keperawanan serta kemiskinan-Nya (lih. Mat 8:20; Luk 9:58) telah menebus dan menguduskan manusia dengan taat sampai di salib (lih. Flp 2:8). Demikianlah terdorong oleh cinta kasih, yang oleh Roh Kudus dicurahkan ke dalam hati mereka (lih. Rom 5:5), mereka semakin hidup bagi Kristus serta Tubuh-Nya, yakni Gereja (lih. Kol 1:24). Jadi semakin penuh mereka dihubungkan dengan Kristus karena penyerahan diri yang merangkum seluruh hidup mereka, semakin melimpah pula kehidupan Gereja dan semakin bersemangat serta subur pula kerasulannya.

Tetapi supaya Gereja mendapat manfaat lebih besar dari nilai luhur hidup bakti melalui ikrar nasehat-nasehat itu pun dari perannya yang dalam situasi zaman sekarang memang perlu, Konsili suci ini menetapkan pokok-pokok berikut, yang melulu menyangkut azas-azas umum untuk dengan cara yang sesuai membaharui hidup dan tata-tertib lembaga-lembaga hidup religius, begitu pula – dengan mempertahankan coraknya sendiri – serikat-serikat hidup bersama tanpa kaul-kaul dan institut-institut sekular. Adapun kaidah-kaidah khusus untuk menjabarkan dan menerapkannya dengan baik harus ditetapkan sesudah Konsili oleh pimpinan yang berwenang.

2.  Azas-azas umum untuk mengadakan pembaharuan yang sesuai

Pembaharuan hidup religius yang sesuai sekaligus merangkum pengacuan terus-menerus kepada sumber-sumber seluruh hidup kristiani serta inspirasi tarekat-tarekat yang mula-mula dan menyesuaikannya dengan kenyataan zaman yang sudah berubah. Atas dorongan Roh Kudus dan di bawah bimbingan Gereja pembaharuan itu hendaknya dikembangkan menurut azas-azas berikut :

a) Tolak ukur terakhir hidup religius ialah mengikuti Kristus menurut Injil. Maka semua tarekat hendaknya memandang itu sebagai pedoman tertinggi.

b) Akan bermanfaat bagi Gereja, bila tarekat-tarekat mempunyai corak serta perannya yang khas. Maka hendaknya diakui dan dipelihara dengan setia semangat para Pendiri serta maksud-maksud mereka yang khas, begitu pula tradisi-tradisi yang sehat, yang kesemuanya merupakan pusaka warisan setiap tarekat.

c) Semua tarekat hendaklah ikut serta dalam kehidupan Gereja. Maka – dengan mengindahkan coraknya sendiri – hendaklah melibatkan diri dalam prakarsa-prakarsa serta rencana-rencana Gereja dan ikut mengembangkannya menurut kemampuannya, misalnya di bidang Kitab suci, Liturgi, teologi dogmatik, pastoral, ekumene, misioner dan sosial.

d) Hendaknya tarekat-tarekat mengembangkan pada para anggotanya pengertian yang memadai tentang kenyataan orang-orang pada zamannya pun juga tentang kebutuhan-kebutan Gereja; maksudnya supaya dengan demikian mereka mampu menilai dalam terang iman dan dengan bijaksana kenyataan dunia zaman sekarang, dan dikobarkan oleh semangat kerasulan mampu menilai dalam terang iman dan dengan bijaksana kenyataan dunia zaman sekarang, dan di kobarkan oleh semangat kerasulan mampu membantu orang-orang secara lebih tepat guna.

e) Tujuan hidup religius pertama-tama yakni: supaya para anggotanya mengikuti Kristus dan dipersatukan dengan Allah melalui pengikraran nasehat-nasehat Injil. Maka perlu dipertimbangkan dengan serius, bahwa penyesuaian-penyesuain yang sebaik mungkin dengan kebutuhan-kebutuhan zaman kita sekarang pun tidak akan memperbuahkan hasil, bila tidak dijiwai oleh pembaharuan rohani. Hendaknya pembaharuan (rohani itu dalam pengembangan karya-karya diluarpun selalu diutamakan.

3. Norma-norma praktis pembaharuan yang disesuaikan

Hendaknya penataan hidup, doa dan karya dimana-mana, terutama didaerah-daerah misi, sungguh sesuai dengan keadaan fisik dan psikis para anggota zaman sekarang, begitu pula – seperti dituntut oleh corak masing-masing tarekat – selaras dengan kebutuhan-kebutuhan kerasulan, tuntutan-tuntutan kebudayaan, situasi sosial ekonomi.

Maka dari itu konstitusi, direktorium, buku-buku kebiasaan, doa-doa dan upacara-upacara serta buku-buku lain sebagainya hendaknya ditinjau kembali menurut pedoman tadi, dan di selaraskan dengan dokumen-dokumen Konsili suci ini, sementara peraturan-peraturan yang sudah usang ditiadakan.

4. Mereka yang harus melaksanakan pembaharuan

Pembaharuan tak mungkin sungguh berhasil, begitu pula penyesuaian tidak dapat berlangsung dengan tepat, tanpa kerja sama semua anggota tarekat.

Adapun yang bertugas menentukan kaidah-kaidah pembaharuan yang disesuaikan serta menetapkan hukum-hukumnya, begitu pula membuka ruang bagi pengalaman yang memadai dan bijaksana, hanyalah para pimpinan yang berwenang, terutama kapitel umum, sejauh perlu disertai persetujuan Takhta suci atau Uskup setempat, menurut kaidah hukum. Sedangkan para pemimpin hendaknya dalam hal-hal, yang menyangkut keadaan seluruh tarekat, dengan cara yang tepat meminta nasehat para anggota dan mendengarkan mereka.

Untuk pembaharuan biara-biara para rubiah yang sesuai, saran-saran dan keputusan-keputusan akan dapat diperoleh juga dari sidang-sidang persekutuan atau dari pertemuan-pertemuan lainnya yang diundang secara sah.

Tetapi semua hendaknya ingat, bahwa terwujudnya pembaharuan harus lebih diharapkan dari penghayatan pedoman-pedoman serta konstitusi yang lebih seksama dari pada penambahan hukum-hukum.

5. Unsur-unsur yang umum pada pelbagai bentuk hidup religius

para anggota tarekat mana pun juga hendaknya mengingat, bahwa mereka pertama-tama telah menanggapi panggilan Allah dengan mengikrarkan nasehat-nasehat Injil, sehingga mereka tidak hanya mati bagi dosa (lih. Rom 6:11), melainkan dengan mengingkari dunia hidup bagi Allah semata-mata. Sebab seluruh hidup telah mereka baktikan untuk mengabdi kepada-Nya. Dan itu merupakan suatu penyucian istimewa, yang secara mendalam berakar dalam penakdisan baptis dan mengungkapkannya secara lebih utuh.

Karena penyerahan diri itu telah diterima oleh Gereja, maka hendaknya mereka menyadari kewajiban mereka mengabdi kepada-Nya. Pengabdian kepada Allah itu harus kuat-kuat mendorong mereka untuk mengamalkan keutamaan-keutamaan dan mengembangkannya, terutama kerendahan hati dan ketaatan, kekuatan dan kemurnian, yang berarti keikut-sertaan mereka dalam pengosongan diri kristus (lih. 2:7-8) pun juga dalam kehidupan-Nya dalam Roh (lih. Rom 8:1-13).

Jadi hendaknya para religius tetap setia kepada kaul-kaul yang mereka ikrarkan, mengiklaskan segala sesuatu demi kristus (lih. Mrk 10:28), dan mengikutinya sebagai satu-satunya yang perlu (lih. Luk 10:42; Mat 19:210), seraya mendengarkan sabda-Nya (lih. Luk 10:39) dan memusatkan perhatiannya pada perkara tuhan (lih. 1Kor 7:32).

Maka dari itu para anggota setiap tarekat hendaklah mencari Allah satu-satunya dan diatas segalanya. Mereka wajib memadukan kontemplasi, yang membuat mereka berpaut pada-Nya dengan budi dan hati, dengan cinta kasih kerasulan, yang menjiwai usaha mereka menggabungkan diri pada karya Penebusan dan menyebarluaskan Kerajaan Allah.

6. Hidup rohani harus diutamakan

Barang siapa mengikrarkan nasehat-nasehat Injil, hendaklah di atas segala sesuatu mencari dan mencintai Allah, yang pertama-tama telah mencintai kita (lih. 1Yoh 4:10). Dalam segala situasi hendaknya mereka berusaha mengembangkan kehidupan yang bersama Kristus tersembunyi dalam Allah (lih. Kol 3:3), yang menjadi sumber serta dorongan untuk mencintai sesama demi keselamatan dunia dan pembangunan Gereja. Pengamalan nasehat-nasehat injil sendiri dijiwai dan dikuasai juga oleh cinta kasih itu.

Maka dari itu para anggota tarekat-tarekat hendaknya memelihara semangat doa dan doa sendiri, sambil dengan tekun menimba dari sumber-sumber spriritualitas kristiani yang asli. Pertama-tama hendaklah mereka setiap hari siap mengambil Kitab suci, untuk dengan membaca kitab-kitab kudus yang lebih mulia dari segalanya” (Flp 3:8). Hendaknya mereka sesuai dengan maksud Gereja merayakan Liturgi suci dengan hati dan bibir, terutama misteri Ekaristi suci, dan dari sumber yang kaya melimpah itu memupuk hidup rohani mereka.

Demikianlah, sesudah disegarkan pada meja perjamuan Hukum ilahi dan altar yang suci, hendaklah mereka mengasihi para anggota Kristus sebagai saudara, dan dengan sikap Putera menghormati serta mengasihi para gembala. Hendaklah mereka semakin hidup dan secita-rasa dengan gereja, dan membaktikan diri seutuhnya kepada perutusannya.

7. Tarekat-tarekat yang seutuhnya terarah kepada kontemplasi

Tarekat-tarekat yang seutuhnya terarah kepada kontemplasi, sehingga para anggotanya – betapapun mendesaknya kebutuhan akan kerasulan yang aktif – dalam kesunyian dan dengan berdiam diri, dalam doa yang tekun dan ulah tapa penuh semangat mempersembahkan segenap waktu mereka kepada Allah, selalu memainkan peran yang mulia dalam Tubuh Mistik Kristus, yang “anggotanya tidak semua mempunyai tugas yang sama” (Rom 12:4). Sebab mereka mempersembahkan korban pujian yang istimewa kepada Allah, menerangi Umat Allah dengan buah-buah kesucian yang melimpah serta menggerakkannya dengan teladan mereka, lagi pula mengembangkannya dengan kesuburan kerasulan yang rahasia. Begitulah mereka menjadi seri-semarak Gereja dan pancaran rahmat sorgawi. Tetapi cara hidup mereka hendaklah ditinjau kembali menurut azas-azas serta kaidah-kaidah pembaharuan yang sesuai seperti telah disebutkan, namun dengan tetap mempertahankan penuh hormat penyendirian mereka dari dunia dan latihan-latihan khas hidup kontemplatif.

8. Tarekat-tarekat yang bertujuan kerasulan

Dalam Gereja terdapat banyak sekali tarekat, yang beranggotakan imam-imam atau awam melulu, dan membaktikan diri dalam pelbagai karya kerasulan. Menurut rahmat yang diberikan kepada mereka, tarekat-tarekat itu dianugerahi kurnia yang bermacam-ragam: jika itu kurnia pengabdian, mereka melayani; bila kurnia ajaran, mereka mengajar; jika kurnia untuk menasehati, mereka memberi nasehat; siapa yang memberi, melakukannya dengan iklas; barang siapa mengamalkan belas kasihan, menjalankannya dengan gembira (lih. Rom 12:5-8). Memang “ada beraneka-macam kurnia, tetapi hanya satu Roh” (1Kor 12:4).

Dalam terakat-tarekat itu hendaknya dengan hidup religius sendiri mencakup kegiatan merasul dan beramal kasih, sebagai pelayan suci dan karya cinta-kasih khusus, yang oleh Gereja di percayakan kepada mereka, dan harus dilaksanakan atas nama Gereja. Oleh karena itu seluruh hidup religius para anggota diresapi semangat merasul, sedangkan segenap kegiatan merasul dijiwai oleh semangat religius. Maka supaya para anggota terutama menanggapi panggilan mereka untuk mengikuti Kristus, dan melayani Kristus sendiri dalam para anggota-Nya, kegiatan mereka merasul harus memancar dari harus memancar dari persatuan mesra dengan-Nya, kegiatan mereka merasul harus memancar dari persatuan mesra dengan-Nya. Demikianlah didukung perkembangan cinta kasih sendiri akan Allah dan akan sesama.

Maka tarekat-tarekat itu hendaknya dengan tepat menyesuaikan tata-laksana serta adat-kebiasaan mereka dengan tuntutan kerasulan, yang menjadi medan bakti mereka. Tetapi karena hidup religius yang dibaktikan kepada karya kerasulan mengenakan bentuk bermacam-ragam, maka perlulah bahwa pembaharuannya yang sesuai memperhitungkan keanekaan itu, dan bahwa pelbagai tarekat hidup para anggota demi pengabdian kepada kristus ditopang dengan upaya-upaya yang khas dan sesuai.

9. Kelestarian hidup monastik konventual

Lembaga hidup monastik yang patut dihormati disepanjang sejarah telah banyak sekali berjasa dalam gereja maupun masyarakat manusia. Maka hendaknya tetap dilestarikan dengan setia dan semakin cemerlang menampilkan semangatnya yang asli baik di Timur maupun di Barat. Tugas utama para Rahib ialah dalam kerendahan hati mengamalkan bakti yang mulia kepada Allah yang Maha Agung dalam lingkungan biara, entah mereka membaktikan diri sepenuhnya dalam ibadat dalam ibadat kepada Allah dalam suasana hidup menyendiri yang teduh, entah mereka dengan sah menerima beberapa karya kerasulan atau cinta-kasih kristiani. Maka dengan mempertahankan corak khas tata hidup nya hendaknya lembaga-lembaga itu membaharui tradisi-tradisi yang bermanfaat dan menyesuaikannya dengan kebutuhan jiwa-jiwa zaman sekarang, sehingga biara-biara merupakan bagaikan tempat persemaian bagi kemajuan rohani Umat kristiani.

Begitu pula tarekat-tarekat religius, yang berdasarkan pedoman hidup atau kelembagaannya erat-erat menggabungkan hidup merasul dengan tugas doa koor serta tata-laksana hidup monastik, hendaknya memadukan corak hidup mereka dengan tuntutan kerasulan yang cocok bagi mereka, yang memang termasuk kesejahteraan Gereja yang istimewa.

10. Hidup religius kaum awam

Hidup religius yang beranggotakan awam, untuk pria maupun wanita, merupakan status pengalaman nasehat-nasehat Injil yang sudah lengkap. Maka Konsili suci sangat menghargainya, karena begitu berjasa bagi tugas pastoral Gereja melalui pendidikan kaum muda, perawatan orang-orang sakit dan pelayanan-pelayanan lainnya. Konsili meneguhkan para anggotanya dalam panggilan mereka, serta mendorong mereka untuk menyesuaikan hidup mereka dengan tuntutan-tuntutan zaman sekarang.

Konsili suci menyatakan tidak keberatan, bila dalam tarekat-tarekat para bruder, dengan lestarinya corak keawamannya, atas penetapan kapitel umum, ada beberapa anggota yang menerima Tahbisan suci, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelayanan imamat dalam rumah-rumahnya.

11.  Serikat-serikat sekular

Meskipun bukan tarekat religius, namun serikat-serikat sekuler mencakup pengalaman nasehat-nasehat Injil yang sesungguhnya, lengkap dan diakui resmi oleh Gereja, ditengah masyarakat. Maka hendaknya mereka berusaha menghayati bakti mereka seutuhnya kepada Allah terutama dalam cinta-kasih yang sempurna. Serikat-serikat itu hendaknya mempertahankan coraknya yang khas dan istimewa, yakni corak sekuler, supaya dapat menunaikan kerasulannya dengan tepat guna dan dimana-mana ditengah masyarakat dan bagaikan dari dalam masyarakat, karena memang didirikan untuk kerasulan itu.

Tetapi para anggota hendaklah sungguh menyadari, bahwa tugas semulia itu hanya dapat mereka tunaikan, bila mereka mendapat pembinaan yang saksama dalam perkara-perkara ilahi maupun manusiawi, sehingga benar-benar menjadi ragi masyarakat demi peneguhan dan pengembangan Tubuh Kristus. Maka para pemimpin hendaknya sungguh-sungguh mengusahakan pembinaan para anggota terutama dalam hidup rohani, pun juga pengembangan pembinaan mereka selanjutnya.

12. Kemurnian

Kemurnian “demi kerajaan sorga” (Mat 19:12), yang diikrarkan oleh para religius, harus dihargai sebagai kurnia rahmat yang sangat luhur. Sebab secara istimewa membebaskan hati manusia (lih. 1Kor 7:32-35), supaya ia lebih berkobar cinta-kasihnya terhadap Allah dan semua orang. Maka merupakan tanda yang amat khas harta sorgawi, dan upaya yang sangat cocok bagi para religius untuk dengan gembira hati membaktikan diri bagi pengabdian kepada Allah serta karya-karya kerasulan. Begitulah mereka mengingatkan semua orang beriman kristiani akan pernikahan mengagumkan, yang diadakan oleh Allah dan di zaman mendatang akan ditampilkan sepenuhnya, antara Gereja dan kristus Mempelainya yang tunggal.

Maka para religius wajib berusaha menghayati kaul kekal mereka dengan setia. Hendaknya mereka percaya akan amanat Tuhan, bertumpu pada bantuan Allah, tidak mengandalkan kekuatan mereka sendiri, bermatiraga dan mengandalkan pancainderanya. Janganlah mereka mengabaikan pula upaya-upaya kodrati, yang mendukung kesehatan jiwa dan badan. Dengan demikian mereka takkan goyah terpengaruh ajaran-ajaran sesat, yang membayang-bayangkan seolah-olah pengendalian diri yang sempurna itu tidak mungkin atau merugikan bagi perkembangan manusia. Berdasarkan suatu naluri rohani mereka akan menolak segala sesuatu yang membahayakan kemurnian. Selain itu hendaknya semua, terutama para pemimpin, ingat, bahwa kemurnian dihayati dengan lebih aman, bila hidup bersama diliputi kasih persaudaraan antara para anggota.

Penghayatan pengendalian diri yang sempurna menyentuh kecondongan-kecondongan kodrat manusia secara mendalam. Maka para calon hendaknya jangan maju atau diijinkan untuk mengikrarkan kemurnian, kecuali sesudah percobaan yang sungguh memadai dan mereka ternyata memiliki kemasakan psikologis dan afektif yang selayaknya. Hendaknya mereka jangan hanya diperingatkan akan bahaya-bahaya yang mengancam kemurnian, melainkan dibina sedemikian rupa, sehingga menerima pula selibat yang dibaktikan kepada Allah sebagai keuntungan bagi pribadinya secara menyeluruh.

13. Kemiskinan

kemiskinan sukarela untuk mengikuti Kristus merupakan tandanya, yang terutama sekarang ini sangat dihargai. Hendaknya kemiskinan itu dihayati dengan tekun oleh para religius, dan bila perlu diungkapkan juga dalam bentuk-bentuk yang baru. Dengan demikian para religius ikut serta menghayati kemiskinan Kristus, yang demi kita telah menjadi miskin sedangkan Ia kaya, supaya karena kemiskinan-Nya itu kita menjadi kaya (lih. 2Kor 8:9; Mat 8:20).

Adapun mengenai kemiskinan religius, tidak cukuplah bahwa dalam menggunakan harta-benda para anggota mematuhi para pemimpin. Melainkan mereka wajib menjadi miskin harta dan miskin dalam roh, karena menaruh harta-kekayaan mereka di sorga (lih. Mat 6:20).

Hendaknya dalam tugas mereka masing-masing para anggota merasa diri terikat pada keharusan umum untuk bekerja. Sambil memperoleh rejeki yang diperlukan bagi kehidupan dan karya-karya mereka, hendaknya mereka mengesampingkan segala keprihatinan yang tidak wajar, dan mempercayakan diri kepada Penyelenggaraan Bapa di sorga (lih. Mat 6:25).

Berdasarkan konstitusi mereka tarekat-tarekat religius dapat mengijinkan para anggota untuk melepaskan diri melepaskan harta warisan yang telah atau masih akan mereka peroleh.

Dengan mengindahkan keanekaan situasi setempat, tarekat-tarekat sendiri hendaknya berusaha memberi kesaksian bersama tentang kemiskinan. Hendaknya mereka dengan sukarela menyumbangkan sesuatu dari harta milik mereka untuk ikut memenuhi kebutuhan-kebutuhan Gereja lainnya dan ikut menanggung keperluan hidup kaum miskin, yang layak dicintai oleh semua religius dalam hati Kristus (lih. Mat 19:21); 25:34-46; Yak 2:15-16; 1Yoh 3:17). Hendaknya provinsi-provinsi dan rumah-rumah tarekat-tarekat saling berbagi harta duniawi, sehingga mereka yang lebih mampu membantu mereka yang berkekurangan.

Dengan tetap mematuhi pedoman-pedoman dan konstitusi-konstitusi, tarekat-tarekat berhak memiliki segala sesuatu yang diperlukan untuk kebutuhan hidup di dunia dan karya-karya. Tetapi hendaklah mereka berusaha jangan sampai memberi kesan kemewahan, keuntungan yang berlebihan dan penumpukan harta-kekayaan.

14. ketaatan

Dengan mengikrarkan ketaatan para religius mempersembahkan bakti kehendak mereka yang sepenuhnya bagaikan korban diri kepada Allah. Maka seturut teladan Yesus Kristus, yang datang untuk melaksanakan kehendak bapa (lih. Yoh 4:34; 5:30; Ibr 10:7; Mzm 39:9), “Mengenakan rupa seorang hamba” (Flp 2:7), dan melalui sengsara-Nya belajar taat (lih. Ibr 5:8), hendaknya para religius, atas dorongan Roh Kudus, dalam iman mematuhi para pemimpin yang mewakili Allah. Hendaknya melalui mereka itu para religius dituntun untuk melayani semua saudara dalam Kristus, seperti kristus sendiri demi kepatuhan-Nya terhadap Bapa telah melayani para saudara-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang (lih. Mat 20:28; Yoh 10:14-18). Begitulah mereka semakin erat terikat untuk melayani Gereja, dan berusaha mencapai “tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (lih. Ef 4:13).

Oleh karena itu hendaknya para anggota, dalam semangat iman dan cinta-kasih terhadap kehendak Allah, dengan rendah hati mematuhi para pemimpin mereka menurut kaidah pedoman serta konstitusi mereka. Hendaknya mereka mengerahkan daya kemampuan akal-budi dan kehendak maupun bakat-bakat alamiah serta kurnia-kurnia rahmat dalam menjalankan perintah-perintah dan menyelesaikan tugas-tugas yang diserahkan kepada mereka. Hendaknya mereka sadari, bahwa mereka sedang berkarya demi pembangunan Tubuh Kristus menurut rencana Allah. Demikianlah ketaatan religius sama sekali tidak mengurangi martabat pribadi manusia, melainkan justru membawanya kepada kematangan, karena dikembangkannya kebebasan putera-putera Allah.

Adapun para pemimpin, yang akan memberi pertanggungjawaban atas jiwa-jiwa yang diserahkan kepada mereka (lih. Ibr 13:17), hendaknya dalam menunaikan tugas mereka membiarkan diri dibimbing oleh kehendak Allah. Hendaknya mereka mengamalkan kewibawaan dalam semangat pengabdian kepada para saudara, sehingga mengungkapkan cinta-kasih Allah terhadap mereka. Hendaknya mereka memimpin para bawahan sebagai putera-putera Allah, dengan menghormati pribadi manusia, seraya mengembangkan kepatuhan mereka yang sukarela. Maka khususnya hendaklah mereka memberi kebebasan sewajarnya kepada para anggota berkenaan dengan sakramen Tobat dan bimbingan suara hati. Hendaknya mereka membimbing para anggota sedemikian rupa, sehingga dalam melaksanakan tugas-tugas serta mengambil prakarsa-prakarsa mereka itu bekerja sama dalam ketaatan aktif dan penuh tanggung jawab. Maka para pemimpin hendaknya dengan suka hati mendengarkan para anggota, dan mengembangkan kerja sama mereka demi kesejahteraan tarekat dan gereja, sementara mereka tetap berwenang untuk mengambil keputusan dan memerintahkan apa yang harus dijalankan.

Hendaknya kapitel-kapitel dan dewan-dewan dengan setia menunaikan tugas kepemimpinan yang diserahkan kepada mereka, serta masing-masing dengan caranya sendiri mengungkapkan keikutsertaan dan usaha semua anggota demi kesejahteraan segenap persekutuan hidup.

15. Hidup bersama

Menurut teladan Gereja perdana, ketika golongan kaum beriman hidup sehati dan sejiwa (lih. Kis 4:32), hendaknya kehidupan bersama bertekun dalam ajaran Injil, dalam Liturgi suci dan terutama dalam perayaan Ekaristi, dalam doa sera persekutuan semangat yang sama (lih. Kis 2:42). Sebagai sesama anggota Kristus para religius hendaknya dalam pergaulan bersaing dalam saling menghormati *lih. Rom 12:10), sambil saling menanggung beban mereka (lih. Gal 6:2). Sebab berkat cinta-kasih Allah, yang karena Roh Kudus telah dicurahkan ke dalam hati mereka (lih. Rom 5:5), komunitas sebagai keluarga yang sejati, dihimpun dalam nama Tuhan, menikmati kehadiran-Nya (lih. Mat 18:20). Adapun cinta kasih itu kepenuhan hukum (lih. Rom 13:10), serta ikatan kesempurnaan (lih. Kol 3:14). Berkat cinta itulah kita tahu, bahwa kita telah dipindahkan dari maut kepada kehidupan (lih. 1Yoh 3:14). Bahkan persekutuan para saudara menunjukkan kedatangan Kristus (lih. Yoh 13:35; 17:21), dan padaNyalah bersumber daya kekuatan merasul yang besar.

Akan tetapi, supaya ikatan persaudaraan antar anggota menjadi lebih erat, hendaknya mereka yang disebut para bruder, para rekan sekerja, atau dengan nama lain, melibatkan diri secara lebih erat dengan perihidup serta karya-karya komunitas. Kecuali bila situasi sungguh menginginkan sesuatu yang lain, hendaknya diusahakan, supaya dalam tarekat-tarekat wanita tercapai satu macam suster saja. Kemudian hendaknya hanya dipertahankan kemacam-ragaman pribadi-pribadi, sejauh pembedaan pelbagai karya menuntunya. Hendaknya para suster diperuntukkan bagi karya-karya itu entah berkat panggilan khas Allah, entah karena kecakapan mereka yang istimewa.

Adapun biara-biara serta tarekat-tarekat pria yang tidak melulu beranggotakan awam, sesuai dengan corak mereka dan menurut kaidah konstitusi, dapat menerima rohaniwan maupun awam, pada tingkatan yang sama dan dengan hak-hak serta kewajiban-kewajiban yang sama pula, kecuali mengenai implikasi Tahbisan suci.

16. Pingitan/klausura para rubiah

Hendaknya pingitan kepausan bagi para rubiah yang menghayati hidup kontemplatif melulu tetap dilestarikan, tetapi disesuaikan juga dengan situasi semasa dan setempat, dengan meniadakan adat kebiasaan yang sudah usang. Dalam melaksanakan penyesuaian itu hendaknya didengarkan usul-usul biara-biara yang bersangkutan.

Tetapi para rubiah lainnya, yang berdasarkan anggaran tarekat berbakti melalui karya-karya kerasulan di luar, hendaknya di bebaskan dari pingitan kepausan, supaya mereka mampu menunaikan dengan lebih baik tugas-tugas kerasulan yang dipercayakan kepada mereka, namun dengan tetap mempertahankan pingitan menurut kaidah konstitusi.

17. Busana religius

Hendaknya busana religius, sebagai tanda penakdisan kepada Allah, bersifat sederhana dan ugahari, miskin dan sekaligus pantas, selain itu memenuhi persyaratan kesehatan, dan selaras dengan situasi semasa dan setempat maupun dengan kebutuhan-kebutuhan akan pelayanan. Busana baik pria maupun wanita, yang tidak cocok dengan kaidah-kaidah itu, hendaknya diganti.

18. Pembinaan para anggota

Pembaharuan tarekat-tarekat yang sesuai sangat tergantung dari pembinaan para anggota. Maka dari itu para anggota bukan rohaniwan dan para suster jangan ditugaskan dalam karya-karya kerasulan langsung sesudah novisiat. Melainkan pembinaan mereka dibidang religius maupun kerasulan, begitu pula pendidikan pengetahuan maupun kejujuran, termasuk pula untuk mendapat ijazah yang diperlukan, hendaknya dilanjutkan sebagaimana mestinya dirumah-rumah yang diperlengkapi secukupnya.

Tetapi penyesuaian hidup religius dengan tuntunan-tuntunan zaman kita sekarang hendaknya jangan melulu bersifat lahiriah. Jangan sampai pula mereka yang berdasarkan anggaran tarekat bertugas merasul diluar ternyata tidak mampu menunaikan tugas mereka. Untuk maksud itu hendaknya mereka – sesuai dengan bakat kecerdasan dan watak-perangai pribadi masing-masing – diberi pendidikan secukupnya tentang cara-cara hidup dan cara-cara berpandangan serta berfikir dalam masyarakat sekarang. Hendaknya diselenggarakan pembinaan melalui perpaduan unsur-unsurnya yang serasi sedemikian rupa, sehingga membantu para anggota mencapai keutuhan hidup.

Hendaknya para anggota seumur hidup dengan tekun berusaha menyempurnakan kebudayaan rohani, pengetahuan serta kejuruan mereka itu. Untuk itu para pemimpin hendaknya sedapat mungkin menciptakan kemungkinan serta mengusahakan bantuan dan waktu bagi mereka.

Termasuk tugas para pemimpin juga: mengusahakan supaya para moderator, para pembimbing rohani dan para dosen dipilih dengan sangat cermat dan disiapkan dengan sungguh baik.

19. Pendirian tarekat-tarekat baru

Dalam mendirikan tarekat-tarekat baru hendaknya sungguh-sungguh dipertimbangkan betapa perlunya, atau setidak-tidaknya besarnya faedahnya, begitu pula kemungkinan perkembangannya. Dengan demikian dijaga, jangan sampai tanpa pertimbangan masak muncul tarekat-tarekat yang tidak berguna, atau yang tidak mempunyai daya-kekuatan yang seperlunya. Dalam Gereja-Gereja muda hendaknya secara khusus dikembangkan dan dikelola bentuk-bentuk hidup membiara, dengan mempertimbangkan perangai serta adat-istiadat penduduk maupun kebiasaan-kebiasaan dan situasi setempat.

20. Bagaimana melestarikan, menyesuaikan atau meninggalkan karya-karya khusus tarekat

Hendaknya tarekat-tarekat melestarikan dan menyelenggarakan karya-karyanya yang khas dengan setia. Hendaknya karya-karya itu disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan semasa setempat, dengan mempertimbangkan faedahnya bagi Gereja semesta serta keuskupan-keuskupan, dengan menggunakan upaya-upaya yang cocok dan baru. Hendaknya ditinggalkan saja karya-karya, yang sekarang ini sudah kurang selaras dengan semangat tarekat atau coraknya yang asli.

Dalam tarekat-tarekat religius semangat misioner harus tetap dipertahankan, dan menurut coraknya masing-masing disesuaikan dengan zaman sekarang, sehingga pewartaan Injil kepada semua bangsa dapat lebih berhasi guna.

21. Terakat-tarekat dan biara-biara yang mengalami kemerosotan

Tetapi tarekat-tarekat dan biara-biara, yang menurut para Uskup setempat yang berkepentingan, atas penilaian Takhta suci tidak memberi harapan yang wajar, bahwa selanjutnya masih akan berkembang, hendaknya dilarang untuk masih menerima novis-novis, dan sedapat mungkin digabungkan dengan tarekat lain atau biara lain yang lebih vital, dan yang tujuan maupun semangatnya tidak banyak berbeda.

22. Perserikatan antara tarekat-tarekat religius

Bila keadaan mendukung dan atas persetujuan Takhta suci, hendaknya tarekat-tarekat dan biara-biara yang otonom mengembangkan federasi-federasi antar mereka, bila kurang lebih termasuk keluarga religius yang sama, atau perserikatan-perserikatan, bila mempunyai konstitusi maupun adat-kebiasaan yang hampir sama dan dijiwai oleh semangat yang sama, terutama bila mereka terlalu kecil, atau gabung-gabungan, bila menyelenggarakan karya-karya lahiriah atau yang serupa.

23. Konferensi para Pemimpin tinggi

Perlu didukung konferensi-konferensi atau dewan-dewan para Pemimpin tinggi yang didirikan oleh Takhta suci, dan dapat banyak membantu supaya tujuan masing-masing tarekat tercapai secara lebih penuh, supaya ditingkatkan kerja sama yang lebih tepat guna demi kesejahteraan Gereja, supaya para pekerja Injil dikawasan tertentu dapat disebarkan secara lebih merata, dan untuk menyelenggarakan urusan-urusan bersama para religius. Mengenai pelaksanaan kerasulan hendaknya diciptakan koordinasi dan kerja sama yang baik dengan Konferensi-Konferensi para Uskup.

Konferensi-konferensi semacam itu dapat didirikan juga bagi tarekat-tarekat sekular.

24. Panggilan religius

para imam dan pendidik kristiani hendaknya sungguh-sungguh berusaha, supaya dengan adanya panggilan-panggilan religius yang dipilih dengan tepat dan saksama Gereja mengalami pertumbuhan baru yang benar-benar menjawab kebutuhan-kebutuhan. Juga dalam pewartaan yang biasa hendaknya seringkali diuraikan nasehat-nasehat Injil dan penghayatan hidup religius. Dengan mendidik anak-anak mereka dalam adat kebiasaan kristiani hendaklah para orang tua memupuk dan melindungi panggilan religius dalam hati mereka.

Tarekat-tarekat diperbolehkan menyebarluaskan informasi tentang dirinya untuk memupuk panggilan-panggilan, serta mencari calon-calon, asal itu mereka jalankan dengan bijaksana sebagaimana seharusnya, dan dengan mematuhi kaidah-kaidah yang diterima dari Takhta suci dan dari Uskup setempat.

Tetapi para anggota hendaknya menyadari, bahwa teladan hidup mereka sendiri merupakan rekomendasi terbaik bagi tarekat mereka dan undangan paling tepat guna untuk memeluk hidup religius.

25. Penutup

Tarekat-tarekat, yang mau dibantu dengan penetapan kaidah-kaidah pembaharuan yang disesuaikan ini, hendaknya dengan semangat siap sedia menanggapi panggilan ilahinya dan tugasnya dalam Gereja dewasa ini. Sebab Konsili suci sangat menghargai corak hidup mereka ditandai keperawanan, kemiskinan dan ketaatan, menurut teladan kristus Tuhan sendiri. Konsili menaruh harapan yang teguh atas karya-karya mereka yang begitu subur, baik yang sifatnya tersembunyi maupun yang terbuka. Oleh karena itu hendaknya semua religius, dengan keutuhan iman mereka, dengan kasih mereka terhadap Allah dan sesama, dengan cinta mereka akan salib dan harapan mereka akan kemuliaan di masa mendatang, menyebarluaskan kabar baik Kristus diseluruh dunia, supaya kesaksian mereka tampil bagi semua orang, dan Bapa kita yang ada di sorga dimuliakan (lih. Mat 5:16). Demikianlah atas permohonan Bunda Allah yang termanis Perawan Maria, “yang hidupnya merupakan suri tauladan bagi semua orang”[1] mereka dari ke hari akan makin berkembang dan memperbuahkan hasil penyelamatan yang makin melimpah.

Semua itu dan setiap hal yang diungkapkan dalam Dekrit ini telah berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Adapun kami, dengan kuasa kerasulan yang oleh Kristus diserahkan kepada Kami, bersama para Bapa yang terhormat, mengesahkan, menetapkan serta mengundangkannya dalam Roh Kudus. Dan kami memerintahkan, agar apa yang telah ditetapkan bersama dalam Konsili ini diumumkan demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 28 bulan Oktober tahun 1965.

Saya PAULUS
Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


CATATAN KAKI:

  1. S. AMBROSIUS, Tentang Keperawanan, kitab II, bab II n. 15. []